Rabu, 05 November 2014

Mendadak Tunangan (3)

Sebelumnya : 2


Mendadak Tunangan (3)

Ingin rasanya aku meraih bantal dan guling lalu merebahkan segera tubuh ini di kasur, namun urung kulakukan. Mengingat wajahku masih terasa berat dengan make- up yang belum terhapus. Kalau kuikuti keinginan, dengan senang hati jerawat berpesta di mukaku. Belum lagi tubuh yang  kurasakan lengket. Gerah.  Aku butuh mandi segera.
Dengan langkah sedikit berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku.
Ping
Aku terhenti sejenak mendengar notifikasi BBM. Keningku berkerut, siapa sih malam- malam begini. Ah, nanti saja, pikirku. Aku memilih mengabaikannya. Wajah dan tubuhku butuh air segar sekarang!
Anindya  Dewi
Wey mak lampir! Sialan! Tnngan g kbrn gw!
Aku tertawa kecil saat membaca pesan yang masuk ke akun BBMku sesaat setelah selesai mandi.  Anin, sahabatku sejak kecil namun hampir tiga tahun ini pindah ke pulau seberang mengikuti orang tuanya yang pindah tugas.
Ya ampun panggilannya itu! Mak lampir? Plis deh, jauh amat aku yang cantik dengan mak lampir yang rambutnya kusut tak keruan.
Heh! Cantikkn gw drpd mak lampir! :p
Blm tdr lo?
Dengan segera kukirimkan balasan padanya. Aku terkekeh melihat tanda R yang langsung tercetak di layar. Kuyakin dirinya penasaran sekali.
Anindya  Dewi
Blm. Brsn telpn Lula ktny dr acra tnngn lo!
Telepon Lula?
Sesaat aku terdiam berfikir. Ngapain Anin telpon Lula malam- malam? Ah, sudahlah itu urusan mereka.
Ya udah bsok2 aja gw crta. Udh mlm. Ngntk gw.
Sejujurnya mataku memang sudah terasa berat. Tak lama setelah kukirimkan pesan, aku merebahkan tubuh ke ranjang. Urusan belakangan pesanku dibalas atau tidak. Yang penting tidur! Tak lama kegelapan menyelimutiku.
= Mendadak Tunangan =

Memiliki sahabat dengan keingintahuan ak.a kekepoan tingkat tinggi memang terkadang sangat menyebalkan dan mengganggu. Seperti pagi ini. Saat kubuka kedua mata aku sudah menemukan beberapa pesan dari Anin.  Ia benar- benar menangih kata besok yang kujanjikan, padahal seingatku aku menulis besok- besok, jadi terserah diriku dong!
Tapi bersahabat puluhan tahun dengan Anin juga membuatku yakin, kalau harimu ingin tenang cepatlah bercerita padanya. Jangan ditunda!
Maka dengan sedikit enggan kuambil notebook yang tergeletak dia atas meja belajarku. Anin dan aku terbiasa berkomunikasi via skype sejak kami terpisah beberapa tahun ini.
“WOYYY!! Tega lo!!” Kata pertama yang kudengar sesaat setelah kuaktifkan akunku membuatku terkekeh.
“Sorry, Say!” jawabku santai, “Mendadak juga,”
“Kok bisa sih?” Tanyanya kemudian. Dapat kulihat wajahnya yang penuh tanda tanya. Kurasa kalau di komik- komik di kepala Anin terpampang  tanda tanya besar.
“Bisa aja. Namanya dijodohin!” Kujawab dengan ogah- ogahan. Yah siapa yang ngebet tunangan sebenarnya.
“Ya Tuhan, Siti Nurbaya dong lo!”
Aku melotot pada Anin. “Makanya bete gue!”
Anin terkekeh, “Terima nasibmu, anak muda!” Uh, sial ia menggodaku, “Sama siapa?”
Aku mengernyitkan dahi, “Lula ngga cerita?”
Dapat kulihat Anin menggelengkan kepalanya, “Katanya tanya ke lo sendiri,”
Kuangguk- anggukkan kepala. Lula tetaplah Lula. Sahabatku yang pendiam itu takkan pernah bersikap ember pada orang lain.
“Lo ngapain nelpon Lula?”
“Heh!” Anin melototiku, membuatku tersadar aku melupakan pertanyaannya. Sesaat aku terkekeh.
“Pertanyaan gue belum dijawab!”
Tuhkan benar! Ia kesal karena kuabaikan pertanyaannya. Tepatnya aku lupa. Sedikit tertarik karena ia mengatakan menelpon Anin. Ya setahuku keduanya sama sekali tidak dekat. Kenalpun karena diriku.
“Akash,” Suaraku pelan menyebutkan nama laki- laki yang baru semalam berstatus sebagai tunanganku.
“AKASH! Akash satu SMA sama lo itu? Akash Nararya, anaknya Tante Dewi,”
Aku hanya menganggukkan kepala saat Anin menegaskan nama itu. Anin yang bertetangga denganku belasan tahun, hingga sebelum ia pindah memang cukup mengenal Akash. Beberapa kali saat Akash bermain atau dititipkan di rumahku sejak kami masih kecil.
“OMG! SERIUSSS!”
Kuhembuskan nafas kencang saat melihat ekspresi Anin. Dapat kulihat ia terbelalak menatapku. Kedua tangannya diletakkan di kedua pipinya. Benar- benar terkejut dia.
“KOK BISA?”
“Duh Nin, nggak pake teriak- teriak kenapa sih?”
“Ya terus gimana ceritanya?”
Sejenak aku menggembungkan kedua pipi, “Lo lupa Akash kan anaknya sahabat nyokap gue!”
“Oh iya, tante Dewi!” Anin menganggukkan kepala berkali- kali, “Terus?”
“Terus nabrak,” sahutku asal namun dibalas dengan pelototan oleh Anin.
“Tahu deh, Nin. Gue nggak suka!” kataku melanjutkan.
“Ganteng kan?”
Kuputar kedua bola mata jengah, “Tauk! Semalem gue nggak merhatiin!”
Anin mendesah kecewa, “Ya lo tuh ya! Punya tunangan keren nggak dilihat!”
“Keren dari hongkong!” Anin terkekeh mendengar umpatanku.
 “By the way, lo ngapain nelpon Lula?” sejujurnya aku masih penasaran dengan Anin. Kalau dengan keempat lainnya aku bersahabat dari SMA. Namun khusus Anin, ia adalah sahabat sehidupku. Kami mengenal sejak masih bayi. Kami bertetangg, Bersekolah dari TK hingga SMP yang sama, hanya SMA yang berbeda serta nyaris berkuliah di kampus yang sama namun urung karena Anin mengikuti kepindahan kedua orang tuanya ke pulau Sumatera.
“Nggak papa,” jawabnya dengan senyum yang justru membuatku memicingkan mata curiga.
“Anindya Dewi! Jangan lupa umur persahabatan kita. Gue tahu lo nggak terlalu dekat dengan Lula,”
Anin tergelak. Aku semakin curiga ada sesuatu yang terjadi padanya dan melibatkan Lula.
“Ingat sepupu Lula yang kuliah di sini?”
Dahiku berkerut. Mencoba mengingat sosok yang dimaksud Anin dan pernah diceritakan Lula.
Dave? Devon? Devin?
“Devin,” Aku sedikit ragu menyebutkan nama itu. Karena memang hanya beberapa kali aku pernah bertemu dengan saudara Lula tersebut.
“Devan,” ucap Anin membenarkan.
“Lalu?” tanyaku lagi.
Anin tak menjawab. Ia hanya mengangkat kedua alisnya berkali- kali dengan senyum penuh arti.
Jangan- jangan…
“Ya ampun Anin, brondong!” histerisku. Aku masih mengingat jelas Lula yang bercerita bahwa Devan diterima sebagai mahasiswa di kampus negeri di Lampung tahun ini. Itu berarti kan,
“Biarin!” Anin menjulurkan lidah membuatku menggelengkan kepala dan tertawa. Duh, kalau yang jatuh cinta!
Aku mendesah, “Ya ya ya, Yang penting lo happy dah!” kataku akhirnya.
“Liburan jadi kesini nggak lo?” tanyanya yang membuatku mengingat rencana liburan yang sudah kususun jauh- jauh hari.
Aku pun mengacungkan jempol kanan, “Harus jadi dong!”
“Yess!”
Aku terbahak melihat tingkah Anin dari layar notebook. Ia melompat- lompat kegirangan. Beginilah kami terkadang dapat bersifat kekanakan, tak peduli usia.
“Nin. Anin…,”
Dapat kudengar suara teriakan memanggil nama sahabatku. Kalau tak salah tebak itu suara Tante Kasih, mama Anin.
“Eh dipanggil nyokap gue! Udahan dulu ya!”
Kuanggukann kepala, “Ok! Bye Anin!”
Bye tunangan Akash,” Goda Anin sesaat sebelum mematikan sambungan skype. Anin sinting! Rutukku dalam hati.
= Mendadak Tunangan =

Kurasa matahari sedang ngambek. Sepertinya makin kesal dengan perilaku manusia yang seenak jidat merusak bumi. Dan sekarang karena ngambek, panas terasa sangat menyengat. Udara pun sangat gerah. Membuat kepalaku terasa pusing sejak tadi.
“Sumpah ya panas banget!”
See, lihat kan gerutuan nggak hanya dariku.
“Ya ampun! Bisa gosong gue,”
“Bagus dong! Berarti lo nggak perlu berjemur di pantai. Ngabisin duit,” Sahutku asal menanggapi keluhan Nay. Kami berdua saat ini sedang menuju parkiran setelah kelas berakhir. Kebetulan aku dan Nay memang satu jurusan.
“Yee, rese lo!” Cibir Nay membuatku sedikit tergelak. Salah siapa ribut soal kulit hitam karena panas. Yang harusnya dipermasalahkan itu bagaimana caranya manusia agar sadar dengan perilaku semena- menanya. Lebih mencintai lingkungannya. Lebih menjaga kelestarian bumi. 
“Eh itu Akash kan?”
Aku mengernyitkan dahi, “Akash?”
“Ya ampun, tunangan lo!” Kali ini kuarahkan pandangan mengikuti tatapan Nay. Aku terbelalak saat mendapati Akash sedang berdiri bersandar di depan mobil di parkiran kampus kami.
Akash. Disini. Di kampusku. Tunggu?
Mataku semakin melebar. OMG! Apa yang sedang dilakukannya?
Aku mengerjapkan mata berkali- kali. Memastikan tak ada yang salah dengan pemandangan di depanku.
“Duh, pesona tunangan lo apa tunangan lo yang player!”
Aku mendengus sebal mendengar perkataan Nay. Bukan karena ucapan sahabatku ini, tapi karena melihat kelakuan Akash di depanku. Dirinya dengan menyandarkan tubuh di pintu mobil asyik bercengkerama dengan dua wanita sebayaku. Mahasiswa kampusku juga, cuma aku tak tahu jurusannya.
Kuputar kedua bola mata gusar, Ugh, dasar playboy! Hellowww, ini kampus gue loh!
Bisa nggak sih kelakuan playernya yang suka tebar pesona nggak dilakukan depan gue!
“Udah ah, balik yuk!” ajakku pada Nay cepat. Kekesalanku semakin memuncak saat kulihat salah satu dari satu dari kedua wanita itu mengusap- usap lengan kanan Akash.
Plis deh, nggak perlu dong mesra- mesraan depan gue!
“Eh, nggak pengen lo temuin dulu!” sanggah Nay sesaat setelah aku menarik tangannya untuk cepat meninggalkan area kampus.
“Nggak perlu!” jawabku ketus sambil terus menarik Nay. Sejenak mataku berkeliling mencari keberadaan mobil Nay. Hingga akhirnya aku melihat Honda jazz merah Nay terparkir di sisi sebelah kanan dari tempat kami berdiri. Masih dengan hati dongkol, aku pun mempercepat langkah.
“Lin,  serius! Nggak lo temui dulu. Mungkin dia kesini nyari lo?” tanya Nay kembali. Aku berhenti sejenak. Lalu menatap Nay yang mau tak mau ikut berhenti.
Kugelengkan kepala kuat- kuat, “Nggak perlu, Nay! Yuk ah!” ajakku kembali melangkah menuju mobilnya.
Ya Tuhan, aku hanya ingin pulang sekarang.
Tepat sesaat sebelum aku masuk ke mobil Nay, kurasakan lenganku dicekal hingga membuat tubuhku berbalik cepat.
“Hello Baby, where are you going?”
Aku mendelik sebal saat melihat sosok yang baru beberapa menit lalu sedang tebar pesona dengan dua gadis kini berdiri tepat di depanku. Jarak kami terlalu dekat hingga aku dapat mencium aroma parfumnya. Mengingatkanku pada malam pertunangan.
“Hai, Kash!” Sapaan Nay yang kini sudah berada di belakang kemudi menyadarkanku.
“Hai, Nay!” sahut Akash sedikit menundukkan tubuhnya, “Sahabat lo, gue pinjam dulu ya! Nggak ada acara kan?”
What. Apa- apaan ini!
“Bawa aja. Kita juga udah kelar kuliah!”
“Nayy!” kubalikkan tubuh dan memberikan tatapan tajam pada Nay. Apa- apaan sih lo!”
Thank you kalau gitu, Nay!”
Tak lama kurasakan tubuhku ditarik lembut. Dan dengan cepat pintu mobil Nay ditutup tangannya.
“Akash, apa- apaan sih lo!” protesku cepat dan berusaha membuka pintu mobil Nay, “Tunggu Nay!”
Namun sia- sia rencanaku, karena tangan Akash yang menjauhkan tanganku dari pintu mobil.
“Bye Nay!”
Aku panik. Kupandang tatapan membunuh padanya.
“Nay, tungg…,”
Belum usai aku berkata, mobil Nay bergerak menjauh. Sempat kulihat salah satu matanya yang berkedip padaku. Sepertinya ia memberikan kesempatan pada Akash untuk pergi bersamaku.
Nay siallaaan!!!! Lihat nanti kalau ketemu! Awas!
“Ya udah yuk!”
Kutatap tajam laki- laki disampingku. Ngapain sih dia?
“Lepas!” ujarku ketus sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Akash. Aku berontak, tetapi sia- sia karena tenaga Akash yang lebih kuat.
“Kash, ih!” sungutku kesal.
“Santai, Sayang! Kamu nggak mau kan aku cium disini!”
Seketika tubuhku menegang. Mendadak terdiam. Apa dia bilang tadi?
Sayang?
Dicium?
“Sepertinya ide bagus!” bisik Akash tepat di telingaku, “Nggak ada salahnya ciuman di parkiran kan!”
Aku terbelalak, “AKASH SINTING!” teriakku kesal namun disambut gelak tawa darinya.
= Mendadak Tunangan =

“Ngapain sih lo kesini? Bikin mood gue ancur aja!” omelku sesaat setelah Akash membawaku meninggalkan kampus.
Akash tertawa lepas membuatku mengernyitkan dahi, “Ih, ketawa lagi! Nggak lucu tahu!”
Akash masih tertawa, tanpa memperdulikan wajahku yang sudah berlipat lipat. Keki.
“Apa- apaan sih, Kash! Nggak lucu! Diam atau gue turun disini!” ancamku kesal. Ya ampun, turun dari mobil, berani gitu aku! Sial, gara- gara kebanyakan lihat adegan sinetron, ancaman nggak mutu!
Namun sepertinya ancamanku berhasil, karena Akash terdiam seketika. Namun hanya sesaat,
“Turun aja kalau gitu!” tantangnya dengan mengangkat sebelah alisnya, “Gue nggak yakin lo berani!”
Blass
Aku terkesiap. Tak menyangka ancamanku justru ditanggapi serius oleh Akash. Sesaat aku terdiam.
“Nggak berani kan?” ejeknya membuatku emosi. Bodo amat dengan yang terjadi nanti, tapi yang pasti aku bukan orang yang mudah menarik ucapan. Gengsi!
“Ya udah!” Kataku cepat. Tangan kananku meraih pintu mobil. Bismillah, doaku dalam hati. Mama, Papa. Maafin aku! Mam, maafkan anakmu ini.
Ccccciiiittttt
Belum sempat aku melompat turun, kurasakan mobil mengerem secara mendadak. Membuatku terhempas ke depan dashboard.
“Aw!”
“Shit!”
Teriakan mengaduhku berbarengan dengan umpatan yang keluar dari mulut Akash.
“Lo ini bisa bikin kita mati sia- sia, Lin!”
Aku menoleh cepat saat Akash berseru keras. Wajahnya memerah, menegang menahan emosi. Aku berjengit kaget sejenak.
“Lo itu yang seenaknya ngerem!” sewotku tak mau kalah.
“Argh,” Akash mengerang frustasi, “Kita pulang!”
Aku mengedikkan bahu cuek. Terserah, siapa juga yang mau jalan sama lo.
“Dan pastikan lo nggak akan ngelakuin hal aneh lagi!”
Kuyakin wajahku sedikit merona. Entah bagaimana wajah Akash kini tepat berhadapan dengan wajahku. Hingga aku dapat menatap langsung bola mata tajam miliknya. Si mata elang. Sejenak aku lupa cara bernafas.
“Oke, Darl!” Seringainya  sesaat sebelum menjauhkan wajahnya dan kembali fokus di balik kemudi.
Aku baru ingat butuh bernafas sekarang.
= Mendadak Tunangan =

“Jangan pernah lakukan hal itu lagi,”
Gerakanku yang akan membuka pintu mobil terhenti. Kubalikkan badan dan mendapati pandangan Akash lurus ke depan. Pandangannya menerawang ke depan. Entah apa yang dipikirkan tetapi kata- katanya hanya ditujukan kepadaku.
“Kalau terjadi apa- apa sama lo, gue nggak bisa maafin diri gue!”
Aku melongo. Takjub. Speechless.
Mulutku membuka dan menutup berkali- kali. Mendadak kelu. Ada yang ingin kukatakan namun terhenti di tenggorokanku. Makian atau umpatan kekesalan yang biasa meluncur mulus dari bibirku mendadak tersangkut. Ah, kenapa denganku.
“Ya udah, masuk sana!” Akash mengerling dan menyunggingkan senyum padaku.
Aku tergagap, “Eh, iya… iya!”
Thanks,” ujarku sesaat sebelum membuka pintu mobil.
Aku memandangi mobil Akash yang terus bergerak menjauhiku. Sesaat setelah menghilang dari pandangan, aku meraba dada. Kenapa detaknya semakin tak beraturan?
Ada apa ini?
= Mendadak Tunangan =

“Pagi, Lin!”
Aku melengos saat mendapati pagi ini, Akash sudah memperlihatkan wajahnya di rumahku. Dengan santai ia duduk di meja makan menikmati sarapan bersama keluargaku.
“Ayo, Sayang. Sarapan dulu! Akash udah nunggu dari tadi,”
Kuputar bola mata jengah.  Mama sih girang, aku eneg! Kenapa sih kejadian kemarin nggak bikin dia kesal denganku. Justru pagi- pagi sudah nongol.
“Lo ngapain sih disini? Bukannya kuliah?”
Akash tersenyum, “Gue kan lagi libur kuliah, Lin!”
Aku menepuk dahi sejenak. Astaga, kenapa aku lupa kalau Akash kan kuliah di luar kota. Jelas belum tentu sama kampusku yang lagi mulai ujian semester dengan kampusnya yang seperti dia bilang, sudah libur.
“Olin berangkat deh Mam, Pa! Takut telat!” Gegas kucium pipi kanan dan kiri kedua orang tuaku. Secepat kilat aku meninggalkan ruang makan. Tak membiarkan suara protes mama karena sikapku.
“Olin! Sayang kamu kan…,”
“Bye Ma, Pa!” potongku cepat.
“Lin, Olin!” Aku masih mendengar suara Akash memanggilku. Tetapi kuabaikan. Nggak mood ngeliat!
Sejenak kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul 07.15. Masih terlalu pagi, mending naik angkutan umum aja ah. Daripada bawa motor, capek! Ujarku dalam hati. Nanti pulangnya nebeng sama Nay aja.
“Olin, tunggu!” Kurasakan tanganku dicekal tepat saat aku membuka pintu pagar rumah. Agak keras. Membuatku meringis sebentar. Lagi- lagi dicekal!
Kubalikkan tubuh dan mendelik kesal, “Sakit tauk!”
Spontan Akash melepaskannya, “Sorry, sorry! Gue nggak ada maksud nyakitin!”
Aku mendengus. Kuusap- usap tangan kananku. Untung nggak sampai memar,
“Mau ngapain sih?” tanyaku jutek.
“Gue anter lo ke kampus,”
“Nggak perlu!” tolakku cepat.
“Plis deh Lin, bisa nggak sih lo itu nggak jutek sama gue! Salah gue apa coba!”
“Salah lo?” Aku memajukan tubuh. Menatap tajam ke mata Akash. Jari telunjukku kuarahkan tepat di depan wajah Akash, “Setuju dengan tunangan kita!”
Dapat kulihat kedua alis Akash bertaut. Ia tersenyum miring. Matanya hitamnya menatapku dengan sorot yang tak kumengerti. Entah mengapa terasa menenangkan. Aroma aftershave pun menyeruak indra penciumanku karena jarak kami yang terlalu dekat.
Errr…. Mengapa Akash terlihat tampan?
“Terpesona sama gue, Lin!”
Aku terhenyak. Kugelengkan kepala kuat- kuat. Spontan aku memundurkan tubuh namun tertahan. Ternyata tanpa kusadari, kedua lengan kukuh Akash sudah melingkar di pinggangku. Lagi- lagi membuatku melototkan mata.
“Lepas nggak?” ancamku kemudian,
Akash mengulum senyum, “Kalau gue nggak mau!” ia berkata seraya mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nafasku tercekat. Sesaat aku lupa cara bernafas yang baik.
“Lo itu cantik, Lin!” Bisik Akash membuatku membeku seketika.
“WOY, PACARAN JANGAN DEPAN RUMAH NGAPA!”
Sontak aku tersadar. Aku menoleh dan melihat Aga sedang senyum- senyum menatap kami dari teras rumah. Matanya mengerling padaku.
Sial! Ia menggodaku.
“Betah amat Kak dipeluk!”
Aku melotot. Lalu menyadari tangan Akash yang masih berada di pinggangku.
“Lepas!”
“Gue lepasin tapi lo berangkat sama gue!”
“Nggak,”
“Iya,”
“Nggak mau gue,”
“Harus,”
Aku mendengus kesal. Mau bagaimana lagi. Apalagi kulihat Aga masih senyum- senyum berdiri depan teras. Rese sekali adikku itu!
“Ya udah!” ucapku akhirnya.
Hari ini saja aku menyerah, selanjutnya jangan harap!


Selanjutnya : 4

2 komentar:

  1. "Mama sih girang, aku eneg!"

    Ngakak abis pas bagian ini! Ngglundung lagi...

    BalasHapus
  2. Aksh cowok kampret yang ganteng!!!! OMG Please deh, sisain satu yang kayak Akas buat gueeee, kalo lo nggak mau, akash buat gue aja, Lin >< siap menapung Akash nih wkwk

    BalasHapus