“Bang Elang!”
“Hmm,”
“Boleh nanya?”
“Hmm,”
“Ini siapa?”
“Siapa?”
“Cantik.”
Aku mendongak seketika saat kata cantik terucap dari bibir
Diandra, adik bungsuku. Keningku mengerut saat melihatnya tenga menatap
selembar kertas yang kuyakini sebuah foto.
“Apa itu, Di?” Tanyaku penasaran.
“Pacar abang ya?” alih- alih menjawab pertanyaanku, Abg
labil itu justru menanyakan hal yang membuatku bingung. Pacar? Siapa?
“Cantik tau, Bang.” Ujarnya lagi. “Kok nggak pernah dibawa
kerumah?”
Kerutan di dahiku makin bertambah. Rasa penasaranku pun
menjadi. Jadi sebenarnya foto siapa di tangannya.
“Coba lihat! Siapa sih?”
“Ish, punya cewek cantik diumpetin aja abang mah!”
Aku mencibir. Ini anak bukannya ngasih malah ngomong aja.
Dengan cepat aku berdiri dan menarik foto tersebut.
“Ih, abang mah!” Protesnya namun tak kupedulikan. Aku
penasaran sosok dibalik foto yang dipuji Diandra.
Seketika hening.
Detak jantungku tiba- tiba tak berirama beraturan. Mendadak
ada sesak yang terasa di dada. Dia?
“Wuih, kayaknya abang terpana!”
Suara cempreng Diandra menyentakkan kesadaranku. Aku
menatapnya tajam, “Dari…mana i..ni?”
Diandra mengangkat buku yang ia baca tinggi- tinggi. Ia
tersenyum lebar. Seketika aku menyadari buku karangan Billi P.S Lim itu terlalu
lama tak kusentuh. Kurasa nyaris berlumut di salah satu lemari bukuku.
“Kamu ambil buku abang?”
“Pinjam, Bang!” Diandra meralat kata- kataku sebelumnya,
“Kan Dian udah bilang mau pinjam buku abang.”
“Tapi kenapa ini?”
“Judulnya menarik,” Sahut Diandra acuh. Aku menggeleng
sesaat. Diandra tidak salah. Hanya saja buku yang ia pinjam membuka fakta lama
tentang seseorang.
Tentang dia yang seharusnya terlupakan.
***
“Lang! Elang! Sini!”
Aku tersenyum saat menemukan sosoknya ada diantara sekian banyak mahasiswa yang
sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Tangannya melambai- lambai ke
arahku, membuatku setengah berlari menghampirinya.
“Siang amat?”
Celotehnya saat aku tiba di hadapannya.
“Biasa. Bu Tantri
nggak akan keluar kalau tugas belum rampung.” Terangku menjelaskan alasan
keterlambatanku. Bu Tantri, dosen yang terkenal perfeksionis dan galak. Ia
takkan membiarkan seorang mahasiswa pun keluar dari kelasnya, jika tugas belum
selesai. Dan tadi karena salah seorang teman sekelasku masih belum
menyelesaikan tugasnya meski jam kuliah telag usai, mau tak mau kami sekelas
pun tak bisa keluar kelas tepat waktu. Nasib.
“Oh,” Ia mengangguk
mahfum.
“Udah pesan?” Aku
meliriknya ke meja dihadapannya. Hanya ada segelas es jeruk. Itupun tinggal
setengah.
“Gue pesenin deh,”
Kataku kembali. “Kayaknya lo belum makan?”
“Eh nggak usah, nggak
usah!” Aku mengernyit. Tumben. Tak biasanya ia menolak makan siang.
“Gue mau pergi,”
“Kemana?” Mataku
menyipit curiga.
“Mau tahu aja sih lo,”
Keningku makin
berkerut. Aku menangkap sesuatu yang tak biasa disini. Kupandangi dirinya yang
justru mengalihkan tatapannya ke segala penjuru. Bola matanya yang sesekali
mengarah kepadaku pun tak luput dari perhatianku.
“Fine! Fine! Gue mau
pergi sama Aldo.”
Akhirnya ia menyerah
juga. Tunggu? Aldo?
“Aldo?”
Ia mengangguk. “Anak
TI,”
Hah. Anak TI? Itukan
berarti…
“Angkatan berapa? Kok
gue nggak pernah dengar?”
“Senior lo kayaknya.”
“Senior?” Ucapku ragu.
Aku terdiam sejenak untuk berfikir. “Astaga, jangan bilang Aldo yang lo maksud
Rivaldo Salim,”
“Iya. Cakepkan?
Orangnya itu baik, Lang. Duh, gue beruntung bisa kenalan sama dia. Eh, dia
ngajakin gue makan siang bareng lagi,”
Kepalaku pusing
seketika. Tak kupedulikan kata- katanya. Bagiku cukup. Untuk kesekian kalinya
aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawahku getir. Aku kalah. Lagi- lagi ia
akan bersama orang lain. Aku hanya bisa memandang. Aku hanya bisa jadi pemuja
rahasia.
***
Sekelebat ingatan tentangnya kembali memenuhi benakku. Ah,
gara- gara Diandra ini. Kalau saja ia tak menemukan foto itu. Kalau saja ia tak
mengambil buku itu, bisa kan buku lain, omelku dalam hati. Tapi ini tentu tak
adil. Bukan Diandra yang salah, tapi aku. Aku meringis. Foto itu?
Ah, Foto itu mengapa masih kusimpan atau tepatnya tersimpan
di salah satu lembaran buku bacaanku. Bukankah semua tentangnya sudah aku buang
dan bakar hingga tak bersisa. Mengapa satu foto itu tertinggal. Padahal aku
ingat betul, aku sudah menyortir semua kenangan bersamanya. Tak ada satupun
yang kubawa saat kembali ke rumah.
Sashi. Kirana Sashika. Aku mengenalnya saat kami sama- sama
menjadi mahasiswa baru. Saat itu kami sama- sama terlambat di acara penerimaan
mahasiswa baru tingkat universitas. Ia yang tengah berlari- lari menuju gedung
tempat acara, menabrak diriku yang juga menuju gedung yang sama. Benar- benar
ceroboh, omelku saat itu. Aku yang sudah siap dengan amarah mendadak terpaku
oleh wajah menggemaskannya. Dia terlihat manis dan cute secara bersamaan. Sejak
saat itu kami bersama. Menjalin sebuah persahabatan.
Persahabatan?
Cih, aku meragukannya. Justru aku sendiri yang mengkhianatinya.
Entah sejak kapan aku menyukai seorang Sashi. Wajah imut serta tingkahnya yang
ceria dan menyenangkan mendapat tempat tersendiri di sudut hatiku. Sayangnya
aku tak pernah berani mengungkapkan isi hatiku. Aku takut perasaanku tak
berbalas hingga merusak persahabatan kami.
***
“Ini?” Mendadak
kurasakan tubuhku melemas. Lunglai tak bertenaga. Kenyataan yang ada
dihadapanku sekarang benar- benar tak dapat kuterima.
Aku menatap Sashi yang
hanya terdiam dengan kepala tertunduk. “Sas?” Aku menyebut namanya dengan
lirih. Sashi membuang muka. Sepertinya ia tak berani menatapku langsung.
“Sashi!” Aku sudah tak
sabar.
“Undangan itu
menjelaskan semuanya, Lang.”
Aku mendesah kecewa.
Ternyata benar gossip yang beredar seminggu belakangan ini. Sashi dan Aldo akan menikah. Awalnya aku tak percaya,
tapi undangan di meja yang berada tepat di depanku menjelaskan semuanya.
“Benar- benar tak ada
tempat untukku?” Detik kemudian saat melihat keterkejutan di wajah Sashi, aku
menyadari mulutku yang telah lancang menyuarakan isi hati.
“Lang, el-lo…?”
Aku mengangguk
perlahan. Kepalang basah. “Sejak dulu, Sas. Gue suka sama lo. sejak awal kita
ketemu,”
Setitik air mata lolos
dari mata Sashi membuatku makin nelangsa, “Ll-lang, mm-mmaaf!”
“Gue tahu,” Kataku
kecewa, “Sudahlah. Yang penting lo bahagia. Gue minta maaf kalau selama ini ada
salah,”
“Lang,”
“Setelah menikah, kita
nggak akan sama lagi, Sas. Gue harus hormati Aldo sebagai suami lo,”
Bohong? Lebih tepatnya
aku takkan siap bertemu denganmu, Sas.
“Gg-gue minta maaf,
Lang.”
“It’s Ok, Sas. Cuma
satu aku tanyakan terakhir kalinya.” Sashi menatapku bingung, “Benar kata
orang- orang tentang kalian?”
Anggukan kepala Sashi
yang pelan seketika membuat bahuku merosot pasrah. Dadaku terasa sesak. Aku
merutuk dalam hati, bagaimana aku bisa kecolongan?
***
Aku tersenyum tipis saat memandangi layar di hadapanku. Dia
masih sama. Meskipun kini telah berstatus sebagai ibu, tapi secara keseluruhan ia masih terlihat sama
seperti dulu. Tak berubah.
Ingatan tentang Sashi membawaku menjelajah dunia buatan Mark
Zuckenberg. Lingkungan pertemanan kami yang sama, membuatku tak sulit untuk
mencarinya. Hanya saja aku tak pernah berniat menambahkan dia ke dalam list
pertemananku. Masih menyesakkan!
Aku meringis. Ah, ternyata ia masih tersimpan di salah satu
sudut hatiku. Belum benar- benar terlupakan. Hari ini ketika Diandra menemukan
fotonya, ingatan tentangnya seketika memenuhi otakku.
Rindu? Mungkin?
Senyumnya yang hangat masih kuingat jelas. Gayanya yang
ceria serta mulutnya yang tak henti berceloteh jika kami sedang bersama.
Argh, aku merindukanmu, Sas. Sangat rindu.
Kali ini saja biarkan aku mengingatmu. Mengingat sekelumit
tentang cerita kita yang dahulu. Yah, kali ini saja!
-end-
Terinspirasi GAGAL BERSEMBUNYInya THE RAIN