Sabtu, 21 Mei 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (16)



Enam Belas

sebelumnya di sini

“Bagaimana cantik kan?”

Mirah ternganga. Dia sungguh kehabisan kata- kata. Kalung yang baru saja dikenakan Dae Ho di lehernya memang sangat indah. Bentuknya sederhana tapi bandul berbentuk bulat, berwarna merah di tengahnya terasa cocok di leher putihnya.

“I—ni?”

“Untuk istri saya yang cantik,” Dae Ho mencium pipi Mirah. Diawal Mirah sempat terkejut, tetapi tak lama senyum mengembang di bibirnya. Sungguh, perlakuan Dae Ho sangat romantis. Setelah seharian mereka habiskan dengan jalan- jalan ke pantai, kemudian makan malam berdua, sekarang Dae Ho memberinya hadiah yang bahkan Faisal pun tak pernah melakukannya.

Ah, sayang dirinya hanya istri kontrak.

Kamis, 19 Mei 2016

[Cerpen] Kita Pisah, Kita Beda



Kita Pisah, Kita Beda



 “Mbak Rissa!”
Langkahku yang hendak menuju kamar terhenti. Aku berbalik dan mendapati Bu Ayu, pemilik kostku melangkah terburu- buru menghampiriku.
“Maaf ini, Mbak.” katanya sesaat setelah di hadapanku. “Ibu lupa. Kemarin ada kiriman untuk Mbak Rissa.”
“Kiriman?” Dahiku berkerut. Bu Ayu mengangguk dan menyodorkan amplop coklat yang sedari tadi dipegangnya.
“Iya. Nih!”
Spontan aku membaca nama pengirim dalam amplop. Seketika tubuhku menegang. Nafasku tercekat seketika.
“Aku mau nikah, Ris!”
“Oh,”
“Kamu ikhlas kan?”
“Ya ikhlas lah,” tawaku sumbang. “Ngapain juga aku nggak ikhlas sih.”
“Mbak Rissa!”
Aku terhenyak. Panggilan Bu Ayu menarik kesadaranku. Aku pun mengerjap seraya memamerkan senyuman kepada Bu Ayu.
“Mbak Rissa nggak papa?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak. Aku nggak papa kok, Bu. Makasih ya,” ujarku sembari mengangkat amplop cokelat pemberiannya.
Bu Ayu mengangguk. “Kalau gitu aku masuk dulu, Bu.” Aku berpamitan kemudian.
“Iya. Sekali lagi maaf ya, Mbak baru dikasih sekarang.”
“Nggak papa kok, Bu.” Senyumku terulas. Lagipula nggak dikasih justru lebih baik untukku.
***
Galih Handaru.
Kuhempaskan tubuhku di ranjang seraya menghembuskan nafas dengan kencang. Pada akhirnya kamu meninggalkanku, Ru, bisikku dalam hati.
Aku melirik amplop cokelat yang berada di tangan kananku. Perlahan kuangkat dan kuterawang. Tak nampak apapun, namun aku tahu isinya. Si pengirim sudah meneleponku beberapa hari lalu.
“Bener kamu ikhlas?”
Aku tertawa kembali. “Ya ikhlas lah, Ru. Nikah itu ibadah kan kata kamu? Apa dulu kamu bilang separuh dien.”
“Lagian ya pernikahan itu suatu kabar baik, Ru. Kamu bahagia, aku juga pasti bahagia.”
Munafik!
Aku mencibir dalam hati. Rissa pembohong ulung!
Bahagia?
Ah, kata itu terdengar menyakitkan sekarang.
Tiba- tiba dering ponsel terdengar. Aku tersentak. Perlahan kutegakkan tubuh dan meraih tas kuletakkan di atas nakas. Aku mengernyit saat melihat deretan angka di layar ponsel.
Siapa?
“Kamu sudah terima undanganku?”
Deg.
Jantungku berdegup kencang mengenali suara ini. Galih Handaru. Ndaru.
“Aku kirim pakai paket kilat. Udah sampai belum, Ris?”
“Eh? U—udah, udah.” jawabku gugup.
Ya Tuhan, kenapa dia menghubungi lagi sih?
“Lalu?”
“Hah?” Aku blank. Kerja otakku sedikit melambat karena suara Ndaru. Masih tak percaya sekaligus bingung.
“Kamu datang ke nikahanku kan?”
Aku terbelalak seketika. Bertemu dengannya pasca putus adalah hal yang paling kuhindari. Dan karena hal ini pula aku memutuskan merantau ke ibukota, meninggalkan kampung halaman yang mengingatkan banyak kebersamaan kami. Dan sekarang dengan gampangnya dia berkata agar aku dapat datang ke pernikahannya.
Ya Tuhan, itu sih sama saja aku membuka luka lama.
“Carissa.”
“Eh. A—aku nggak tahu, Ru.” Kuhela napas dalam- dalam sebelum akhirnya melanjutkan bicara, “Kerjaanku kan banyak. Apalagi akhir bulan. Jadi aku nggak yakin kalau bisa pulang.”
“Kamu nggak lagi menghindar kan, Riss!”
Sial, gerutuku dalam hati. Apa dia menyadarinya?
“Nggaklah! Kan aku bilang kalau kamu senang ya aku juga senanglah. Lagian itu juga acara baik jadi kenapa aku harus menghindar,” cerocosku menutupi ketegangan yang terjadi.
Pembohong kamu, Riss!
“Oh kupikir kamu menghindariku?” ucap suara di seberang. Aku memejamkan mata sejenak. Sepertinya dia sudah move on dibanding aku.
Ah, mengapa fakta ini terasa menyesakkan.
“It’ s Ok kalau gitu. Tapi usahakan datang ya, Riss. Aku kan juga pengen kamu datang.”
Aku mengangguk namun detik kemudian tersadar jika dia tak bisa melihatku. “Ok. Kuusahakan tapi nggak janji ya.” Ucapku basa- basi.
“Ok.”
Dan sambungan pun tak lama terputus. Menyisakan diriku yang hanya bisa tersenyum getir. Ck, kapan kamu bisa melupakannya, Riss!
***
“Rissa!
Aku celingukan mencari sumber suara. Detik selanjutnya aku ternganga menemukan Ndaru, laki- laki yang telah setahun kukenal berada di panggung kecil yang berada di sudut café. Ia duduk di atass sebuah kursi dengan tangan memegang sebuah gitar. Wajahnya berbinar menatap ke arahku.
Tunggu apa yang mau dia lakukan?
“Selamat malam semua. Saya Galih Handaru. Malam ini akan bernyanyi khusus untuk seorang gadis yang tengah berdiri di ujung sana.”
Aku dapat merasakan wajahku memanas karena kata- kata Ndaru. Tangannya yang menunjuk ke arahku membuat semua mata kini mengarah hanya kepadaku.
Ndaru sial…
“Rissa, lagu ini buat kamu!”
Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan
Dahiku berkerut. Lagu ini kan?
Mendadak jantungku terasa berdegup kencang. Siapapun mengenal baik lagu ini dan Ndaru menyanyikan lagu ini khusus untukku. Jangan- jangan…
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang, untuk katakan cinta...
Jadikanlah aku pacarmu, kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu, iringilah kisahku...
Tatapan Ndaru yang tak lepas ke arahku  selama menyanyi membuatku tersipu.Wajahku memerah. Ya Tuhan, lelaki ini…
Aku memilih diam, menikmati alunan suara merdu Ndaru sambil sesekali menarik napas panjang. Untuk apa Ndaru menyanyikan lagu ini?
Tak lama Ndaru mengakhiri suara merdunya lalu tersenyum. Matanya masih menatapku dengan lembut  dan dengan lirih berkata,
“Would be my girlfriend, Riss?”
***
Kuhela napas dalam- dalam saat kakiku melangkah keluar mobil yang kukendarai. Aku menatap lekat- lekat gedung yang sudah dihiasi dekorasi pernikahan. Di sisi kanan berderet bunga papan yang berisi ucapan selamat sukacita.
Selamat menempuh hidup baru Galuh& Hanna
Aku tersenyum tipis. Di suatu masa lalu, aku pernah menginginkan namaku yang bersanding dengan nama Ndaru. Manusia selalu berencana tapi tetap Tuhan yang menentukan. Pada akhirnya bukan namaku yang tertulis di sana.
“Rissa!”
Aku menoleh saat mendengar namaku dipanggil. Tak lama aku tersenyum saat menemukan si pelaku. Anindito, salah seorang sahabatku yang juga telah lama mengenal Ndaru.
“Datang ke nikahan mantan susah kali ya,” Aku mengenal Dito sudah bertahun- tahun dan tahu kalau ia tengah menggodaku.
Aku nyengir. “Gagal move on dong gue kalau nggak datang,”
Ck,bohong lagi, Riss, cibirku dalam hati.
“Well, kalau gitu gue asumsikan lo udah nggak ada perasaan apa- apa nih sama Galuh.” Kekeh Dito.
Bahuku mengendik tak menanggapi ucapannya. Aku memilih mengalihkan topik pembicaraan. “Lo baru datang apa udah mau balik?”
“Baru. Yuk bareng masuknya!”
Aku mengangguk dengan bibir mencebik. “Aelah jomblo ni ye!”
“Sialan lo, Ris!” umpat Dito sambil menyeringai. “Lo harusnya bersyukur karena gue lo nanti di dalam nggak salting- salting amat.”
Aku mendelik. “Ck, rusuh lo, Dit!”
Tapi harus kuakui kebenaran kata- kata Dito. Memang karena keberadaannya aku bisa bersikap lebih rileks dan santai. Pun saat menyalami kedua mempelai, canda Dito dapat mengurangi ketegangan yang ada dalam diriku.
“Selamat ya, Ru.” Senyumku saat menyalami Ndaru.
Thanks ya Riss, udah mau datang.”
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu bergegas menyalami istrinya. Tak perlu basa- basi dan banyak bicara, karena memang sudah tak ada hubungan apa- apa lagi diantara kami. Hanya ucapan selamat serta doa tulus untuk kebahagiaannya.
Ya, kebahagiaannya. Kebahagiaan Ndaru dan istrinya, karena selamanya aku takkan pernah bisa mendampinginya. Kami berbeda. Keyakinan tak sama. Dan takkan pernah sama. Aku menghormati Ndaru pun dengan dirinya. Jadi berakhir adalah keputusan terbaik.
“Galau, Riss?”
Aku menoleh lalu menggeleng. “Jujur ya, Dit. Awalnya pasti berat tapi entah kenapa gue sekarang lebih lega,”
Dito mengernyit. “Wajah Ndaru terlihat lebih bahagia. Bukan gue bilang pas sama gue nggak bahagia ya, tapi sekarang Ndaru nggak harus konfrontasi sama keluarganya kan?” sambungku yang membuat Dito manggut- manggut.
“Well, dia bahagia masa gue kalah sih,”
Dito tertawa. “Jadi ikhlas nih?”
Aku mengangguk perlahan. “Harus dong!”
“Oke kalau gitu, nih kan banyak cowok cakep ya. Kayaknya ada beberapa gue lihat klien gue deh. Mau gue kenalin?”
Aku terbahak. “Boleh. Siapa takut?”
Dan tak lama tawa kami berdua terdengar. Waktu takkan mampu membuatmu melupakan seseorang namun waktu mampu membuatmu mengikhlaskannya.
***
Lampung, Mei 2016

Selasa, 17 Mei 2016

[Cerpen] Yang Sulit Terlupa




Yang Sulit Terlupa

“Oi Ta! Mantan lo nih udah ganti PP berdua sama cewek nih. Lo kapan?”
Hah?

Aku melongo sesaat. Bingung dengan ucapan Natasya, sahabatku. Sampai akhirnya ketika dia menyodorkan laptopnya ke arahku, aku baru paham.
Deg.
Rasanya sesak.
“Apaan sih lo?” kataku dengan raut masam. Kusorongkan kembali laptop ke hadapan Natasya. “Nggak penting tauk!” lanjutku ketus.
“Yakin nggak penting?” goda Natasya. “Lo kan produk gagal move on, Ta.” Imbuhnya seraya terkikik geli.

Minggu, 15 Mei 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (15)

Lima Belas

sebelumnya di sini

Senyum berkembang di bibir Mirah sepeninggal Dae Ho berangkat kerja. Ia harus bersiap pergi. Sudah nyaris dua minggu, ia bekerja di sekolah TK milik Kanaya. Rasanya begitu menyenangkan. Entah karena memang pekerjaannya yang tidak terlalu berat atau dirinya yang memang menyukai tempatnya bekerja. Lingkungan kerjanya kini memang dirasakan cukup nyaman bagi Mirah. Selain Kanaya yang sejak awal memang sudah bersikap baik, para pengajar pun tak kalah ramah. Mirah senang bergaul dengan mereka. Orang- orang yang berpendidikan tetapi tidak sombong.

“Pagi, Mbak Mir!”

“Eh Mbak Mirah, selamat pagi.“

Mirah tersenyum dengan sapaan dua pengajar saat ia tiba di sekolah. Kepalanya pun mengangguk sekilas, “Pagi Miss Mina, Miss Lilian.”

Ada enam pengajar yang bekerja di sekolah milik Kanaya. Keenamnya masih terbilang muda. Mirah menebak usia mereka mungkin hanya terpaut beberapa tahun, bisa lebih tua atau lebih muda. Mirah tidak tahu, karena itu bukanlah hal penting. Cukup baginya dia dihargai meski bukan seorang pengajar.

“Mbak Mirah ini rajin banget datang pagi, itu suami nggak masalah Mbak?”

Eh?

Mirah yang hendak meletakkan tas di atas meja menoleh. Statusnya yang sudah menikah memang pernah dikatakan saat seorang pengajar bertanya. Ia tak mungkin berbohong, tetapi mengingat ucapan Nena, Mirah pun berusaha menyembunyikan jati diri Dae Ho yang sebenarnya.

“Kan dia juga kerja,” jawab Mirah lirih.

“Berangkatnya lebih pagi ya, Mbak?”

Mirah mengangguk perlahan. “Iya.” sahutnya pendek.

“Berarti Mbak Mirah bangunnya pagi banget dong ya buat nyiapin keperluan suami,”

Mirah lagi- lagi mengangguk. Ia kini duduk dengan gelisah. Membicarakan tentang suami membuatnya tak nyaman. Sekali berbohong akan ada banyak kebohongan lain yang mengikuti.

“Jangan kaget ya Mbak kalau Lilian ini nanya- nanya suami udah kebelet nikah sih dia,” celetuk Mina, pengajar lain.

“Ya siapa sih nggak mau nikah, Miss. Miss Mina juga kan?” Lilian terkikik geli. “Eh kapan akhir tahun ya?”

Mina tertawa dan mengangguk. “Insyaallah. Rencananya begitu.”

“Ya mudah- mudahan dilancarkan acaranya. Tapi abis itu Miss Mina nggak ngajar lagi dong,”

“Nggak. Calon suami aku maunya setelah nikah aku di rumah aja. Full jadi Ibu rumah tangga,”

“Emang nggak sayang, Miss?”

“Ya sayang sih, tapi sebagai istri kan kita wajib patuh sama suami. Ya udah lagian nggak masalah juga buatku.”

“Laki- laki ya! Macem- macam. Tapi aku mau deh suamiku nanti kayak suami Mbak Mirah. Nggak masalah kalau istrinya kerja. Iya kan Mbak?”

“Eh?” Sejak tadi Mirah diam sembari mempersiapkan lembar absen yang akan digunakan oleh pengajar hari ini. Ia mendengar percakapan antara kedua pengajar, tetapi memilih bungkam karena memang ia enggan terlibat lebih jauh. Cukup tahu saja. Maka ketika Lilian menyebut dirinya, ia agak sedikit bingung.

“Mbak itu loh enak punya suami yang ngerti kalau istrinya mau kerja. Kan ada banyak laki- laki yang mau istrinya dirumah aja. Lah aku tuh senang banget ngajar di sini. Kan sayang kalau nikah disuruh berhenti.” Cerocos Lilian kembali.

Mirah manggut- manggut. Ia mendesah karena topic suami belum juga berganti. “Kan orang beda- beda, Miss. Laki- laki juga pasti ada alasan melarang istrinya kerja. Mungkin supaya lebih fokus dalam mengurus anak- anak.“

“Iya sih,” Lilian mengangguk. “Eh ngomong- ngomong suami Mbak kerja apa?”

“Di—dia…,” Mirah terdiam sesaat untuk berpikir. “Di ka—kantor, Miss.”

“Kantor? Karyawan gitu, Mbak.”

Mirah menelan ludah susah payah. Tak mungkin mengatakan jika Dae Ho memiliki jabatan cukup tinggi di kantornya. Mirah pernah bekerja beberapa tahun di pabrik, jadi sedikit banyak dia tahu kedudukan dae Ho di kantornya cukup penting.

“Cu—ma pega—pegawai biasa, Mbak.”

“Oh,”Lilian manggut- manggut. Berbeda dengan Mirah yang harus mengatur detak jantungnya yang berpacu demikian cepat. Berbohong jelas bukan keahliannya.

“Pagi semua!” sebuah suara muncul dari balik pintu diikuti beberapa wajah yang cukup dikenal Mirah. Para pengajar lain sudah tiba. Diliriknya Lilian yang kini mengalihkan pandangan ke rekan- rekan kerjanya. Mirah menghembuskan nafas lega.

Sungguh, ia harus berhati- hati.

***

“Jadi gimana, Mir? Sudah bisa adaptasi kan tanpa Rani?”

Mirah mengangguk menjawab pertanyaan Kanaya. Rani itu pegawai yang mengurusi administrasi sebelum dirinya. Beberapa hari lalu, wanita itu memang masih bekerja dan membantunya memberitahu apa saja yang menjadi pekerjaannya namun mulai hari ini Rani tak lagi ada di sekolah.

“Well, kalau gitu bisa aku tinggal juga ya. Beberapa minggu ke depan, aku sibuk ngurusin buat pagelaran fashion week. Nggak masalah kan kamu ngelakuinnya sendiri?”

“Nggak masalah, Mbak.” senyum Mirah. “Mbak Kanaya bisa percaya sama aku,”

“Good!” Kanaya tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya. “Aku suka yang seperti ini. Percaya diri dan nggak ragu. Thanks ya.”

Mirah merasa kebanggaan luar biasa menyelimuti dirinya. Dipuji itu menyenangkan. Apalagi jika pujian itu tulus. Mirah merasa dihargai sekaligus dianggap keberadaannya. Terkadang orang- orang yang dengan kedudukan tinggi merasa angkuh dan sombong pada orang- orang yang berada di bawahnya. Jangankan memuji dengan tulus, berucap terima kasih saja sulit. Ah, bahkan tak jarang orang- orang yang mengatakan bermartabat tinggi berlaku kasar bawahannya. Merasa memiliki segalanya, huh? Padahal siapa manusia dibanding dengan kekuasaan Tuhan tanpa batas.

“Eh Mir, kok ngelamun? Mau pulang nggak? Atau mau minep di sini?”

Mirah nyengir. Bergegas diraihnya tas lalu mengikuti langkah Kanaya keluar ruangan. Sekolah memang sudah sepi. Hanya menyisakan dirinya, Kanaya juga Pak Amir penjaga sekaligus yang bertugas membersihkan sekolah.

“Eh Mir, rumahmu di daerah Pondok Hijau kan? Bareng aku aja. Aku sekalian mau ke rumah tante. Kebetulan searah kok,”

Hah!

Mirah menegang seketika. Diantar Kanaya pulang!

Ah, jangan. Jangan sampai Kanaya tahu kalau ia tinggal di apartemen elit bukan rumah kontrakan seperti yang dikatakannya. Kanaya jelas akan curiga.

“Eh, eng—nggak usah, Mbak. Nanti ngerepotin,” tolak Mirah hati- hati.

Kanaya mendesis, “Ih, apaan sih! Nyantai aja sekalian ini.”

“Nggak usah, Mbak. Beneran. A—aku mau ke…,”otak Mirah berusaha mencari- cari alasan yang tepat agar Kanaya tak curiga, “Ke pasar, Mbak. Iya. Aku mau ke pasar dulu. “

Mirah mendapati kening Kanaya mengernyit sejenak sebelum akhirnya wanita itu mengangguk dan tersenyum. “Oh gitu. Ya udah kalau gitu aku duluan, Mir.”

“Eh, iya, Mbak.” Kanaya pun berlalu meninggalkan Mirah yang nelangsa karena hari ini dia sudah terlalu banyak berbohong.

Besok bohong apalagi, Mir? 

 ***

“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Dae Ho saat keduanya sedang makan malam. “Menyenangkan?”

Mirah mengangguk antusias. “Iya, Oppa. Guru- gurunya baik dan menyenangkan. Anak- anak juga lucu. Tingkah mereka kadang- kadang bikin gemas. Suka bikin ribut tapi cengeng. Nggak mau kalah, berantem, ngambek- ngambek tapi kalau sudah waktunya snack time akur deh! Ah, anak- anak…,”

Mirah tanpa sadar berkata panjang lebar. Wajahnya pun terlihat berbinar dan bersemangat. Semua tak lepas dari pandangan Dae Ho. Lelaki asing itu mengulum senyum.

“Kamu tahu, Mira…,” Mira mendongak menunggu Dae Ho menyelesaikan kalimatnya. “Kamu terlihat lebih bersinar,”

Bersinar?

Mirah melongo. Bersinar? Apa dia disamakan dengan bintang?

“Maksud, Oppa?”

“Senyum,”ucap Dae Ho. “Kamu banyak tersenyum dan bersemangat.”

Mirah manggut- manggut. Ia paham maksud ucapan Dae Ho. Dirinya kini terlihat berbeda. Terlihat begitu bersemangat. Sejujurnya Mirah pun sudah menyadarinya. Dengan bekerja dirinya bisa mengalihkan perhatian dari dilemma hati dan perasaan yang sedang dia alami. Tak ada waktu berlama- lama memikirkan perasaannya pada Dae Ho. Pagi setelah memastikan Dae Ho pergi, Mirah pun berangkat kerja. Pun di sekolah pekerjaannya cukup padat. Bila senggang pun dimanfaatkan untuk bercengkerama dengan pengajar atau anak- anak. sepulangnya ia ke rumah, Mirah memilih tidur siang sebentar kemudian baru memasak untuk makan malam. Jika waktu luang, Mirah memilih melanjutkan pekerjaan sekolah yang belum terselesaikan.

Benar- benar tak ada waktu untuk memikirkan Dae Ho kan?

Meski tak dipungkiri sesekali Mirah berpikir hal itu, namun dengan cepat ditepisnya. Mirah membulatkan tekad, segera dan secepatnya perasaan itu harus dibunuhnya, karena selamanya ia bukan siapa- siapa bagi seorang Dae Ho.

“Minggu kamu libur kan?”

“Hah?”

“Kita jalan- jalan.” Dae Ho tersenyum.

Mirah terbelalak. “Ja—lan jalan?”

“Iya. Kita jalan- jalan berdua. Liburan. Menyenangkan. Seperti di Bali.”

Detik selanjutnya Mirah hanya dapat merutuk dalam hati. Baru saja dia berkeyakinan dapat menghapus Dae Ho dari hatinya, tetapi yang ada sekarang dia sangsi.

Bagaimana bisa lupa, kalau perhatian Dae Ho selalu teramat manis padanya?

Argh…


=tbc=

Lampung, Mei 2016

Sabtu, 14 Mei 2016

[Cerpen] Demam

gambar diambil dari ranichanstory.blogspot.com

DEMAM 
 
DEMAM. Obatnya itu kamu - Fiksi Mini #5 Putri Apriani



“AIRA!”

Aira menoleh.

“Sini!” Rifat, pemuda kelas sebelah yang cukup dikenalnya dengan baik, tengah melambaikan tangan ke arahnya. Laki- laki itu jelas memintanya mendekat. Sesaat kening Aira mengerut, namun tak lama langkahnya mendekat ke Rifat. Ia tak sendiri, ada Jared dan Haris bersamanya.

“Apaan sih panggil- panggil?”

“Wow, ketus amat sih, Bu! Santai kali,” Rifat terkekeh seraya mengangkat kedua tangannya.

“Lagi PMS ya lu,” timpal Jared sembari menyeringai jahil.

[Cerpen Kolab] Kupu- Kupu Malam



Kupu- kupu Malam

Oleh : Imas Siti Liawati dan Putri Apriani


"Bu, apa di sini ada surga?" tanya anakku, menggenggam kedua kakiku. 
Anakku semakin besar. Usianya kini menginjak angka lima. Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan begitu saja, beberapa bisa kujawab, beberapa lagi tidak. Ada satu pertanyaan yang menjadi favoritnya, hampir setiap hari ia lemparkan pertanyaan itu padaku. Aku hanya dilempar pertanyaan, tapi rasanya mungkin hampir sama ketika aku dilempar dinamit berkekuatan tinggi.

"Bu, Ayah di mana? Apa aku punya Ayah?"

Jumat, 13 Mei 2016

[Cerpen] Dilema

gambar diambil dari pixabay.com

DILEMA


“Pikirkan lagi ucapan Ibu baik- baik, Nin!”

Aku mengangguk lemah. “Iya, Bu!”

“Ibu bilang gini juga untuk kebaikan kamu. Anak kamu akan semakin besar. Biaya jelas akan semakin mahal. Kalian juga harus mulai memikirkan membangun rumah.”

Aku memilih diam. “Lagipula sayang juga gelar sarjana kamu. Sudah mahal- mahal kuliah tapi tidak digunakan, buat apa?” sambung ibu lagi.

“Untuk urusan anak kamu nggak usah dipikirin. Bawa aja ke kampung. Nanti ibu yang urus. Kamu sama Hanif fokus cari duit.”

Kepalaku menunduk. Selalu seperti ini. Setiap Ibu datang berkunjung, akan ada kata- kata sesak dan menyakitkan yang harus kudengar. Ibu selalu berulang menyuruhku bekerja. Padahal sejak memiliki Randi, anakku yang sekarang berusia dua tahun, kuputuskan menjalani profesi ibu rumah tangga. Aku ingin mengabdikan diri sebagai istri dan ibu yang baik. Rasanya sayang melewatkan setiap pertumbuhan dan perkembangan buah hatiku. Toh, suamiku pun tak keberatan. Yang penting aku bisa mengatur keuangan kami dengan baik, mengingat Mas Hanif hanya pekerja kantoran biasa.

Sebenarnya gaji Mas Hanif memang tidak bisa dikatakan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang aku merasa kehidupan semakin sulit. Harga bahan pokok yang kian mahal serta kebutuhan Randi yag juga mulai bertambah. Sebisa mungkin, setiap bulan aku harus cermat dalam mengelola gaji Mas Hanif. Dan kupikir selama semua baik- baik saja dan aku masih bisa mengatur semuanya, tak ada masalah kan?

Tapi itu menurutku. Bukan menurut ibuku.

***

“Ibu tadi bilang lagi ya?”

Aku mengangguk. Mas Hanif menghempaskan diri di ranjang sebelahku. Ini sudah malam dan Ibu sudah sampai dengan selamat kembali ke kampung lima jam yang lalu. Setiap dua atau tiga bulan sekali, beliau memang menyempatkan mengunjungiku. Nengok cucu, katanya. Tapi tetap saja bukan hanya perkara soal menengok Randi, tapi juga tentang kehidupan keluargaku.

Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Pusing sekali rasanya jika mengingat ucapan Ibu. Aku tahu niat beliau baik. Ingin agar nasib anak dan cucunya tidak terlantar. Tetapi entah mengapa terkadang aku merasa Ibu terlalu sibuk mengurusi kehidupanku. Aku memang anak Ibu, tetapi kini aku juga seorang istri dan seorang Ibu. Aku punya keluarga sendiri.

“Ibu itu kenapa sih rusuh banget?”gerutuku kemudian.

“Huss, nggak boleh bilang gitu, Dik! Ibu itu kan orangtua kita,” tegur Mas Hanif yang membuat wajahku bertekuk.

“Ya Ibu. Tapi harusnya nggak kayak gini juga. Aku beneran pusing tahu, Mas. Bilangnya sih pikirin lagi ucapan Ibu, tapi ngomongnya maksa. Seakan- akan aku durhaka kalau nggak nurutin kata- katanya.”

Nafasku tercekat. Sesak rasanya. Aku sering mendengar, Ibu juga membicarakan kehidupanku pada saudara yang lain. Ibu mengeluhkan sikap keras kepalaku yang masih saja bertahan untuk tidak bekerja. Padahal aku lulus dengan prestasi yang memuaskan. Sayang katanya jika tidak dipakai.

Ah, Ibu membuatku benar- benar seperti anak durhaka yang membantah ucapan orang tuanya.

Malu rasanya…

“Apa aku kerja aja ya, Mas?” celetukku tiba- tiba.

“Yakin?” Mas Hanif menatapku dengan dahi berkerut.

Bahuku mengendik. “Ya biar Ibu puas.”

Mas Hanif menggeleng. “Itu nggak baik. Niat kamu udah nggak bener,”

“Ya abisnya aku kesel tahu, Mas. Bosan juga! Lagian cuma itu aja yang bisa bikin Ibu nggak berisik,”

“Kata- katamu, Dik! Nggak bagus.”

Bibirku melengkung ke bawah karena teguran Mas Hanif. Memangnya ada solusi lain?

“Kalau kamu kerja tapi niatnya seperti itu, mending nggak usah.” Ujar suamiku. “Tapi kalau kamu memang kerja maunya kamu ya Mas nggak masalah.”

Aku berdecak sebal. Tapi kan sama saja ujungnya. Kerja!

“Sudahlah sudah larut malam. Kita tidur. Aku besok juga harus bekerja.”

Aku mengangguk lalu merebahkan diri di atas kasur. Namun beberapa menit terlewati tanpa sekalipun mataku terpejam, berbeda dengan Mas Hanif. Dia mudah sekali terlelap. Kumiringkan tubuhku untuk menatap Randi yang berada diantara aku dan Mas Hanif. Buah hatiku ini tampak tenang dan damai. Aku tersenyum lalu perlahan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

Ah, sanggupkah aku jika harus berpisah dengannya?

***

Seminggu sudah berlalu. Aku memutuskan untuk kembali menjalani hidup seperti biasa. Kupikir selama aku masih bisa mengelola keuangan dengan baik, aku tak harus memikirkan kata- kata Ibu. Dan seperti biasa, mungkin Ibu takkan jera untuk mengatakan hal yang sama jika berkunjung dua bulan lagi. Tapi sudahlah, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang lebih baik aku memasak dan membuat kue untuk ulang tahun Randi yang kedua. Tak ada perayaan meriah, tapi aku dan Mas Hanif sepakat merayakannya dengan mengajak Randi berekreasi ke pantai.

Namun tiba- tiba dering ponsel mengusikku. Bergegas aku meraih benda tersebut yang sebelumnya kuletakkan di atas meja. Kuhembuskan nafas sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Ya, Bu!” ujarku sesaat setelah mengucap salam.

“Hari ini Randi ulang tahun kan?” tanya suara di seberang.

“Iya, Bu hari ini.”

“Wah, Ibu kok bisa lupa ya? Tahu gitu kemaren sekalian Ibu beliin kado. Atau gini aja, nanti Ibu suruh Lira aja beli kado lalu antar ke rumah kamu.”

Aku mendesah. Kecintaan Ibu pada Randi memang luar biasa, bahkan Lira, adikku yang masih kuliah pun ikut direpotkannya.

“Nggak usah repot- repot, Bu. Yang penting doanya. Insyaallah Randi…,”

“Kamu itu gimana sih? Randi itu berhak dapat hadiah ulang tahun. Nggak masalah kok buat Ibu.”

Aku diam. Salah lagi!

“Hari ini kamu rayain dimana ultah Randi?” tanya Ibu tiba- tiba.

“Kita mau jalan- jalan bertiga ke pan…,”

“Ya ampun, Nin! Masa nggak kamu rayain ulang tahun Randi. Kamu undang kek teman- temannya. Kenapa duit kalian nggak ada. Itulah makanya kenapa Ibu bilang kamu harus kerja. Kan semua balik lagi buat kebaikan kamu juga kebaikan anak kamu, Nin. Coba kalau kamu kerja, kamu punya duit kan nggak masalah kalau Randi ulang…,”

Kepalaku pusing seketika. Terlalu banyak yang ibu ucapkan sampai suara terdengar berdengung di telingaku. Entah apa lagi yang ia katakan. Aku tak lagi mampu mendengarnya. Karena yang kutahu kini kepalaku terasa semakin berat. Sangat berat hingga kemudian aku merasa tubuhku terasa melayang ringan. Tak lama aku merasa semuanya berubah menjadi gelap dan sesaat sebelum kesadaranku menghilang aku mendengar jerit tangis Randi dan teriakan panic Mas Hanif.

Ya Tuhan, kenapa ini?

***


Lampung, Mei 2016
(ISL)




Posted Kompasiana

Jumat, 06 Mei 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (14)



Empat Belas
sebelumnya di sini

Hari menjelang malam. Pemandangan tepi pantai terlihat lebih cantik di saat matahari hendak kembali ke peraduannya. Semburat jingga menghias langit, semilir angin yang bertiup serta deru ombak yang memecah karang menambah pesona alam yang tersaji di hadapan Mirah. Dan semua terasa lebih lengkap dengan tangan Dae Ho yang melingkari pinggangnya. Memeluk tubuhnya dari belakang.

“Kamu suka, Mira?” bisik Dae Ho lembut ditelinganya. Lelaki itu meletakkan kepalanya di bahu kanan Mirah. Tubuh Mirah meremang dibuatnya. Ini bukan sentuhan Dae Ho yang pertama, tapi tetap saja Mirah selalu bersikap malu- malu bak gadis remaja yang baru menjalin hubungan pertama kali.

“Kamu senang?” tanya Dae Ho lagi.

Tentu saja!

Mirah mengangguk antusias. Diabaikanya geliat aneh yang menjalar dihatinya. Untuk saat ini nikmati saja.

“Terima kasih, Oppa.”

Dae Ho menepati janjinya. Dua hari mereka habiskan dengan berkeliling pulau Bali. Tidak semua, karena Bali menawarkan banyak objek wisata yang menarik. Tetapi mengingat waktu mereka yang terbatas, Dae Ho hanya mengajaknya ke destinasi populer. Dan esok pagi- pagi mereka harus kembali.

Sedikit perasaan sedih merayapi hati Mirah. Sungguh, dia tak ingin kebahagiaan ini berlalu…

“Mira,”

“Ya,”

“Kamu tahu kamu cantik?”

Senyum pun terbit di wajah Mirah. Hatinya menghangat. Sudah banyak orang memuji kecantikannya. Gen berbeda yang diturunkan kedua orangtuanya memang menjadikannya cantik. Tak hanya dia sebenarnya, kedua adiknya pun sama cantiknya. Pujian itu memang sudah biasa terdengar di telinganya, tapi sepertinya kali ini berbeda. Entah karena Dae Ho yang mengucapkan atau karena gejolak bahagia yang memenuhi hatinya.

Ah, bukan hanya sekedar gejolak bahagia. Ada perasaan aneh yang semakin lama semakin tumbuh di hatinya. Mirah sadar seharusnya dia menghentikan laju perasaan itu. Nena sudah memperingatkannya. Tapi kalau dia boleh jujur, Mirah tak ingin perasaan tersebut berhenti.

Tak bisakah dia berharap lebih pada Dae Ho.

***

Kembali ke apartemen, Mirah tak dapat menghilangkan binar senang di wajahnya. Bali mungkin tempat yang menarik dan membuat dirinya berpikir untuk tinggal lebih lama. Tetapi nyatanya ketika ia masuk kembali ke apartemennya, dia juga tak dapat menutupi kerinduan akan tempat tinggalnya selama ini.

Aku pulang.

“Sepertinya wajah kamu senang sekali?”

Mirah menoleh dan tersenyum. Kepalanya mengangguk. “Aku kira aku lebih suka tempat ini,”

Dae Ho terkekeh. “Tapi bukannya Bali menyenangkan.”

“Untuk liburan, Oppa. Tapi aku lebih suka di rumah.”

“Gadis aneh.” Gumam Dae Ho seraya masuk ke dalam kamar. “Saya akan bersiap- siap kembali ke kantor.”

Mirah terkejut. Mereka baru tiba dan Dae Ho akan pergi lagi. Ya Tuhan, betapa sibuknya lelaki ini.

“Ada apa, Mira?” Dae Ho mengernyit menatapnya.

Mirah meringis. “Kita baru sampai, Oppa. Bukannya lebih baik Oppa istirahat dulu.” Mirah sedikit geli dengan nada bicaranya. Mengapa ia terdengar seperti merajuk.

“Hanya sebentar untuk mengecek kantor.”

“Oh.” Mulut Mirah membulat. Bergegas ia pun mengikuti Dae Ho masuk ke kamar. Dipersiapkannya kebutuhan lelaki itu seperti biasa. Walaupun sejujurnya dia masih tak terima.

Begitu pentingkah pekerjaan?

Bukannya lebih baik istirahat di rumah?

Apa Dae Ho tak ingin bersama dengannya?

Mirah tersentak seketika. Ia tanpa sadar memukul kepalanya. Bagaimana bisa pikiran aneh itu memenuhi kepalanya. Sepertinya kebersamaan mereka di Bali membuatnya nyaris lupa diri. Ah, bukan hanya Bali tapi lebih ke perasaannya.

Jangan berharap lebih, Mir, peringatnya dalam hati.

Kelak jika kontrak kalian habis, kamu mau tidak mau harus pergi. Perjanjian selesai, kalian berpisah, itu aturannya.

Sadarlah, Mir…

***

“Bagaimana Bali?”

“Eh?”

“Kamu melamun, Mir?” Alis Nena bertaut memandang Mirah. Sejenak digelengkan kepalanya gusar. “Jadi dari tadi Teteh cerita kamu nggak dengar ya?”

“Hah?

Mirah terkesiap. Ia meringis kemudian. Sebersit perasaan bersalah merayapi hatinya. “Maaf, Teh!”katanya tak enak.

Nena menggeleng. Sejak awal kedatangan Mira, dia memang merasa ada yang tak beres dengan gadis itu. Mereka memang belum lama kena, tapi Mirah sudah dianggap adik oleh Nena. Garis hidup mereka sebenarnya tak berbeda jauh, namun mungkin usia serta pengalaman menjadikan Nena berada di depan Mirah.

“Ada sesuatu sama suami kamu?”

“Eng—nggak, Teh.” Jawab Mirah gugup.

“Yakin, Mir?”

“I—iya, Teh.”

Tak ada guna Nena tahu karena Mirah sudah dapat menebak apa yang akan wanita itu katakan.

“Ya udah kalau nggak ada apa- apa!” Nena mengalah. Mengorek lebih jauh pun, Mirah bungkam. Jadi lebih baik dia mengabaikan. “Tapi kalau kamu mau cerita teteh siap dengerin.”

Mirah tersenyum. “Iya, Teh. Makasih.”katanya sembari melanjutkan makan.

“Oh ya soal pekerjaan bagaimana, Mir?”

Wajah Mirah bertekuk. “Susah ya, Teh. Kalau modal ijazah SMA doang, pekerjaannya kebanyakan pake shift. Jadi susah.”

“Eh iya. Kemarin kenalan Teteh ada yang lagi nyari orang untuk bantu admin sekolahnya gitu. TK sih. Jadi jam kerjanya pasti nggak berat.”

“Dimana, Teh?” Tanya Mirah antusias.

“Kalau dari apart kamu, mungkin sekitar sekali naik angkotlah. Tapi gajinya nggak seberapa lo, Mir. Namanya sekolah TK.”

“Nggak masalah, Teh. “

“Ok.” Nena mengangguk. “Kalau sekarang ketemu dia kamu mau nggak? Sekalian kita pulang?”

“Boleh. Siapa tahu cocok.” Angguk Mirah penuh semangat. “Makasih ya, Teh.”

Nena mengangguk dan keduanya tak lama bergegas meninggalkan café tempat mereka menghabiskan waktu.

***

Raut wajah girang tak dapat ditutupi Mirah saat Kanaya menerimanya bekerja di sekolah miliknya. Meskipun Kanaya tak bisa menjanjikan memberi gaji besar, Mirah tak masalah. Karena memang bukan uang yang dibutuhkannya, hanya menghilangkan suntuk serta bosan yang mendera selama Dae Ho bekerja.

“Kapan kamu bisa ke sekolah?” tanya kanaya kemudian.

“Kapan aja siap, Mbak.” sahut Mirah cepat.

“Besok gimana?”

Mirah mengangguk. “Ok, Mbak.”

Senyum Kanaya mengembang. Wanita berhijab itu berbinar antusias. “Aku butuhnya emang cepat karena pegawai yang sebelumnya mau resign akhir bulan ini buat ngelahirin. Jadi kalau kamu masuk sekarang, kamu bisa belajar banyak sama dia.”

Mirah manggut- manggut. “Iya, Mbak.”

Kanaya tersenyum lagi lalu beralih pandang ke Nena. “Makasih ya, Mbak. Nggak tahu bisa dapat secepat ini.”

Nena tersenyum balik. “Kebetulan aja, Nay. Mirah ini kan udah gue anggap adik sendiri. Dari kemarin dia pengen cari kesibukan.”

“Oh gitu. Kamu kenal Mirah di mana?”

“Dia ini sahabatnya sepupu gue.”

“Syukurlah.” Mirah dapat melihat Kanaya menghembuskan nafas lega. “Berarti gue bisa percaya,”

Nena mengangguk. “Gue jaminannya.” Senyumnya lebar lalu menatap Mirah. “Kanaya ini pemilik butik langganan aku, Mir. Jadi kami cukup lama kenal.”

Kanaya terkekeh. “Lebih tepatnya Nena yang sering menghabiskan uang di tempatku. Ck, susah sih ya kalau punya suami kaya.”

Mirah tersedak seketika. Dia melotot. Kanaya tahu? Sesaat diliriknya Nena yang samar menggelengkan kepala.

“Apaan sih, Nay. Biasa aja kali.” Nena tersenyum tipis. “Ya udah ah. Udah mau sore nih. Gue harus balik nih. Yuk Mir!”

“Ok.” Kanaya berdiri mengikuti Nena sudah beranjak dari kursi. Mirah pun mengikuti keduanya. “Thanks ya. Dan Mir, besok pastikan kamu datang.”

“Sama- sama.”

“Iya, Mbak.”

Keduanya pun berpamitan pulang. Dan tak lama setelah mobil yang dikendarai Nena melaju meninggalkan rumah Kanaya, Nena berucap lirih, “Dia itu wanita baik- baik dan terpandang, Mir. Jadi jangan sekali- kali ceritakan tentang kehidupan kita. Kita jauh berbeda dengannya.”

“Bukannya Teh Nena akrab dengannya?”

“Akrab bukan berarti harus mengetahui semua kehidupan kita kan? Aku dekat hanya sebatas pelanggan saja. Selanjutnya privacy masing- masing.”

Mirah mengangguk. Ditilik sekilas kehidupan Kanaya jelas jauh berbeda dengan kehidupannya. Berkecukupan, karier cemerlang, serta pendidikan yang tinggi. Paket lengkap yang membuat orang- orang sepertinya iri.

“Kamu jangan sekali- kali mengungkit soal nikah kontrak. Kalaupun bilang bersuami tak masalah, tapi hindari orang lain tau tentang suamimu.”

“Iya, Teh.”

Nena menghela napas dalam- dalam lalu menatap Mirah sekilas, “Hidup itu kadang nggak adil kan, Mir?”


selanjutnya di sini


Lampung, Mei 2016