Senin, 01 Desember 2014

[Cerpen] Cerita Alea



Cinta itu saling memberi, bukan menuntut
Cinta itu saling memahami, bukan memaksa
Cinta itu melengkapi, bukan saling menyakiti

Alea memekik. Ia histeris. Pemandangan di depannya membuatnya hatinya hancur seketika. Dadanya sesak. Air matanya sudah melesak keluar. Tak tertampung.
“Tega kamu, Mas!” Desisnya tajam. Lalu dengan cepat ia menghapus air matanya kasar. Tidak, aku tak boleh terlihat lemah!
“Lebih baik kita berpisah secepatnya!” Tambahnya lagi dengan mengarahkan pandangan jijik, “Supaya kalian bebas!”
“Tung…tunggu Le! A..ku…”
Alea menepis kasar lengan kokoh yang berusaha meraih tangannya. Ditatapnya laki- laki itu dingin, “Dan anak- anak bersamaku!”
“Le! Tungg…,”
Bergegas dibalikkan tubuhnya. Secepatnya ia ingin meninggalkan apartemen ini. Apartemen yang banyak menyimpan kenangan manis untuknya namun juga luka di hari ini. Selamanya, aku takkan pernah kembali kesini. Tempat ini akan mengingatkanku pada hari ini. Hari dimana aku merasakan luka karena mencintainya.
Samar, ia mendengar teriakan menyebut namanya. Namun diabaikannya. Sudah cukup, Mas! Lebih baik hentikan semuanya!
Tepat sesaat ia masuk ke mobilnya. Air mata menerjang kembali. Deras. Tak terkendali. Serta merta digelengkan kepalanya kuat- kuat. Kuat, kamu harus kuat Le!
Sejenak ditenggelamkan kepalanya di balik kemudi. Ia tergugu.
Semua sudah berakhir.
Tamat. End.
Habis. Tak bersisa.
Dan ia hancur.
***

“Aku mencintaimu,”
Alea terperangah. Tak menduga dengan ucapan yang keluar dari bibir laki- laki yang duduk di hadapannya. Lelaki yang hampir setahun ini dikenalnya. Laki- laki yang di awal perkenalan sudah memikat hati Alea. Siapa bilang tak ada cinta pada pandangan pertama? Itu bohong. Buktinya dirinya sudah menyimpan rasa sejak dikenalkan temannya. Namun apalah daya, ia seorang perempuan. Pemegang teguh adat ketimuran. Pantang mengatakan cinta terlebih dulu. Walaupun zaman sudah berubah, tak masalah katanya jika seorang wanita mengatakan cinta terlebih dahulu. Tapi tidak bagi Alea. Ia memilih menyimpan rapat perasaannya. Hingga akhirnya malam ini penantiannya berbuah,
“Ka…kamu serius, Mas?”
Alea sedikit ragu. Walaupun sejujurnya dirinya senang dengan penyataan cinta itu namun semua masih hmm… bagai mimpi.
Alea merasakan kedua jemarinya diraih lalu digenggam lembut oleh kedua tangan kokoh lelaki itu. Terasa pas dan hangat. Hatinya seketika meleleh.
“Aku serius, Le!” Lelaki itu menatapnya, “I love you,”
Alea tertegun. Kata cinta untuk kedua kalinya terucap. Tidak, ia tidak membutuhkan sebanyak itu. Cukup satu tapi tulus.
Alea balas menatap lelaki itu. Mata bertemu mata. Alea mencoba menyelami seberapa dalam perasaan yang lelaki itu miliki. Ia pun tersipu. Pipi putihnya merona. Kejujuran dan keyakinan jelas terpancar di kedua bola mata hitam itu.
Dihelanya nafas dalam. Mengatur detak jantungnya yang berirama lebih cepat juga hatinya yang girang luar biasa. Bahagia.
Dipandanginya kembali lelaki itu. Lalu jemarinya yang masih bertaut. Ya Tuhan, inikah rasanya dicintai?
“I love you too,” Suara Alea pelan. Nyaris seperti berbisik namun tetap dapat didengar.
“Terima kasih, Sayang!”
Tak lama punggung tangannya dikecup lembut. Membuat Alea tersenyum simpul.
“I love you Alea. Now and forever!”
Alea pun makin merona. Mabuk kepayang. Hatinya bahagia tak terkira. Pernyataan cinta yang dinantinya. Sungguh beruntung dirinya. Mencintai dan dicintai. Cinta itu indah, bukan?
***

Aku sakit
Terluka
Dalam
Dan Berdarah
Air mata tak henti membasahi pipi Alea. Sejak tadi ia mengurung diri di kamarnya. Kamar di rumah orang tuanya. Kamar yang menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangannya sejak kecil. Kamar yang ditinggalkannya sejak lima tahun lalu, saat statusnya berubah. Hanya sesekali ia tempati saat menginap, bila merindukan keluarganya. Namun tidak kali ini, sepertinya kamar ini akan kembali ia tinggali. Mengingat beberapa jam lalu ia mendapati kenyataan rumah tangganya akan berakhir.
Apa salahku? Apa dosaku?
Apa kekuranganku?
Hingga kau sakiti aku sedemikian dalam.
Alea memandang nanar pada frame yang terletak di nakas di samping ranjang tidurnya. Ia ulurkan tangannya untuk meraih bingkai itu. Gambar dirinya dalam balutan kebaya putih tersenyum bahagia dalam pelukan seorang laki- laki. Laki- laki gagah yang dicintainya juga mencintainya.
Mencintainya?
Ah, mungkinkah masih ada rasa itu? Tepat beberapa jam sebelumnya matanya menangkap sosok lelaki yang dicintainya sedang berpagut mesra dengan seorang wanita. Dan wanita itu bukan dirinya. Wanita yang dinikahi laki- laki itu lima tahun lalu.
“Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega padaku?” gumamnya di sela isak tangis. Tangannya mengelus lembut permukaan bingkai.
“Kamu jahatttttt, Mas!” Teriaknya histeris.
“Aku benci kamuuuuuu!!!”

Prrraaannnggg

Kali ini Alea sekuat tenaga melemparkan bingkai itu ke dinding kamarnya. Pecah. Hancur. Berkeping- keping.
Seperti hatinya saat ini.
***

“Will you marry me, Alea Gayatri?”
Alea tercengang. Sebuah kotak beludru merah kini disodorkan padanya. Ditatapnya sosok yang memegang kotak itu. Tanpa kedip.
Mulutnya terbuka sejenak, lalu ditutupnya kembali. Tangannya refleks mencubit kedua pipinya. Memastikan ini bukan mimpi.
Kepalanya menggeleng. Bukan, ini bukan mimpi! Ini nyata, Alea!
Didekatkannya tangan kanan di depan dada. Merasakan debar jantungnya yang makin kencang. Makin menggila. Ya Tuhan, untungnya dirinya tak punya penyakit jantung.
“Le,” suara bass lembut menyadarkannya. Masih di tempat yang sama. Tak berubah. Setia menunggu jawaban darinya.
“Are you serious?”
Lelaki itu tersenyum. Senyum yang selalu menggetarkan Alea. Di tiap detiknya senyum itu selalu dirindukan.
“Hanya kamu yang kucintai dan anya kamu yang kuinginkan untuk menjadi istri dan ibu dari anak- anakku. Only you now and forever!”
Hati Alea meleleh. Hangat. Tanpa disadari pipinya sudah basah.
“I love you,” ucapnya tanpa ragu.
“I love you too,” Sahut lelaki itu sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Alea. Membuat Alea semakin merasa dicintai.
“So?”
Alea memukul bahu lelaki itu pelan. Ia tertawa kecil, “Masih tanya lagi!”
“I need your answer, Honey!”
Alea tersenyum tipis. Dengan mantap dianggukkan kepalanya, ”Yes! I will,”
“Thank you, Sayang!”
Kecupan lembut mendarat di kening Alea membuatnya tersenyum senang lalu dirasakan tubuhnya direngkuh kedalam pelukan. Tubuh mungilnya terasa nyaman dan hangat dalam dekapan.
Sungguh bahagia itu sederhana.
Saat dirimu mencintai dan dicintai setulus hati.

***

“Le, kamu yakin dengan keputusanmu?”
Alea mengangguk. Dengan mata yang masih bengkak, ia menemui Karina, sahabatnya yang juga berprofesi sebagai pengacara. Seperti keinginannya kemarin, ia ingin segera bercerai. Maka Karina lah yang didatanginya pagi ini.
“Nggak nyesel?”
Alea terdiam sejenak. Sesal?
Jauh di lubuk hatinya penyesalan teramat dalam dirasakannya. Manusiawi bukan? Dulu ia menyakinkan diri pernikahan yang dijalaninya adalah pernikahan pertama dan terakhir di hidupnya. Ia sekuat tenaga akan berusaha melayani suami dan anak- anaknya. Menjadi istri teladan serta ibu terbaik.
Namun kini?
“Le,” Panggil Karina menyentakkan kesadaran Alea, “Sorry, gue cuma nggak ingin lo gegabah ngambil keputusan. Ini urusannya ke anak- anak juga.”
Alea mengangguk- anggukkan kepala, “Thanks Rin,” Ia tersenyum tipis, sungguh hatinya sendiri masih dilema. Sudah tepatkah keputusannya?
“Gue… gue bingung, Rin,” Alea terisak. Lagi- lagi hatinya terasa teriris. Bayangan laki- laki yang dicintainya tengah memeluk tubuh wanita lain melintas di benaknya. Dadanya sesak. Ia dikhianati. Ia tersakiti.
Karina mengusap- usap bahu sahabatnya lembut, ia sendiri tak bisa membantu banyak. Ini urusan rumah tangga sahabatnya. Pribadi. Bukan kapasitasnya untuk terlalu mencampuri. Sebagai sahabat, ia hanya dapat mendukung semua yang terbaik untuk Alea. Semua keputusan tetap berada di tangan Alea.
“Le, gue rasa lo butuh waktu untuk memikirkan semuanya,”
Alea menghela nafas panjang. Ia terdiam.
Waktu?
Mungkinkah itu yang dibutuhkannya?
***

“Bunda, nangis ya?”
Alea terhenyak. Cepat dihapusnya air mata yang tanpa disadari telah membasahi pipinya. Ia menoleh dan mengulas senyum. Didapatinya Nevan dan Nessa, dua anak kembarnya sudah mendudukkan bokongnya di sofa yang ia duduki.
“Sudah pulang anak bunda?”
Alea memeluk kedua buah hatinya bergantian. Tak lupa mengecup kening keduanya yang sudah menjadi candu baginya. Keduanya anugerah terindah yang Tuhan titipkan kepadaNya. Dan dia bersyukur disetiap detiknya karena memiliki keduanya. Walaupun kehamilan keduanya membuatnya harus bedrest total.
Ia tersenyum miris. Mengingat kehamilannya dulu berarti mengingatkan dirinya akan perhatian lebih yang diberikan suaminya. Apapun yang diinginkannya selalu diberikan. Suaminya pun selalu berada disampingnya, melalui masa- masa sulit di trisemester pertama. Saat itu Alea merasa dicintai dan dilindungi sepenuh hati. Membuatnya bahagia tak terkira.
“Bunda,”
Alea terkesiap. Ia melamun kembali. Lagi- lagi mengingat laki- laki itu.
“Bunda sakit?” Tanya Nessa cemas.
Alea menggeleng cepat, “Nggak. Bunda nggak sakit!”
“Terus?”
Kening Alea berkerut.
“Terus kenapa Bunda diam aja,” cecar Nessa tak sabar.
“Nggak papa. Bunda baik- baik aja. Cuma sedikit…,” Sejenak Alea terdiam berfikir. Mencari kalimat tepat untuk dijadikan alasan, “Ehm…capek.”
“Ya udah, Bunda nggak papa kok,” Alea tersenyum lebar. Memperlihatkan pada kedua anaknya semua baik- baik saja, “Sana gih ganti baju terus makan! Nanti Bunda siapin makannya,”
Nessa mengangguk cepat lalu berdiri, “Ok Bun. Nessa mau ganti baju dulu ya! Udah lapar juga,”
Alea terkekeh. Lalu mengacungkan jempol kanannya, “Sip!”
“Ayo, Bang!” Nessa mengajak Nevan, kembarannya yang sejak tadi memilih diam mendengarkan Ibunya dan saudarinya berbicara.
“Duluan deh. Abang nanti nyusul,” Tolak Nevan. Membuat Alea mengernyitkan dahi. Kenapa dengan Nevan?
“Kok?”
“Udah sana duluan. Kamu kan cewek. Lama!”
Nessa mengedikkan bahu santai, “Ya udah. Aku duluan kalau gitu,” Nessa beranjak pergi menuju kamarnya.
Alea tersenyum menatap punggung putrinya. Anak yang ceria. Lalu diarahkan pandangannya ke anak laki- lakinya yang masih terdiam dengan tatapan menerawang. Alea mendesah. Sulungnya ini memiliki perasaan lebih peka dan peduli. Sepertinya ada masalah yang menggelayutinya.
“Kenapa, Sayang?” Alea mengusap lembut kepala sang anak.
Nevan mendongak. Ditatapnya Bunda yang paling disayanginya melebihi apapun.
“Bunda tadi nangis kan?”
Alea terkejut.
“Bunda nangisin ayah kan?”
Alea pias.
Tak menyangka Nevan mengetahuinya.
“Bunda,”
“Eh itu…,”Alea gugup. Ia mengerjapkan matanya berkali- kali, “Nggak. Bunda nggak nangis kok. Cuma…,”
“Cuma apa?” Potong Nevan cepat.
Alea terdiam sejenak. Berfikir, “Sakit mata,”
“Bunda bohong kan?”
Alea tergagap.
“Nevan inget bunda bilang kita nggak boleh bohong kan?”
Alea memejamkan mata sesaat. Ia menarik nafasnya dalam. Sungguh ia melupakan fakta memiliki putra yang cerdas. Daya nalar Nevan terkadang melebihi pemikiran anak seusianya.
“Nevan tahu Bunda ada masalah sama ayah,”
Alea ternganga. Mulutnya terbuka beberapa saat.
“Bunda sama ayah mau berpisah kan?”
Bahu Alea melorot. Ia makin tercengang. Tak menyangka kesedihan yang ditutupinya dapat terbaca oleh anaknya. Bahkan Nevan mengetahui rencana perceraiannya.
“Nevan,” Alea menguatkan hati, “Bunda…,”
Mendadak ucapannya terhenti. Ia terdiam. Hatinya dilemma memikirkan jika kenyataan sebenarnya disampaikan pada anaknya apakah tidak semakin menyakiti.
“Iya, Kenapa Bun?” Nevan menatapnya penuh harap.
Alea menggeleng, “Nevan nggak usah mikir aneh- aneh. Biar semua jadi urusan bunda sama ayah,”
Keduanya terdiam. Hening.
“Nevan sayang Bunda,”
Sebutir air mata lolos dari mata Alea. Ia tersentuh dengan kalimat yang diucapkan anak laki- lakinya.
“Bunda jangan nangis!” Sebuah tangan mungil mengusap pipinya. Membuat matanya semakin berkaca- kaca, “Nevan nggak ingin lihat bunda sedih,”
Seketika didekapnya tubuh kecil di hadapannya, “Bunda juga sayang Nevan dan Nessa,”
“Kalau gitu Bunda janji jangan sedih lagi.”
Alea mengangguk. Bunda janji, Sayang! Demi kalian. Anak- anak bunda

***

Satu tahun kemudian.

“Maaf,” Lelaki itu menunduk.
Alea terdiam. Ia tatap laki- laki itu dengan saksama. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya. Terlihat dari lingkaran mata yang menghitam. Kusut dan tak terurus. Benar- benar kondisi yang mengenaskan.
“Aku benar- benar minta maaf, Le!”
Alea menghela nafas dalam, “Sudahlah Mas, aku sudah memaafkanmu,”
“Benarkah itu, Le?” Terlihat jelas matanya yang berbinar senang.
“Itu masa lalu, Mas. Sudah lupakan saja!”
Sungguh sebenarnya tak mudah bagi Alea ketika mengatakannya. Namun, waktu pula yang mengajarkannya untuk melupakan masa lalu. Ia harus terus melangkah masa depan.
Laki- laki itu menarik nafasnya, ia tahu takkan semudah itu bagi Alea untuk memaafkan kesalahannya. Kesalahannya terlalu besar. “Le, aku benar- benar menyesal,”
“Mas,” Suara Alea tegas, “ Sudah kubilang aku sudah memaafkanmu. Sudah kita lupakan semuanya,”
Lelaki itu menganggukkan kepala, “Te… terima kasih, Le!”
Alea mengangguk datar. Ia memilih menyesap jus jeruk favoritnya dan mengalihkan pandangan keluar jendela café. Bertemu kembali dengan laki- laki yang pernah dicintai juga menyakitinya bukan hal mudah bagi dirinya. Setahun sudah ia mencoba bangkit dari keterpurukan karena pengkhianatan lelaki ini. Dan kini walaupun ia mengatakan sudah memaafkan, namun tetap perih itu masih ada.
Alea lagi- lagi menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Sudahlah Le, hidupmu sudah jauh lebih baik sekarang.
“Le, bisakah kita…,”
“Ok Mas, kurasakan urusan kita selesai. Aku harus jemput anak- anak.” Alea memutuskan pembicaraan. Ia tahu maksud mantan suaminya. Ia sudah sering mendengar kabar yang menyebutkan lelaki malang itu terpuruk setelah perceraian mereka dan berusaha untuk kembali padanya.
“Aku duluan, Mas!” Alea pamit. Tanpa harus menunggu ucapan balasan lelaki itu, ia sudah berdiri dan beranjak pergi melangkah meninggalkan café.
Sejenak ia tersenyum tipis saat berada di luar cafe. Benarkah sikapnya ini?
Dihelanya nafas dalam. Sudahlah, Le! Waktu mengajarkan padanya arti cinta sesungguhnya. Cinta itu memberikan yang terbaik kepada yang dicintainya. Ia tahu ia gagal dengan cinta diantara dia dan lelaki itu. Namun ia tak pernah gagal mendapatkan cinta dari keluarganya. Cinta kedua orang tuanya yang terus mendampinginya selama ini, cinta sahabat- sahabatnya serta cinta anak- anaknya.
Mengingat si kembar, Alea mengucap syukur dalam hati. Anak- anak terbaik yang dimilikinya. Keduanya yang menyayanginya setulus hati. Tawa dan kecerian mereka adalah obat segala kelelahan Alea.
Terima kasih Tuhan, untuk anugerah terindahnya.

***
“Bundaaaaaa,”
Teriakan kencang menghampiri telinga Alea. Ia pun tersenyum saat mendapati Nevan dan Nessa, sedang berlari kearahnya. Spontan tubuhnya menunduk dan melebarkan kedua tangannya untuk menyambut kedua buah hatinya.
Ketiganya tergelak setelah berpelukan bersamaan. Alea pun menciumi kedua pipi anak- anaknya bergantian.
“Bun, Nessa diajak bu guru ikut lomba nyanyi!” Celoteh Nessa dengan riang.
Alea tersenyum menanggapi,”Wah bagus dong!”
“Uh, suara jelek kayak gitu! Nanti malu- maluin aja!” ejek Nevan. Ia tak bermaksud apa- apa. Hanya sedikit menggoda.
Alea menyadari hal itu. Ia tergelak saat mendapati ekspresi kesal di wajah putrinya.
“Kayak abang bagus aja, week!”
“Lebih bagus dari kamu,”
“Jelek aja! Lagian aku yang diajak bu guru. Bukan abang!”
“Kalau abang yang diajak udah pasti menang masalahnya!”
Alea terbahak mendengar kenarsisan Nevan. Sungguh bahagia itu sederhana. Saat kamu bersama orang- orang yang mencintaimu. Dengan setulus hati tentunya.

= END =


Minggu, 16 November 2014

Mendadak Tunangan (8)


Sebelumnya : 7

Mendadak Tunangan (8)

Kepalaku terasa berat. Seperti ada beban yang diletakkan diatasnya. Pikiranku dipenuhi oleh masalah yang terjadi akhir- akhir ini. Semua berawal dari pertunangannya dengan Akash yang jelas- jelas bukan kemauannya. Lalu liburannya ke rumah Anin, bertemu dengan Raskal serta kemarahan Lula dan terakhir Akash yang memutuskan pertunangan kami. Dia sendiri yang akan langsung mengatakan pada kedua orang tua kami.
Benakku memikirkan ekspresi kekecewaan kedua orang tua terutama mama. Kurasa mama akan sangat kecewa atau justru malah mengomel tak keruan! Namun satu hal yang kuyakini kekecewaan keduanya karena sikapku selama ini pada Akash.
Argh, Aku mendesah frustasi.
“Nih minum!”
Aku menoleh dan melihat Anin tengah mengulurkan sebuah mug putih polos didepanku. Aku melirik sejenak lalu meraihnya. Hmm… coklat!
“Dingin- dingin enaknya yang anget,” celetuk Anin seraya mendaratkan pantatnya di sofa yang kududuki. Tangannya juga menggenggam sebuah mug. Sesekali ia terlihat menyesap minuman itu.
Thanks,” Ucapku sembari ikut menyesap minuman. Hangat!
Anin hanya menganggukkan kepala dan selanjutnya keheningan melingkupi kami. Kurasa Anin ingin menanyakan sesuatu namun ia menahan hasrat ingin tahunya. Ia berusaha memahami kondisiku sepertinya.
“Maaf,” Suaraku lirih.
Anin berhenti menyesap minumannya lalu menatapku, “Semua gara- gara  gue kan?”
“Olin,” Anin meletakkan cangkir mugnya di meja yang berada di depan kami lalu mengusap- usap lembut bahuku.
Mendadak mataku memanas, “Apa yang gue lakuin salah, Nin? Apa gue nggak boleh bahagia?”
Sebutir air mata lolos di pipiku. Sepertinya aku benar- benar tertekan dengan keadaan saat ini. Salahkah jika aku ingin bahagia?
“Its Ok, Lin. Gue ngerti!” Ucap Anin seraya menenangkan, “Lo harus tenang,”
Aku menggeleng, “Gue nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di Jakarta, Nin? Akash memang mutusin pertunangan. Gue nggak kebayang orang tua gue sekarang? Terutama nyokap.”
“Sabar Lin. Semua masalah pasti selesai!”
Aku menarik nafas panjang, “Sepertinya gue harus balik. Kalaupun Akash mau mutusin pertunangan gue harus ada disana,”
Anin menatapku, “Lo yakin mau balik?”
Kuanggukkan kepala mantap, “Harus, Nin. Gue nggak bisa biarin Akash nyelesein sendiri!”
“Raskal?”
Aku terdiam sesaat. Raskal? Apa yang harus kulakukan padanya?
“Lo suka sama dia?” tanya Anin lagi.
“Gue nggak tahu, Nin. Tapi yang gue tahu gue nyaman sama dia.” Jawabku jujur.
“Kalau gitu sebelum pergi lo harus ngomong sejujurnya sama dia. Apapun resikonya!”
Apapun resikonya? Huff, sepertinya aku harus siap bila akhirnya Raskal kecewanya denganku.
“Ehm…,” Anin menatapku ragu. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
“Kenapa, Nin?”
Anin melirikku takut- takut, “Ehm,” Ia terhenti lagi lalu menghela napas panjang, “Gue mau lo tahu yang sebenarnya walaupun sebenarnya gue udah janji nggak akan bilang,”
“Soal?” sebelah alisku terangkat,
“Akash,”
Aku terdiam.
“Sebenarnya Akash sayang sama lo, Lin!”
Nafasku tercekat. Akash sayang aku?
“Akash sayang sama lo udah lama. Asal lo tahu selama ini cewek- cewek itu juga yang nembak Akash duluan, dia nggak enak nolak. Lagian lo juga nggak peduli dengannya. Makanya pas nyokapnya nawarin pertunangan sama lo, dia senang banget. Mungkin ini jalannya dia bisa nunjukkin sayangnya sama lo, tapi lo nya jutek banget sama dia,”
Aku menatap Anin tak percaya. Jadi selama ini…
“Pas kemarin dia lihat lo jalan sama Raskal dan bahagia banget, baru dia sadar kalau lo emang nggak suka sama dia. Makanya dia mundur,”
Lagi- lagi air mataku jatuh.  Spontan aku menutup mulut dengan tangan kananku. Tak menyangka mendengar penuturan Anin, berarti aku menyakiti Akash.
“E…lo tahu darimana?”
Anin menghela nafas, “Dari Akash sendiri. Dia cerita banyak sama kita,”
“Kita?”
“Gue sama Lula,”
Seketika aku menyadari sikap Lula yang semakin kesal dengan sikapku. Ternyata ia sudah mengetahui semuanya. Wajar saja ia berada dipihak Akash, karena Akash sudah mengatakan semuanya.
“Sorry Lin,”
Aku menggeleng. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih pada Anin karena ia telah mengatakan yang sebenarnya. Sesuatu yang selama ini tertutup.
“Gue justru makasih sama lo, Nin,” Kataku tulus dan meraihnya dalam pelukan. Sepertinya kembali ke Jakarta adalah keputusan terbaik. Bagaimanapun semuanya harus diselesaikan.
= Mendadak Tunangan =

 “Jadi selama ini kamu itu sama Akash tunangan?”
Kepalaku tertunduk dan mengangguk. Entah bagaimana ekspresi yang ditunjukkan Raskal setelah kuceritakan tentang semuanya.
“Maaf,” ucapku lirih.
Raskal menghela nafas dalam, “Dan sekarang batal?” tanyanya.
Aku mengangguk lagi, “Sebelum kembali ke Jakarta, Akash bilang begitu!”
“Kalau begitu kamu bebas dong sekarang?”
Aku mengedikkan bahu, “Ya begitulah,”
“Berarti aku bebas deketin kamu dong!” Aku melongo. Raskal bukan marah karena ketidakterusteranganku beberapa waktu lalu justru kini senyum seringai tersungging di bibirnya. Dan apa yang di bilangnya tadi, dia bisa bebas deketin gue? Emang kapan gue terkurung?
“Kamu nggak masalah kan kalo aku ngedeketin kamu kan?
“Eh itu, nggak eh…!” Damn, kenapa gue gugup. Kuhela nafas dalam, “Lo nggak marah karena gue nggak jujur dari awal,”
“Marah?” Sebelah alisnya terangkat, “Buat apa? Toh sekarang kamu single, Sayang?”
“Oh,” Mulutku membulat.
“Sekarang aku mau kamu jujur!”
Keningku berkerut menatap Raskal. “Jujur?”
Tiba tiba kurasakan kedua tanganku diraihnya. Dikecupnya sesaat, membuatku membelalakkan mata.
“Aku sayang kamu, Olin.”
Aku menelan ludah. Pernyataan cinta lagi?
“Aku pernah bilangkan aku suka sama kamu dari pertama kali kita ketemu?” kuanggukkan kepala, “Will be my girlfriend?”
Mataku membulat sempurna. Baru beberapa menit berlalu aku menceritakan kebenarannya kini ia memintaku menjadi kekasihnya. Oh My God,
Ia kini menatapku dengan senyum tersungging. Tatapannya yang teduh dan lembut membuat hatiku menghangat. Kurasa pipiku berubah warna.
Aku menarik nafas panjang. Perlahan melepaskan genggaman. Aku tahu Raskal terkejut dengan tindakanku.
“Gue rasa gue perlu menyelesaikan semua masalah di Jakarta, Kal. Gue nggak mau kalau semua belum jelas,”
Raskal mengangguk, “Aku ngerti,”
“Dan…,”
“Dan apa?” tanya Raskal tak sabar.
“Lo yakin dengan gue. Karena selanjutnya kita bakal berjarak. Lo disini gue tetap di Jakarta.”
“Nggak masalah kalau kita LDRan,”
Aku mengernyit, “Serius?”
“Iya, nanti setelah lulus gue bakal pindah ke Jakarta. Gue cari kerja disana dan kita pasti sering ketemu,”
Aku tersenyum tipis, “Thanks,”
Ia mengacak rambutku pelan, “Its Ok!”
“Tapi gue rasa semua harus dipertimbangkan baik- baik, Kal. Gue sendiri harus mastiin perasaan gue sebenarnya,”
Raskal tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku, “Aku akan selalu nunggu,”
Kugelengkan kepala lalu menangkupkan kedua tanganku di pipinya, “Jangan Kal, jangan nunggu gue! Biarkan semuanya mengalir. Gue nggak mau ngejalanin karena terpaksa.”
Raskal mengangguk dan menghembuskan nafasnya pelan, “Baiklah, terserah kamu! Yang penting kamu tahu aku sayang kamu.”
Aku tersenyum dan mengurai kedua tangan dari pipinya, “Thanks, Kal!” pandanganku beralih ke depan. Kurasa ini keputusan terbaik. Untuk saat ini menerima pernyataan cinta Raskal, bukan hal yang harus kulakukan. Tidak harus terburu- buru. Aku harus menyelesaikan kekacauan yang kubuat, pertunangan yang dibatalkan serta luka Akash.
Akash?
Mengingatnya justru membuatku didera perasaan bersalah. Aku menyakitinya. Ketidakterusterangannya membuatku melukainya. Aku tak pernah menyangka ia menyayangiku sejak dulu. Andai saja Anin tak menceritakan semuanya. Namun disisi lain aku boleh berbangga akan sikapnya, melepaskan orang yang dicintainya untuk bahagia dengan lelaki lain.
Kuhirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Raskal, Akash. Keduanya mempunyai cara berbeda untuk mencintaiku.
-end-

Epilog

 Lima tahun kemudian
Kenapa lama sih ya?” Aku menggerutu kesal saat melihat sosok laki- laki di depanku.
Sosok itu nyengir. Kurasa ia sedikit merasa bersalah. Sedikit ya? Karena selanjutnya yang kulihat tampangnya tak merasa bersalah.
Uh, aku manyun.
“Udah ah, jangan manyun! Jelek!”
Aku semakin mencibir, “Jelek- jelek juga kamu cinta kan!”
Lelaki itu tertawa lebar lalu mengulum sebuah senyuman. Tangannya mengacak rambutku, “Itu tau!”
Seketika amarahku menguap. Kekesalanku karena menunggunya yang terlalu lama pun pupus sudah. Entah mengapa aku justru tertawa melihat ekspresi wajahnya. Sungguh aku tahu, sorot matanya memperlihatkan rasa sayang dan cinta  yang sedemikian besar.
Thanks God, untuk kehadirannya dalam hidupku. Terima kasih untuk rasa cinta yang demikian besar.
Tiba- tiba kurasakan sebuah benda melingkar di jari manisku. Aku tertegun sejenak. Ini…
“Will you marry me?”
Mulutku terbuka seketika. Aku kaget. Sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. Baru beberapa bulan ia kembali lagi ke hidupku. Mengejar cintaku hingga melakukan apapun untukku. Membuatku akhirnya luluh akan sikap dan perhatiannya. Tapi hubungan ini baru berjalan beberapa bulan.
“I…ni…,”
Bibirku kelu. Otakku mendadak blank.
“Aku pernah melakukan kesalahan dengan meninggalkanmu lima tahun lalu. Sekarang aku mau menebus semuanya, Lin. Aku ingin bahagiain kamu. Selamanya.”
Sebutir air mata lolos jatuh ke pipiku. Aku tahu ia mengatakan dari hatinya yang paling dalam. Lima tahun kami harus berjauhan. Menanggung sakit yang sama- sama terasa.
“Ka…mu se…serius?”
“Kamu lihat aku bercanda?”
Aku terkekeh sesaat. Sempat- sempatnya disaat begini ia melontarkan candaan. Tapi aku juga yang salah menanyakan hal yang sudah tak perlu ditanya. Mana ada orang melamar tidak serius bukan?
Masa depan jaminannya.
Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “I do.”
Dia tersenyum lebar lalu mengecup jemariku. Direngkuhnya diriku dalam tubuh tegap miliknya. “Thank you, Sayang. Kamu buat aku bahagia.”
Aku mengangguk. “Aku juga bahagia.”
“Kupastikan nyonya Akash akan berbahagia seumur hidupnya. “
Aku tersenyum tipis. Aku yakin ia akan menepati janjinya, karena seumur hidupnya hanya aku yang dicintainya. Meski lima tahun lalu kesalahpahaman terjadi diantara kami hingga harus memisahkan kami, toh pada akhirnya waktu jualah yang menyatukan kami kembali.
Mau kuceritakan?
Tapi itu panjang sekali. Biarlah hari ini kunikmati terlebih dahulu kebahagian kami. Nyonya Akash? Not bad.

*** 


Terima kasih telah berkunjung blog saya

Rabu, 12 November 2014

Mendadak Tunangan (7)


Sebelumnya : 6


Mendadak Tunangan (7)

“Kita sebenarnya mau kemana sih?”
Pertanyaan ini sudah kesekian kalinya aku tanyakan kepada lelaki yang duduk di sebelahku. Ia hanya tersenyum menolehku sesaat, lalu memfokuskan kembali pandangannya ke jalan.
“Kal,” sungutku kesal.
Raskal. Yah, hari ini tetangga Anin ini sukses membuatku mengikutinya. Salah tepatnya menculikku. Awalnya ia menelponku, memintaku menemuinya di depan rumah Anin. Dan tak butuh lama ketika aku keluar rumah, ia mendorongku masuk ke mobilnya. Dan hampir setengah jam berlalu, kami masih belum tiba di tempat tujuan.
“Santai Lin, nanti juga sampai kok!”
Aku mendengus gusar. Sepertinya diam lebih baik. Sejenak kulirik Raskal yang serius di balik kemudi. Kupikir ia memang mempunyai daya pesona yang besar. Hanya mengenakan kaos berwarna biru tua polos dan jeans hitam, ia terlihat menawan. Bila Raskal terlihat menawan dan jantan, sedangkan Akash terlihat tampan dan tidak membosankan.
Akash?
Mendadak aku teringat kata- katanya kemarin. Hormati pertunangan kami! Huff, harusnya dia juga menghormatinya bukan? Jadi selama ini siapa yang tidak hormat?
“Udah sampai, Lin,”
Aku tersentak. Raskal memicingkan matanya menatapku.
“Ayo turun,” ajaknya lagi. Kuanggukkan kepala lalu mengikutnya turun dari mobil.
Kupikir Raskal akan mengajakku ke pantai, seperti waktu itu. Namun ternyata ia mengajakku ke salah satu area wisata outdoor. Pepohonan hijau tinggi menjulang mengitari di sekeliling area. Sejuk dan segar.
“Gue pikir lo ngajak gue ke pantai lagi,”
Raskal mencibir, “Kamu pikir disini nggak asyik gitu!”
Sebelah alisku terangkat, “Kalau gitu buktiin disini asyik,”
Raskal tersenyum lebar, “Ok Lady, aku janji bikin kamu nggak nyesel!”
Kuacungkan jempol kananku, “Sip.”
Raskal menepati janjinya. Ia membawaku berkeliling kawasan wisata. Melihat beberapa binatang- binatang yang dipelihara di area. Menikmati beberapa kegiatan memacu adrenalin seperti flying fox. Aku menjerit senang saat mencobanya. Hingga akhirnya tak terasa waktu sudah menjelang sore, membuatku dan Raskal harus pulang.
“Seru kan?”
Saat ini aku dan Raskal sedang menikmati santap siang yang tertunda. Yah karena asyik bermain, kami melupakan makan siang.
Kuanggukkan kepala menjawab pertanyaan Raskal. Mulutku masih mengunyah gurame bakar yang benar- benar sangat lezat menyentuh lidah.
“Laper, Non!”
Aku mendelik. Uh, ia menggodaku.
“Enak banget, Kal!” kataku kemudian setelah menelan makanan.
Raskal tersenyum, “Ya ya ya! Sudah lanjutkan makannya,” ujarnya seraya menyesap orange juicenya.
= Mendadak Tunangan =

 “Lo harus ngomong sama Raskal?”
Aku mendengus gusar. Lagi- lagi Raskal?
Kuputar bola mata jengah, “Udah deh, La. Entar juga gue bilang?”
“KAPAN?”
“Nggak usah pake teriak bisa?” Balasku tak kalah sewot. Sejujurnya aku tersinggung dengannya. Sudah dua hari mendiamkanku, kini malah berteriak. Bukan Lula, sahabatku.
“Gue nggak suka punya sahabat yang plin- plan. Nggak bisa jaga komitmen,”
“E…Lo…,”
“Lo sadar nggak sih seharian pergi sama cowok lain padahal tunangan lo jauh- jauh datang tapi lo cuekin. Walaupun lo nggak suka ditunangin tapi lo nggak juga harus ngebiarin Akash kayak anak ilang disini,”
Aku tercekat kaget saat mendengar kata- kata Lula. Lula mengingatkanku dengan kata- katanya yang tajam, namun benar. Aku melupakan fakta sejak kedatangannya kemarin Akash justru masih berdiam diri di rumah. Dan kemarin aku malah menghabiskan waktu seharian dengan Raskal.
“Udah deh kalian ini kenapa ribut aja sih,” Anin yang baru tiba berusaha menengahi kami. Aku membuang muka. Tak enak hati juga ribut di rumah orang.
“Gue balik besok, Nin!”
Kontak aku terbelalak. Kaget. Kurasa Anin juga sama terkejutnya dengan ucapan Lula.
“Ya La, kan masih seminggu lagi katanya lo disini,” tawar Anin. Aku memilih diam mendengarkan.
“Sorry Nin, gue ada urusan,” Aku yakin alasan Lula dibuat- buat. Justru kurasa aku penyebabnya.
“Ya Lula mah,” Anin masih merajuk.
Lula tersenyum tipis, “Maaf deh Nin, next time gue kesini lagi,” lalu Lula memandangku, “Sorry Lin, gue balik duluan!”
Aku melongo. Bukan- bukan karena kalimatnya yang terkesan datar dan dingin tapi lebih ke sikapnya yang langsung berbalik pergi meninggalkanku tanpa menunggu aku berbicara. Ya Tuhan, Lula benar- benar marah!
Kutatap Anin. Ia hanya mengangkat bahunya. Argh, bagaimana ini!
= Mendadak Tunangan =

Langit malam ini sangat indah. Beberapa bintang terlihat terang. Namun tak seperti hatiku. Gundah tak tentu. Semua gara- gara kata- kata Lula.  Rencana kepulangannya yang mendadak, diluar jadwal yang sudah kami susun mau tak mau membuatku gelisah. Aku yakin pasti Lula marah karena kebersamaanku bersama Raskal seharian kemarin.
Raskal. Mengingat lelaki itu membuatku tersenyum- senyum. Raskal membuatku selalu bahagia dengan segala sikapnya. Ia selalu memberikan yang terbaik untukku. Menjadikanku selalu yang pertama. Gelak tawa selalu mewarnai saat aku bersama dengannya.
Aku terlalu nyaman bersamanya, hingga tak kuasa mengatakan tentang status pertunanganku. Aku terlalu takut bila kukatakan sejujurnya, ia akan membuat jarak diantara kami. Aku takut bila kenyamanan saat bersamanya menjadi berakhir.
“Gue minta maaf,”
Aku terhenyak.  Akash?
Kini ia mengambil posisi di sampingku. Matanya lurus memandang ke depan. Dengan hati- hati dihelanya nafas dalam membuatku mengernyitkan dahi sejenak.
“Untuk?”
“Semua. Gue rasa gue malah banyak bikin lo kesel,”
Aku berdecih, “Sadar?”
“Besok gue balik!”
Hah! Apa katanya?
“Balik?”
Akash mengangguk, “Iya bareng Lula juga,”
Kepalaku mengangguk beberapa kali. Aku memilih diam. Toh keinginannya sendiri untuk pulang.
“Dan pertunangan kita batal,”
Aku terperangah. “Mak…maksudnya?”
“Sudah nggak ada yang harus dibahas kan!” Akash beranjak berdiri, “Kita nggak ada ikatan sekarang! Dan maaf untuk semuanya!”
Akash melangkah meninggalkanku yang masih bengong dan  mencerna ucapannya.
Jadi tunangan dibatalkan? Dan gue bebas!  Tunggu? Mengapa ada sakit di hati ini?
= Mendadak Tunangan =

 “Yah, kok lo sebentar banget disini, Kash?” Protes yang meluncur dari bibir Raskal saat mendapati pagi ini Akash, Lula dan Langga tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Sepertinya Anin meminta bantuan Raskal untuk mengantar mereka ke terminal. Lagi- lagi jalur darat menjadi pilihan ketiganya.
Kulirik Akash tersenyum kecut, “He, gue ada urusan lagian kasian Lula balik sendiri!”
“Lah lo nggak kasian sama Olin. Dia juga sendiri!” Kali ini Anin yang berkomentar. Aku meliriknya sinis. Apa- apaan sih dia?
“Kalau Olin tenang aja, Nin. Gue senang hati mengantarnya sampai depan rumah,”
Aku mencibir mendengar perkataan Raskal. Gombal. Aku menatapnya yang ternyata juga sedang menatapku. Lalu bibirnya menyunggingkan senyuman merona seketika.
“Ya udah yuk berangkat! Panas lama- lama disini!”
Mak jleb.
Aku yakin sekali ucapan Lula ditujukan ke diriku. Aku manyun. Jutek amat sih dia? Belum tahu kalau aku sudah bukan tunangan Akash lagi. Tunggu saja hingg kuberitahu yang sesungguhnya!
Ekor mataku menangkap Akash yang tengah menatapku lalu menghela nafas dalam. Membuatku merasa tak nyaman. Namun saat kuarahkan pandangan menatapnya, ia justru membuang muka.
Aku menggigit bibir. Maaf Kash, bisikku lirih.

= Mendadak Tunangan =

Sebelumnya : 8