Selasa, 05 Januari 2016

[Cerpen] DEADLINE NIKAH

gambar diambil dari manten.wordpress.com



Deadline Nikah


"Doni,"

Aku menggeleng,

"Raskal,"

Aku menggelengkan kepala kembali,

"Satya,"

"Ogah! Anak mama gitu!" Cibirku

"Wahyu,"

Seketika aku membelalakan mata, "Ngawur! Pacar orang tuh!"

"Loh kan masih pacar bukan suami," elak Dinda sambil tertawa kecil yang membuatku semakin gusar.

"Ya nggak separah itu juga kali, Din. Sampai harus rebut pacar orang!" Kataku membela diri.

Dinda tertawa lepas, "Lagian pusing juga gue, dari kemarin calon yang gue ajuin nggak ada yang elo mau,"

Aku menghela nafas kasar, "Calon elo nggak ada yang beres geh,"

Dinda semakin tertawa, "Lah masalahnya elo sih nikah pakai dideadline, pusing kali gue juga nyari stoknya,"

"Stok? Elo kata barang,"

"Lagian kenapa sih pakai diburu nikah, kalau memang jodoh juga saatnya elo nikah ya nikah juga,"

Aku mendengus sebal, "Itu juga yang gue bilang ke nyokap, tapi nyatanya mentah semua. Tetap akhir bulan depan gue wajib nikah!"

"Ini semua gara- gara Nindy sih!" Lanjutku sambil menyebutkan nama seorang sepupuku yang akan menikah di akhir tahun ini,

"Lah Nindy yang nikah kenapa nyokap elo yang repot?"

"Nindy itukan anaknya tante Risa yang dalam silsilah keluarga adalah adik kandung nyokap gue, So nyokap gue nggak terima kalau gue harus dilangkahi," jelasku

Dinda tergelak, "Nyokap elo ada- ada aja!"

"Dan gue yang terzhalimi disini,"

"Hush, gitu- gitu juga orang tua elo. Mungkin nyokap elo juga nggak mau elo jadi bullyan para saudara,"

Aku mengedikkan bahu, "Entah ah, pusing gue!"

"By the way kenapa nggak nyokap elo yang nyariin calonnya sih?"

Aku mendelik, "Nggak ah, calon nyokap gue itu om- om semua. Ogah gue!" Aku bergidik mengingat beberapa hari lalu dikenalkan mama dengan seorang pria lajang nyaris berkepala empat. Duh, bukan masalah wajahnya tetapi penampilannya saja sudah membuatku tak nyaman, apalagi parfumnya membuat perutku mual.

"Elo yakin nikah karena nggak cinta?"

Aku menatap Dinda yang juga sedang menatapku, "Gue nggak tahu, Din. Elo tahukan perjuangan nyokap buat gue, dan gue nggak mau bikin beliau sedih," Ujarku pelan. Sejak papa dan mama berpisah, papa menghilang entah tak ada berita. Hanya mama lah yang berjuang membesarkan dan menyekolahkanku. Aku sangat mengerti seberapa keras mama berjuang untuk hidupku. Maka saat ia memintaku segera menikah, sebelum pernikahan Nindy digelar aku pun tak kuasa menolak. Apalah arti pengorbananku jika dibanding pengorbanan beliau.

Dinda membuang muka, "Ya udah, tetapi calon gue beneran nggak ada yang bikin elo sreg gitu,"

Aku menggeleng pasti, "Nggak!" Bagaimana mau sreg kalau semua calon yang ditawarkan Dinda juga masih teman- teman akrabku juga, yang sudah aku tahu luar dalam mereka, Oh no...

"Terus gi...,"

Aku mengernyitkan dahi sejenak karena Dinda menghentikan perkataannya, "Kena..."

"Sin, sin cowok itu Reno kan!" Belum sempat kuselesaikan pertanyaanku, Dinda sudah berbicara.

Aku mengernyitkan dahi, "Reno?"

"Mantan elo!"

Deg,

Reno Rahardian?

Mungkinkah?

Aku menoleh dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru cafe, "Mana?"

"Itu yang berdiri nggak jauh dari meja kasir,"

Aku menyipitkan mata, mencoba fokus pada arah yang ditunjuk Dinda. Seorang lelaki dengan kemeja putih yang dibalut jas hitam sedang mengarahkan pandangan ke penjuru cafe, sepertinya mencari tempat kosong.

Dia,

"Ren, Reno! Sini!"

Seketika aku terbelalak saat menyadari suara didepanku memanggil lelaki tersebut, Dinda sialan, umpatku.

"Apaan sih, Din!" Protesku sambil mendelik padanya,

Dinda tersenyum, "Kalau yang ini elo nggak bakal nolak kan?"

"Hahh, maks...,"

"Dinda," Suara berat laki- laki terdengar di belakangku.

Deg,

Entah mengapa kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dan perut mendadak terasa mulas. Jangan bilang,

"Hai Ren, apa kabar?" Dinda menjawab dengan nada riang sedangkan aku membeku tanpa berani bergerak untuk menyapa,

"Sama siapa?"

Dinda tersenyum simpul seraya mengerling padaku. Mau tak mau aku memutar tubuhku,"Hai Ren," Aku menyapanya terlebih dahulu,

"Sin...Sintia," Dapat kulihat keterkejutan di matanya. Hanya sejenak lalu kembali normal, "Hai, long time no see!"

Aku tersenyum kecut dan mengangguk, "Iya,"

"Gabung aja, Ren!" Ajakan Dinda tentu saja membuatku terbelalak. Yang benar saja, lelaki yang paling kuhindari seumur hidup justru diajaknya duduk bersama.

"Eng... Nggak papa?" Katanya sambil sesekali melirikku,

"Its Ok lah," Jawab Dinda santai, "Iya nggak Sin?"

Aku menelan ludah, mau bagaimana lagi. Akhirnya anggukan pasrah sebagai jawabanku. Dan sialnya ia mengambil tempat disampingku,

"Reno ternyata selama ini di Aussie, Sin. Gue ketemu dia minggu lalu,"

Aku mengernyitkan dahi, sepertinya Dinda belum menceritakan padaku, "Oh!"

"Sudah berapa lama kita nggak ketemu ya, Sin?"

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Reno, aku justru memfokuskan diri pada makanan pesananku sambil menormalkan detak jantung yang tidak keruan. Ya Tuhan, lima tahun berlalu sejak perpisahan kami ternyata namanya masih tersimpan di relung hatiku.

Kulirik ia sesekali, ternyata masih sama. Tak ada yang berubah dari dirinya. Wajah tampannya mengingatkanku pada si pemeran Jacob pada serial Twilight, alis mata hitam sempurna, tatapan mata yang tajam dan senyum misterius namun memikat.

Sejenak aku mengingat hubungan yang pernah terjalin diantara kami. Reno adalah lelaki idamanku selama ini. Ia yang mampu membuatku jatuh cinta tanpa pernah lelah. Arghh...

"Ren, minggu lalu ketemu kata elo mau nyari istri kan?"

Uhuk,

Aku tersedak mendengar pertanyaan tanpa basa- basi yang dilontarkan Dinda pada Reno.

"Kamu nggak papa, Sin?" ujar Reno sedikit panik.

Aku menggeleng, Dinda sialan. Cari mati dia,

"Beneran?" Reno memicingkan mata menatapku, membuatku mengangguk sekali lagi. Tapi tunggu tadi dia bilang apa? Kamu?

"Gue ada calon buat elo,"

Kali ini aku benar- benar melotot pada Dinda, ini anak...

Dahi Reno berkerut, "Maksudmu?"

"Teman gue ada yang cari suami dan elo pernah bilang minta cariin istri, so klopkan!"

Aku menghela nafas panjang, Ya Tuhan Dinda benar- benar gila. Eh, tapi nanti menjadi istri Reno? Inikn mimpiku lima tahun lalu.

Aku tahu bagaimana seorang Reno Rahardian sangat mencintai keluarganya. Ia akan selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Bisa dibayangkan jika nanti ia akan menjadi suami dan ayah yang sangat baik.

Reno tampan, baik serta mapan. Apalagi yang dicari? Aku tersenyum geli dalam hati. Thanks, Din.

"Yah telat, Din!"

Tunggu apa dia bilang tadi, telat? Maksudnya?

"Baru kemarin gue terima perjodohan,"

Bug,

Aku merasa terhempas ke dalam jurang. Sakit tak terperi. Ada rasa perih teriris di hati ini.

"Ko...kok bisa?"

Reno tersenyum menanggapi pertanyaan Dinda, "Bisalah, Din. Nggak nyangka sih gue ternyata anaknya asyik. Makanya gue iyain deh perjodohan dari orang tua. Baru kemarin juga, dan pernikahan akan dilakukan akhir bulan depan!"

Aku terkesiap, baru kemarin dan nikahnya akhir bulan depan? Astaga, kenapa nggak kemarin saja kami bertemu dan Ya Tuhan, akhir bulan depan kan deadline mama. Ah, desahku dalam hati. Double sial.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Memang bukan jodoh ternyata, "Selamat ya!" Ucapku seraya mengumpulkan hati yang patah.

"Terima kasih, Sin. Jangan lupa datang ya!"

Aku tersenyum kecut, bagaimana bisa?

Mama, deadlinemu masih lama kan!



Bandung, 26 Juni 2014




















































7 komentar: