Sabtu, 20 Juni 2015

ELROY (5)


Bab V

Sebelumnya Disini 

“Parah lo, El!” Tama berdecak sebal, “Gue bisa abis nih sama Bastian!”


Elroy menoleh lalu mengendikkan kedua bahunya. Siapa peduli!


“Gila lo! Nggak setia kawan banget sih!”


Elroy mendengus. Setia kawan? Sejak kawan ada kata setia di dunia ini. Cih! Bullshit. Non sense! Semua pura- pura. Bohong besar.


“Lo tahu nggak kalau Basti…,”


Elroy melenggang meninggalkan Tama sendirian. Ia tak peduli. Terserah apa yang Tama katakan, atau juga yang akan Bastian lakukan padanya karena terbongkarnya soal taruhan. Ia benar- benar tak peduli.


Bukan urusan gue!


Tadi setelah mengatakan pada Gendis soal taruhan, ia dapat melihat sorot kemarahan terpancar dari bola mata gadis itu. Elroy sempat terpikir kalau selanjutnya gadis itu akan mengamuk mencari Bastian. Nyatanya tidak, Gendis justru memilih menstater motornya lalu meninggalkan ia dan Tama.


Gadis aneh!


***


Seorang anak laki- laki berseragam putih biru tampak memasuki sebuah gedung. Langkahnya ringan dengan raut wajah berseri- seri sedikit mengundang perhatian beberapa orang yang berada di lobby kantor. Ia pun tersenyum.


“Loh Mas, udah pulang sekolah?” Seorang perempuan yang bertugas sebagai resepsionis menyapanya. Perempuan itu mengenali anak laki- laki yang merupakan putra bungsu pimpinannya.


Anak laki- laki itu tersenyum. “Udah Mbak. Biasa gurunya rapat. Papi ada?” Tanyanya kemudian.


Perempuan itu mengangguk. “Ada Mas, langsung naik aja ya!”


“Sip!” Sahut anak laki- laki itu sembari mengacungkan ibu jari kanannya, “Makasih ya, Mbak.”


Tak menunggu lama laki- laki belia itu langsung menuju lift yang berada di sisi kanan. Sebenarnya ia sudah terbiasa dengan gedung tempat ayahnya bekerja, ia pun sudah teramat dikenal jadi bukan masalah jika ia melenggang masuk langsung menuju ruangan ayahnya. Namun ia ingat ajaran ibunya untuk selalu bertegur sapa dengan orang lain, atau minimal tersenyum.


Senyum itu ibadah, apalagi jika senyum kita membuat orang lain bahagia.


Kepalanya celingukan saat mendapati lantai ruangan ayahnya kosong. Biasanya di sudut kiri ada seorang wanita yang ia panggil Tante Sinta tengah sibuk dengan pekerjaannya. Tante Sinta ia kenal sebagai sekertaris ayahnya tapi ini, perempuan cantik itu tidak ada sama sekali.


Ah mungkin sedang ada pekerjaan di tempat lain, pikirnya.


Sambil bersenandung ia pun menuju ruang ayahnya. Hari ini anak laki- laki itu memang sedang senang. Bukan hanya guru- guru sekolahnya yang tengah rapat hingga ia bisa pulang lebih awal tapi juga karena namanya lolos dalam seleksi olimpiade matematika tingkat provinsi. Itu berarti ia selanjutnya akan dikirim untuk mewakili sekolahnya di tingkat nasional. Terang saja dirinya girang bukan main dan ia ingin segera secepatnya memberitahukan hal ini pada ayahnya.


“PAPIIIII, EL LOLOS SELEK…,”


Matanya melebar seketika. Tanganya masih berada pada gagang pintu, tubuhnya belum sepenuhnya masuk namun pemandangan di kursi ayahnya membuat ia terhenti . Bibirnya kelu. Nafasnya memburu. Matanya memerah menahan amarah yang tiba- tiba merayap. Tanpa sadar ia mencengkeram erat pegangan pintu


“El,” Suara lirih ayahnya menyadarkannya.


“PAPI JAHAT!!!” Teriaknya kemudian. “PAPI TEGA SAMA MAMI!”


Dengan cepat ia membalikkan tubuh. Berlari sekencang- kencangnya menuju lift, ia ingin meinggalkan ruangan ayahnya segera dan secepatnya.


Tidak, anak laki- laki nggak boleh menangis, gumamnya dalam hati. Jadi anak laki- laki harus kuat!


Jika papi sudah tidak lagi dapat menjaga mami, aku yang akan menjaganya!
***


Elroy mendengus gusar. Sudah lima belas menit berlalu, gadis di hadapannya tak kunjung pergi. Bahkan dengan santai gadis itu asyik membaca buku, tanpa mau tahu kalau keberadaannya sangat menganggu Elroy.


“Ck, lo maunya apa sih?” Tanya Elroy tak sabar. Dia merasa tak lagi ada urusan dengan Gendis, perempuan menjengkelkan yang duduk di hadapannya. Elroy memicing curiga saat gadis itu meletakkan bukunya dan mengembangkan senyuman padanya. Senyuman mencurigakan.


“Nggak papa, gue pengen disini aja!” Elroy mendelik, “Emang nggak boleh?”


Ck, sok ngegoda gue!


“Cih! Nggak usah lebay. Buruan mau apa lo nyari gue? Emang gue bego apa! Dari tadi banyak kursi kosong tapi lo tetep disini,”


“Dan gue rasa lo bukan cewek yang ngejer- ngejer gue kan?”


Senyum yang masih merekah dari bibir Gendis tak urung membuat sebelah alis Elroy terangkat. Tumben gadis ini tidak balik memakinya. Sangat mustahil, mengingat karakter Gendis yang beberapa kali ia temui.


“Kalau gue ngejer- ngejer lo emangnya salah?”


Fix! Sinting. Cewek gila! Apa sih maunya dia?


“Terserah lo dah!” Elroy mendengus sinis. Ia yakin Gendis memiliki tujuan tersembunyi, karena dia sedikit banyak karakter Gendis sebenarnya, jelas ia bukan termasuk cewek centil yang biasa menggoda. Apalagi mengingat beberapa kali ia terlibat konfrontasi. Jelas ada yang disembunyikan gadis ini.


Tetapi masalahnya apa kaitan dengan dirinya?


***


“Adik kamu belum mau pulang?”


Anya terkesiap. Seorang laki- laki baya menghampirinya bahkan tanpa ragu menarik kursi kosong yang berada di sisi kanannya lalu mendudukinya.


“Pa…papi,” Nafasnya tercekat. Hampir lima tahun ia berkecimpung menjadi model, memperagakan berbagai karya busana rancangan orang- orang ternama namun baru kali ini ayahnya datang. Bahkan khusus menemuinya di belakang panggung, disaat dirinya baru saja tampil. Sesuai jadwal, malam ini ia dan beberapa model diminta untuk memperagakan beberapa karya busana yang akan dilelang untuk badan amal. Tentu saja ia tak berkeberatan Tetapi siapa sangka malam ini ia justru dikejutkan kedatangan laki- laki yang paling dihormatinya.


Anya menggeleng, “Nggak, El nggak mau pulang.”


“Ck, apa maunya itu anak! Dia nggak percaya sama papi?”


Lagi- lagi kepala Anya menggeleng, ia memilih bungkam ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Kehidupan keluarganya memang berantakan, papi mami sering bertengkar hingga membuat adiknya hengkang dari rumah. Tetapi kini, meski Anya yakin kedua orang tuanya masih belum sepenuhnya berbaikan namun keduanya sudah jarang bertengkar. Sedikit banyak Anya melihat perubahan itu. Ia menginginkan keluarganya harmonis dan bahagia kembali.


“Kamu masih suka mengirimkan uang?”


Anya mengangguk pelan, “Hentikan pengiriman itu. Nanti jika ia kesulitan keuangan ia pasti kembali ke rumah,”


“Pa…papi yakin?”


Lelaki baya itu mengangguk mantap. “Biar bagaimanapun El harus kembali. Kita bangun kembali keluarga kita,”


Anya manggut- manggut. Dalam hati ia mengamini ucapan ayahnya. Keluarganya memang pernah nyaris diambang kehancuran tetapi ketika kesempatan kedua itu datang, setiap anggota keluarga harus saling bahu membahu mewujudkannya.


“Ehm, ngomong- ngomong aku nggak tahu papi kesini?”


“Eh, itu badan amal yang mengadakan acara ini kan temen papi.”


Mulut Anya membulat, “Oh, papi sama siapa? Bukannya mami lagi syuting di luar kota?”


“Sama temen- temen papi,” Sahut lelaki itu sedikit kikuk, “Kamu juga nggak bilang mau tampil disini?”


“Anya ngegantiin temen, Pi.”


“Ya sudah kalau gitu papi ke depan lagi, kamu pulang sendiri atau mau bareng papi?”


“Sendiri aja, Pi. Anya bawa mobil.”


Lelaki itu mengangguk lalu tak lama melangkah keluar meninggalkan Anya yang tengah tersenyum lebar.


Kamu nggak mau lihat perubahan ini, El!


-tbc-

Selanjutnya Disini

1 komentar: