Jumat, 26 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (7)


Tujuh

Sebelumnya di sini

Mirah memijit pelipisnya berulang kali. Dihelanya napas berat sebelum akhirnya memejamkan matanya perlahan. Pada akhirnya dia tahu apa yang membebani ibunya hingga sampai harus dirawat di rumah sakit. Kumala menelepon, Mirah pun memaksa adiknya untuk bercerita hal yang sebenarnya terjadi di rumah sepeninggal dirinya. Tak mungkin jika Kumala tak mengetahui sebab sebenarnya.

Alvina, adiknya. Si tengah diantara ketiga bersaudara itu tengah mengalami prahara rumah tangga. Suaminya beristri lagi. Alvina yang menolak dipoligami pun harus menerima resiko ditalak suaminya. Jelas itu bukan hal yang menyenangkan untuk diterima ibunya. Ibu mana yang tak frustasi anaknya akan menjadi janda.

Ya Tuhan, Lindungi emak…

Mirah tak pernah tahu, dosa apa yang telah diperbuat keluarganya hingga kemalangan bertubi- tubi menghampiri. Yang dia tahu, beban di pundaknya akan semakin berat. Alvina dicerai itu berarti adiknya akan kembali pulang kerumah berikut beserta kedua anaknya.

Akan ada tambahan tiga kepala yang harus diberi makan, bukan?

Tapi dibanding itu semua, Mirah memikirkan pula kondisi Alvina. Ia pernah ada di masa terpuruk karena pengkhianatan suaminya dan kini membayangkan adiknya mengalami hal sama, Mirah hanya bisa menggeleng sedih.

Perempuan boleh terlihat tegar dan kuat. Perempuan juga makhluk pemaaf, tetapi sekali hati tersakiti seumur hidup itu pula luka itu takkan pernah benar- benar sembuh.

***

“Seperti ini sudah biasa, Mir.”

Mirah hanya terdiam. Teh Nena menceritakan kenapa akhirnya ia menjadi seorang istri kontrak dari Josh. Di kampungnya nikah kontrak hal biasa. Bayaran tinggi tentu menjadi alasan terbesar. Bahkan banyak orang tua mendukung anaknya untuk berprofesi sebagai istri kontrak. Toh, pernikahan benar- benar terjadi, meskipun hanya siri. Ada penghulu dan wali. Jadi tak melanggar apapun.

The Nena sendiri sudah menikah selama tiga kali. Pertama kali ia menikah dengan seorang pria asal Arab. Pengusaha yang tengah merambah bisnis hingga Indonesia. Pernikahan dengan sang arab bertahan selama setahun setengah. Sedangkan pernikahan kedua The Nena dengan lelaki berkebangsaan korea yang bekerja di salah satu perusahaan asing di Indonesia. Lelaki itu menjadi suaminya selama dua tahun hingga akhirnya ia kembali ke Korea. Dan Josh, lelaki asal Irlandia inilah yang ketiga. Sebenarnya Josh tak menginginkan adanya pernikahan karena pemikiran bebasnya, tapi The Nena ngotot kalau menginginkan dirinya berarti harus ada pernikahan.

“Jadi teteh pertama kali dengan orang arab itu?”

Nena menggeleng, “Jauh sebelumnya saya sudah menikah, Mir. Nikah muda. Kami pisah karena Kang Gani suka mukulin saya. Saya nggak kuat akhirnya minta dicerai aja. “ Ujarnya sembari menyebutkan nama suami.

“Anak?”

“Ada satu, dia sama neneknya di kampung.”

Mirah manggut- manggut, “Sama yang lain?” Tanyanya hati- hati. Takut menyinggung. Tapi Nena sepertinya tak bermasalah, kepalanya menggeleng.

“Ada perjanjiannya Mir, saya nggak boleh hamil. Lagipula buat apa juga hamil. Kasian atuh anaknya nanti bakal nggak tahu bapaknya.”

“Iya ya.” Sesaat Mirah terdiam. Sejujurnya ia ingin bertanya apakah Nena bahagia menjalani semuanya. Menikah karena perjanjian, dibatasi waktu pula. Kok Mirah merasa sama sekali tak enak. Dia saja yang bercerai, sakit hatinya masih ada apalagi ini berpisah berkali- kali.

Mirah menghela napas panjang, sudahlah biarkan itu menjadi urusan Nena! Dia tak berhak bertanya lebih jauh jika Nena sendiri tak mau bercerita.

Hidup masing- masing, kan?

***

“Mir! Mir!”

Mirah menoleh. Lina mendekatinya, “Itu cowok cakep ya?” Bisik gadis itu di telinganya. Mirah mengernyit namun detik selanjutnya ia mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Lina. Seorang laki- laki bertubuh tinggi masuk ke dalam restaurant. Sesaat ia terlihat celingukan hingga akhirnya Adri, rekan kerja Mirah yang lain mendekatinya. Mereka berbicara sesaat, tetapi tak lama Adri membawa lelaki itu ke lantai dua.

“Cakep kan ya kayak yang main the heirs?”

Mirah mengernyit lalu menatap Lina, “The Heirs?”

“Astaga, Mir. Elu nggak tahu The Heirs?” Lina menepuk jidatnya sendiri sembari menggeleng geli. “Ck, emang di kampung elu nggak pernah nonton drakor yak?”

Mirah menggeleng. “Aku nggak nonton drakor.”

“Ya elah, Mir. Hari gini kagak nonton drakor. Keren- keren, Mir lakinya. Ceritanya juga bagus loh. Eh mau gue pinjamin CDnya. Besok gue bawain dah1”

Lagi- lagi Mirah menggeleng, “Nggak usah. Di kosan aku nggak ada TV.”

“Belilah, Mir!” Cibir Lina. Mirah tersenyum tipis menanggapinya.

“Belum butuh, Lin. Lagian siapa yang nonton, aku kan kerja,” Tukas Mirah, mending buat dikirim ke kampung juga, lanjutnya dalam hati.

“Oh iya, y…,”

“Heh? Ini malah ngobrol lagi berdua?” Tiba- tiba manajer sudah berkacak pinggang di hadapan mereka. Mirah menunduk takut- takut. Sesaat ia melirik Lina yang dalam kondisi sama. “Sana kerja! Masa mau makan gaji buta aja kalian!”

Ck, punya atasan geh menyebalkan….

Selanjutnya di sini
***

=tbc=

Note. Paling susah emang konsisten sama waktu. Hiks… manajemen waktu saya untuk posting ini berantakan. Mohon maaf untuk semua pembaca. Tapi diusahakan setiap seminggu sekali akhir pekan pasti ngepost. Sekali lagi maaf.

Terima kasih.

Selasa, 23 Februari 2016

[Cerpen] Jangan GR


Gambar diambil dari www.silhouettesfree.com



Jangan GR. Gede Rasa. Over Pede. Karena ini bisa membuatmu kehilangan persahabatan. Ya persahabatan.
“Tuh kan Sin gue bilang apa? Dia tuh suka sama gue. Dari tadi ngeliatin gue mulu.”

Aku mengernyit lalu mengarahkan pandangan lurus. Mencari objek dia yang dimasuk Mariana, sahabatku. Sesaat kemudian aku mendengus saat menemukan dia.

“Yakin amat sih lo dia suka sama lo?”

Mariana tersenyum lebar. Ia berkata dengan nada bangga setengah mati, “Yakinlah. Bukti- buktinya udah jelas.”

Alisku bertaut, “Bukti?”

“Nih ya, dia tuh sering curi- curi pandang ke gue. Terus suka senyum- senyum ke gue. Pernah kan dia nganter gue pulang. Dia nggak keberatan tuh juga gue ajak jalan kemarin. Jadi kurang jelas apa coba?“

Aku manggut- manggut mengiyakan. Marcell itu -lelaki yang disukai Mariana- meski sedikit pendiam dia masuk kategori cowok pupuler sekolah. Ketua klub futsal, cocok sih sama Mariana, yang juga menjabat klub tari sekolah. Sama- sama cakep, sama- sama populer.

Pasangan serasi.

“Jadi gue putuskan untuk menembaknya?”

“Mati dong!” Selorohku yang disambut delikan Mariana.

“Ish lo ini serius dikit ngapa! Malah bercanda.”

Aku tertawa, “Ya udah jadi gue mesti bantu apa?” kataku akhirnya mengalah. Senyum Mariana pun kembali terulas,

“Well, rencana gue itu…,”

***

Ini konyol. Entah darimana Mariana dapat ide sekonyol ini. Menjadikan lapangan futsal sekolah sebagai tempat pernyataan cinta. Aku yang kebagian sial, memohon-mohon pada penjaga sekolah untuk meminjamkan kunci gedung olahraga sebentar. Tidak hanya memohon tapi juga merelakan uang jajan semingguku untuk menyogok pak tua itu. Ditambah aku harus memasang spanduk yang bertuliskan aku sayang kamu, Marcell. Ck, menggelikan sekaligus menyebalkan.

Mariana memang gila! Tunggu saja saja sampai dia harus mengganti semua uangku.

Double dengan pajak jadiannya.

Sebuah suara menyentakkan kesadaranku. Mariana masuk bersama Marcell. Aku bersiap di tempatku untuk mengabadikan momen yang special, menurut Mariana.

Ck, kalau bukan sahabat gue aja nggak akan gue mau, gerutuku dalam hati.

“Ini apa- apaan sih, An?” Kening Marcell mengerut bingung. Matanya menatap spanduk yang sudah terpasang rapi. Tanganku bergerak memperbesar layar kamera yang kupegang, mendapatkan wajah Marcell sepenuhnya. Sesekali berpindah ke Mariana.

Cih, senyum malu- malu itu! Amit- amit dah,

“Itu perasaanku, Cell sama kamu. Aku bawa kamu ke sini buat bilang aku sayang sama kamu.”

Nih cewek emang nggak ada malunya. Bertahun- tahun bersahabat dengannya aku tau persis sikapnya. Berani, percaya diri dan blak- blakan.

“Terus?”

Aku melongo. Kok terus? Ini Marcell yang dodol apa gue sih yang salah dengar. Tempatku memang agak tersembunyi dari pandangan mereka tapi juga tidak terlalu jauh. Sepinya ruangan jelas membuatku mendengar apapun yang mereka katakan.

“Terus kamu jadi pacar aku,”

Aku mendengus geli. Mariana tak terpengaruh. Benar- benar percaya diri yang sangat tinggi!

“Tapi aku nggak suka kamu.”

Whatt! Aku melotot saking terkejutnya. Mariana juga. Ia terbelalak tak percaya. “Ta—tapi…,”

Bibirnya bergetar. Kalau sudah begini aku tak sabar muncul dari persembunyianku. Tak peduli rekaman yang harus kubuat. Mariana itu sahabat karibku, melihatnya menangis tentu mendidihkan isi kepalaku.

“Kalau lo nggak suka ngapain PHP?” Kemunculanku jelas mengagetkan Marcell. “Lo cowok kan? bukan banci. Ngapain lirik- lirik, senyum-senyum, suka ngasih perhatian kalau nggak suka. Rese lo ya! ”

Marcell terdiam. Aku menarik tangan Mariana, “Yuk An, cowok begini mah harusnya lo lempar ke laut biar dimakan hiu hidup- hidup. Tukang PHP!”

Mariana menurut. Sepertinya dia masih cukup shock dengan penolakan Marcell. Aku membawanya keluar, namun tiba- tiba kata- kata Marcell menghentikan kami.

“Tunggu!” Aku dan Mariana berbalik. “A—aku bukan PHPin Mariana.”

“Lalu?” Tanyaku tak sabar.

“Aku nggak senyum- senyum ke Mariana. Aku juga nggak ngasih perhatian ke dia, aku cuma mau baik sama dia aja. ”

Mataku melebar. Sesaat kupandangi wajah Marcell untuk mencari kebohongan tapi sorotnya yang tajam menyakinkanku kalau dia jujur. Aku menghela napas berat, ini sih judulnya sahabat aku yang ke-Gran akut. Parah.

Tapi…,

“Lagian aku sukanya sama kamu, Sin.”

Hah?

***

Jangan GR. Gede Rasa. Over Pede. Karena ini bisa membuatmu kehilangan persahabatan. Ya persahabatan.
“Pulang, Yang!”

Kuanggukkan kepala lalu mengulas senyum lebar, “Yuk!” kataku sembari naik ke atas motor Marcell. Kulingkarkan tanganku pada pinggangnya. Memeluknya erat. Dicintai cowok keren dan populer, siapa takut?



=end=

Lampung, Februari 2016
Posted in Kompasiana


Jumat, 19 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (6)


Enam
sebelumnya di sini
“Sorry ya, Mir. Lama!”

Mirah mengangguk perlahan. Nena menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Mirah. Perempuan itu baru saja mengantar Josh hingga depan pintu apartemen.

“Loh kok diam aja, kamu nggak ambil minum?” Pertanyaan Nena hanya dijawab gelengan Mirah. Dia masih shock mendapati fakta keberadaan Josh pagi- pagi di tempat Nena. Apalagi dengan banyak dugaan- dugaan berkelebat di kepalanya membuat dirinya makin tak nyaman. Dia memang sudah pernah menikah dan menjadi seorang janda, tapi tetap saja kenyataan yang dilihatnya pagi ini membuatnya tak nyaman.

“Kamu jangan mikir aneh- aneh, Mir.” Mirah mendongak. Nena tahu yang dipikirkannya. Alih- alih tersinggung wanita itu justru tersenyum lembut.

“Teteh sama Josh nggak seperti yang kamu pikir.” Sambungnya yang membuat Mirah meringis malu. The Nena tahu?

“Josh suamiku.”

Hah? Nena tercengang. Ia terbelalak tak percaya.

“Ss—suami?”

Nena mengangguk. “Iya, suami. Jadi bukan masalah dong?” Tukasnya dengan binar jahil di matanya. Mirah menggeleng. Ya nggak masalah kalau begitu, tapi…

“Ko-kok teteh nggak pernah cerita?”

Meski sekilas Mirah dapat menangkap raut sedih di wajah ayu itu. Nena menyandarkan punggungnya di sofa. Matanya terpejam sebentar lalu membuka kembali.

“Nggak ada gunanya diceritakan, Mir. Karena sebenarnya ini juga bukan hal yang membahagiakan.”

Mirah bengong. Detik selanjutnya ia terkesiap, jangan-jangan…

“Teteh disiksa? Atau dipukuli? Diselingkuhi?” Tanya Mirah panik. Banyaknya berita tentang KDRT ternyata telah membuat Mirah menduga- duga banyak hal. Pernikahan tak bahagia itu berarti ada kesalahan diantara suami istri.

Nena menggeleng perlahan, matanya menatap lekat- lekat Mirah. “Nggak. Teteh nggak separah itu. “

“Lalu?”

“Ini pernikahan kontrak, Mir.”

Nikah?

Kontrak?

???

***

Emak masuk rumah sakit, Yuk.
Mirah gelisah bukan main. Berita yang disampaikan Kumala membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ibunya masuk rumah sakit karena penyakit asma yang memang sudah lama dideritanya. Mirah tahu ada hal berat yang dipikirkan ibunya hingga memicu stress yang berdampak pada asma.

Tapi mengapa sampai masuk rumah sakit? Selama di rumah, Mirah selalu memastikan obat yang dikonsumsi ibunya tak pernah telat. Ia sudah mengatakan hal itu pada Kumala dan adiknya tak mungkin melalaikan pesannya. Pasti ada sesuatu. Ia yakin.

Tapi selain memikirkan alasan itu, Mirah juga dibuat pusing memikirkan nasib Kumala dan Rania. Siapa yang mengurus mereka? Siapa pula yang menjaga ibunya di rumah sakit. Mungkinkah Kumala mampu menanggung semuanya.

Ah, ia rasanya ingin pulang segera dan secepatnya.

“Astaga, Mir belum juga sebulan udah minta izin pulang kampung! Nggak- nggak! enak aja, saya bisa diomelin bos kalau kamu pulang seenaknya, belum teman- teman kamu bisa iri. Lagian di kampung kan banyak saudara kamu. Udah biar mereka yang urus!”

Mirah ingin menjerit. Marah. Tak adakah rasa peduli atasannya ini? Ingin rasanya ia menghubungi pemilik restoran ini. Tapi dia tidak tahu, selama ini hanya sekali bertemu saat wawancara saja selanjutnya semua urusan diserahkan pada manajer.

“Kalau kamu mau pulang, sana pulang! Tapi jangan kembali!”

Ya Tuhan, ada orang sekejam ini!

Mirah menunduk. Ia tak punya kuasa apa- apa. Siapa dirinya yang hanya orang kecil. Di negeri ini orang sepertinya selalu dipandang sebelah mata. Diremehkan. Ia orang kampung, tak bertitel juga hanya seorang pelayan selalu menjadi sasaran empuk orang- orang yang merasa dirinya jauh lebih sempurna.

Dunia memang tak adil.

Mirah menghela nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tak ada gunanya meratapi diri. Banyak yang harus dilakukannya. Minimal ia harus kembali menghubungi Kumala untuk menanyakan kondisi ibunya.

Tapi nanti karena pekerjaan menunggunya saat ini.

“Aw!”

Mirah tersentak. Ia terburu- buru membawa pesanan minuman hingga tanpa sadar menyenggol laki- laki yang bertubuh tinggi yang tengah berjalan menuju kasir. Mirah harus mengakui dirinya tak fokus. Ia salah memperhitungkan jarak.

“Ma..maaf, Pak!” Gelas memang tak jatuh, tapi cipratannya mengenai kemeja lelaki itu. “Sa—saya nggak sengaja.” Mirah menunduk. Takut.

“Ada apa ini?”

Mata Mirah terpejam. Manajernya datang. Bersiaplah, Mir!

“Astaga, Mir! Kamu bikin ulah apa lagi sih?”

Mirah menggeram dalam hati. Manajer masih kesal padanya. Padahal permintaan izin tadi pagi, tapi sepertinya kekesalannya masih bertahan.

Sorry, Sir………..“ Mirah dapat mendengar manajernya menggunakan bahasa inggris. Mirah tak mengerti. Ia hanya mendengar kata sorry yang pertama kali diucapkan. Ini berarti orang yang disenggolnya adalah orang asing.

Entah apa yang dikatakan keduanya. Mirah masih menunduk. Dia benar- benar takut. Kemungkinan terburuk, si bule akan meminta ganti rugi dan dia harus bersiap gaji bulan ini dipotong. Ck, gajian saja belum.

Tiba- tiba Mirah merasakan sebuah tepukan di bahu kanannya, “It’s Ok. Tidak apa- apa. Kamu jangan takut.” Ucap sebuah suara dengan bahasa Indonesia yang sangat formal dan aneh.

Mirah terkesiap. Suara orang ini terdengar sangat ramah. Ia ingin mengangkat wajahnya tapi rasa takut masih mengelayutinya.

“Lain kali hati- hati!” Kata lelaki itu kembali sebelum akhirnya berbalik. Mirah mengangkat wajahnya perlahan. Tubuh lelaki itu tinggi, ia tidak kurus juga tidak gemuk. Pas. Kulitnya putih, meski begitu Mirah menyayangkan dirinya yang tak dapat melihat jelas wajah lelaki itu. Dia terlalu takut.

Orang baik.

“Kamu bersyukur dia nggak minta ganti rugi. Kalau nggak habis gaji kamu bulan ini buat beli kemejanya.” Ujar si manajer di sebelahnya. Mirah hanya mengangguk dan setelah manajernya berlalu ia bisa bernafas lega namun matanya masih memperhatikan lelaki yang disenggolnya tadi. Dalam hati ia berharap, lelaki itu menoleh ke belakang dan dirinya bisa melihat wajah dengan jelas.

Tapi sayang, hingga akhirnya lelaki itu keluar restoran tak sekalipun dia menoleh. Mirah menghela nafas berat.

Sayang sekali!

=tbc=

selanjutnya di sini

Lampung, Feb 2016

[Cerpen] Cerita Tiga Sahabat

sumber gambar : www.imunosolg.tk


Wajah Rama sumringah. Cerah. Membuat kedua temannya mengerutkan kening heran.

“Kasih selamat ke gue dong, Guys!” Davi dan Lian saling berpandangan sesaat sebelum akhirnya menggeleng. Selamat untuk?

“Ck, kalian nggak asik!” Gerutu Rama tapi masih dengan senyum di wajahnya. “Gue jadian sama Jia. Dia nerima cinta gueeeee!” Lanjutnya dengan berseru girang.

Keduanya terbelalak. “Woho, akhirnya lo nyusul gue, Bro!” Davi mengacungkan jempolnya, “Lepas dah tuh status jomblo!”

Rabu, 17 Februari 2016

[Puisi] Kisah Mereka

sumber www.bijaks.net


Kisah Mereka


Hai kawan,
Mendekatlah…
Mari dengarkan kisah mereka
Kisah anak- anak Indonesia
Yang bertarung nyawa untuk sebuah pendidikan

Mentari pagi malu- malu, belum menampakkan diri seutuhnya
Namun mereka telah bersiap pergi, untuk perjalanan menggapai mimpi

Jalan setapak pun disusuri, pematang sawah ditapaki
Selangkah demi selangkah, lagi- lagi untuk sebuah mimpi

Tak ragu kaki melangkah, meski jembatan tak berpondasi
Tak surut semangat dalam hati, walau harus menerjang derasnya arus

Nafas pun berhembus lega saat gedung di depan mata
Senyum pun terkembang sempurna karena hari ini, ilmu takkan terlewati

Tapi cerita belum usai, perjuangan belum berakhir
Ini hanya sekelumit kisah pagi, sedangkan hari masih terus berganti




Lampung, Februari 2016
Puisi diikutkan pada event 100 Puisi orang kecil Kompasiana

Senin, 15 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (5)



Lima


Sebelumnya di sini


“Pulang, Mir? Yuk aku anter!”

Mirah tersenyum lalu menggeleng. “Makasih Mas Pras, kost aku deket kok. Jadi jalan kaki aja!”

“Ya nggak papa, Mir. Sekalian aku juga pulang.” Bujuk Pras lagi yang dijawab gelengan oleh Mirah.

“Nggak papa. Aku jalan kaki aja.”

Kamis, 11 Februari 2016

[Cerpen] Eveline

Gambar diambil dari eurochefofpalmbeach.com



Eveline tersenyum lebar saat mematut bayangan dirinya di depan cermin raksasa seukuran dirinya. Sekali lagi dia harus memastikan penampilannya. Dress selulut tanpa lengan berwarna maroon terlihat pas membungkus lekuk tubuhnya. Rambut panjang hitam lurusnya di biarkan tergerai menampilkan kesan manis dan menggemaskan. Tak lama diambilnya stiletto berwarna hitam dari lemari yang berada di sisi sebelah kanan kaca. Dipasangkannya pada kaki panjang mulus miliknya. Senyumnya pun semakin lebar. Sempurna.

***

“Kamu cantik banget hari ini!”

Eveline tersenyum, “Hanya hari ini?”

Lelaki dihadapannya tertawa, “Tentu saja setiap hari, Sayang!” Ujarnya sambil mencolek dagu Eveline. Rona merah seketika menghiasi pipi putih Eveline. Ia tersipu.

“Gombal, huh!” Cibir Eveline. Bertentangan memang dengan hatinya yang membuncah bahagia.

“Tapi kamu suka kan?”

Eveline terbelalak. Ia mendengus gusar. Namun lagi- lagi hati tak bisa bohong. Jelas ia bahagia dibilang cantik. Apalagi yang mengatakan adalah seseorang yang special. Lelaki pengisi ruang hatinya.

“Sudah- sudah! Aku lapar, Van?”

“Oh ya?” Sebelah alis lelaki itu terangkat, sorot geli terlihat di matanya, “Lapar aku atau lapar…,”

“IRVAN!” Wajah Eveline memerah. Ia melotot kesal.

“Apa, Sayang?” Irvan, lelaki itu tak merasa ada yang salah dengan kata- katanya. Ia justru semakin menyukai wajah gusar dan kesal Eveline. Menggemaskan!

“Ayolah, Sayang aku sudah merindukanmu. Sudah berapa hari kita tidak bertemu kan? Aku benar- benar kangen denganmu.”

Eveline mendelik. “Irvan!” tegurnya sembari menoleh ke kanan dan kiri, lalu tak lama ia mencondongkan wajahnya ke depan, “Jika masih saja menggodaku, kupastikan hanya ada makan malam saja!” Bisiknya dengan seringai lebar.

Irvan tergelak. Kepalanya manggut- manggut. “Baiklah, sayang! Kuikuti permainanmu!”

Eveline pun tersenyum lebar. Sejujurnya ia pun tak sabar menunggu saat berdua hanya dengan Irvan, lelakinya. Hampir seminggu mereka tak bertemu, rasa rindu pun menggelegak ingin dituntaskan. Namun Eveline juga tak ingin merusak dinner special yang Irvan rencanakan.

Tunggu saja, Van!

“Jadi kamu mau pesan ap…?”

Sebuah dering ponsel menyentakkan keduanya. Irvan cepat- cepat merogoh saku celananya. Eveline mendelik gusar, bukankah sudah perjanjian jika mereka sedang bersama tak boleh ada ponsel yang diaktifkan. Tapi ini...

Kegusaran Eveline bertambah saat Irvan tiba- tiba berdiri, menatapnya sejenak lalu meninggalkan dirinya. Irvan mengangkat telepon menjauh darinya, itu berarti…

Tiba- tiba ia merasa gundah. Pasti akan terjadi sesuatu!

“Sayang maaf!” Irvan muncul dengan wajah cemas, “Aku minta maaf, sayang. Aku harus pulang. Dena sakit.”

“Dena?”

“Mama menelpon. Dena demam. Aku harus pulang, Sayang. Dena membutuhkanku. Maafkan aku.” Irvan mengecup sesaat kening Eveline sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu.

Eveline mengerjap. Irvan meninggalkannya. Lagi! Ck, untuk kesekian kalinya. Dena? Sampai kapanpun ia takkan bisa menggantikan tempat Dena. Perempuan itu akan selalu menjadi yang pertama.

Dan dia selalu yang kedua.

Cih! Menyedihkan sekali nasibmu, Ev!
***

“Loh kamu pulang, Ev? Katanya menginap?”

Eveline menggeleng perlahan. Ia berjalan lesu menghampiri ranjang, “Nggak jadi, Mas Susan ada acara. Mas kok belum tidur?”

Lelaki berkacamata yang sedang terduduk di atas kasur dengan laptop di pangkuannya tersenyum, “Ini! Nyelesein sedikit kerjaan,”

“Sudah malam. Mas lebih baik istirahat. Pekerjaan masih bisa dilanjutkan besok kan?”

“Baiklah.” Lelaki itu mengangguk. Ia menurut. Dimatikannya laptop lalu diletakkan di meja yang berada di samping ranjang sekaligus dengan kacamatanya.

“Kemarilah, Ev! Kau juga perlu istirahat.”

Eveline tersenyum tipis, “Nanti Mas, aku ganti baju dulu!” Ucapnya sembari mengambil piyama tidur dari susunan pakaian di lemari lalu masuk ke kamar mandi. Sesaat setelah berganti pakaian, Eveline membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia menoleh dan mendapati mata lelaki yang terbaring di sebelahnya sudah terpejam. Eveline menghela nafas panjang, sudah tidur mungkin, bisiknya dalam hati.

Tetapi tiba- tiba Eveline merasa tubuhnya ditarik merapat ke pelukan lelaki itu. Lengan lelaki itu merengkuh tubuhnya lalu mengecup keningnya perlahan.

Good night, Honey. I love you, Istriku!” Ujarnya lembut, “Sleep tight!”
-end-

Lampung, Februari 2016


Tulisan ini juga bisa ditemukan di Kompasiana









Rabu, 03 Februari 2016

Gadis itu...

*gambar diambil dari favim.com

 
Dia di sana. Di tepi ranjang. Terduduk sembari menatap testpack yang berada di tangannya. Tak lama ia terisak. Ditutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia mencoba menahan tangis. Meski akhirnya sia- sia, karena yang ada air matanya justru mengalir deras. Tak terbendung.

Dengan cepat ia menelungkupkan tubuhnya di atas kasur. Melempar benda pipih tersebut ke sembarang arah. Ia tenggelam di balik bantal. Meredam suara tangis yang tak jua berhenti.

Entah berapa menit berlalu, isaknya tiba- tiba terhenti. Dia bergerak. Bangkit dan beranjak dari kasur. Dibukanya laci meja belajar, sesaat ia terdiam namun detik selanjutnya sebuah plastik kecil dengan butiran obat didalamnya sudah berada di genggaman tangannya.

Ia kembali ke atas kasur, matanya tak lepas dari plastik kecil tersebut. Perlahan ia mengeluarkan isi dalam plastik. Tidak satu, tapi dua tiga oh sepuluh butir sekaligus. Dan tanpa berpikir lama ia masukkan ke sepuluh butir tersebut ke dalam mulut. Ada segelas air putih yang berada di atas nakas yang membantunya menelan butiran obat tersebut.

Semenit.

Dua menit.

Tiga…

Empat…

Lima..

Matanya tiba- tiba terbelalak. Tubuhnya kejang- kejang. Sesuatu berbentuk buih muncul di permukaan bibirnya. Tangannya terangkat, menggapai- gapai. Berusaha teriak, tapi tercekat. Perlahan nafasnya memendek , matanya terpejam dan keheningan pun menyelimuti ruangan.

Dia…


[ISL]

Lampung, Februari 2016

#cerita ini juga di post di Kompasiana :)

Kembang Desa Pulau Panggung (4)


Empat

Sebelumnya disini

Angin berhembus cukup kencang membuat Mirah berkali- kali harus merapikan rambutnya. Merepotkan memang, namun ia bergeming. Enggan beranjak dari sisi dek kapal. Aroma laut serta pemandangan birunya air lebih dipilihnya daripada tidur di ruang lesehan atau bisnis yang disediakan di dalam kapal.

Mirah menghela nafas panjang sebelum akhirnya dihembuskannya perlahan. Pada akhirnya ini takdir yang harus dijalaninya. Pilihan hidupnya. Keputusan yang memang mau tak mau harus dilakukan.