Minggu, 03 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (23)


Dua puluh tiga

sebelumnya di sini

“Kamu kerja?”

Mirah menoleh dan mengangguk. Dae Ho masih terbaring di atas ranjang. “Tidakkah hari ini kamu minta izin saja?” lanjut Dae Ho kembali bertanya.

Kerutan di dahi Mirah terbentuk. Sejujurnya ia sedikit heran, karena Dae Ho tidak pergi pagi-pagi seperti biasanya. Mirah ingin bertanya, namun diurungkan. Mungkin saja Oppa lelah…

“Saya tidak bekerja. Kamu sebaiknya tidak juga.”

Kening Mirah makin berkerut. “Maksud Oppa tidak bekerja? Cuti? Kenapa?”

“Kita sudah lama tidak bertemu, Mira. Saya rindu kamu,” Dae Ho mendesah panjang.

Ada geliat rasa bahagia di hati Mirah saat Dae Ho mengatakan merindukannya. Berkali-kali kata itu diucapkan, berkali-kali pula bahagia ia rasakan.

Mirah menarik napas panjang. “Oppa, dari kemarin siang aku pulang hingga semalaman kita terus bersama. Apa itu belum cukup?”

“Tentu saja belum. Ingat Mira, kamu istri saya. Kamu harus menuruti kemauan saya.”

Deg.

Mirah tertegun. Ada fakta yang nyaris dihiraukannya. Dae Ho benar. Ia adalah istri, tepatnya seorang istri kontrak. Kesepakatan telah terjadi, apapun yang diinginkan Dae Ho Mirah tak bisa protes. Ia harus siap kapanpun untuk melayani laki-laki itu.

Istri?

Ah, bukan ini makna istri yang sesungguhnya.

“Baiklah,” Mirah mendesah lirih. “Kalau begitu aku akan membuat sarap…,”

“No no no, Mira!” Dae Ho memotong ucapannya. Tangan kanan laki-laki itu melambai meminta Mirah mendekat. “Kemarilah!” Saya belum lapar. Saya hanya ingin kamu.” katanya dengan suara serak dan parau.

Dan Mirah tak mungkin menolak keinginan ‘suami’nya.

***

Mirah menghela napas dalam-dalam saat kakinya melangkah memasuki pelataran sekolah. Sedetik kemudian ia meringis. Sudah terlalu lama ia absen. Tak enak rasanya pada Kanaya juga pengajar lainnya. Harusnya setiba di Jakarta, ia segera masuk kerja. Tapi mau bagaimana lagi jika Dae Ho menahan dirinya.

Kemauan Dae Ho itu pantang ditolak.

“MBAK MIRAH!”

Mirah tersentak karena pekikan salah satu pengajar. Tak lama dilihatnya Lilian berhambur ke arahnya. “Gimana Mbak anaknya udah baikan? Ya ampun Mbak, maaf ya kita-kita nggak tahu,”

Mirah tersenyum tipis. “Udah nggak papa kok, Miss. Makasih ya,”

Tak lama beberapa pengajar yang sudah hadir mengelilingi Mirah. Mereka bersimpati. Meski akhirnya justru membuat Mirah tak enak hati sendiri.

Mereka begitu peduli…

“Mirah! Kamu sudah kembali?” Kanaya muncul. Ia tersenyum lalu memeluk Mirah. Sedetik kemudian, Mirah merasa semakin tak nyaman. Kanaya sudah begitu baik, sudah memberikan izin begitu lama tapi ia justru tak segera kembali.

“Maaf, Mbak,”

“Maaf?” Kanya mengerut. “Kenapa minta maaf? It’s Ok, Mir. Santai aja. Lagian aku tahu tak ada ibu yang tenang saat mengetahui anaknya sakit,”

Mirah mengangguk perlahan. “Ya sudah jangan dipikirkan. Sekarang yang penting anakmu sudah membaik kan?”

Mirah kembali mengangguk. “Berita baik.” sambung Kanaya. “Berarti hari ini siap kerja?”

“Iya, Mbak. “

Kanaya tersenyum tipis. “Ok. Sip. “

Sungguh, Mirah merasa Kanaya terlalu baik padanya.

***

Selang dua minggu kemudian, kehidupan kembali normal. Mirah dapat bekerja dengan baik pun dengan Dae Ho yang tak lagi menuntut perhatiannya. Semua kembali seperti biasa. Meski begitu kini Mirah tak lagi banyak berharap akan hubungannya dengan Dae Ho. Waktu pada akhirnya membuatnya menyadari jika perasaannya tak boleh tumbuh dan berkembang. Dirinya hanya terikat sebagai istri kontrak.

Tak lebih dari itu…

“Apa yang kamu pikirkan, Mira?” tanya Dae Ho yang tiba-tiba memeluk Mirah dari belakang. Sontak Mirah terkesiap dan ia reflek menggeliat untuk melepaskan pelukan, tapi sayang Dae Ho menahannya hingga sia-sia sudah usahanya.

“Ada yang membebanimu?” tanya Dae Ho lagi. “Anak kamu okay?”

Mirah mendesah panjang lalu mengangguk tanpa suara. Tak mungkin kan jika ia tengah memikirkan hubungannya dengan Dae Ho.

“Kamu mau kita jalan-jalan lagi?”

“Jalan-jalan?”

Dae Ho mengangguk di bahu Mirah. “Iya. Pantai. Kamu suka pantai, jadi kita akan ke pantai.”

Sejenak Mirah terbengong. Ia pun berbalik. Sungguh dirinya tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Dae Ho. Tak tahukah laki-laki ini semakin banyak perhatian ditunjukan untuknya, semakin tumbuh pula perasaan Mirah. Kalau begini bagaimana bisa hilang?

“Ayo, berkemas! Besok akhir pekan,”

Mulut Mirah terbuka kemudian. “Se—sekarang?” tanyanya tak yakin. Yang benar saja ini sudah malam. Diliriknya jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam.

“It’s Ok, Mira. Weekend selalu ramai.” Senyum Dae Ho mengembang. “Ayolah. Saya tak ingin kamu bersedih.”

Dan perasaan hangat itu kembali muncul.

***

Selalu ada luapan perasaan yang tak bisa digambarkan Mirah jika melihat matahari terbit di pagi hari. Siluet warna jingga yang muncul membuatnya kehabisan kata-kata. Tuhan benar Maha Kuasa, karena tak ada siapapun yang bisa menandingi keindahan ciptaanNya.

Senyum Mirah pun mengembang. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Seketika perasaannya pun menjadi tenang.

Sungguh, aku ingin seperti ini setiap hari.

Semalam akhirnya Dae Ho membawanya ke salah resort yang ada di Anyer. Perjalanan cukup panjang membuat Mirah jatuh tertidur dan ia terbangun karena Dae Ho membangunkannya. Mereka tiba nyaris dini hari.

Mirah berbalik sejenak, dilihatnya Dae Ho masih bergelung di tempat tidur. Ia yang terbiasa bangun di pagi buta, tak bisa kembali tidur. Maka diputuskan untuk duduk di pinggir balkon menikmati keindahan matahari terbit.

Tak lama Mirah kembali menatap lurus ke depan. Ia mendesah panjang. Dae Ho yang perhatian, Dae Ho yang hanya suami kontrak.

Argh…

Sadar, Mir! Sadar! Selamanya kamu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang istri kontrak. Kontrak berakhir, berakhir pula hubungan kalian.

Tapi tak bisakan aku sedikit berharap karena perhatiannya?

Tiba-tiba lamunan Mirah tersentak. Ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar membuatnya mendengus seketika.

Faisal.

Laki-laki ini, ah…

“Ada apa, bang?” Tanya Mirah sesaat setelah dirinya mengucap salam.

“Aku di Jakarta, Mir,”

Mirah mendesah. Mantan suaminya ini sepertinya masih berharap banyak untuk berhubungan dengannya.

“Lalu?” sahut Mirah dengan enggan.

“Bisa kita bertemu?”

“Maaf, Bang. Aku sedang tidak di Jakarta.”

“Loh, bukannya kamu bilang akan kembali,”

Mirah menggeram dalam hati. “Iya, Bang. Aku memang sudah kembali ke Jakarta buat bekerja. Tapi hari ini ada urusan di tempat lain.”

“Dimana?”

Mirah memutar bola matanya jengah. Faisal ini menyebalkan sekali!

“Ada di luar kota,” Mirah akhirnya menjawab dengan ketus.

“Kamu ada pekerjaan di sana?”

Argh, Mirah mengerang frustasi. Dulu boleh jadi ia bahagia dengan sikap dan tindakan Faisal yang menurutnya begitu perhatian dan peduli. Tapi sekarang…

Ck, tidak ingat dia jika mereka sudah terlalu lama bercerai.

“Bang, maaf! Aku Cuma mengingatkan hubungan kita sudah lama berakhir. Apa pun yang aku lakukan bukan urusan Abang lagi kan?”

Sesaat hening.

Mirah membiarkan Faisal terdiam di seberang. Dirinya sendiri juga enggan mengatakan apa-apa lagi.

“Maaf,” Tak lama suara Faisal terdengar lirih. Mirah pun menggeleng perlahan.

“Sudahlah, Bang sebaiknya aku tutu…,”

“Mira, kemarilah! sedang apa kamu di sana?”

Deg.

Spontan Mirah berbalik, matanya terbeliak kaget. Ucapan Dae Ho pasti dapat jelas terdengar oelh Faisal.

“Suara siapa itu, Mir? Sepertinya laki-laki?”

Tubuh Mirah membeku seketika. “Bu—bukan siapa-siapa, Bang.” Katanya gugup. “I—itu temanku yang menjem—menjemput di pintu. Ya di pintu,”

“Ma—af, Bang. Aku harus pergi.”

“Mir, Mir tapi…,”

Klik.

Sambungan terputus. Meski begitu ketegangan masih menggelayutinya. Habis sudah dirinya kalau sampai faisal tahu. Bisa-bisa sampai ke telinga Emak di kampung.

Ya Tuhan, mudah-mudahan Faisal percaya…

“Mira!”

Panggilan Dae Ho menyentakkan kesadaran Mirah. Bergegas Mirah pun kembali masuk ke dalam kamar. Ah, mengapa sekarang hidup benar-benar terasa ruwet.

selanjutnya di sini

=tbc=
Berhubung bentar lagi lebaran, saya pribadi mengucapkan selamat idul fitri ya, Taqobbal Allahu minna wa minkum


2 komentar: