Kamis, 31 Desember 2015

[Cerpen] Kedua




Jatuh cinta? Aaahhhhh, siapa yang tidak tahu rasanya. Hormon dopamine saja bekerja dengan cepat membuat hati selalu berbunga- bunga ketika bertemu dengannya, ada gelenyar rindu ingin selalu bersamanya di setiap detik dan pastikan ada rasa ingin membuatnya terus bahagia.



Cinta akan terasa semakin indah jika ternyata orang yang kita cintaipun mencintai kita. Dunia serasa milik berdua. Yang lain ngontrak.



Kali ini yang kurasakan. Aku mencintai lelakiku. Hei, aku masih normal tak mungkin aku menyukai sejenis. Membayangkan mencium sesama jenis, ewww... Melihatnya dari tontonan saja sudah mual. Baiklah abaikan. Aku hanya ingin bertemu lelakiku sekarang. Melihat wajah teduhnya dengan senyum manis terukir dari bibirnya, mencium aroma aftershavenya dan pelukan hangat yang membuatku nyaman. Argh... sial aku merindukannya. Aku merindukan lelakiku.



Bergegas kuraih smartphoneku. Tak berapa lama kuketik,



Aku kangen



Satu...

Dua...

Tiga...



Tak lama kudengar nada dering dari smartphoneku. Aku mengulum senyum dan tak butuh waktu lama aku mengangkatnya.

"Miss me, darl?" sapanya lembut dari seberang telepon.

Aku mengangguk. Namun kemudian aku merutuki tingkahku sendiri, mana mungkin ia melihat anggukan kepalaku.

"Sayang,"

"Kangen," rajukku manja. Hei... Tak salah bukan manja pada kekasihmu sendiri.

Kudengar tawa kecil di seberang, membuatku manyun. Ah, dia menertawakanku.

"Apa yang membuatmu tertawa?" tanyaku ketus. Argh... Tak tahukah ia rasa rindu yang kupendam.

Kali ini bukan lagi tawa kecil yang kudengar, namun tawa keras memenuhi rongga telingaku. "Jangan marah- marah, Yang. Cepet tua loh!"

Aku semakin manyun.

"Hei honey, bagaimana kalau kita bertemu hari ini?"

Secepat kilat aku sumringah. Melupakan rasa kesal karena tawa tadi. Ya beginilah bila si cupid sudah beraksi, seketika marah pun bisa lumer dalam sekejap karena ajakan akan bertemu. Padahal baru ajakan, bukan? Belum juga bertemu! Ahh, lagi- lagi aku mengulum senyum.



Butuh waktu dua jam bagiku untuk sekedar bersiap bertemu dengan lelakiku. Entah sudah berapa baju yang harus keluar masuk dari lemariku. Aku memang ingin tampil aempurna dihadapannya. Tak sabar memang ingin bertemu namun juga aku ingin memperlihatkan diriku tampil secantik mungkin dihadapannya. Aku ingin ia memujiku bahkan mungkin menggombaliku. Argh, bohong malah wanita tak suka digombali karena nyatanya tetap saja rona merah akan bersemu di pipi dan juga hari yang mendadak membuncah bahagia.



"Wow, kamu cantik sekali, Sayang!" Kata yang terlontar dari lelakiku sesaat setelah kubuka pintu rumah sukses menghadirkan rona di wajahku. Eh... Sudah kubilangkan siapa wanita tak tersipu dipuji apalagi oleh pasangannya sendiri.

Aku tertawa sumringah dan segera memeluk tubuh lelakiku. Pelukan yang kurindukan. Hatiku semakin menghangat saat perlahan ia mengecup dahiku. So sweet, kan? Jangan iri ya...

"I miss U," ucapku lirih masih berada di pelukannya.

"I miss u too, Honey!"
Tak lama kurasakan pelukan mengendur, yang jujur membuatku sedikit kecewa.

"Hey, kalau kita tidak segera pergi kurasa kita akan menghabiskan semalaman di kamarmu," ujarnya menggoda.

"Itu maumu, Darl," Aku terkekeh, "Baiklah saatnya pergi," kataku kemudian sambil mengapit lengan kirinya.

Ia mengangguk dan tersenyum melangkah beriring denganku. Serasa dunia milik kami berdua, yang lain ngontrak. Sudah kubilang kan tadi...


"Aku harus pulang," ucapnya saat aku masih berceloteh riang tentang kegiatanku selama beberapa hari ini.

Aku menatapnya tajam, tak suka waktu yang baru saja kulalui harus berakhir segera.

"Sayang, mengertilah," pintanya memelas.

Aku berdecak kesal. Tahu seperti ini tadi harusnya kusita handphonenya.

"Jadi ada apalagi sekarang?" tanyaku ketus.

"Lana ingin aku menemaninya tidur malam ini,"

"Sakit?"

Ia menggeleng, "Tidak, hanya menginginkanku. Mungkin mimpi buruk,"

Arrrggghhh, aku berjengit kesal. Lana lagi Lana lagi...

"Sayang..." Ucapnya memelas membuatku semakin kesal.

"Kalau begitu sampai kapan?" Aku berteriak kesal, "Sampai kapan seperti ini?"

"Honey, bisakah tak membahasnya?" Ujarnya lirih.

"Tap...,"

"Sayang,"

"Fine...fine...," kataku sambil mengangkat kedua tanganku. "Pergilah,"

Ia tersenyum lalu berdiri, "You're the best, Honey."

Aku hanya dapat tersenyum getir, tetap terpaku di kursiku.

"Pulanglah dengan taksi, aku akan mengabarimu sampai di rumah," ucapnya sesaat sebelum melangkah keluar ruangan. Masih ia sempatkan mencium keningku, "Take care, Darl."

Arrggghhh...

***

"Kamu harus bahagia," Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Ungkapan terakhir dari seorang wanita yang paling kucintai di dunia ini. Ibu. Bahagia? Bahagiaku jika aku berdamping bersama lelakiku. Hanya bersamaku. Tidak ada tempat untuk yang lain.

"Lo ini gila, mau sampai kapan sih?" Ucapan ketus terdengar dari bibir sahabatku, Via. Sesaat setelah dinner yang berantakan aku memutuskan ke rumah sahabatku.i

"Dan bisa nggak sih lo nggak hakimin gue," sengitku sebal.

"Hey nona, lo yang ke rumah gue. Berarti lo yang butuh gue,"

Kutatap ia sebal. Aku sudah cukup paham karakter Via, mau bagaimana lagi kuakui aku yang membutuhkannya.

"Hentikan kegilaan lo, SEGERA!" Kata- kata tajamnya menyiratkan aku harus mengikuti omongannya secepatnya. Namun sanggupkah aku meninggalkan kebahagiaanku?

"Vi, gue kesini mau nenangin diri gara- gara Lana ngerusak dinner gue," ucapku lirih, "Eh malah lo marah- marah,"

Via menggeleng, "Gila lo, bocah kangen saja bapaknya lo cemburuin,"

"Lo mikir nggak sih malah lo jadi bininya? Atau jadi anaknya!" Lanjutnya semakin ketus, "Lo tuh nggak punya perikeperempuanan apa!"

Aku mendelik. Maksudnya semacam perikemanusian gitu. "Emang salah gue mau bahagia, Vi?" Suaraku pelan.

"Nggak, nggak salah lo mau bahagia. Yang salah adalah lo mengambil kebahagiaan orang lain. Kayak laki single sudah abis aja!"

Gerr,,, ucapan Via makin lama makin menusuk. Argh, sepertinya malah tempat aku kesini. Aku menghela nafas. Bahagia? See, menjadi yang selalu dinomorduakan apakah sebenarnya aku bahagia? Mungkin kalian akan mengatakan aku bukan Perempuan baik- baik. Orang ketiga. Perusak rumah tangga atau apapun itu, tetapi sudah kukatakan bahagiaku hanya bersama lelakiku dan aku selalu memegang teguh kata- kata terakhir mendiang ibu.

"Nggak usah egois jadi manusia itu!" Aku mencebik kesal, sepertinya Via belum akan rampung berkata pedas padaku.

"Tempatkan posisimu bila jadi istrinya," Katanya menambahkan.

Kuhela nafas perlahan kemudian menarik selimut yang berada di ujung ranjang.

"Heh, mau ngapain lo?" kata Via tepat ketika kurebahkan tubuh ke kasur empuknya.

"Tidur! Lo Bawel sih!"

"Enak aja, kan gue masih perlu buat lo tobat,"

Kuputar bola mataku jengah. Segera kutarik selimut menutupi tubuh hingga kepalaku. Sebodo amat Via ngomel, aku butuh istirahat. Masih ada hari esok untuk memikirkannya.

"Gue cuma pengen lo bahagia," ujar Via pelan sebelum kegelapan menyelimutiku.


-end-

Bandung, 1 Mei 2014

Minggu, 27 Desember 2015

[Puisi] Dan Bumiku Menangis



Petir menggelegar memekakkan telinga 
Pertanda alam memberi kabar 
Peringatan untuk seluruh umat 

Bumi pun bergoyang memuntahkan isinya 
Memberitahu pada manusia ada sebab ada akibat 
Banjir dan longsor datang menerjang, tak peduli gubuk atau tembok 
Gempa bumi pun turut meluluhlantakkan 
Angin pun ikut menghempaskan 
Serta letusan gunung yang menggetarkan 

Silih berganti tak kunjung usai 
Tangis air mata mewarnai 
Duka mendalam untuk setiap korban 
Ada anak kehilangan orang tua, ada saudara tak kunjung bertemu 
Hanya tinggal puing derita yang tersisa 

Negeri ini berduka, negeri ini menangis 
Bunda pertiwipun bersedih hati 
Melihat anak cucu merintih pilu 

Tapi ingatkah kita, ada sebab ada akibat 
Bumi pun takkan marah jika kita menjaganya 
Inilah ulah kita sendiri 
Yang tak pernah bersyukur untuk setiap nikmat 
Kita yang terlalu serakah juga tamak 
Dan kita juga yang melupakan Kuasa Tuhan 

(ISL) 
Bandung, 11 Maret 2014

Jumat, 25 Desember 2015

[Cerpen] JANDA


JANDA

"Kamu yakin, Nduk?"

Aku mengangguk perlahan. Tak berani menatap wajah kecewa simbok. Mataku memanas, hatiku perih, jiwaku menangis. Membuat kecewa dan sedih simbok adalah hal yang paling kuhindari. Anak mana yang ingin mengecewakan hati orang tuanya, anak mana yang ingin disebut anak durhaka. Sungguh akan kulakukan apapun asal takk membuat simbok sedih, satu- satunya orang tuaku yang masih ada.

"Ndak bisa dipikirin lagi, Nduk?" tawar simbok halus.

Aku makin menunduk. Lidahku kelu. Tak dapat berucap. Aku sadar simbok belum bisa menerima keputusanku. Aku tahu hal ini sangat sulit, tetapi apa aku harus mempertahankan hal yang sia- sia. Yang hanya akan menyakitkan hati dan kelak membuatku menyesal seumur hidup. Tidak, aku menggeleng mantap.

Kuraih tangan kasar simbok. Tangan yang bertahun- tahun telah membesarkanku dan kakak- kakakku sepeninggal ayah, tangan yang bekerja keras setiap hari untuk kelangsungan hidup anak-anaknya. Tangan ini pula yang berusaha keras mengerjakan apa saja yang halal asal kami bisa makan. Kuusap lembut jemarinya,

"Mbok, Lastri tahu Mbok kecewa," ucapku pelan sambil menghela nafas, "Semua sudah Lastri sudah pikiran matang- matang, Mbok."

Simbok mengangguk- angguk. "Ya sudah, mbok hanya ingin kamu bahagia,'' ujarnya pelan namun nada kecewa masih dapat kurasakan. Maafkan anakmu, Mbok.

***

Namaku Lastri. Umurku 23 tahun. Gelar janda segera akan kusandang mengingat keputusanku sudah bulat. Pria yang menikahiku dua tahun lalu berselingkuh. Yap, dua tahun hanya dua tahun, waktu yang singkat bukan? Cih, tak sudi rasanya mengingat lelaki itu. Lelaki yang pada akhirnya menyisakan duka dalam hidupku.

Beberapa bulan terakhir ini, ia terlihat bahagia sepulang kantor. Binar dimatanya terlihat jelas. Senyumpun selalu tersungging di wajahnya. Awalnya aku hanya mengira ia mendapat proyek besar dari kantornya hingga sorot bahagia terukir jelas di wajahnya. Namun kusadari ada yang berbeda dari dirinya. Mungkin inilah yang dikatakan naluri wanita. Kamu dapat mencium "sesuatu" yang sedang terjadi pada suamimu. Sesuatu yang tak beres.

Maka pelan- pelan aku mulai menyelidiki suamiku sendiri. Aku mulai mengecek handphonenya, namun tak kutemukan SMS/telepon yang mencurigakan. Bajunya pun selalu bersih, tak ada noda lipstik yang tertempel seperti di sinetron- sinetron yang ku tonton. Maka perlahan kecurigaanku pun memudar, apalagi ditambah kehamilanku yang semakin membesar.

Badai prahara pun datang. Serapat- rapatnya bangkai ditutup akhirnya tercium juga. Selang sebulan setelah kelahiran anakku, aku harus menerima pahitnya dikhianati. Hari itu aku ingat sakitnya hatiku saat melihatnya bergumul erat dengan perempuan sialan itu di ranjangku. Aku yang hampir sebulan tinggal di desa karena kelahiran anakku, sengaja memilih kembali kerumah tanpa pemberitahuan bermaksud memberikan kejutan manis pada suamiku ternyata mendapat kejutan jauh lebih luar biasa. Mataku nanar menatap perselingkuhan yang terjadi di depan mata dan ia lelaki yang masih berstatus suamiku hanya dapat terbelalak tak menyangka akhir perselingkuhannya ketahuan juga.

Jangan bayangkan setelah perselingkuhan ia akan mengiba maaf padaku, tidak terjadi hal itu. Justru tingkahnya makin menjadi. Dengan tanpa bersalah, perempuan itu sering dibawanya kerumah. Tangannya kerap memukul jika aku menegur sikapnya. Sudah ta berharga lagi aku sebagai istri di matanya. Panas telingaku mendengar gunjingan para tetangga dan kenalan mengenai kelakuan suamiku dan wanita sialan itu. Aku hanya bisa diam, menangis dalam sepi, mencoba bertahan demi anakku.

"Bersabarlah, Nduk. Ingat anakmu butuh seorang ayah," ucap Simbokku saat kukeluhkan sikap suamiku.

"Mbok," ujarku lirih.

"Nduk, kamu pikirkan nasib anakmu kedepan. Ia perlu makan, baju yang bagus, sekolah. Semua bisa dia dapat dari ayahnya saja, Nduk,"

Aku terisak. Sungguh aku tak kuat menghadapi perilaku suamiku sendiri. Sakit, malu, dan tak berharga yang kurasakan. Tak hanya tertekan secara hati namun juga fisikku mulai rapuh. Tubuhku mulai penuh lebam dan biru akibat pukulan dan tendangannya. Haruskah aku terus bertahan seumur hidup?

Kuakui hidupku mulai terangkat saat menikahinya. Ia merupakan salah seorang anak dari kepala desa. Wajahku yang manis menurut orang- orang kampung membuatnya terpikat padaku. Bak gayung bersambut, aku pun sebenarnya diam- diam menyukainya saat duduk di sekolah menengah. Ia memiliki wajah rupawan juga sikap yang melindungi. Namun aku tahu diri, siapalah aku yang hanya seorang anak buruh tani dengan ia yang anak kepala desa dan memiliki sawah dimana- mana. Maka kukikis perasaan itu, apalagi kudengar ia melanjutkan sekolah ke kota. Ah, makin jauh saja kami. Bagai pungguk merindukan bulan diriku ini.

Beberapa tahun berlalu, ia pun kembali untuk mengunjungi orang tuanya. Penampilan khas orang kota dan ditunjang wajah yang memang tampan sejak kecil membuatnya langsung diidolakan seluruh gadis kampung. Semua memimpikan menjadi pasangannya tentunya. Pun tak terkecuali aku, yang memang menyukainya sedari dulu. Lagi- lagi aku diingatkan untuk sadar diri, siapa aku siapa dia. Toh siapa menjamin jika ia tidak memiliki kekasih cantik jelita di kota. Namun ternyata takdir berkata lain.

***

"Kamu Lastri kan?"

Aku ternganga tak percaya saat sosok pemuda impian gadis satu kampung berdiri di hadapanku tepat saat aku melangkah keluar masjid, sehabis mengajar di TPA.

"Lastri...," panggilnya kemudian. Aku terhenyak, masih tak percaya lelaki itu berdiri di depanku, dan mengenal namaku. Catat, ia mengenalku.

"I...i...ya,'' sahutku cepat. Aku dapat merasakan tubuhku mendadak lemas dan jantungku bekerja lebih cepat.

"Masih mengingatku kan?"

"Haahhh!" Refleks ucapan tak sengaja terlontar dari mulutku. Ah, apa yang ditanyakannya. Mengingatnya. Siapa yang tak mengingat sosok lelaki tampan sepertimu,

Ia tersenyum. Senyum paling manis sedunia, menurutku. Ah, mendadak hatiku menghangat hanya melihatnya tersenyum saja. Ya Tuhan...

"Kamu itu lucu ya dari dulu sampai sekarang,'' katanya masih dengan senyum termanisnya, "Menggemaskan,"

Lucu, menggemaskan dia bilang, batinku. Dari dulu sampai sekarang? Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam.

"Hei...Lastri," panggilnya menarik kesadaranku. "Kamu melamun terus?"

"Iya...eh.. nggak eh itu," Ya Tuhan, aku gugup. Sangat gugup.

Ia terkekeh geli. "Kamu itu ya!" ujarnya kemudian. "Sudahlah, ayo pulang!"

"Pulang?" tanyaku tak mengerti.

la mengangguk, "Iya, pulang. Memangnya kamu mau kemana lagi?"

Aku menggeleng. Masih tak dapat kupahami. Ia lelaki yang hadir dalam mimpiku, yang entah bagaimana caranya mendadak muncul di hadapanku, mengenal namaku dan mengajakku pulang. Masih tak kupahami apa yang terjadi,

"Lastri, ahh... kamu melamun lagi,"

Aku terdiam. Menghembuskan nafas perlahan. Bagaimana aku tak melamun, jika kejadian ini saja serasa mimpi.

Ia menarik tanganku, " Baiklah, aku tahu kamu masih bingung. Semua akan kujelaskan di rumahmu."

Yang aku tahu, perasaanku berbunga- bunga kemudian. Sangat bahagia. Siapa menyangka ia mengatakan menyukaiku. Terpikat dengan kecantikan alami yang kumiliki. Ya Tuhan, ia mengatakan aku cantik. Aku yang cuma anak seorang buruh tani. Dan mimpiku pun jadi nyata. Sebulan setelah pertemuan kami ia dan keluarganya melamarku. Tepat sehari setelah pernikahan, ia membawaku ke kota. Ah, siapa kira hidup awalnya indah tak bertahan lama, dan kini keputusan cerai yang kupilih.

Kuakui aku salah karena terpikat wajahnya yang rupawan serta derajat keluarganya yang sangan terpandang di kampungku. Sifat dan perilakunya tak ada yang tahu karena ia lama tinggal di kota. Siapa mengira wajahnya yang tampan justru digunakan memikat perempuan- perempuan dalam pelukannya. Aku menyesal, namun apalah arti penyesalan saat ini lebih kupikirkan hidupku selanjutnya.

***

"Maafkan kami, Nduk." Ucapan bersalah kudengar dari seorang lelaki baya di hadapanku. Sedangkan perempuan di sebelahnya hanya dapat terisak.

Lelaki itu, mantan kepala desa yang dihormati dan disegani di kampungku datang untuk meminta maaf. Keduanya, mantan oh salah tepatnya calon mantan mertuaku khusus datang untuk bertemu denganku hari ini.

"Kami meminta maaf, Nduk atas semua kesalahan anak kami. Kami selaku orang tua malu, sangat malu."

Aku mengangguk- anggukkan kepala. Tak dapat berucap apapun. Aku tak tega melihat keadaan kedua mertuaku saat ini. Aku yakin mereka pun teramat kecewa dengan sang putra, ah sudahlah ini memang sudah takdirku.

"Pak, Bu..." Kataku pelan. "Aku yang meminta maaf jika selama ini tak menjadi menantu yang baik, maaf pula jika akhirnya aku memutuskan untuk bercerai,"

Lelaki baya itu mengangguk, "Kami mengerti, Nduk. Kamu masih muda. Hidupmu harus bahagia. Biarkan suamimu mendapat kehancurannya sendiri. Kami sangat malu padamu, Nduk."

Aku menghela nafas perlahan. Tak pernah kusangka kedatangan keduanya hari ini. Hingga ucapan maaf yang terlontar dari keduanya. Meminta maaf atas segala kelakuan sang anak. Aku yakin keduanya juga menyembunyikan kesedihan yang teamat sangat. Sorot mata kecewa jelas terlihat dari keduanya. Ah, sungguh tak tega melihatnya.

Aku percaya ada hikmah di balik semua peristiwa. Keputusan yang kuambil memang menyakitkan. Aku di usia yang sangat muda harus menyandang gelar janda. Gelar yang sebenarnya pantang di keluargaku. Itulah mengapa Simbok sangat kecewa. Namun hidupku tak ingin berakhir hanya dengan kesia- siaan. Aku masih muda, jalanku masih panjang. Aku tak ingin terkungkung menjadi perempuan bodoh yang terus tersakiti. Hidup mungkin akan sulit kulalui selanjutnya, perempuan muda dengan seorang anak. Tetapi kuyakin Tuhan tak pernah tidur, kelak bahagia kan kuraih.



Bandung, 15 April 2014

Selasa, 22 Desember 2015

[Cerpen] Aluna




Aluna


Cantik, satu kata yang kuungkapkan saat pertama melihat dirinya.  Matanya yang bulat terlihat menggemaskan berpadu dengan hidung mancungnya. Wajahnya yang mulus, nyaris tanpa cela membuatnya sangat menawan. Ia akan terlihat sempurna jika memperlihatkan senyum dengan dua dekik lesung di pipi. Benar- benar mempesona, batinku.
“Sejak kejadian itu, dia seperti itu!”
Sebuah suara sontak menyadarkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan baya berdiri disampingku dengan pandangan lurus ke depan. Kuanggukkan kepala, untuk itu aku berada disini.
 “Bajingan itu dengan tenang melenggang di luar, sedangkan ia...” kalimat itu tak diteruskan karena selanjutnya hanya terdengar isakan tangis.
Dengan cepat kurengkuh bahu tua yang bergetar itu, “Iya Bu, saya mengerti. Sabarlah!”
Dapat kulihat gelengan kepala dari perempuan tua itu, “Tidak, tidak ada yang mengerti. Aluna harus menanggung derita selama ini, namun orang di luar menghinanya. Tidak,ini tidak adil!”
Kuhela nafas panjang, “Memang tak adil untuknya,” gumamku pelan. Nyaris tanpa suara.

***
Aluna, nama gadis cantik itu. Tak hanya memiliki wajah rupawan, namun juga memiliki kelembutan hati. Gadis ceria dan menyenangkan. Tetapi itu dulu. Semuanya berubah dalam sekejap. Aluna yang sekarang jauh berbeda 1800.
“Saya menyesal meninggalkannya malam itu, Mbak. Saya tidak tahu kalau ternyata Tuan tega melakukan terhadap non Luna, “ Bi Inah, perempuan baya yang sedari tadi disampingku memulai ceritanya. 
Aku menarik nafas panjang setelah mendengar cerita Bi Inah. Kesedihan menggelayutiku.
“Alangkah malangnya nasibmu, Lun.” Bisikku lirih seraya mengamati Aluna yang duduk mematung di samping jendela kamarnya. Gadis cantik itu terus memandang lurus ke depan. Kosong. Pucat. Ia benar- benar mengalami depresi. Tubuh kurusnya semakin mempertegas tekanan hidup yang dialaminya. Hanya raganya lah yang membuktikan ia masih bernafas hingga saat ini.
“Lelaki itu harus dihukum, Mbak!” Ujar Bi Inah dengan keras. Aku mengerti kemarahan melingkupi perempuan paruh baya ini. Perempuan yang menghabiskan sebagian besar umurnya untuk membesarkan gadis itu. Bi Inah tahu benar bagaimana perubahan besar pada sikap Aluna.
Kupandangi lagi gadis itu. Masih tak bergeming dari kursinya. Masih tatapan yang sama. Jauh dan tak tergapai.
Aku menghela nafas panjang. Gadis ini benar- benar menderita.

***
“Kamu yakin, De?”
Aku mengangguk mantap, “Yakin, Bu!” Jawabku pada Ibu Ranti, atasanku yang kulihat sedikit ragu.
“Tapi ini…,” Bu Ranti ragu, aku tahu itu. Tanpa perlu ditanya aku tahu maksudnya.
“Saya tahu, Bu. Tetapi atas nama keadilan dan kebenaran lelaki itu wajib dihukum. Tak peduli orang penting sekalipun,” ucapku, “Walaupun sejujurnya hukuman pidana masih tidak adil,”
“Saya sendiri tak dapat membayangkan beban hidup yang ditanggung Aluna, Bu!”
“Ya, saya mengerti,” kata Bu Ranti kemudian, “Tetapi kamu harus berhati- hati. Ini berurusan dengan orang berpengaruh,”
Kuanggukkan kepala, “Iya, saya mengerti. Terima kasih, Bu!”
***
“Lun, kumohon! Jangan biarkan dirimu menderita sendirian. Kamu harus membuat lelaki itu juga menderita,”
Ini kesekian kalinya aku berbicara dengan Aluna. Tidak mudah memang. Aluna benar- benar mengalami depresi akut karena kejadian itu. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dengan bantuan beberapa sahabat, aku terus berupaya untuk membuat Aluna bangkit. Kami terus berusaha memotivasi semangat hidup gadis itu. Ia masih terlalu muda, jalannya masih panjang. Masih banyak mimpi yang harus ia raih.
Perlahan Aluna menunjukkan perubahan. Ia mulai dapat diajak berkomunikasi. Sedikit mulai sedikit ia berani mengungkapkan tragedi malam itu. Tragedi yang mengguncang hidupnya.

***
Ada gerakan kecil di ranjangnya. Aluna menyadari itu. Namun matanya masih terpejam. Ah, mungkin saja Bi Inah yang memang biasa menemani tidurnya, pikirnya.
Tapi tunggu dulu!
Mengapa dirasakannya sebuah tangan meraba- raba tubuhnya. Meremas- remas dadanya dan tangan lain mulai meraba area pahanya. Ini…
Aluna terbelalak saat mendapati tubuh mungilnya dihimpit beban berat. Ia semakin tak percaya saat melihat sosok yang menindihnya.
Aluna ingin berteriak, namun tangan besar itu berhasil membungkamnya. Kedua kakinya pun ditekan oleh tubuh besar itu. Tubuh kecilnya tak cukup kuat untuk melepaskan diri.
Aluna panik, ia yakin akan terjadi sesuatu. Sesuatu yang merusak dirinya. Dengan berlinang air mata, Ia menatap sosok itu, “Jangan, jangan lakukan itu!” ia berteriak namun suaranya tertahan. 
Sreeettt,
Tidakkkkkkkk, teriaknya lagi.
Terlambat,
Karena pada akhirnya kesakitannya yang menghampiri tubuhnya.

***
“Jadi gimana, Lun? Kamu siap?” Tanyaku memastikan. Sungguh, aku menyadari ini bukan hal mudah baginya, melaporkan penjahat itu sama saja membuka aibnya sendiri.
Aluna menatapku, “Mbak De, ini mungkin memang berat. Tapi seperti yang mbak bilang lelaki itu harus merasakan penderitaan yang sama denganku,”
Kuanggukkan kepala, “Harus, Lun. Tapi setelah ini kamu harus siap dengan konsekuensinya,” Kuhela nafas sesaat, “Tetapi yakinlah aku akan terus disampingmu! Kamu nggak sendiri!”
Aluna tersenyum, “Terima kasih, Mbak De!” Ujarnya tulus.
“Ehm, mbak De…,” Aluna memandangku ragu, membuatku mengernyitkan dahi,
“Kenapa, Lun? Sepertinya ada sesuatu yang mau kamu tanyakan?”
“Ehm iya, Mbak,” Sahutnya, “Kenapa mbak De mau bantu susah payah membantuku?”
“Karena aku nggak ingin kamu bernasib seperti adikku. Bunuh diri karena menjadi korban,” Jawabku jujur.
Aluna ternganga mendengarnya, “ Ma…maaf mbak De,”
Kuhela nafas panjang, “Kalian memang menjadi korban tetapi kalian juga masih berhak untuk hidup dan memiliki impian,”
“Dan aku ingin melindungi kaumku,”Lanjutku kemudian dengan yakin.

***


Berita hari ini
Dikabarkan YS, Seorang anggota DPR dilaporkan ke polisi karena tindak pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap Al beberapa waktu lalu. Al yang merupakan putrid tiri korban sempat mengalami depresi panjang, dan kali ini ia kembali dengan membawa banyak bukti dan saksi yang akan menyeret sang ayah ke penjara. Hingga detik ini YS belum bisa dihubungi.
Ini bukan akhir, tetapi awal perjuangan dimulai, bisikku pelan.

***

Penengahan, 24 Oktober 2014

Jumat, 18 Desember 2015

[Cerpen] Sesal



Sesal


“Mama,”

“Hmm,”

“Ma, main yuk!”

“Main sama Mbak Hasna aja, Ra.”

“Maunya main sama Mama,”

“…,”

“Ma!”

“Apa sih, Sayang?”

“Ma, dengerin aku dong! aku kan kan lagi ngomong.”

Tatiana menghela nafas gusar. Ia menoleh dan menemukan raut wajah putrinya yang bertekuk. Gadis cilik tujuh tahun itu duduk bersila di sofa di sebelahnya dengan tangan bersidekap di dada dan bibir mencebik kesal.

“Kenapa sih, Ra. Mama lagi sibuk ini.”

“Mama sibuk terus, ih!”

Tatiana memijit kedua pelipisnya. Seiranya semakin besar jadi semakin sering memprotes semua aktivitasnya. Padahal dulu anak ini selalu baik- baik saja, bahkan jika dirinya harus pergi ke luar kota Seira tetap anteng meski hanya bersama Bi Minah, pembantu rumah tangganya atau Hasna, baby sitternya sejak kecil.

“Seira! Mama kan sibuknya sibuk kerja! Bukan sibuk yang aneh- aneh.”

“Kerja terus kerja terus!”

Tatiana menggeleng. Bibir Seira yang semakin merengut membuatnya kepalanya semakin berat. Tahu seperti ini lebih baik ia berangkat ke kantor saja walaupun tanggal merah. Setidaknya ini lebih baik, daripada di rumah selalu direcoki kehadiran Seira.

“Seira mending sana sama Bi Minah atau Mbak Hasna gih! Mama harus ngerjain ini dulu,” Ujar Tatiana tak sabar. Ia berusaha mengalihkan perhatian Seira. Layar monitor laptopnya masih menampilkan laporan keuangan yang dibuat staffnya beberapa hari lalu dan sudah menjadi tugasnya untuk mengeceknya kembali pekerjaan para staff. Bukan hal mudah pastinya, apalagi jika terkait uang perusahaan.

Selip sedikit, fatal akibatnya.

Gelengan kepala Seira membuat Tatiana mendengus gusar. Anaknya tidak tertarik apapun. “Nggak mau! Masa Seira sama Mbak Hasna Bi Minah terus, Seira maunya sama mama.”

“SEIRA!” Emosi mulai merambati Tatiana, ia tak habis pikir dengan kemanjaan gadis ciliknya. Anak ini sudah bukan balita lagi, bukan lagi masanya merajuk dan bermanja- manja tak jelas. Seira bahkan sudah duduk di kelas satu SD, seharusnya pemahaman anak ini kalau ibunya sedang bekerja dan tidak ingin diganggu itu sangat jelas. Bukan seperti saat ini.

“Mama lagi kerja! Banyak yang harus mama selesein! Ngerti!” Lanjut Tatiana dengan suara meninggi. Gurat marah tak dapat disembunyikan di wajahnya. Ia benar- benar frustasi karena sikap Seira.

“Sekarang kamu keluar dari ruang kerja mama, main sama Mbak Hasna atau Bi Minah sana!” Katanya lagi dengan mengabaikan mimik sedih Seira. Tatiana kembali memfokuskan diri ke layar laptopnya, ia mengeraskan hati biar bagaimanapun Seira harus belajar untuk tumbuh dewasa. Tidak terus- terusan merajuk jika keinginannya tak terpenuhi.

Dan beberapa menit kemudian ia dapat menghembuskan nafas lega karena merasakan Seira beranjak turun dari sofa yang didudukinya. Lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan.

Well, saatnya bekerja!

***

“Se…Sei…ra,”

Tatiana tergugu di tempatnya. Air mata terus mengalir tiada henti. Pemandangan dari balik kaca tempatnya berdiri mengiris hatinya. Menyakitkan jiwa. Ia bahkan nyaris tak dapat bernafas. Tubuhnya terasa lunglai. Lemas seketika.

Seira, gadis kecilnya kini terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Pada beberapa tubuhnya terpasang selang dan alat guna menunjang hidupnya. Matanya yang terpejam membuat hati Tatiana semakin pilu.

Bangun, Nak! Mama disini. Mama janji kalau kamu bangun mama akan temani kamu main. Kapanpun. Dimanapun.
Tatiana nelangsa, hati ibu mana tak terluka melihat keadaan anaknya tak berdaya seperti itu. Seiranya adalah anak yang aktif, lincah dan periang. Apapun yang dilakukan gadis cilik itu selalu mengundang decak kagum dan tawa di sekitarnya. Tetapi kini melihat Seira tak berdaya, hidup mengandalkan alat- alat buatan manusia membuat Tatiana semakin dirundung kesedihan tak terperi.

Mengapa harus ia yang mengalaminya, Tuhan? Mengapa bukan aku saja?

Tatiana menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya makin tak terkendali. Kesedihan, kepedihan yang ia rasakan bersamaan dengan rasa bersalah yang menggelayuti dirinya. Semua salahnya. Salahnya sebagai ibu yang terlalu egois, memetingkan diri sendiri hingga tanpa sadar menelantarkan putrinya sendiri.

Maafin mama, Sayang!
Kalau ada mesin waktu, Tatiana ingin kembali ke waktu itu. Waktu dimana awal mula terjadi semua kesakitan ini. Hari yang paling dibencinya. Hari yang disesalinya seumur hidupnya serta hari dimana ia menjadi orang terjahat sedunia.

Maaf, Nak. Maafkan mama, Seira!
***



Tatiana merenggangkan kedua tangannya ke atas. Akhirnya selesai juga, gumamnya dalam hati.

Diliriknya jam di atas meja kerjanya. Pukul 15.00 WIB. Tak terasa sudah hampir tiga jam ternyata ia menghabiskan waktu menyelesaikan semua pekerjaannya.

Tok. Tok.

Tatiana menoleh. “Iya, masuk aja!” Katanya.

Sosok perempuan muda muncul dibalik pintu. Hasna, pengasuh anaknya . Sesaat kepalanya menunduk. “Maaf Bu, sekarang saatnya Mbak Seira les musik.”

Tatiana mengangguk, “Oh ya udah les aja!”

Hasna mengangguk perlahan, lalu matanya mengitari ruangan majikannya. Ia tertegun sejenak.

“Kenapa masih disitu?” Teguran Tatiana membuat jantung Hasna berdetak tak beraturan.

“Mm…mbak Se…seiranya mana, Bu?”

Tatiana mengernyit. Ia bingung dengan pertanyaan Hasna, “Maksud kamu?”

“Tta…tadikan Mbak Seira disini, Bu.”

Tatiana menggeleng, “Seira sudah keluar dari tadi, Hasna!”

“Ma..maksud ibu Mbak Seira pergi sama Bapak?”

Tatiana menggeleng lagi, “Bapak kan lagi di luar kota, Na. Nggak tadi itu saya suruh Seira keluar. Main sama kamu apa Bi Minah. Habisnya dia ganggu saya kerja.”

Wajah Hasna pias seketika. Sejak beberapa jam lalu ia belum bertemu Seira. Terakhir ia melihat anak majikannya itu masuk ke ruang kerja ibunya setelah makan siang. Dan sejak itu dia belum melihat sama sekali gadis kecil asuhannya itu. Dirinya cukup maklum, mungkin anak itu menginginkan menghabiskan hari liburnya dengan ibunya yang kebetulan juga ada di rumah.

“Kenapa, Na?” Mata Tatiana memincing curiga. Ia menangkap gelagat aneh dari pengasuh anaknya.

“I…itu, Bu!” Tatiana makin curiga, “Mm…mbak Seira…,”

“Iya kenapa Seira?” Tanya Tatiana tak sabar. Tiba- tiba perasaan tak enak menghampiri dirinya.

“Ssa..saya belum lihat Mbak Seira, Bu!”

“Maksud kamu?” Tanpa sadar Seira sudah beranjak dari kursinya. Ia mendekati Hasna yang berdiri di depan pintu.

“Ssa…ya lihat mbak Seira terakhir waktu masuk ruangan ibu.”

Tatiana terhenyak. Itu berarti sekitar tiga jam sejak ia mengusir Seira dari ruangannya, Hasna tak mengetahui keberadaan Seira.

“Cari Seira di sekeliling rumah! Suruh Bi Minah juga Mardi! Suruh tanya di sekitar tetangga lihat Seira nggak!” Perintah Tatiana cepat.

“I…iya, Bu!” Hasna bergerak cepat melakukan perintah Tatiana. Sesegera mungkin ia menemukan keberadaan anak majikannya. Dalam hati ia berdoa, Seira baik- baik saja.

Sesaat setelah kepergian Hasna, dengan setengah berlari Tatiana menuju kamar anaknya. Mungkin saja gadis kecilnya bersembunyi di kamarnya sendiri tanpa diketahui pengasuhnya, harapnya dalam hati.

“Seira, Seira!” Panggilnya saat membuka kamar anaknya. Dengan cepat ia menyusuri seluruh ruangan. Menyibak selimut, melongok bawah ranjang, membuka lemari dan mengecek kamar mandi. Nihil. Sia- sia. Seira tak ada di kamarnya.

Sesaat sebelum meninggalkan kamar, matanya menangkap sebuah buku berwarna merah muda yang terbuka di atas meja belajar dengan pensil diatasnya. Tatiana mengernyit sembari meraih buku tersebut.

Diary?
Nafas Tatiana tercekat seketika saat membaca tulisan tangan di halaman yang terbuka. Bibirnya terasa kelu, matanya memanas hingga tak lama bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Mama marah sama Seira, Ry. Seira nakal. Ganggu mama.

Maafin Seira, Ma.
***



“Ma…” Tatiana menurunkan kedua tangannya. Ia menoleh dan menemukan Rega, suaminya telah berada di sampingnya dengan tangan kanan merengkuh bahunya.

“Jangan seperti ini!”

Air mata Tatiana tak juga berhenti. Ia kembali memandang tubuh tak berdaya Seira. “A..aku yang salah, Pa. Aku yang jahat dengan Seira. Kalau saja hari itu aku menemaninya bermain, tentunya hal ini takkan terjadi. Seira pasti sedang tertawa senang bersama kita.”

Rasa bersalah menggelayut Tatiana. Seira kecelakaan. Ternyata gadis cilik itu bermain sepeda di luar rumah. Tetapi karena tak ada orang dewasa di sekitarnya, Seira dapat melenggang bebas hingga ke jalanan luar komplek. Untung tak dapat diraih, saat Seira ditabrak oleh mobil yang dikendarai seorang pemuda dalam kondisi mabuk. Tubuh gadis itu terpental hingga menimbulkan cidera dan luka yang serius. Dan kini setelah operasi yang dilakukan untuk menyelamatkan Seira, anak itu masih belum sadar.

Sebuah usapan lembut dirasakan Tatiana, ia hanya menurut ketika laki- laki yang menikahinya menarik dirinya ke dalam pelukan. “Everything will be okay! Seira kita pasti akan sehat lagi. “ Ujar Rega lembut.

“Tapi…,”



“Percayalah! Okay!”

Tatiana terdiam sesaat. Tak lama kepalanya mengangguk perlahan. Suaminya benar. Seharusnya ia percaya dan yakin Seira akan sehat lagi. Gadis kecilnya akan bangun dari tidurnya dan berteriak memanggilnya. Seira akan merajuk memintanya menemani bermain.

Bangun, Sayang! Mama disini selalu menunggumu.

Mama janji mama akan selalu ada untukmu, Nak.

***



Lampung, Juni 2015