Kita
Pisah, Kita Beda
“Mbak
Rissa!”
Langkahku yang hendak menuju kamar
terhenti. Aku berbalik dan mendapati Bu Ayu, pemilik kostku melangkah terburu-
buru menghampiriku.
“Maaf ini, Mbak.” katanya sesaat setelah
di hadapanku. “Ibu lupa. Kemarin ada kiriman untuk Mbak Rissa.”
“Kiriman?” Dahiku berkerut. Bu Ayu
mengangguk dan menyodorkan amplop coklat yang sedari tadi dipegangnya.
“Iya. Nih!”
Spontan aku membaca nama pengirim dalam
amplop. Seketika tubuhku menegang. Nafasku tercekat seketika.
“Aku
mau nikah, Ris!”
“Oh,”
“Kamu
ikhlas kan?”
“Ya
ikhlas lah,” tawaku sumbang. “Ngapain juga aku nggak ikhlas sih.”
“Mbak Rissa!”
Aku terhenyak. Panggilan Bu Ayu menarik
kesadaranku. Aku pun mengerjap seraya memamerkan senyuman kepada Bu Ayu.
“Mbak Rissa nggak papa?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak. Aku nggak papa
kok, Bu. Makasih ya,” ujarku sembari mengangkat amplop cokelat pemberiannya.
Bu Ayu mengangguk. “Kalau gitu aku masuk
dulu, Bu.” Aku berpamitan kemudian.
“Iya. Sekali lagi maaf ya, Mbak baru
dikasih sekarang.”
“Nggak papa kok, Bu.” Senyumku terulas. Lagipula nggak dikasih justru lebih baik
untukku.
***
Galih Handaru.
Kuhempaskan tubuhku di ranjang seraya
menghembuskan nafas dengan kencang. Pada akhirnya kamu meninggalkanku, Ru, bisikku
dalam hati.
Aku melirik amplop cokelat yang berada
di tangan kananku. Perlahan kuangkat dan kuterawang. Tak nampak apapun, namun
aku tahu isinya. Si pengirim sudah meneleponku beberapa hari lalu.
“Bener
kamu ikhlas?”
Aku
tertawa kembali. “Ya ikhlas lah, Ru. Nikah itu ibadah kan kata kamu? Apa dulu
kamu bilang separuh dien.”
“Lagian
ya pernikahan itu suatu kabar baik, Ru. Kamu bahagia, aku juga pasti bahagia.”
Munafik!
Aku mencibir dalam hati. Rissa pembohong ulung!
Bahagia?
Ah,
kata itu terdengar menyakitkan sekarang.
Tiba- tiba dering ponsel terdengar. Aku
tersentak. Perlahan kutegakkan tubuh dan meraih tas kuletakkan di atas nakas.
Aku mengernyit saat melihat deretan angka di layar ponsel.
Siapa?
“Kamu sudah terima undanganku?”
Deg.
Jantungku berdegup kencang mengenali
suara ini. Galih Handaru. Ndaru.
“Aku kirim pakai paket kilat. Udah
sampai belum, Ris?”
“Eh? U—udah, udah.” jawabku gugup.
Ya
Tuhan, kenapa dia menghubungi lagi sih?
“Lalu?”
“Hah?” Aku blank. Kerja otakku sedikit melambat karena suara Ndaru. Masih tak
percaya sekaligus bingung.
“Kamu datang ke nikahanku kan?”
Aku terbelalak seketika. Bertemu
dengannya pasca putus adalah hal yang paling kuhindari. Dan karena hal ini pula
aku memutuskan merantau ke ibukota, meninggalkan kampung halaman yang
mengingatkan banyak kebersamaan kami. Dan sekarang dengan gampangnya dia
berkata agar aku dapat datang ke pernikahannya.
Ya Tuhan, itu sih sama saja aku membuka
luka lama.
“Carissa.”
“Eh. A—aku nggak tahu, Ru.” Kuhela napas
dalam- dalam sebelum akhirnya melanjutkan bicara, “Kerjaanku kan banyak.
Apalagi akhir bulan. Jadi aku nggak yakin kalau bisa pulang.”
“Kamu nggak lagi menghindar kan, Riss!”
Sial, gerutuku dalam hati. Apa dia menyadarinya?
“Nggaklah! Kan aku bilang kalau kamu
senang ya aku juga senanglah. Lagian itu juga acara baik jadi kenapa aku harus
menghindar,” cerocosku menutupi ketegangan yang terjadi.
Pembohong
kamu, Riss!
“Oh kupikir kamu menghindariku?” ucap
suara di seberang. Aku memejamkan mata sejenak. Sepertinya dia sudah move on dibanding
aku.
Ah, mengapa fakta ini terasa
menyesakkan.
“It’ s Ok kalau gitu. Tapi usahakan
datang ya, Riss. Aku kan juga pengen kamu datang.”
Aku mengangguk namun detik kemudian
tersadar jika dia tak bisa melihatku. “Ok. Kuusahakan tapi nggak janji ya.” Ucapku
basa- basi.
“Ok.”
Dan sambungan pun tak lama terputus.
Menyisakan diriku yang hanya bisa tersenyum getir. Ck, kapan kamu bisa melupakannya, Riss!
***
“Rissa!
Aku
celingukan mencari sumber suara. Detik selanjutnya aku ternganga menemukan
Ndaru, laki- laki yang telah setahun kukenal berada di panggung kecil yang
berada di sudut café. Ia duduk di atass sebuah kursi dengan tangan memegang
sebuah gitar. Wajahnya berbinar menatap ke arahku.
Tunggu
apa yang mau dia lakukan?
“Selamat
malam semua. Saya Galih Handaru. Malam ini akan bernyanyi khusus untuk seorang
gadis yang tengah berdiri di ujung sana.”
Aku
dapat merasakan wajahku memanas karena kata- kata Ndaru. Tangannya yang
menunjuk ke arahku membuat semua mata kini mengarah hanya kepadaku.
Ndaru
sial…
“Rissa,
lagu ini buat kamu!”
Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan
Dahiku berkerut. Lagu
ini kan?
Mendadak jantungku
terasa berdegup kencang. Siapapun mengenal baik lagu ini dan Ndaru menyanyikan
lagu ini khusus untukku. Jangan- jangan…
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang, untuk katakan cinta...
Jadikanlah aku pacarmu, kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu, iringilah kisahku...
Tatapan Ndaru yang tak
lepas ke arahku selama menyanyi
membuatku tersipu.Wajahku
memerah. Ya Tuhan, lelaki ini…
Aku
memilih diam, menikmati alunan suara merdu Ndaru sambil sesekali menarik napas
panjang. Untuk apa Ndaru menyanyikan lagu ini?
Tak
lama Ndaru mengakhiri suara merdunya lalu tersenyum. Matanya masih menatapku
dengan lembut dan dengan lirih berkata,
“Would
be my girlfriend, Riss?”
***
Kuhela napas dalam- dalam saat kakiku
melangkah keluar mobil yang kukendarai. Aku menatap lekat- lekat gedung yang
sudah dihiasi dekorasi pernikahan. Di sisi kanan berderet bunga papan yang
berisi ucapan selamat sukacita.
Selamat
menempuh hidup baru Galuh& Hanna
Aku tersenyum tipis. Di suatu masa lalu,
aku pernah menginginkan namaku yang bersanding dengan nama Ndaru. Manusia
selalu berencana tapi tetap Tuhan yang menentukan. Pada akhirnya bukan namaku
yang tertulis di sana.
“Rissa!”
Aku menoleh saat mendengar namaku
dipanggil. Tak lama aku tersenyum saat menemukan si pelaku. Anindito, salah
seorang sahabatku yang juga telah lama mengenal Ndaru.
“Datang ke nikahan mantan susah kali ya,”
Aku mengenal Dito sudah bertahun- tahun dan tahu kalau ia tengah menggodaku.
Aku nyengir. “Gagal move on dong gue kalau nggak datang,”
Ck,bohong
lagi, Riss, cibirku dalam hati.
“Well, kalau gitu gue asumsikan lo udah
nggak ada perasaan apa- apa nih sama Galuh.” Kekeh Dito.
Bahuku mengendik tak menanggapi
ucapannya. Aku memilih mengalihkan topik pembicaraan. “Lo baru datang apa udah
mau balik?”
“Baru. Yuk bareng masuknya!”
Aku mengangguk dengan bibir mencebik.
“Aelah jomblo ni ye!”
“Sialan lo, Ris!” umpat Dito sambil
menyeringai. “Lo harusnya bersyukur karena gue lo nanti di dalam nggak salting- salting amat.”
Aku mendelik. “Ck, rusuh lo, Dit!”
Tapi harus kuakui kebenaran kata- kata
Dito. Memang karena keberadaannya aku bisa bersikap lebih rileks dan santai.
Pun saat menyalami kedua mempelai, canda Dito dapat mengurangi ketegangan yang
ada dalam diriku.
“Selamat ya, Ru.” Senyumku saat
menyalami Ndaru.
“Thanks
ya Riss, udah mau datang.”
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu
bergegas menyalami istrinya. Tak perlu basa- basi dan banyak bicara, karena
memang sudah tak ada hubungan apa- apa lagi diantara kami. Hanya ucapan selamat
serta doa tulus untuk kebahagiaannya.
Ya, kebahagiaannya. Kebahagiaan Ndaru
dan istrinya, karena selamanya aku takkan pernah bisa mendampinginya. Kami
berbeda. Keyakinan tak sama. Dan takkan pernah sama. Aku menghormati Ndaru pun
dengan dirinya. Jadi berakhir adalah keputusan terbaik.
“Galau, Riss?”
Aku menoleh lalu menggeleng. “Jujur ya,
Dit. Awalnya pasti berat tapi entah kenapa gue sekarang lebih lega,”
Dito mengernyit. “Wajah Ndaru terlihat
lebih bahagia. Bukan gue bilang pas sama gue nggak bahagia ya, tapi sekarang
Ndaru nggak harus konfrontasi sama keluarganya kan?” sambungku yang membuat
Dito manggut- manggut.
“Well, dia bahagia masa gue kalah sih,”
Dito tertawa. “Jadi ikhlas nih?”
Aku mengangguk perlahan. “Harus dong!”
“Oke kalau gitu, nih kan banyak cowok
cakep ya. Kayaknya ada beberapa gue lihat klien gue deh. Mau gue kenalin?”
Aku terbahak. “Boleh. Siapa takut?”
Dan
tak lama tawa kami berdua terdengar. Waktu takkan mampu membuatmu melupakan
seseorang namun waktu mampu membuatmu mengikhlaskannya.
***
Lampung,
Mei 2016