Senin, 01 Juni 2015

Romansa Puber Kedua (5)

Sebelumnya Disini

Romansa Puber Kedua (5)


Haris menatap serius layar monitor didepannya. Sejenak kepalanya manggut- manggut, lalu menggeleng beberapa kali, dan terakhir ia menghela nafas panjang untuk menyingkirkan rasa sesak yang datang tiba- tiba.

Sesak?

Haris sendiri bingung dengan perasaan ini. Entah mengapa melihat kesedihan Tantri kemarin, hatinya turut bersedih. Seakan ia sendiri juga mengalami hal menyedihkan tersebut. Raut wajah sendu Tantri selalu mengikuti langkahnya, bahkan kesedihan perempuan itu turut hadir dalam mimpinya.

Sedemikian kuatkah ikatan mereka?


“Ke…kenapa, Ma…mas?”

Haris terpekur. Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa.

“Apa yang kurang dariku, Mas?”

Mata Haris terpejam sejenak. Sungguh ia tak pernah menginginkan menyakiti gadis di depannya. Ia berani bersumpah demi apapun hanya gadis ini yang dicintainya. Hanya dia yang diinginkan menjadi istrinya. Pendampingnya. Ibu dari anak- anaknya. Tak sekalipun ia memikirkan gadis lain?

Tidak memikirkan gadis lain?

Haris tersenyum kecut. Lalu apa yang dilakukannya dengan gadis bernama Tatiana? Tidak, ia memang tak pernah memikirkan gadis itu hanya sedikit saja kesalahan tetapi berakibat fatal bagi dirinya, keluarganya juga gadis dihadapannya. Hati Haris bagai terpilin melihat air mata yang mulai membasahi Tantri.

“A..Aku…,”Bibir Haris kelu. Meski permintaan maaf diucapkan berulang kali, Tantri takkan semudah itu memaafkannya. Luka yang dibuatnya terlalu dalam dan menyakitkan.

“Ma..afkan aku,”

Hening menyergap. Tak ada yang bersuara diantara keduanya. Haris larut dalam penyesalan tak bertepi. Hatinya terus merutuki hasratnya yang tak tertahan. Menyesalkan kepergiannya malam itu. Kalau saja ia menolak ajakan genknya untuk menghabiskan malam di pub. Kalau saja malam itu ia mendengarkan larangan Tantri. Kalau saja ia bertahan dengan prinsipnya meninggalkan dunia malam. Kalau saja, kalau saja, kalau saja. Meski berulang kali kalimat kalau saja melintas di pikirannya tetap takkan mengubah segala yang telah terjadi. Kesalahannya teramat fatal.

“Kita akhiri semua, Mas.”

Haris merasa petir menggelegar tepat di telinganya. Cukup ia merasa bersalah dengan kesalahan yang dilakukannya, kini ia harus dihadapkan kenyataan pahit berakhir hubungannya dengan Tantri.

“Aku minta maaf untuk semua salahku dan…,” Sorot tegas terlihat dari wajah Tantri. Haris tahu Tantri berusaha menguatkan dirinya. Meski sebenarnya gadis itu sangar terluka, “Terima kasih untuk semua. “

“Tan,” Suara Haris lirih. Ia menatap sendu wajah pujaan hatinya. “Aku benar- benar minta maaf.”

Haris menggeleng, “Tetapi kita tak harus mengakhiri hubungan ini. Aku mencintaimu, Tantri.”

“Belajarlah kesetiaan, Mas baru kamu bisa mengatakan cinta.” Tantri bangkit dari kursinya, “Permisi!”

Haris mengusap wajahnya gusar. Bayangan masa lalu berputar di benaknya. Hari itu hari dimana ia mengakui kesalahannya juga hari terakhir ia bertemu dengan Tantri, karena selanjutnya gadis itu menghilang. Haris kesulitan mencari Tantri, apalagi keluarga Tantri sama sekali tak dapat diajak bekerja sama. Mereka bahkan menutup pintu saat kedatangan Haris.

Luka itu benar- benar dalam.

Haris pun menyerah. Ia memilih meninggalkan kotanya. Menjauhkan diri dari segala tentang Tantri. Berusaha membangun hidupnya kembali. Meski sesekali ia pulang untuk menjenguk orang tuanya, berharap bertemu Tantri meski sepintas. Namun usahanya sia- sia, wujud Tantri sama sekali tak terlihat dimanapun. Haris pun hanya bisa menelan kekecewaan.

Kini dua puluh tahun berlalu. Tanpa sengaja ia menemukan gadisnya. Haris menggeleng, ternyata Tantri berada di kota yang tak jauh dari kota kelahirannya. Haris mendengus, seharusnya ia dulu tak patah semangat. Berusaha keras mencari gadisnya.

Ah, sudahlah.

Kini meski usia tak muda lagi, Tantri dimatanya masih sama. Masih mampu membuat debaran di jantungnya berpacu cepat serta hati yang menghangat.

Kesempatan kah ini?

-tbc-

Selanjutnya Disini

Lampung, Juni 2015


3 komentar: