Minggu, 16 November 2014

Mendadak Tunangan (8)


Sebelumnya : 7

Mendadak Tunangan (8)

Kepalaku terasa berat. Seperti ada beban yang diletakkan diatasnya. Pikiranku dipenuhi oleh masalah yang terjadi akhir- akhir ini. Semua berawal dari pertunangannya dengan Akash yang jelas- jelas bukan kemauannya. Lalu liburannya ke rumah Anin, bertemu dengan Raskal serta kemarahan Lula dan terakhir Akash yang memutuskan pertunangan kami. Dia sendiri yang akan langsung mengatakan pada kedua orang tua kami.
Benakku memikirkan ekspresi kekecewaan kedua orang tua terutama mama. Kurasa mama akan sangat kecewa atau justru malah mengomel tak keruan! Namun satu hal yang kuyakini kekecewaan keduanya karena sikapku selama ini pada Akash.
Argh, Aku mendesah frustasi.
“Nih minum!”
Aku menoleh dan melihat Anin tengah mengulurkan sebuah mug putih polos didepanku. Aku melirik sejenak lalu meraihnya. Hmm… coklat!
“Dingin- dingin enaknya yang anget,” celetuk Anin seraya mendaratkan pantatnya di sofa yang kududuki. Tangannya juga menggenggam sebuah mug. Sesekali ia terlihat menyesap minuman itu.
Thanks,” Ucapku sembari ikut menyesap minuman. Hangat!
Anin hanya menganggukkan kepala dan selanjutnya keheningan melingkupi kami. Kurasa Anin ingin menanyakan sesuatu namun ia menahan hasrat ingin tahunya. Ia berusaha memahami kondisiku sepertinya.
“Maaf,” Suaraku lirih.
Anin berhenti menyesap minumannya lalu menatapku, “Semua gara- gara  gue kan?”
“Olin,” Anin meletakkan cangkir mugnya di meja yang berada di depan kami lalu mengusap- usap lembut bahuku.
Mendadak mataku memanas, “Apa yang gue lakuin salah, Nin? Apa gue nggak boleh bahagia?”
Sebutir air mata lolos di pipiku. Sepertinya aku benar- benar tertekan dengan keadaan saat ini. Salahkah jika aku ingin bahagia?
“Its Ok, Lin. Gue ngerti!” Ucap Anin seraya menenangkan, “Lo harus tenang,”
Aku menggeleng, “Gue nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di Jakarta, Nin? Akash memang mutusin pertunangan. Gue nggak kebayang orang tua gue sekarang? Terutama nyokap.”
“Sabar Lin. Semua masalah pasti selesai!”
Aku menarik nafas panjang, “Sepertinya gue harus balik. Kalaupun Akash mau mutusin pertunangan gue harus ada disana,”
Anin menatapku, “Lo yakin mau balik?”
Kuanggukkan kepala mantap, “Harus, Nin. Gue nggak bisa biarin Akash nyelesein sendiri!”
“Raskal?”
Aku terdiam sesaat. Raskal? Apa yang harus kulakukan padanya?
“Lo suka sama dia?” tanya Anin lagi.
“Gue nggak tahu, Nin. Tapi yang gue tahu gue nyaman sama dia.” Jawabku jujur.
“Kalau gitu sebelum pergi lo harus ngomong sejujurnya sama dia. Apapun resikonya!”
Apapun resikonya? Huff, sepertinya aku harus siap bila akhirnya Raskal kecewanya denganku.
“Ehm…,” Anin menatapku ragu. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
“Kenapa, Nin?”
Anin melirikku takut- takut, “Ehm,” Ia terhenti lagi lalu menghela napas panjang, “Gue mau lo tahu yang sebenarnya walaupun sebenarnya gue udah janji nggak akan bilang,”
“Soal?” sebelah alisku terangkat,
“Akash,”
Aku terdiam.
“Sebenarnya Akash sayang sama lo, Lin!”
Nafasku tercekat. Akash sayang aku?
“Akash sayang sama lo udah lama. Asal lo tahu selama ini cewek- cewek itu juga yang nembak Akash duluan, dia nggak enak nolak. Lagian lo juga nggak peduli dengannya. Makanya pas nyokapnya nawarin pertunangan sama lo, dia senang banget. Mungkin ini jalannya dia bisa nunjukkin sayangnya sama lo, tapi lo nya jutek banget sama dia,”
Aku menatap Anin tak percaya. Jadi selama ini…
“Pas kemarin dia lihat lo jalan sama Raskal dan bahagia banget, baru dia sadar kalau lo emang nggak suka sama dia. Makanya dia mundur,”
Lagi- lagi air mataku jatuh.  Spontan aku menutup mulut dengan tangan kananku. Tak menyangka mendengar penuturan Anin, berarti aku menyakiti Akash.
“E…lo tahu darimana?”
Anin menghela nafas, “Dari Akash sendiri. Dia cerita banyak sama kita,”
“Kita?”
“Gue sama Lula,”
Seketika aku menyadari sikap Lula yang semakin kesal dengan sikapku. Ternyata ia sudah mengetahui semuanya. Wajar saja ia berada dipihak Akash, karena Akash sudah mengatakan semuanya.
“Sorry Lin,”
Aku menggeleng. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih pada Anin karena ia telah mengatakan yang sebenarnya. Sesuatu yang selama ini tertutup.
“Gue justru makasih sama lo, Nin,” Kataku tulus dan meraihnya dalam pelukan. Sepertinya kembali ke Jakarta adalah keputusan terbaik. Bagaimanapun semuanya harus diselesaikan.
= Mendadak Tunangan =

 “Jadi selama ini kamu itu sama Akash tunangan?”
Kepalaku tertunduk dan mengangguk. Entah bagaimana ekspresi yang ditunjukkan Raskal setelah kuceritakan tentang semuanya.
“Maaf,” ucapku lirih.
Raskal menghela nafas dalam, “Dan sekarang batal?” tanyanya.
Aku mengangguk lagi, “Sebelum kembali ke Jakarta, Akash bilang begitu!”
“Kalau begitu kamu bebas dong sekarang?”
Aku mengedikkan bahu, “Ya begitulah,”
“Berarti aku bebas deketin kamu dong!” Aku melongo. Raskal bukan marah karena ketidakterusteranganku beberapa waktu lalu justru kini senyum seringai tersungging di bibirnya. Dan apa yang di bilangnya tadi, dia bisa bebas deketin gue? Emang kapan gue terkurung?
“Kamu nggak masalah kan kalo aku ngedeketin kamu kan?
“Eh itu, nggak eh…!” Damn, kenapa gue gugup. Kuhela nafas dalam, “Lo nggak marah karena gue nggak jujur dari awal,”
“Marah?” Sebelah alisnya terangkat, “Buat apa? Toh sekarang kamu single, Sayang?”
“Oh,” Mulutku membulat.
“Sekarang aku mau kamu jujur!”
Keningku berkerut menatap Raskal. “Jujur?”
Tiba tiba kurasakan kedua tanganku diraihnya. Dikecupnya sesaat, membuatku membelalakkan mata.
“Aku sayang kamu, Olin.”
Aku menelan ludah. Pernyataan cinta lagi?
“Aku pernah bilangkan aku suka sama kamu dari pertama kali kita ketemu?” kuanggukkan kepala, “Will be my girlfriend?”
Mataku membulat sempurna. Baru beberapa menit berlalu aku menceritakan kebenarannya kini ia memintaku menjadi kekasihnya. Oh My God,
Ia kini menatapku dengan senyum tersungging. Tatapannya yang teduh dan lembut membuat hatiku menghangat. Kurasa pipiku berubah warna.
Aku menarik nafas panjang. Perlahan melepaskan genggaman. Aku tahu Raskal terkejut dengan tindakanku.
“Gue rasa gue perlu menyelesaikan semua masalah di Jakarta, Kal. Gue nggak mau kalau semua belum jelas,”
Raskal mengangguk, “Aku ngerti,”
“Dan…,”
“Dan apa?” tanya Raskal tak sabar.
“Lo yakin dengan gue. Karena selanjutnya kita bakal berjarak. Lo disini gue tetap di Jakarta.”
“Nggak masalah kalau kita LDRan,”
Aku mengernyit, “Serius?”
“Iya, nanti setelah lulus gue bakal pindah ke Jakarta. Gue cari kerja disana dan kita pasti sering ketemu,”
Aku tersenyum tipis, “Thanks,”
Ia mengacak rambutku pelan, “Its Ok!”
“Tapi gue rasa semua harus dipertimbangkan baik- baik, Kal. Gue sendiri harus mastiin perasaan gue sebenarnya,”
Raskal tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku, “Aku akan selalu nunggu,”
Kugelengkan kepala lalu menangkupkan kedua tanganku di pipinya, “Jangan Kal, jangan nunggu gue! Biarkan semuanya mengalir. Gue nggak mau ngejalanin karena terpaksa.”
Raskal mengangguk dan menghembuskan nafasnya pelan, “Baiklah, terserah kamu! Yang penting kamu tahu aku sayang kamu.”
Aku tersenyum dan mengurai kedua tangan dari pipinya, “Thanks, Kal!” pandanganku beralih ke depan. Kurasa ini keputusan terbaik. Untuk saat ini menerima pernyataan cinta Raskal, bukan hal yang harus kulakukan. Tidak harus terburu- buru. Aku harus menyelesaikan kekacauan yang kubuat, pertunangan yang dibatalkan serta luka Akash.
Akash?
Mengingatnya justru membuatku didera perasaan bersalah. Aku menyakitinya. Ketidakterusterangannya membuatku melukainya. Aku tak pernah menyangka ia menyayangiku sejak dulu. Andai saja Anin tak menceritakan semuanya. Namun disisi lain aku boleh berbangga akan sikapnya, melepaskan orang yang dicintainya untuk bahagia dengan lelaki lain.
Kuhirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Raskal, Akash. Keduanya mempunyai cara berbeda untuk mencintaiku.
-end-

Epilog

 Lima tahun kemudian
Kenapa lama sih ya?” Aku menggerutu kesal saat melihat sosok laki- laki di depanku.
Sosok itu nyengir. Kurasa ia sedikit merasa bersalah. Sedikit ya? Karena selanjutnya yang kulihat tampangnya tak merasa bersalah.
Uh, aku manyun.
“Udah ah, jangan manyun! Jelek!”
Aku semakin mencibir, “Jelek- jelek juga kamu cinta kan!”
Lelaki itu tertawa lebar lalu mengulum sebuah senyuman. Tangannya mengacak rambutku, “Itu tau!”
Seketika amarahku menguap. Kekesalanku karena menunggunya yang terlalu lama pun pupus sudah. Entah mengapa aku justru tertawa melihat ekspresi wajahnya. Sungguh aku tahu, sorot matanya memperlihatkan rasa sayang dan cinta  yang sedemikian besar.
Thanks God, untuk kehadirannya dalam hidupku. Terima kasih untuk rasa cinta yang demikian besar.
Tiba- tiba kurasakan sebuah benda melingkar di jari manisku. Aku tertegun sejenak. Ini…
“Will you marry me?”
Mulutku terbuka seketika. Aku kaget. Sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. Baru beberapa bulan ia kembali lagi ke hidupku. Mengejar cintaku hingga melakukan apapun untukku. Membuatku akhirnya luluh akan sikap dan perhatiannya. Tapi hubungan ini baru berjalan beberapa bulan.
“I…ni…,”
Bibirku kelu. Otakku mendadak blank.
“Aku pernah melakukan kesalahan dengan meninggalkanmu lima tahun lalu. Sekarang aku mau menebus semuanya, Lin. Aku ingin bahagiain kamu. Selamanya.”
Sebutir air mata lolos jatuh ke pipiku. Aku tahu ia mengatakan dari hatinya yang paling dalam. Lima tahun kami harus berjauhan. Menanggung sakit yang sama- sama terasa.
“Ka…mu se…serius?”
“Kamu lihat aku bercanda?”
Aku terkekeh sesaat. Sempat- sempatnya disaat begini ia melontarkan candaan. Tapi aku juga yang salah menanyakan hal yang sudah tak perlu ditanya. Mana ada orang melamar tidak serius bukan?
Masa depan jaminannya.
Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “I do.”
Dia tersenyum lebar lalu mengecup jemariku. Direngkuhnya diriku dalam tubuh tegap miliknya. “Thank you, Sayang. Kamu buat aku bahagia.”
Aku mengangguk. “Aku juga bahagia.”
“Kupastikan nyonya Akash akan berbahagia seumur hidupnya. “
Aku tersenyum tipis. Aku yakin ia akan menepati janjinya, karena seumur hidupnya hanya aku yang dicintainya. Meski lima tahun lalu kesalahpahaman terjadi diantara kami hingga harus memisahkan kami, toh pada akhirnya waktu jualah yang menyatukan kami kembali.
Mau kuceritakan?
Tapi itu panjang sekali. Biarlah hari ini kunikmati terlebih dahulu kebahagian kami. Nyonya Akash? Not bad.

*** 


Terima kasih telah berkunjung blog saya

Rabu, 12 November 2014

Mendadak Tunangan (7)


Sebelumnya : 6


Mendadak Tunangan (7)

“Kita sebenarnya mau kemana sih?”
Pertanyaan ini sudah kesekian kalinya aku tanyakan kepada lelaki yang duduk di sebelahku. Ia hanya tersenyum menolehku sesaat, lalu memfokuskan kembali pandangannya ke jalan.
“Kal,” sungutku kesal.
Raskal. Yah, hari ini tetangga Anin ini sukses membuatku mengikutinya. Salah tepatnya menculikku. Awalnya ia menelponku, memintaku menemuinya di depan rumah Anin. Dan tak butuh lama ketika aku keluar rumah, ia mendorongku masuk ke mobilnya. Dan hampir setengah jam berlalu, kami masih belum tiba di tempat tujuan.
“Santai Lin, nanti juga sampai kok!”
Aku mendengus gusar. Sepertinya diam lebih baik. Sejenak kulirik Raskal yang serius di balik kemudi. Kupikir ia memang mempunyai daya pesona yang besar. Hanya mengenakan kaos berwarna biru tua polos dan jeans hitam, ia terlihat menawan. Bila Raskal terlihat menawan dan jantan, sedangkan Akash terlihat tampan dan tidak membosankan.
Akash?
Mendadak aku teringat kata- katanya kemarin. Hormati pertunangan kami! Huff, harusnya dia juga menghormatinya bukan? Jadi selama ini siapa yang tidak hormat?
“Udah sampai, Lin,”
Aku tersentak. Raskal memicingkan matanya menatapku.
“Ayo turun,” ajaknya lagi. Kuanggukkan kepala lalu mengikutnya turun dari mobil.
Kupikir Raskal akan mengajakku ke pantai, seperti waktu itu. Namun ternyata ia mengajakku ke salah satu area wisata outdoor. Pepohonan hijau tinggi menjulang mengitari di sekeliling area. Sejuk dan segar.
“Gue pikir lo ngajak gue ke pantai lagi,”
Raskal mencibir, “Kamu pikir disini nggak asyik gitu!”
Sebelah alisku terangkat, “Kalau gitu buktiin disini asyik,”
Raskal tersenyum lebar, “Ok Lady, aku janji bikin kamu nggak nyesel!”
Kuacungkan jempol kananku, “Sip.”
Raskal menepati janjinya. Ia membawaku berkeliling kawasan wisata. Melihat beberapa binatang- binatang yang dipelihara di area. Menikmati beberapa kegiatan memacu adrenalin seperti flying fox. Aku menjerit senang saat mencobanya. Hingga akhirnya tak terasa waktu sudah menjelang sore, membuatku dan Raskal harus pulang.
“Seru kan?”
Saat ini aku dan Raskal sedang menikmati santap siang yang tertunda. Yah karena asyik bermain, kami melupakan makan siang.
Kuanggukkan kepala menjawab pertanyaan Raskal. Mulutku masih mengunyah gurame bakar yang benar- benar sangat lezat menyentuh lidah.
“Laper, Non!”
Aku mendelik. Uh, ia menggodaku.
“Enak banget, Kal!” kataku kemudian setelah menelan makanan.
Raskal tersenyum, “Ya ya ya! Sudah lanjutkan makannya,” ujarnya seraya menyesap orange juicenya.
= Mendadak Tunangan =

 “Lo harus ngomong sama Raskal?”
Aku mendengus gusar. Lagi- lagi Raskal?
Kuputar bola mata jengah, “Udah deh, La. Entar juga gue bilang?”
“KAPAN?”
“Nggak usah pake teriak bisa?” Balasku tak kalah sewot. Sejujurnya aku tersinggung dengannya. Sudah dua hari mendiamkanku, kini malah berteriak. Bukan Lula, sahabatku.
“Gue nggak suka punya sahabat yang plin- plan. Nggak bisa jaga komitmen,”
“E…Lo…,”
“Lo sadar nggak sih seharian pergi sama cowok lain padahal tunangan lo jauh- jauh datang tapi lo cuekin. Walaupun lo nggak suka ditunangin tapi lo nggak juga harus ngebiarin Akash kayak anak ilang disini,”
Aku tercekat kaget saat mendengar kata- kata Lula. Lula mengingatkanku dengan kata- katanya yang tajam, namun benar. Aku melupakan fakta sejak kedatangannya kemarin Akash justru masih berdiam diri di rumah. Dan kemarin aku malah menghabiskan waktu seharian dengan Raskal.
“Udah deh kalian ini kenapa ribut aja sih,” Anin yang baru tiba berusaha menengahi kami. Aku membuang muka. Tak enak hati juga ribut di rumah orang.
“Gue balik besok, Nin!”
Kontak aku terbelalak. Kaget. Kurasa Anin juga sama terkejutnya dengan ucapan Lula.
“Ya La, kan masih seminggu lagi katanya lo disini,” tawar Anin. Aku memilih diam mendengarkan.
“Sorry Nin, gue ada urusan,” Aku yakin alasan Lula dibuat- buat. Justru kurasa aku penyebabnya.
“Ya Lula mah,” Anin masih merajuk.
Lula tersenyum tipis, “Maaf deh Nin, next time gue kesini lagi,” lalu Lula memandangku, “Sorry Lin, gue balik duluan!”
Aku melongo. Bukan- bukan karena kalimatnya yang terkesan datar dan dingin tapi lebih ke sikapnya yang langsung berbalik pergi meninggalkanku tanpa menunggu aku berbicara. Ya Tuhan, Lula benar- benar marah!
Kutatap Anin. Ia hanya mengangkat bahunya. Argh, bagaimana ini!
= Mendadak Tunangan =

Langit malam ini sangat indah. Beberapa bintang terlihat terang. Namun tak seperti hatiku. Gundah tak tentu. Semua gara- gara kata- kata Lula.  Rencana kepulangannya yang mendadak, diluar jadwal yang sudah kami susun mau tak mau membuatku gelisah. Aku yakin pasti Lula marah karena kebersamaanku bersama Raskal seharian kemarin.
Raskal. Mengingat lelaki itu membuatku tersenyum- senyum. Raskal membuatku selalu bahagia dengan segala sikapnya. Ia selalu memberikan yang terbaik untukku. Menjadikanku selalu yang pertama. Gelak tawa selalu mewarnai saat aku bersama dengannya.
Aku terlalu nyaman bersamanya, hingga tak kuasa mengatakan tentang status pertunanganku. Aku terlalu takut bila kukatakan sejujurnya, ia akan membuat jarak diantara kami. Aku takut bila kenyamanan saat bersamanya menjadi berakhir.
“Gue minta maaf,”
Aku terhenyak.  Akash?
Kini ia mengambil posisi di sampingku. Matanya lurus memandang ke depan. Dengan hati- hati dihelanya nafas dalam membuatku mengernyitkan dahi sejenak.
“Untuk?”
“Semua. Gue rasa gue malah banyak bikin lo kesel,”
Aku berdecih, “Sadar?”
“Besok gue balik!”
Hah! Apa katanya?
“Balik?”
Akash mengangguk, “Iya bareng Lula juga,”
Kepalaku mengangguk beberapa kali. Aku memilih diam. Toh keinginannya sendiri untuk pulang.
“Dan pertunangan kita batal,”
Aku terperangah. “Mak…maksudnya?”
“Sudah nggak ada yang harus dibahas kan!” Akash beranjak berdiri, “Kita nggak ada ikatan sekarang! Dan maaf untuk semuanya!”
Akash melangkah meninggalkanku yang masih bengong dan  mencerna ucapannya.
Jadi tunangan dibatalkan? Dan gue bebas!  Tunggu? Mengapa ada sakit di hati ini?
= Mendadak Tunangan =

 “Yah, kok lo sebentar banget disini, Kash?” Protes yang meluncur dari bibir Raskal saat mendapati pagi ini Akash, Lula dan Langga tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Sepertinya Anin meminta bantuan Raskal untuk mengantar mereka ke terminal. Lagi- lagi jalur darat menjadi pilihan ketiganya.
Kulirik Akash tersenyum kecut, “He, gue ada urusan lagian kasian Lula balik sendiri!”
“Lah lo nggak kasian sama Olin. Dia juga sendiri!” Kali ini Anin yang berkomentar. Aku meliriknya sinis. Apa- apaan sih dia?
“Kalau Olin tenang aja, Nin. Gue senang hati mengantarnya sampai depan rumah,”
Aku mencibir mendengar perkataan Raskal. Gombal. Aku menatapnya yang ternyata juga sedang menatapku. Lalu bibirnya menyunggingkan senyuman merona seketika.
“Ya udah yuk berangkat! Panas lama- lama disini!”
Mak jleb.
Aku yakin sekali ucapan Lula ditujukan ke diriku. Aku manyun. Jutek amat sih dia? Belum tahu kalau aku sudah bukan tunangan Akash lagi. Tunggu saja hingg kuberitahu yang sesungguhnya!
Ekor mataku menangkap Akash yang tengah menatapku lalu menghela nafas dalam. Membuatku merasa tak nyaman. Namun saat kuarahkan pandangan menatapnya, ia justru membuang muka.
Aku menggigit bibir. Maaf Kash, bisikku lirih.

= Mendadak Tunangan =

Sebelumnya : 8

Sabtu, 08 November 2014

Mendadak Tunangan (6)

Sebelumnya : 5

Mendadak Tunangan (6)

“Lo jadian sama Raskal?” pertanyaan Anin sontak membuatku terkesiap kaget. Aku yang sedang membaca di taman kecil disamping kanan rumahnya mengucap istighfar sesaat.
Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya, “Nggak.”
“Serius?” Anin memilih duduk di kursi yang berseberanganku. Hal ini memudahkannya melihat langsung ke diriku.
Kuanggukkan kepala mantap, “Serius lah gue, tapi…,”
Sesaat aku menghentikan omongan. Meyakinkan diri Anin juga perlu tahu tentang yang terjadi antara diriku dan Raskal.
“Tapi apa?” Alis matanya bertaut. Menandakan ia tak sabar menunggu ucapanku selanjutnya.
“Dia nembak gue,”
“Kapan?” Tanya Anin datar. Aku sedikit heran, kukira ekspresinya tak setenang itu. Yang kutahu pribadi Anin meledak- ledak.
“Kemarin,”
“Oh. Di pantai,”
“Iya,”
“Itu yang bikin Lula marah?”
Kuanggukan kepala lemah. Kupikir Anin sudah dapat menebak semua yang terjadi.  Daya pikirnya kritis. Apalagi perang dingin antara diriku dan Lula masih terjadi. Lula masih mendiamkanku sejak pembicaraan semalam.
“Lalu?”
Aku mengernyit, “Apanya?”
“Lo sama Raskal? Lo bilang kan kalau lo udah tunangan,”
Aku terdiam. Sesaat wajah Akash melintas dalam pikiranku. Salahkah aku jika kukatakan pertunangan ini membuatku terikat satu pria. Padahal aku masih menginginkan kebebasan untuk mencintai dan dicintai siapapun. Hatiku menginginkan yang terbaik yang kelak menjadi pendampingku. Yang kucintai sepenuh hati.
“Gue nggak tahu,”
“Astaga, Lin!” Anin menepuk dahinya frustasi, “Wajar Lula ngambek sama lo. Lo nya nggak tegas gitu,”
“Ada hal lain juga yang membuatnya marah,” ungkapku jujur dengan nada pelan.
“Apa?”
“Gu… gue sama Raskal ci…ciuman!”
Seketika mata Anin melotot. Ia berdecak kesal. Dapat kulihat raut wajahnya menegang.
“Kalau gitu juga gue ngamuk sama lo!” Ia berkata ketus membuatku makin didera salah.
“Tapi, Nin…,”
“Kalau lo nggak nyaman tunangan sama Akash coba lo bilang baik- baik dengannya. Bukannya malah ngasih harapan ke cowok lain,”
“Tapi orang tua gue?”
Anin mendengus, “Ya elah Lin, kalau yang ditunangin nggak mau. Orang tua mau bilang apa! Saran gue selesein urusan lo sama Akash. Bilang juga yang sebenarnya sama Raskal. Biar jelas semua. Dan predikat lo sebagai cewek baik- baik masih aman,”
“Dan…,”
Aku menatap Anin. Menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, “Dan apa?”
“Dan Akash ada disini sekarang,”
Whattt????
= Mendadak Tunangan =

Setengah berlari aku menuju kamar yang terletak diujung kiri ruang keluarga Anin. Jantungku berpacu cepat saat Anin mengatakan Akash ada disini. Di rumah Anin. Di salah satu kamarnya.
Argh, desahku frustasi. Bagaimana bisa?
“AKASH!” teriakku kencang  saat membuka pintu kamar. Salah tepatnya menerjang. Karena aku mendorong pintu dengan sangat keras. Beruntunglah pintu kamar tak terkunci, kalau tidak kurasa tanganku akan sakit sendiri.
Aku tertegun seketika. Akash yang kulihat baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di kamar. Ia bertelanjang dada dengan boxer biru tua menutupi bagian bawah tubuhnya. Sepertinya ia baru selesai mandi. Terlihat dari beberapa tetes air di tubuh coklatnya. Lalu rambutnya yang juga basah. Err… kenapa ia terlihat sexy! Padahal tubuh Akash tidak eighpack, sixpack atau apalah itu. Dia cenderung kurus tapi berisi.
“Oh Hai, Sayang!”
Aku tersentak. Kembali ke dunia nyata. Tajam kutatap dirinya, “Ngapain kesini?”
Ia tersenyum simpul lalu melangkah mendekati ranselnya yang tergeletak di pojok ranjang. Dengan acuh diraihnya kaos dan dikenakannya segera.
“AKASH!” Teriakku kembali.
“Liburan,”
“BOHONG! NGIKUTIN GUE KAN!”
“Mengunjungi tunangan tepatnya,” Ia menyeringai lebar.
“Ganggu liburan gue aja ah,” Tak urung protesku keluar juga.
Akash tertawa, “Tapi lo senang kan gue datang?”
Aku mendelik, “Senang dari hongkong.”
“Hongkong jauh, Lin!”
“Cewek lo galak banget, Kash!”
Aku berjengit kaget. Spontan kuarahkan pandangan ke ranjang yang mulai bergerak. Aku melonjak saat mendapati sebuah kepala dibalik selimut.
“Sumpah! Gue masih ngantuk!”
Kudengar Akash terkekeh. Kutatapnya dirinya tajam. Lalu bergantian kualihkan pandangan pada sosok yang kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Langga?
Jadi Akash bersama sahabatnya kesini. Ah, sial kenapa Anin nggak bilang kalau Akash datang tak sendiri. Dia hanya bilang Akash ada disini. Tiba di waktu dini hari, ketika aku masih terlelap. Anin sendiri tak tega membangunkanku apalagi dia tahu Akash juga lelah. Jadilah ia baru memberitahuku pagi ini.
“Kok?” kulirik Akash kemudian.
Masih dengan terkekeh, Akash membalik tubuhku dan mendorong bahunya keluar kamar.
“Kasihan tuh bocah masih ngantuk,” Ucap Akash sesaat setelah kami berada di luar kamar.
“So?” Tanganku bersidekap di dada. Menatapnya tajam.
Akash berdecak, “Ribet amat sih lo,”
Aku mendelik, “Lo…,”
“Lho Akash udah bangun?” Sapaan mama Anin yang tengah berjalan dari arah dapur, kontan membuatku terhenti untuk memarahinya lagi.
“Udah, Tan!” Sahut Akash ramah namun tak urung membuatku mencibir. Basa- basi.
“Ya udah sarapan dulu gih! Kamu juga, Lin!”
“Iya, Tante.” Berbarengan aku dan Akash menjawab. Aku melototkan mata padanya. Apasih ikut- ikut?
Mama Anin tersenyum, “Sekalian temannya mana Kash?”
“Masih di kamar, Tan. Aku bangunin dulu,”
“Ya udah, Olin panggil Anin sama Lula ya! Kita sarapan sama- sama.”
Kuanggukkan kepala mendengar perintah mama Anin. Sesaat sebelum kutinggalkan Akash aku menatapnya tajam. Urusan kita belum selesai, Bung!
= Mendadak Tunangan =

Mendadak aku sesak nafas. Panik menyerang. Saat melihat Akash tengah berbincang- bincang dengan Raskal di beranda rumah Anin. Aku baru saja kembali dari supermarket. Ada beberapa keperluan pribadi yang kubutuhkan. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Mencari siluet Anin atau Lula. Tapi nihil. Kedua sahabatku itu tak terlihat keberadaannya.
Aku menghela nafas dalam. Apa boleh buat? Harus tetap dihadapi.
“Hai Lin,” Ternyata Raskal yang melihat kedatanganku terlebih dulu. Ia melambaikan tangannya sesaat. Ia mengulas senyum. Uh, kenapa dia semakin terlihat tampan?
Aku tersenyum tipis, “Oh hai, udah lama?” tanyaku basa- basi.
Raskal menggeleng, “Ya gitu deh. Tapi seru nih ngobrol sama Akash,”
Kulirik sejenak Akash yang  kini juga sedang menatapku, aku mendengus. Duh, ngapain sih mereka pake ngobrol- ngobrol.
“Ya udah terusin aja ngobrolnya, gue masuk dulu,”
“Eh, Lin…,”
“Nggak usah,”
Kedua lelaki di depanku kompak bersuara. Aku memandang keduanya bergantian. Raskal terdiam seraya menatapku dan Akash bergantian sedangkan Akash justru melihatku dengan acuh.
“Nggak  usah,” Akash melanjutkan kalimatnya, “Gue aja yang masuk. Raskal kesini juga nyari lo,”
Dapat kudengar nada bicara Akash yang beda. Terdengar sedikit ketus. Belum sempat aku menanyakannya, ia sudah melenggang meninggalkan kami berdua.
Aku terpaku sesaat. Mengapa dadaku terasa sesak? Ada apa ini?
“Lin,” suara Raskal menyadarkanku. Aku tergagap.
“Eh Iya. Iya,”
“Kenapa?”
Kugelengkan kepala, “Nggak papa. Bdw kenapa nyari gue?”
“Itu, eh aku…,” Raskal mengusap- usap tengkuk belakangnya. Kenapa dia? Gugup?
Aku masih diam. Memilih menunggu Raskal menyelesaikan kalimatnya.
“Aku mau ngajak kamu jalan,”
“Kemana?”
“Jalan- jalan aja. Tapi kita berdua aja,”
“Kencan?” Sedetik kemudian aku merutuki mulutku yang tidak memiliki rem control. Asal aja ngomong, Lin! Ngarep banget diajak kencan.
Raskal tertawa lalu ia sedikit menundukkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajahnya, “Jadi ngarep kencan?”
Spontan aku mundur selangkah, wajah kami yang terlalu dekat membuatku gugup. Degup jantungku berpacu cepat.
“Eh, itu. Gue…!”
“Aku nggak keberatan kok kalau kita kencan,” Seringaian tercipta di wajahnya.
“Tauk ah,” Aku melengos. Lalu membalikkan tubuh dan menghempaskan tubuh di kursi yang terletak di teras rumah Anin. Masih dengan senyuman jahil, Raskal pun mengikutiku. Ia mengambil tempat di kursi sebelahnya.
“Jadi?”
Sebelah alisku terangkat, “Apa?”
“Aku kan ngajak kamu pergi, Lin!”
“Oh,” Aku menyahut singkat. sejujurnya aku ingin pergi, namun entah mengapa keberadaan Akash membuatku enggan beranjak.
“Lin,” Fine. Kurasa konsentasiku mulai buyar. Ah, semua gara- gara Akash ini!
“Kamu sakit? Capek? Dari tadi nggak fokus?”
Aku menggeleng. Mataku menangkap hilir mudik kendaraan di depan jalanan rumah Anin.
“Gara- gara pernyataanku kemarin ya?”
Aku mengedikkan bahu tanpa mengalihkan pandangan.
“Jangan dipikirin, Lin!” aku menoleh dan mendapati manik hitam tepat mengarah padaku, “Ya mungkin buat kamu terburu- buru, jadi jangan dipaksa! Tetapi aku serius!” Jemari telunjuk dan jari tengahnya terangkat bersamaan membentuk huruf v.
Aku tersenyum tipis, “Thanks,”
“Ya udah kalau gitu aku pulang aja,”
Perasaan bersalah menggelayutiku, “Sorry, Kal!”
“Its Ok, kupikir aku juga yang salah. kemarin kan kita baru dari pantai, pasti kamu capek. Belum kamu kedatangan teman lagi,”
“Teman?” tanyaku memastikan.
“Loh iyakan Akash teman kamu? Dia juga dari Jakarta kan?”
“Oh,” Mulutku membulat. Teman? Jadi Akash bilangnya kami teman. Jadi arti cincin ini. Pelan kuusap benda yang melingkari jemariku,
“Ya udah, aku pulang ya!” Raskal beranjak dari duduknya. Kuanggukkan kepala, “Sorry,”
“Nggak papa, Lin,” Raskal tersenyum, “Aku pulang ya!”
Aku menghela nafas dalam melihat punggung Raskal yang mulai menjauhiku. Tak lama tubuh kokohnya hilang di balik pagar rumah.  Jangan lupakan Raskal tetangga Anin, jadi belok sedikit ia sudah tiba di halaman rumahnya.
= Mendadak Tunangan =

Seharian kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar, tenggelam dalam koleksi novel Anin yang segudang banyaknya. Sedangkan yang lain aku tak tahu, hanya Anin yang sempat mengatakan hari ini ia akan ke kampus untuk menyelesaikan permasalahan nilainya.
Tiba- tiba kurasakan perutku berontak. Kulirik jam di dinding. 13.40. Uh, pantas saja lapar, aku terlewat jam makan siang.
Maka dengan sedikit enggan aku beranjak dari empuknya kasur. Dahiku sedikit berkerut saat mendapati keadaan sepi. Pada kemana yang lain, tanyaku dalam hati. Ah, biarlah.
Kuarahkan kaki menuju dapur. Aku melirik meja makan yang tertutup tudung saji berwarna biru. Mungkin sisa makan siang!
Kulirik kulkas yang berada disisi kiri.  Aku tersenyum tipis. Siapa tahu ada makanan yang lain. Mataku menjelajah isi kulkas, dan akhirnya aku mengambil sebutir telur. Bikin mie aja lah!
“Oh, jadi itu yang bikin kamu betah disini!”
“Astaga!” pekikku tepat ketika aku menutup pintu kulkas. Aku menoleh dan menadapati Akash sedang bersandar di pintu yang memisahkan ruang makan dan dapur dengan tangan bersidekap di dada.
Aku berdecih, “Bisa nggak sih nggak buat orang jantungan!”
“Ya paling masuk rumah sakit,”
Sahutan asal yang meluncur dari bibir Akash kontan membuatku melotot. Sialan dia!
“Kok sepi?” tanyaku sambil megambil sebungkus mi instan yang diletakkan mama Anin di lemari atas dapur. Tanganku pun dengan cekatan meraih panci yang akan digunakan unyuk memasak.
“Anin kuliah. Lula nemenin Langga ke rumah temennya,” Jelas Akash yang membuatku mengalihkan pandangan ke dirinya.
“Nah lo? Kenapa nggak ikut,” ujarku lalu kembali menekuni masakan.
“Dan ngebiarin lo pacaran ma tu cowok sebelah!”
Sejenak tanganku terhenti, “Lebay deh, Kash!” Jawabku santai tanpa mengalihkan pandangan. Aku tahu Akash mencoba menginterogasiku.
“Lo suka?”
“Hah,” Kini aku menoleh, melihatnya dengan pandangan menuntut penjelasan.
“Lo suka sama dia?”
“Kalau gue suka apa urusan lo?”
“Lo lupa?” Akash menunjukkan cincin yang berada jemarinya, membuatu menelan ludah pahit.
“So?” Aku mencoba menantangnya. Mengabaikan status kami yang “terpaksa”
Akash melangkah mendekatiku. Wajahnya datar namun tatapannya dingin. Aku mengkeret. Jarak kami terlalu dekat membuatku dapat mencium aroma parfum tubuhnya.
“Hor.ma.ti. itu!” Akash memberikan penekanan di kalimat yang diucapkannya. Lalu ia berbalik meninggalkanku.
Aku ternganga. Tak percaya.

= Mendadak Tunangan =


Selanjutnya : 7