JANDA
"Kamu yakin, Nduk?"
Aku mengangguk perlahan. Tak berani
menatap wajah kecewa simbok. Mataku memanas, hatiku perih, jiwaku menangis.
Membuat kecewa dan sedih simbok adalah hal yang paling kuhindari. Anak mana
yang ingin mengecewakan hati orang tuanya, anak mana yang ingin disebut anak
durhaka. Sungguh akan kulakukan apapun asal takk membuat simbok sedih, satu-
satunya orang tuaku yang masih ada.
"Ndak bisa dipikirin lagi,
Nduk?" tawar simbok halus.
Aku makin menunduk. Lidahku kelu. Tak
dapat berucap. Aku sadar simbok belum bisa menerima keputusanku. Aku tahu hal
ini sangat sulit, tetapi apa aku harus mempertahankan hal yang sia- sia. Yang
hanya akan menyakitkan hati dan kelak membuatku menyesal seumur hidup. Tidak,
aku menggeleng mantap.
Kuraih tangan kasar simbok. Tangan
yang bertahun- tahun telah membesarkanku dan kakak- kakakku sepeninggal ayah,
tangan yang bekerja keras setiap hari untuk kelangsungan hidup anak-anaknya.
Tangan ini pula yang berusaha keras mengerjakan apa saja yang halal asal kami
bisa makan. Kuusap lembut jemarinya,
"Mbok, Lastri tahu Mbok
kecewa," ucapku pelan sambil menghela nafas, "Semua sudah Lastri
sudah pikiran matang- matang, Mbok."
Simbok mengangguk- angguk. "Ya
sudah, mbok hanya ingin kamu bahagia,'' ujarnya pelan namun nada kecewa masih
dapat kurasakan. Maafkan anakmu, Mbok.
***
Namaku Lastri. Umurku 23 tahun. Gelar
janda segera akan kusandang mengingat keputusanku sudah bulat. Pria yang
menikahiku dua tahun lalu berselingkuh. Yap, dua tahun hanya dua tahun, waktu
yang singkat bukan? Cih, tak sudi rasanya mengingat lelaki itu. Lelaki yang
pada akhirnya menyisakan duka dalam hidupku.
Beberapa bulan terakhir ini, ia
terlihat bahagia sepulang kantor. Binar dimatanya terlihat jelas. Senyumpun selalu
tersungging di wajahnya. Awalnya aku hanya mengira ia mendapat proyek besar
dari kantornya hingga sorot bahagia terukir jelas di wajahnya. Namun kusadari
ada yang berbeda dari dirinya. Mungkin inilah yang dikatakan naluri wanita.
Kamu dapat mencium "sesuatu" yang sedang terjadi pada suamimu.
Sesuatu yang tak beres.
Maka pelan- pelan aku mulai
menyelidiki suamiku sendiri. Aku mulai mengecek handphonenya, namun tak
kutemukan SMS/telepon yang mencurigakan. Bajunya pun selalu bersih, tak ada
noda lipstik yang tertempel seperti di sinetron- sinetron yang ku tonton. Maka
perlahan kecurigaanku pun memudar, apalagi ditambah kehamilanku yang semakin
membesar.
Badai prahara pun datang. Serapat-
rapatnya bangkai ditutup akhirnya tercium juga. Selang sebulan setelah
kelahiran anakku, aku harus menerima pahitnya dikhianati. Hari itu aku ingat
sakitnya hatiku saat melihatnya bergumul erat dengan perempuan sialan itu di
ranjangku. Aku yang hampir sebulan tinggal di desa karena kelahiran anakku,
sengaja memilih kembali kerumah tanpa pemberitahuan bermaksud memberikan
kejutan manis pada suamiku ternyata mendapat kejutan jauh lebih luar biasa.
Mataku nanar menatap perselingkuhan yang terjadi di depan mata dan ia lelaki
yang masih berstatus suamiku hanya dapat terbelalak tak menyangka akhir
perselingkuhannya ketahuan juga.
Jangan bayangkan setelah
perselingkuhan ia akan mengiba maaf padaku, tidak terjadi hal itu. Justru
tingkahnya makin menjadi. Dengan tanpa bersalah, perempuan itu sering dibawanya
kerumah. Tangannya kerap memukul jika aku menegur sikapnya. Sudah ta berharga
lagi aku sebagai istri di matanya. Panas telingaku mendengar gunjingan para
tetangga dan kenalan mengenai kelakuan suamiku dan wanita sialan itu. Aku hanya
bisa diam, menangis dalam sepi, mencoba bertahan demi anakku.
"Bersabarlah, Nduk. Ingat anakmu
butuh seorang ayah," ucap Simbokku saat kukeluhkan sikap suamiku.
"Mbok," ujarku lirih.
"Nduk, kamu pikirkan nasib
anakmu kedepan. Ia perlu makan, baju yang bagus, sekolah. Semua bisa dia dapat
dari ayahnya saja, Nduk,"
Aku terisak. Sungguh aku tak kuat
menghadapi perilaku suamiku sendiri. Sakit, malu, dan tak berharga yang
kurasakan. Tak hanya tertekan secara hati namun juga fisikku mulai rapuh.
Tubuhku mulai penuh lebam dan biru akibat pukulan dan tendangannya. Haruskah
aku terus bertahan seumur hidup?
Kuakui hidupku mulai terangkat saat
menikahinya. Ia merupakan salah seorang anak dari kepala desa. Wajahku yang
manis menurut orang- orang kampung membuatnya terpikat padaku. Bak gayung
bersambut, aku pun sebenarnya diam- diam menyukainya saat duduk di sekolah
menengah. Ia memiliki wajah rupawan juga sikap yang melindungi. Namun aku tahu
diri, siapalah aku yang hanya seorang anak buruh tani dengan ia yang anak
kepala desa dan memiliki sawah dimana- mana. Maka kukikis perasaan itu, apalagi
kudengar ia melanjutkan sekolah ke kota. Ah, makin jauh saja kami. Bagai
pungguk merindukan bulan diriku ini.
Beberapa tahun berlalu, ia pun
kembali untuk mengunjungi orang tuanya. Penampilan khas orang kota dan ditunjang
wajah yang memang tampan sejak kecil membuatnya langsung diidolakan seluruh
gadis kampung. Semua memimpikan menjadi pasangannya tentunya. Pun tak
terkecuali aku, yang memang menyukainya sedari dulu. Lagi- lagi aku diingatkan
untuk sadar diri, siapa aku siapa dia. Toh siapa menjamin jika ia tidak
memiliki kekasih cantik jelita di kota. Namun ternyata takdir berkata lain.
***
"Kamu Lastri kan?"
Aku ternganga tak percaya saat sosok
pemuda impian gadis satu kampung berdiri di hadapanku tepat saat aku melangkah
keluar masjid, sehabis mengajar di TPA.
"Lastri...," panggilnya
kemudian. Aku terhenyak, masih tak percaya lelaki itu berdiri di depanku, dan
mengenal namaku. Catat, ia mengenalku.
"I...i...ya,'' sahutku cepat.
Aku dapat merasakan tubuhku mendadak lemas dan jantungku bekerja lebih cepat.
"Masih mengingatku kan?"
"Haahhh!" Refleks ucapan
tak sengaja terlontar dari mulutku. Ah, apa yang ditanyakannya. Mengingatnya.
Siapa yang tak mengingat sosok lelaki tampan sepertimu,
Ia tersenyum. Senyum paling manis
sedunia, menurutku. Ah, mendadak hatiku menghangat hanya melihatnya tersenyum
saja. Ya Tuhan...
"Kamu itu lucu ya dari dulu
sampai sekarang,'' katanya masih dengan senyum termanisnya,
"Menggemaskan,"
Lucu, menggemaskan dia bilang, batinku. Dari dulu sampai sekarang? Ya
Tuhan, mimpi apa aku semalam.
"Hei...Lastri," panggilnya
menarik kesadaranku. "Kamu melamun terus?"
"Iya...eh.. nggak eh itu,"
Ya Tuhan, aku gugup. Sangat gugup.
Ia terkekeh geli. "Kamu itu
ya!" ujarnya kemudian. "Sudahlah, ayo pulang!"
"Pulang?" tanyaku tak
mengerti.
la mengangguk, "Iya, pulang.
Memangnya kamu mau kemana lagi?"
Aku menggeleng. Masih tak dapat
kupahami. Ia lelaki yang hadir dalam mimpiku, yang entah bagaimana caranya
mendadak muncul di hadapanku, mengenal namaku dan mengajakku pulang. Masih tak
kupahami apa yang terjadi,
"Lastri, ahh... kamu melamun
lagi,"
Aku terdiam. Menghembuskan nafas
perlahan. Bagaimana aku tak melamun, jika kejadian ini saja serasa mimpi.
Ia menarik tanganku, " Baiklah,
aku tahu kamu masih bingung. Semua akan kujelaskan di rumahmu."
Yang aku tahu, perasaanku berbunga-
bunga kemudian. Sangat bahagia. Siapa menyangka ia mengatakan menyukaiku.
Terpikat dengan kecantikan alami yang kumiliki. Ya Tuhan, ia mengatakan aku
cantik. Aku yang cuma anak seorang buruh tani. Dan mimpiku pun jadi nyata.
Sebulan setelah pertemuan kami ia dan keluarganya melamarku. Tepat sehari
setelah pernikahan, ia membawaku ke kota. Ah, siapa kira hidup awalnya indah
tak bertahan lama, dan kini keputusan cerai yang kupilih.
Kuakui aku salah karena terpikat
wajahnya yang rupawan serta derajat keluarganya yang sangan terpandang di
kampungku. Sifat dan perilakunya tak ada yang tahu karena ia lama tinggal di
kota. Siapa mengira wajahnya yang tampan justru digunakan memikat perempuan-
perempuan dalam pelukannya. Aku menyesal, namun apalah arti penyesalan saat ini
lebih kupikirkan hidupku selanjutnya.
***
"Maafkan kami, Nduk."
Ucapan bersalah kudengar dari seorang lelaki baya di hadapanku. Sedangkan
perempuan di sebelahnya hanya dapat terisak.
Lelaki itu, mantan kepala desa yang
dihormati dan disegani di kampungku datang untuk meminta maaf. Keduanya, mantan
oh salah tepatnya calon mantan mertuaku khusus datang untuk bertemu denganku
hari ini.
"Kami meminta maaf, Nduk atas
semua kesalahan anak kami. Kami selaku orang tua malu, sangat malu."
Aku mengangguk- anggukkan kepala. Tak
dapat berucap apapun. Aku tak tega melihat keadaan kedua mertuaku saat ini. Aku
yakin mereka pun teramat kecewa dengan sang putra, ah sudahlah ini memang sudah
takdirku.
"Pak, Bu..." Kataku pelan.
"Aku yang meminta maaf jika selama ini tak menjadi menantu yang baik, maaf
pula jika akhirnya aku memutuskan untuk bercerai,"
Lelaki baya itu mengangguk,
"Kami mengerti, Nduk. Kamu masih muda. Hidupmu harus bahagia. Biarkan
suamimu mendapat kehancurannya sendiri. Kami sangat malu padamu, Nduk."
Aku menghela nafas perlahan. Tak
pernah kusangka kedatangan keduanya hari ini. Hingga ucapan maaf yang terlontar
dari keduanya. Meminta maaf atas segala kelakuan sang anak. Aku yakin keduanya
juga menyembunyikan kesedihan yang teamat sangat. Sorot mata kecewa jelas
terlihat dari keduanya. Ah, sungguh tak tega melihatnya.
Aku percaya ada hikmah di balik semua
peristiwa. Keputusan yang kuambil memang menyakitkan. Aku di usia yang sangat
muda harus menyandang gelar janda. Gelar yang sebenarnya pantang di keluargaku.
Itulah mengapa Simbok sangat kecewa. Namun hidupku tak ingin berakhir hanya
dengan kesia- siaan. Aku masih muda, jalanku masih panjang. Aku tak ingin
terkungkung menjadi perempuan bodoh yang terus tersakiti. Hidup mungkin akan
sulit kulalui selanjutnya, perempuan muda dengan seorang anak. Tetapi kuyakin
Tuhan tak pernah tidur, kelak bahagia kan kuraih.
Bandung, 15 April 2014
hehehehehehehe...
BalasHapusjadi ingat lagi... #nangis
good post mbak
BalasHapusSedih...
BalasHapusAgen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Situs Terpercaya
Buruan Gabung Bersama Kami di 88CSN
Dapatkan:
BONUS SETIAP HARI 5%
BONUS NEW MEMBER 180%
BONUS MEMBER POKER 20%
BONUS HAPPY HOUR 25%
dan banyak lagi bonus lain nya.
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : 081358840484
BBM : 88CSNMANTAP
Facebook : 88CSN
www.wes88.com