Empat
Sebelumnya disini
Angin berhembus cukup kencang membuat Mirah berkali- kali harus merapikan rambutnya. Merepotkan memang, namun ia bergeming. Enggan beranjak dari sisi dek kapal. Aroma laut serta pemandangan birunya air lebih dipilihnya daripada tidur di ruang lesehan atau bisnis yang disediakan di dalam kapal.
Mirah menghela nafas panjang sebelum akhirnya dihembuskannya perlahan. Pada akhirnya ini takdir yang harus dijalaninya. Pilihan hidupnya. Keputusan yang memang mau tak mau harus dilakukan.
Kalau bukan aku siapa lagi?
Pasca berpisah dari mantan suaminya, dia memang lebih memilih kembali ke kampung. Kota menorehkan masa lalu yang menyakitkan untuknya. Biduk kebahagiaan yang ingin diraih terhempas karena perselingkuhan yang dilakukan Faisal. Sejak hari dimana matanya melihat mantan suaminya bergumul mesra dengan tetangganya sendiri, sejak itu Mirah memutuskan takkan pernah kembali ke kota. Cukuplah tanah Lampung yang akan menghidupinya.
Tapi itu dulu, sekarang?
Lagi- lagi Mirah menarik nafas berat. Matanya terus memandang lautan luas di sekelilingnya. Biru dan biru. Seakan tak bertepi.
“Ngelamun aja, Dek?”
Mirah mendengus sejenak. Laki- laki, huh! Tak bisa sedikit saja melihat wanita!
“Mau kemana, Dek?”
Mirah menoleh lalu menarik lurus bibirnya. Meski dia tak suka dengan kehadiran lelaki di sebelahnya bukan berarti dia bersikap kasar.
“Jakarta, Bang!”
“Ngapain?Kerja?”
“Ketemu suami, Bang.”
“Oh, sudah bersuami ternyata. Suaminya kerja di sana?”
Mirah mengangguk. “Iya,”
Bohong? Tak apalah! Lebih baik begini daripada berurusan dengan lelaki hidung belang. Sekali pintas, Mirah sudah bisa menebak lelaki yang berdiri di sampingnya tipe laki- laki seperti apa.
Lupa anak istri di rumah, hum? Mirah sadar ia memiliki kesempurnaan fisik. Sejak kecil semua orang mengatakan dirinya cantik, meski ia sendiri merasa biasa saja. Tapi seiring pertumbuhannya, ia semakin sadar jika kecantikannya justru menimbulkan banyak masalah. Banyak pria menyukainya namun tak sedikit pula wanita yang memusuhinya. Padahal saat itu ia menganggap semua teman lelaki sama, tak ada yang special. Hatinya baru bergetar saat bertemu Faisal, mantan suaminya.
Mirah menelan ludah susah payah. Lagi- lagi dia! Walaupun sudah bercerai beberapa tahun, Mirah tak dapat memungkiri perasaannya pada lelaki itu. Gagal move on, huh! Kumala sering meledeknya seperti itu. Sebagian hatinya memang memendam benci dan dendam, namun sebagian hatinya yang lain merindukan kehadiran lelaki itu di hidupnya lagi.
Biar bagaimanapun bersama Faisal lah ia pertama kali menyesap manisnya jatuh cinta.
Ah sudahlah, Mir! Tak perlu lagi mengingatnya, bisiknya dalam hati. Mirah kembali menghela nafas panjang. Sejenak baru ia tersadar jika lelaki yang tadi menyapanya sudah tak ada di sebelahnya. Entah kapan pergi…
Mata Mirah menyipit. Di ujung dek dia menemukan lelaki yang sama yang belum lama menyapanya tengah berbicara dengan dua orang wanita. Ketiganya asyik bersenda gurau dan tertawa- tawa. Mirah tersenyum tipis, ini lebih baik! gumamnya sembari kembali mengalihkan pandangan ke lautan biru.
Matahari sudah terbenam ketika Mirah tiba di terminal. Ia memang nyaris menghabiskan sehari penuh dalam perjalanan. Lelah, sudah pasti tetapi sepertinya dia harus menyingkirkan jauh- jauh bayangan tubuhnya dapat beristirahat di atas kasur karena dirinya memang belum tiba sepenuhnya di tempat tujuan.
Sabar, Mir!
“Mirah ya?”
Sosok wanita bertubuh mungil telah berdiri di depannya. Pakaian casual yang dikenakannya membuatnya terlihat imut. Mirah mengernyit bingung namun detik selanjutnya senyum menghias bibirnya,
“Teh Nena.”
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Mirah pun dapat menarik nafas lega. Ia tak harus menunggu lama hingga waktu benar- benar berganti malam. Orang yang menjemputnya sudah tiba di sini.
“Bener ya kata Tinah kamu teh cantik,” Mirah tersenyum malu. Baru pertama kali bertemu teh Nena sudah memujinya.
“Ah teteh biasa aja.”
Nena tersenyum lagi, “Ya udah yuk pulang ke rumah! Kamu perlu istirahat. Pasti capek. “ Ujarnya sembari meraih tas besar yang dibawa Mirah. Namun dengan cepat Mirah menahan.
“Udah teteh biar Mirah bawa sendiri aja.” Tolaknya halus. Tidak mungkin pula ia membebani Nena dengan barang bawaannya, sudah dijemput dan untuk sementara menampungnya saja Mirah sudah bersyukur.
Pada akhirnya Mirah lebih suka menghubungi teh Nena, saudara Tina daripada meminta bantuan Eli. Eli, tetangganya masih ada hubungan kekerabatan jauh, jika suatu ketika terdapat masalah ataupun sesuatu yang tak enak dilakukannya bukan tak mungkin berita tersebut akan sampai di telinga orang sekampung.
Bukan omongan dan gossip itu yang ia permasalahkan, namun lebih ke perasaan keluarganya terutama ibu dan Rania.
Lebih baik mereka hanya tau ia akan mengirim tiap bulan uang tanpa harus mengetahui apapun yang terjadi dengannya.
Cukuplah ia sendiri yang menanggung.
Dan Nena pilihan tepat. Wanita itu tak ada hubungan apapun dengannya. Yang Mirah tahu, wanita yang terpaut usia beberapa tahun dengannya ini cukup ramah dan baik hati. Beberapa kali ia berbicara di telepon, wanita ini cukup antusias menanggapi bahkan tak keberatan jika Mirah tinggal bersamanya untuk sementara waktu.
Mirah ternganga saat mendapati kata rumah yang dimaksud Nena adalah sebuah apartemen yang berada di salah satu kawasan elite ibukota. Mirah sedikit canggung saat melewati lobi. Seumur- umur dia belum pernah masuk apartemen. Dulu saat bekerja yang pertama, yang dia tahu hanya pabrik dan pabrik. Dia tinggal di kontrakan kecil yang berada di lingkungan tak jauh dari pabrik. Cukup dengan berjalan kaki pun sampai. Hari- harinya dihabiskan dengan bekerja. Sesekali temannya atau Faisal mengajaknya keluar. Tapi hanya taman atau hiburan pasar malam yang menjadi pilihan.
“Mirah!”
“Eh!” Mirah terkesiap. Nena menatapnya bingung, kedua alis wanita itu menyatu.
“Kok bengong. Ayo masuk!” Mirah baru sadar kalau mereka sudah berada di depan pintu. Nena berbalik lalu menekan kombinasi angka di benda segi empat yang berada di sisi pintu dan pintu pun terbuka. Nena bengong.
Canggih!
“Ayo Mir!” Nena gemas. Wanita itu akhirnya menarik tangan Mirah untuk mengikutinya masuk. Ia hanya menggeleng saat menemukan keterkejutan bercampur kebingungan di wajah Mirah. Polos!
“Mau makan atau mandi dulu, Mir?”
Eh.
Mirah cepat- cepat menguasai dirinya. Ia memang masih bingung. “Mandi terus tidur kayaknya enak, teh!” ucapnya berusaha menyeloroh.
“Eh nggak boleh!” Nena menggeleng sembari terkekeh. “Kamu belum makan, Mir. Mandi dulu aja ya terus makan. Kamu mau makan apa?”
“Makan apa?” Mirah kembali bingung. Selama ini tak pernah ada yang menanyakan mau makan apa. Yang ada di meja itulah yang dimakan, tak ada protes karena bisa makan saja ia bersyukur. Bahkan saat masih bersama Faisal, lelaki itu tak pernah menanyakan keinginan Mirah. Mirah hanya mengikuti ke warung makan mana motor Faisal berbelok saat sedang pergi berdua atau lelaki itu pulang membawakan bungkusan makanan yang diinginkannya. Dan herannya dia memang tak pernah protes.
“Eh terserah teteh ajalah.”
Sejenak Mirah bisa melihat lipatan di dahi Nena namun tak lama wanita itu mengangguk. “Masakan padang aja gimana?”
Mira mengangguk meski hatinya diliputi tanda tanya. Memang sempat teh Nena memasak masakan padang yang dikenal dengan santan serta pedasnya jam segini? Ini sudah malam, bukan?
“Mirah sini!”Mirah mendongak. Teh Nena sudah berada di depan pintu yang Mirah yakini sebuah ruang atau kamar. “Ini kamar kamu ya?” Sambungnya seraya membuka pintu.
Lagi- lagi Mirah melongo. Kamar ini lebih luas dari ukuran kamarnya di kampung. Tapi bukan itu yang membuatnya ternganga hingga lupa menutup mulutnya. Sebuah ranjang yang cukup besar berada di tengah ruangan. Dua nakas terletak di sisi kanan kirinya. Sebuah lemari besar berada di sisi kiri, tepat di sampingnya terdapat sebuah pintu yang Mirah duga adalah kamar mandi. Dan terdapat sebuah meja rias yang berada di seberang ranjang, bersebelahan dengan pintu masuk.
“Di lemari ada handuk, kamu bisa pakai. Di kamar mandi juga udah teteh siapin semua perlengkapan mandi kamu.”
Mirah hanya manggut- manggut. Ia kehabisan kata- kata. Siapa sangka teh Nena yang didatanginya ternyata bukan orang biasa. Dia punya kemewahan yang tak terduga.
“Kalau gitu kamu mandi dulu sana. Teteh tunggu di depan biat kita makan sama- sama.”
“Iya, teh.” Mirah mengangguk dan sesaat setelah tubuh Nena menghilang di balik pintu kamar kepala Mirah menggeleng. Sesaat diletakkan tangan kanan di atas dada.
Duh Gusti, Mimpi apa aku semalam?
Tina yang merupakan teman dekatnya saat kost juga bekerja di pabrik. Mirah tahu betul bagaiman kondisi ekonominya. Sebelas dua belas lah.
Dan kini ia berada di rumah Teh Nena. Saudara Tinah? Yang benar saja! Ini mimpi bukan? Tanpa sadar Mirah mencubit kedua pipinya. Sakit. Jadi ini bukan mimpi.
Eh tapi ngomong- ngomong, apa pekerjaan teh Nena ya?
=tbc=
Selanjutnya di sini
Lampung, Februari 2016
nice post mbak
BalasHapusTrims Pak
Hapus