Sabtu, 08 November 2014

Mendadak Tunangan (6)

Sebelumnya : 5

Mendadak Tunangan (6)

“Lo jadian sama Raskal?” pertanyaan Anin sontak membuatku terkesiap kaget. Aku yang sedang membaca di taman kecil disamping kanan rumahnya mengucap istighfar sesaat.
Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya, “Nggak.”
“Serius?” Anin memilih duduk di kursi yang berseberanganku. Hal ini memudahkannya melihat langsung ke diriku.
Kuanggukkan kepala mantap, “Serius lah gue, tapi…,”
Sesaat aku menghentikan omongan. Meyakinkan diri Anin juga perlu tahu tentang yang terjadi antara diriku dan Raskal.
“Tapi apa?” Alis matanya bertaut. Menandakan ia tak sabar menunggu ucapanku selanjutnya.
“Dia nembak gue,”
“Kapan?” Tanya Anin datar. Aku sedikit heran, kukira ekspresinya tak setenang itu. Yang kutahu pribadi Anin meledak- ledak.
“Kemarin,”
“Oh. Di pantai,”
“Iya,”
“Itu yang bikin Lula marah?”
Kuanggukan kepala lemah. Kupikir Anin sudah dapat menebak semua yang terjadi.  Daya pikirnya kritis. Apalagi perang dingin antara diriku dan Lula masih terjadi. Lula masih mendiamkanku sejak pembicaraan semalam.
“Lalu?”
Aku mengernyit, “Apanya?”
“Lo sama Raskal? Lo bilang kan kalau lo udah tunangan,”
Aku terdiam. Sesaat wajah Akash melintas dalam pikiranku. Salahkah aku jika kukatakan pertunangan ini membuatku terikat satu pria. Padahal aku masih menginginkan kebebasan untuk mencintai dan dicintai siapapun. Hatiku menginginkan yang terbaik yang kelak menjadi pendampingku. Yang kucintai sepenuh hati.
“Gue nggak tahu,”
“Astaga, Lin!” Anin menepuk dahinya frustasi, “Wajar Lula ngambek sama lo. Lo nya nggak tegas gitu,”
“Ada hal lain juga yang membuatnya marah,” ungkapku jujur dengan nada pelan.
“Apa?”
“Gu… gue sama Raskal ci…ciuman!”
Seketika mata Anin melotot. Ia berdecak kesal. Dapat kulihat raut wajahnya menegang.
“Kalau gitu juga gue ngamuk sama lo!” Ia berkata ketus membuatku makin didera salah.
“Tapi, Nin…,”
“Kalau lo nggak nyaman tunangan sama Akash coba lo bilang baik- baik dengannya. Bukannya malah ngasih harapan ke cowok lain,”
“Tapi orang tua gue?”
Anin mendengus, “Ya elah Lin, kalau yang ditunangin nggak mau. Orang tua mau bilang apa! Saran gue selesein urusan lo sama Akash. Bilang juga yang sebenarnya sama Raskal. Biar jelas semua. Dan predikat lo sebagai cewek baik- baik masih aman,”
“Dan…,”
Aku menatap Anin. Menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, “Dan apa?”
“Dan Akash ada disini sekarang,”
Whattt????
= Mendadak Tunangan =

Setengah berlari aku menuju kamar yang terletak diujung kiri ruang keluarga Anin. Jantungku berpacu cepat saat Anin mengatakan Akash ada disini. Di rumah Anin. Di salah satu kamarnya.
Argh, desahku frustasi. Bagaimana bisa?
“AKASH!” teriakku kencang  saat membuka pintu kamar. Salah tepatnya menerjang. Karena aku mendorong pintu dengan sangat keras. Beruntunglah pintu kamar tak terkunci, kalau tidak kurasa tanganku akan sakit sendiri.
Aku tertegun seketika. Akash yang kulihat baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di kamar. Ia bertelanjang dada dengan boxer biru tua menutupi bagian bawah tubuhnya. Sepertinya ia baru selesai mandi. Terlihat dari beberapa tetes air di tubuh coklatnya. Lalu rambutnya yang juga basah. Err… kenapa ia terlihat sexy! Padahal tubuh Akash tidak eighpack, sixpack atau apalah itu. Dia cenderung kurus tapi berisi.
“Oh Hai, Sayang!”
Aku tersentak. Kembali ke dunia nyata. Tajam kutatap dirinya, “Ngapain kesini?”
Ia tersenyum simpul lalu melangkah mendekati ranselnya yang tergeletak di pojok ranjang. Dengan acuh diraihnya kaos dan dikenakannya segera.
“AKASH!” Teriakku kembali.
“Liburan,”
“BOHONG! NGIKUTIN GUE KAN!”
“Mengunjungi tunangan tepatnya,” Ia menyeringai lebar.
“Ganggu liburan gue aja ah,” Tak urung protesku keluar juga.
Akash tertawa, “Tapi lo senang kan gue datang?”
Aku mendelik, “Senang dari hongkong.”
“Hongkong jauh, Lin!”
“Cewek lo galak banget, Kash!”
Aku berjengit kaget. Spontan kuarahkan pandangan ke ranjang yang mulai bergerak. Aku melonjak saat mendapati sebuah kepala dibalik selimut.
“Sumpah! Gue masih ngantuk!”
Kudengar Akash terkekeh. Kutatapnya dirinya tajam. Lalu bergantian kualihkan pandangan pada sosok yang kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Langga?
Jadi Akash bersama sahabatnya kesini. Ah, sial kenapa Anin nggak bilang kalau Akash datang tak sendiri. Dia hanya bilang Akash ada disini. Tiba di waktu dini hari, ketika aku masih terlelap. Anin sendiri tak tega membangunkanku apalagi dia tahu Akash juga lelah. Jadilah ia baru memberitahuku pagi ini.
“Kok?” kulirik Akash kemudian.
Masih dengan terkekeh, Akash membalik tubuhku dan mendorong bahunya keluar kamar.
“Kasihan tuh bocah masih ngantuk,” Ucap Akash sesaat setelah kami berada di luar kamar.
“So?” Tanganku bersidekap di dada. Menatapnya tajam.
Akash berdecak, “Ribet amat sih lo,”
Aku mendelik, “Lo…,”
“Lho Akash udah bangun?” Sapaan mama Anin yang tengah berjalan dari arah dapur, kontan membuatku terhenti untuk memarahinya lagi.
“Udah, Tan!” Sahut Akash ramah namun tak urung membuatku mencibir. Basa- basi.
“Ya udah sarapan dulu gih! Kamu juga, Lin!”
“Iya, Tante.” Berbarengan aku dan Akash menjawab. Aku melototkan mata padanya. Apasih ikut- ikut?
Mama Anin tersenyum, “Sekalian temannya mana Kash?”
“Masih di kamar, Tan. Aku bangunin dulu,”
“Ya udah, Olin panggil Anin sama Lula ya! Kita sarapan sama- sama.”
Kuanggukkan kepala mendengar perintah mama Anin. Sesaat sebelum kutinggalkan Akash aku menatapnya tajam. Urusan kita belum selesai, Bung!
= Mendadak Tunangan =

Mendadak aku sesak nafas. Panik menyerang. Saat melihat Akash tengah berbincang- bincang dengan Raskal di beranda rumah Anin. Aku baru saja kembali dari supermarket. Ada beberapa keperluan pribadi yang kubutuhkan. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Mencari siluet Anin atau Lula. Tapi nihil. Kedua sahabatku itu tak terlihat keberadaannya.
Aku menghela nafas dalam. Apa boleh buat? Harus tetap dihadapi.
“Hai Lin,” Ternyata Raskal yang melihat kedatanganku terlebih dulu. Ia melambaikan tangannya sesaat. Ia mengulas senyum. Uh, kenapa dia semakin terlihat tampan?
Aku tersenyum tipis, “Oh hai, udah lama?” tanyaku basa- basi.
Raskal menggeleng, “Ya gitu deh. Tapi seru nih ngobrol sama Akash,”
Kulirik sejenak Akash yang  kini juga sedang menatapku, aku mendengus. Duh, ngapain sih mereka pake ngobrol- ngobrol.
“Ya udah terusin aja ngobrolnya, gue masuk dulu,”
“Eh, Lin…,”
“Nggak usah,”
Kedua lelaki di depanku kompak bersuara. Aku memandang keduanya bergantian. Raskal terdiam seraya menatapku dan Akash bergantian sedangkan Akash justru melihatku dengan acuh.
“Nggak  usah,” Akash melanjutkan kalimatnya, “Gue aja yang masuk. Raskal kesini juga nyari lo,”
Dapat kudengar nada bicara Akash yang beda. Terdengar sedikit ketus. Belum sempat aku menanyakannya, ia sudah melenggang meninggalkan kami berdua.
Aku terpaku sesaat. Mengapa dadaku terasa sesak? Ada apa ini?
“Lin,” suara Raskal menyadarkanku. Aku tergagap.
“Eh Iya. Iya,”
“Kenapa?”
Kugelengkan kepala, “Nggak papa. Bdw kenapa nyari gue?”
“Itu, eh aku…,” Raskal mengusap- usap tengkuk belakangnya. Kenapa dia? Gugup?
Aku masih diam. Memilih menunggu Raskal menyelesaikan kalimatnya.
“Aku mau ngajak kamu jalan,”
“Kemana?”
“Jalan- jalan aja. Tapi kita berdua aja,”
“Kencan?” Sedetik kemudian aku merutuki mulutku yang tidak memiliki rem control. Asal aja ngomong, Lin! Ngarep banget diajak kencan.
Raskal tertawa lalu ia sedikit menundukkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajahnya, “Jadi ngarep kencan?”
Spontan aku mundur selangkah, wajah kami yang terlalu dekat membuatku gugup. Degup jantungku berpacu cepat.
“Eh, itu. Gue…!”
“Aku nggak keberatan kok kalau kita kencan,” Seringaian tercipta di wajahnya.
“Tauk ah,” Aku melengos. Lalu membalikkan tubuh dan menghempaskan tubuh di kursi yang terletak di teras rumah Anin. Masih dengan senyuman jahil, Raskal pun mengikutiku. Ia mengambil tempat di kursi sebelahnya.
“Jadi?”
Sebelah alisku terangkat, “Apa?”
“Aku kan ngajak kamu pergi, Lin!”
“Oh,” Aku menyahut singkat. sejujurnya aku ingin pergi, namun entah mengapa keberadaan Akash membuatku enggan beranjak.
“Lin,” Fine. Kurasa konsentasiku mulai buyar. Ah, semua gara- gara Akash ini!
“Kamu sakit? Capek? Dari tadi nggak fokus?”
Aku menggeleng. Mataku menangkap hilir mudik kendaraan di depan jalanan rumah Anin.
“Gara- gara pernyataanku kemarin ya?”
Aku mengedikkan bahu tanpa mengalihkan pandangan.
“Jangan dipikirin, Lin!” aku menoleh dan mendapati manik hitam tepat mengarah padaku, “Ya mungkin buat kamu terburu- buru, jadi jangan dipaksa! Tetapi aku serius!” Jemari telunjuk dan jari tengahnya terangkat bersamaan membentuk huruf v.
Aku tersenyum tipis, “Thanks,”
“Ya udah kalau gitu aku pulang aja,”
Perasaan bersalah menggelayutiku, “Sorry, Kal!”
“Its Ok, kupikir aku juga yang salah. kemarin kan kita baru dari pantai, pasti kamu capek. Belum kamu kedatangan teman lagi,”
“Teman?” tanyaku memastikan.
“Loh iyakan Akash teman kamu? Dia juga dari Jakarta kan?”
“Oh,” Mulutku membulat. Teman? Jadi Akash bilangnya kami teman. Jadi arti cincin ini. Pelan kuusap benda yang melingkari jemariku,
“Ya udah, aku pulang ya!” Raskal beranjak dari duduknya. Kuanggukkan kepala, “Sorry,”
“Nggak papa, Lin,” Raskal tersenyum, “Aku pulang ya!”
Aku menghela nafas dalam melihat punggung Raskal yang mulai menjauhiku. Tak lama tubuh kokohnya hilang di balik pagar rumah.  Jangan lupakan Raskal tetangga Anin, jadi belok sedikit ia sudah tiba di halaman rumahnya.
= Mendadak Tunangan =

Seharian kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar, tenggelam dalam koleksi novel Anin yang segudang banyaknya. Sedangkan yang lain aku tak tahu, hanya Anin yang sempat mengatakan hari ini ia akan ke kampus untuk menyelesaikan permasalahan nilainya.
Tiba- tiba kurasakan perutku berontak. Kulirik jam di dinding. 13.40. Uh, pantas saja lapar, aku terlewat jam makan siang.
Maka dengan sedikit enggan aku beranjak dari empuknya kasur. Dahiku sedikit berkerut saat mendapati keadaan sepi. Pada kemana yang lain, tanyaku dalam hati. Ah, biarlah.
Kuarahkan kaki menuju dapur. Aku melirik meja makan yang tertutup tudung saji berwarna biru. Mungkin sisa makan siang!
Kulirik kulkas yang berada disisi kiri.  Aku tersenyum tipis. Siapa tahu ada makanan yang lain. Mataku menjelajah isi kulkas, dan akhirnya aku mengambil sebutir telur. Bikin mie aja lah!
“Oh, jadi itu yang bikin kamu betah disini!”
“Astaga!” pekikku tepat ketika aku menutup pintu kulkas. Aku menoleh dan menadapati Akash sedang bersandar di pintu yang memisahkan ruang makan dan dapur dengan tangan bersidekap di dada.
Aku berdecih, “Bisa nggak sih nggak buat orang jantungan!”
“Ya paling masuk rumah sakit,”
Sahutan asal yang meluncur dari bibir Akash kontan membuatku melotot. Sialan dia!
“Kok sepi?” tanyaku sambil megambil sebungkus mi instan yang diletakkan mama Anin di lemari atas dapur. Tanganku pun dengan cekatan meraih panci yang akan digunakan unyuk memasak.
“Anin kuliah. Lula nemenin Langga ke rumah temennya,” Jelas Akash yang membuatku mengalihkan pandangan ke dirinya.
“Nah lo? Kenapa nggak ikut,” ujarku lalu kembali menekuni masakan.
“Dan ngebiarin lo pacaran ma tu cowok sebelah!”
Sejenak tanganku terhenti, “Lebay deh, Kash!” Jawabku santai tanpa mengalihkan pandangan. Aku tahu Akash mencoba menginterogasiku.
“Lo suka?”
“Hah,” Kini aku menoleh, melihatnya dengan pandangan menuntut penjelasan.
“Lo suka sama dia?”
“Kalau gue suka apa urusan lo?”
“Lo lupa?” Akash menunjukkan cincin yang berada jemarinya, membuatu menelan ludah pahit.
“So?” Aku mencoba menantangnya. Mengabaikan status kami yang “terpaksa”
Akash melangkah mendekatiku. Wajahnya datar namun tatapannya dingin. Aku mengkeret. Jarak kami terlalu dekat membuatku dapat mencium aroma parfum tubuhnya.
“Hor.ma.ti. itu!” Akash memberikan penekanan di kalimat yang diucapkannya. Lalu ia berbalik meninggalkanku.
Aku ternganga. Tak percaya.

= Mendadak Tunangan =


Selanjutnya : 7

2 komentar: