Rabu, 07 September 2016

Sayembara Askar (3)



3. Sekilas masa lalu

“Kamu cantik,”
“Hah?”
“Gue Askar.”
“A--agni.”
Mengingat nama Askar Adinata, ingatan Agni berputar pada kejadian dua tahun silam. Saat dimana sosok Askar Adinata pertama kali dikenalnya. Ia baru saja kembali dari luar negeri pasca menyelesaikan pendidikan ketika Arga memintanya turut bergabung di bisnis keluarga. Agni ingat, ada sebuah proyek yang melibatkan dirinya. Dan proyek tersebut bekerjasama dengan perusahaan yang Askar pimpin. Intensitas pertemuan keduanya yang terlalu sering nyatanya menumbuhkan benih-benih perasaan yang lain di hati Agni.
Askar memang tampan. Ia dianugerahi wajah rupawan yang mampu menarik kaum hawa mendekat. Namun justru bukan itu yang menarik perhatian Agni. Pekerja keras, ulet dan begitu bertanggung jawab lah yang membuat Agni simpatik. Di masa kini, di saat anak-anak konglomerat hanya menghabiskan uang orang tuanya, Askar justru mampu memperluas imperium bisnis Adinata corporation.
Tapi sayangnya, perasaan Agni sia-sia. Bahkan sebelum kata cinta terucap, Agni sudah harus merasakan luka. Mereka memang akrab, tetap Askar ternyata tak lebih menganggapnya sebagai teman.
Sial!
Mata Agni mengerjap seketika. Mengingat Askar memang selalu membuatnya gusar. Yang sungguh ia sesali dari semuanya adalah keyakinan dirinya akan sikap dan perhatian Askar yang berunjung pada perasaan yang sama. Agni lupa jika Askar seorang playboy. Tukang PHP!
Lupakan, Ni!
Agni menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian menghembuskannya. Seharusnya memang seperti itu. Askar manusia yang harus ia lupakan. Kebersamaan mereka dulu harusnya tak lagi diingat. Hilangkan semua.
Ya, seharusnya begitu memang!
Tapi…
Kenapa harus ada tapi sih?
Dalam hidup, Agni tak banyak merasakan cinta. Sejarah masa lalu keluarganya menjadi trauma tersendiri di hidupnya, sehingga membuatnya sedikit kesulitan jatuh cinta. Hanya laki-laki hebat yang mampu meruntuhkan dinding hatinya. Dan nyatanya Askar mampu.
Sudah! Sudah, Agni! Kenapa masih mengingatnya, gerutu Agni dalam hati.
Gagal move on, huh!”
Kalau begitu bukankah kamu sama menyedihkan seperti dirinya.
“Agni!”
Agni terhenyak. Suara Mama terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Tak lama wanita tersebut masuk dan duduk di tepi ranjang.
“Ada apa, Ma?” tanya Agni kemudian.
Weekend ada acara nggak?”
Agni mengernyit. “Siaran paling, Ma.”
“Pagi?”
Agni kembali mengangguk. Mama tersenyum. “Baguslah! Anterin Mama ya,”
“Ke?” Mata Agni menyipit curiga. Di usianya sekarang, Agni memang harus berhati-hati dengan ajakan Mama. Beberapa sahabatnya sempat curhat jika mereka yang tiba-tiba diikutsertakan di acara orangtua, selalu berujung pada ajang perjodohan. Sungguh, hal yang sesungguhnya Agni hindari.
Aku masih bisa cari calon suami sendiri.
“Kenapa?” Mama tersenyum simpul. “Curiga ya mau Mama jodohin?”
Bibir Agni mencebik. “Mama ini loh. Agni nggak mau ya dijodoh-jodohin,”
Tawa Mama berderai. “Siapa juga yang mau jodohin?” cibirnya kemudian. “Sok tahu sih! Mama tuh mau ngajakin panti,”
“Oh, kalau gitu sih Ok!” cengir Agni. Mama menggeleng geli.
“Nggak minat Mama jodoh-jodohin kalian. Iya kali kalau udah cantik sekali, lah wong ini wajah pas-pasan kok dijodohin,” Seloroh Mama yang bersambut gerutuan Agni.
“Mama ini loh, anak sendiri dihina. Kalau wajah Agni pas-pasan, turunan siapa juga kali.”
Detik kemudian tawa kembali pecah. Kali ini bukan hanya Mama, tapi Agni pun ikut tertawa.
***
“Lo ngapain maksa gue kemari sih?”
Seorang laki- laki berjaket hitam tampak gusar menatap Askar. Ia mendengus sebelum kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Askar.
Askar terkekeh. Hugo, sahabatnya memang sudah membulatkan tekad untuk tidak datang ke bar atau club manapun pasca menikah setahun lalu. Lelaki itu benar-benar mengubah diri menjadi pria rumahan. Meninggalkan semua kenikmatan dan hingar-bingar kehidupan malam.
Tapi malam ini pengecualian. Askar nyatanya berhasil membawa laki-laki itu kemari. Ke salah satu club yang menjadi tongkrongan favorit mereka berdua sejak remaja.
“Buruan deh ada apaan?” todong Hugo. “Kalau nggak dengar suara frustasi lo ogah gue kemari?” sambungnya lagi.
“Ada apaan sih?”
Askar menyeringai. “Lo nggak kangen tempat ini?”
“Nggak!” Balas Hugo cepat yang  membuat Askar terbahak. Hugo benar-benar menepati janji yang dibuatnya sendiri. Ck, padahal dulu hampir tiap malam mereka menghabiskan waktu di sini.
“Yakin?” Pancing Askar, “Lo nggak kangen cewek- cewek seksi disini?”
Hugo berdecak, “Ck, sialan lo Askar! Gue kesini karena suara lo yang sangat memprihatikan, dude!”
“Sadar nggak sih lo udah kayak orang mau bunuh diri!”
Askar tertawa sumbang. Hugo mengerjap. Puluhan tahun bersahabat, tentu ia hapal betul karakter seorang Askar. Jelas laki-laki itu tengah diguncang prahara dalam hidup.
Sedetik kemudian Hugo bisa bernafas lega jika keputusannya kemari sudahlah tepat.
“Kenapa sih lo?”
“Gue nggak sebegitu menyedihkan sampai bunuh diri, boy!”
Hugo mengangkat bahunya dan tersenyum culas. “Tapi juga nggak menutup kemungkinan memikirkan hal itu kan?”
“Shit! Sialan lo!”
Hugo tertawa. Ia baru saja hendak berbicara kembali ketika terdengar suara menyela.
 “Wow! Ada apa gerangan tuan Hugo kemari?”
Hugo mendengus. Satu lagi laki- laki sinting datang!
Kentaro, yang juga sahabat keduanya tampak menyeringai pada Hugo. “Well, seingat gue ada yang bersumpah nggak bakal kemari setelah married,”
“Gue memang nggak mau kesini lagi,” jawab Hugo. “Tapi karena gue sahabat yang baik, gue harus kemari lah untuk memastikan dengan cara apa sohib gue bunuh diri.”
“Bunuh diri?” Kening Kent berkerut. “Siapa?”
Dagu Hugo terangkat sedikit. “Lo nggak lihat itu tampang menyedihkan di samping lo,”
Shit!” Delik Askar. “Gue bilang gue nggak semenyedihkan itu!”
“Tapi buktinya,” Bibir Hugo mencebik ke bawah.
“Lo salah lihat kali, Bro! Askar terlihat baik-baik aja,” tukas Kent. “Coba aja panggil salah satu cewek seksi kemari, gue pastikan dia sehat kembali.” Katanya lagi sambil tertawa geli.
Hugo berdecak. “Ck, lo nggak bisa serius dikit apa, Kent?”
Kent itu sok tahu! Laki-laki itu tak begitu mengenal sosok Askar. Keduanya baru berteman sekitar lima tahun terakhir, berbeda dengan dirinya yang sudah sejak kecil menghabiskan waktu bersama Askar.
Hugo benar-benar hapal seperti apa seorang Askar Adinata.
“Gue se…,”
“Apa rasanya menikah?”
Ucapan Askar yang memotong omongan Kent kontan membuat kedua kepala menoleh bersamaan. Hugo mengernyit heran. Tidak salah dengarkah ia?
Tiba-tiba terdengar suara tawa berderai. Kerutan di dahi Hugo bertambah karena tawa tersebut ternyata muncul dari bibir Kent. Apa yang lucu!
Married? Lo mau married, Kar? Serius? Saran gue sih jangan! Married sama aja ngelemparin kita ke jurang. Susah dan sakit.”
Hugo menggeleng –geleng. Kent produk gagal pernikahan orang tuanya. Selain itu dua pernikahan yang pernah dijalaninya pun berujung pada perceraian. Kedua istrinya memilih selingkuh dan pergi dengan laki-laki lain. Kent dendam. Selanjutnya ia lebih memilih menghabiskan hidup dengan hura-hura dan mengencani wanita sebagai pemuas nafsu belaka. Takkan ada lagi pernikahan dalam hidupnya, begitulah sumpah seorang Kentaro.
“Lo ngomong kayak gitu karena lo belum ketemu wanita yang tepat, Kent. Wanita yang baik.”
Kent melotot. Hugo nyengir, namun ia tak berhenti menyatakan pendapatnya.
“Wanita yang pastinya mencintai lo meski tahu seberapa hancurnya hidup lo.”
“Ada wanita seperti itu?”
“Istri gue,” Hugo tersenyum.
“Lo ngomong gitu karena belum lama kawin.”
“Kata siapa? Nyaris setahun lebih gue kawin kali.” Ucap Hugo. “Tapi bukan masalah lama atau nggaknya sekarang, tapi lebih ke hati dan perasaan.
“Ck, teori lo bagus.”
Hugo terkekeh. “Nantilah suatu saat hati kalian sendiri yang menunjukkan jodoh yang tepat.”
“Ya ya ya. Suka-suka prinsip lo lah,” sahut Kent. Tak lama ia berpaling. “Omong-omong beneran Kar lo mau kawin?”
Askar mendesah panjang. Bahunya mengedik. “Gue belum terpikir sebenarnya.” Jawabnya pelan.
“Tapi sepertinya gue harus memikirkannya sekarang.”
“Maksud lo?” tanya Kent tak sabar.
“Bokap ngerencanain bikin acara untuk nemuin jodoh gue.”
Hugo mengernyit, “Maksud lo gimana sih?”
“Sayembara!” Askar terdiam sesaat. “Lo pernah dengar kan kisah-kisah puteri zaman dulu. Nyari pasangan pakai diumumkan seantero negeri terus nanti ada seleksinya.”
“Nah itulah rencana Bokap.”
Sejurus kemudian Hugo terperangah dan Kent melongo kaget. “Se—serius?”
Anggukan Askar sudah cukup menjawab pertanyaan Hugo.  “Dan rencana itu bakalan disiarkan di TV!”
“Apaaa!”
“Sinting!”
Hugo menggeleng prihatin. “Gue nggak tahu Om Bram punya ide sekonyol itu.”
***

Agni baru saja mulai mengunyah makanan ketika mendengar namanya dipanggil. Sesaat ia memutar kepala ke belakang dan tersenyum karena menemukan Lintang menghampirinya.
“Sarapan atau makan siang, Bu?” seloroh Lintang sambil menarik sebuah kursi tepat di depan Agni sambil melirik jam di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 Siang.
Seketika bibir Agni pun mengerucut. “Ish, lo ini Mbak kayak nggak tau aja jadwal siaran gue. Mana tadi abis siaran diminta meeting dulu lagi. Ya udah nasib gue baru makan sekarang.”
Lintang terkikik geli. “Iya-iya sorry!”
Agni mengangguk. “Eh, denger-denger lo mau pindah pegang program, Mbak?”
“Kayaknya sih gitu. Mas Aksa maunya gue yang pegang acara sayembara itu.”
Agni terbeliak. “Emang jadi?”
“Ya jadilah. Kemarin abis ketemu sama Pak Indra.”
“Siapa itu?”
“Orang kepercayaannya Pak Bram.”
“Oh,” kepala Agni manggut-manggut. “Nah terus si pangerannya belum muncul.”
“Pangeran?” dahi Lintang berkerut. “Oh maksud lo anaknya Pak Bram ya?”
Agni mengangguk tanpa suara.
“Belum sih. Kayaknya orang sibuk dia.”
Emang! Sibuk tebar pesona pada wanita-wanita!
“Gue masih nggak habis pikir deh, Ni. Masa iya segitu nggak lakunya.”
Sama!
“Anak tajir kayak gitu bebas kali dapat cewek yang dia mau. Kan bisa dijodoh-jodohin gitu ya. Itu yang kayak di sinetron.”
Bahu Agni mengedik acuh. Ia memilih fokus pada makanannya.
“Kebanyakan duit sih ya,”
Agni tergelak. Mungkin saja!
“Udah ah, Mbak males bahasnya. Urusan keluarga mereka juga.”
“Iya sih.” ujar Lintang seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa juga ia terlalu kepo, bukan urusannya. Urusannya hanya mengemas program acara menjadi menarik dan bisa ditonton masyarakat.
***
Tantra hanya dapat menarik napas panjang karena untuk kesekian kalinya Askar memarahinya. Laporan yang dibuatnya tak kunjung benar, selalu ada salah, begitu yang Askar katakan. Padahal laporan itu sudah biasa Tantra kerjakan dan ia yakin sekali tak ada kesalahan di sana.
Ah, mood Mas Askar sedang buruk.
Tantra tahu rencana sayembara berimbas pada kekesalan Askar berhari-hari. Askar tentu tak ingin sayembara dilakukan. Konyol dan terkesan murahan. Mengingat begitu tingginya harga diri seorang Askar, lelaki itu tentu akan mati-matian menolak.
Tapi sayang yang dihadapi kali ini Bram, ayah kandungnya.
“INI APA LAGI SIH, TRA? SALAH MULU! SALAH MULU LO SEHARIAN INI, HAH!” Askar berteriak kesal. Tantra tersenyum kecut.
“NGAPAIN AJA SIH LO DARI TADI? KERJAAN KOK NGGAK ADA BERESNYA.”
“A—aku kerja, Mas,”
Askar melotot. “KERJA? Kerja apaan? Laporan salah begini lo sebut kerjaan?”
“Bener, Mas aku dari tadi emang kerja. Bolak-balik kasih laporan malah.” Jawab Tantra dengan hati kebat-kebit. Seharusnya Askar tidak dibantah. Tapi bertahun-tahun bekerja dengan laki-laki itu, Tantra justru terbiasa membantah jika dirasa kebijakan Askar terlalu menyengsarakannya. Dan sepertinya kali ini ia akan melakukanya kembali. Lelah rasanya bolak-balik mengerjakan laporan yang sebenarnya sudah selesai.
“Kamu ini bisa aja ngeles,”
“Nggak ngeles, Mas.” Balas Tantra. “Cuma jawab.” Katanya lagi sambil nyengir.
“Lagian gini deh, Mas Askar seharian marah-marah nggak capek apa?” sambung Tantra kemudian.
“Sok tahu kamu!” cibir Askar.
“Lah emang aku tahu. Paling masalah sayembara kan?”
 Askar menggeram. “Sejauh mana lo terlibat dalam rencana sialan ini.”
“Mendampingi Pak Indra bertemu pihak TV. Melihat konsep yang mereka tawarkan apakah sesuai dengan karakter Mas Askar.”
“Ck, kenapa harus lo sih?”
Bahu Tantra mengedik. “Kata Pak Bram, aku kan asisten Mas Askar, jadi sedikit banyak tahu lah.”
Askar berdecih. Ia begitu kesal dengan sikap Tantra yang menuruti kemauan Ayahnya. Ingin rasanya memecatnya. Tapi tak mungkin. Selama ini hanya Tantra yang dapat mengimbangi ritme kerjanya. Entah sudah berapa kali ia berganti asisten hingga akhirnya bertemu Tantra yang begitu cekatan dan gesit.
“Mas,”
“Hmm,”
“Ini laporannya gimana?”
Tangan Askar terkibas. “Sudah abaikan! Lo bantu gue mikir cari cara membatalkan rencana sialan ini.”
Tantra menghela napas pendek. Semudah itu Askar berkata untuk mengabaikan laporan, padahal sudah berkali-kali ia dimarahi dan diminta mengerjakan ulang.
Ya Tuhan, Askar itu benar-benar menyebalkan.
“Gimana? Ada cara nggak lo biar gue terbebas dari sayembara Papa?”
Tantra diam sesaat sebelum kemudian menggeleng.
“Satu-satunya Mas Askar yang bilang langsung ke Pak Bram untuk tak melakukannya.”
Askar mendesis. “Sebelum lo suruh, gue juga udah ngomong ke Papa. Tapi apa, Papa tetap aja menjalankan rencananya.”
Tantra meringis. Tak ada ide lain terlintas di benaknya selain yang barusan dikatakannya. Apalagi memang, mengingat kuasa Bram Adinata yang begitu luas. Sulit rasanya menggagalkan rencana itu. Lagipula sayang pula, iming-iming bonus 5x lipat jika tak jadi.
Eh…
Senyum tipis terkembang di wajah Tantra. Bukan masalah materi sebenarnya, tapi lebih kepada pelajaran untuk seorang Askar. Tentu saja sekarang lelaki itu tak bisa berkutik.
Dan sejujurnya, meskipun harus menerima omelan dan amarah, Tantra menyukai melihat Askar yang begitu frustasi. Jadi jangan hanya bisa membuat stress karyawannya saja.
Memang benar, hidup ibarat roda yang berputar.
“TANTRA!”
“Eh, iya—iya, Mas!”
“Ngapain sih senyum-senyum sendiri? Lo ngetawain gue ya?”
“Nggak-nggak, Mas.”
“Terus ngapain?”
“Ingat kucing kawin di rumah tadi pagi, Mas,”
***

Lampung, September 2016

selanjutnya di sini

2 komentar: