Senin, 25 Mei 2015

Aku, Febby, Assalamua'laikum Beijing



"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya" (QS.  Al- Baqarah:286)
Asmara, gadis muda nan enerjik ini didiagnosa menderita APS (Antiphospholipid Syndrome). Sebuah syndrome dimana darah dalam tubuh terlalu cepat mengental. Akibatnya tentu fatal. Darah yang mengental menjadi menggumpal akan memnyebabkan masalah pada organ tubuh. Seorang Asmara muda sudah mengalami stroke, tuli, buta, pingsan berkali- kali bahkan koma karena syndrome tersebut. Serius! Sejujurnya saya baru tahu ada lagi macam syndrome/ sakit yang begini. Ya Allah, nggak kebayang kesakitan mereka para penderita APS. (Doain yuk, semoga mereka diberi kesembuhan dan kesehatan selalu).


Kisah fiksi itu tertuang dalam buku Assalamua’laikum Beijingnya Asma Nadia. Bahkan sudah difilmkan. Buku yang saya inginkan dari dulu namun baru saya miliki beberapa hari lalu. Itupun karena kebaikan sahabat saya Febby yang mengirimkannya (Saya asumsikan juga kado ultah ya, Feb). Hehehe, so thank you so much, mblo. :))

Febby bilang, buku ini mengingatkannya akan saya (Hhehe, koreksi kalau salah!). Perjuangan seorang gadis muda dalam “bersahabat” dengan sakit yang dideritanya (Sakit yang berbeda ya). Tapi kalau boleh saya katakan, saya jauh berbeda dengan sosok sang tokoh utama, Asmara. Asma berbesar hati dan ikhlas untuk menerima kenyataan yang terjadi, sedangkan saya masih harus menata diri dan belajar ikhlas. Hampir setahun sudah, namun kesabaran dan keikhlasan itu belum ada apa- apanya. Asma, sang tokoh utama adalah wanita kuat dan tangguh. Saya? Masih sangat jauh.

Asma memiliki Sekar, sahabat terbaiknya. Sedangkan saya?
Saya boleh berbangga hati karena bukan hanya seorang sahabat, namun jauh lebih banyak lagi. Sejak awal vonis dokter yang berakibat operasi pertama di awal september tahun lalu, banyak dukungan, semangat dan motivasi dari para sahabat. Bantuan juga tak henti- hentinya mengalir, bahkan saat saya memerlukan tambahan darah banyak tanpa sungkan menawarkan diri. Hingga saat ini, kepedulian sahabat- sahabat memang tak henti mengalir meski sekedar via sms, bbm, atau telepon.

Satu hal yang banyak orang harus ketahui, dukungan dari orang- orang terdekat memang saat diperlukan untuk kesembuhan penderita (sakit apapun). Jangan sekali- kali menjudge dengan kata- kata,”Kok bisa sih?”, “Kamu sih dibilangin susah! Jadi sakit kan?” atau, “Ini pasti gara- gara lo sering jajan sembarangan,” “Suka maen sih lo!”, “Nggak dijaga sih kesehatan!”

Please stop berkata seperti itu, secara tak langsung itu menyakitkan! Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah vonis dokter menyakitkan ditambah kata- kata yang “asal”,  jatuhlah semangat penderita (sakit apapun). Makanya tak salah ketika di dalam buku dikisahkan seorang Asma menyimpan rapat- rapat penyakitnya, ia takut pertanyaan yang timbul serta tatapan iba orang – orang (Sumpah, saya juga benci kalau lihat orang menatap saya iba). Bukan ini yang dibutuhkan. Saya sendiri pernah dalam tahap ini, menyembunyikan sakit tapi pada akhirnya belajar keikhlasan berbuah pada menerima kenyataan. Bahkan saya sudah menuangkannya pada buku antologi bersama Dia Tak Ingin Kau Menangis terbitan Wahyu Qolbu . 

Satu hal kesamaan yang saya dan tokoh Asma miliki adalah ibu. Seorang wanita yang berusaha sekuat mungkin untuk kesembuhan anaknya. Hanya ibu. Jika ayah Asma meninggalkan anak dan istrinya karena wanita lain, ayah saya pergi selama- lamanya sudah sepuluh tahun yang berlalu. 
Terpikir dalam pikiran saya, ibu saya hanya sendiri menanggung semua beban sendirian. Seharusnya ada yang bisa dijadikan sandaran, but itulah kehebatan seorang wanita. Kehebatan seorang ibu. Mampu menahan apapun sendirian. Ibu saya selalu bilang, ada Allah, sang maha segalanya. Jadi apa yang harus ditakutkan?

Pada hal 210 tertulis. Allah memilihnya karena ia kuat, lebih kuat dari gadis- gadis lain. Ini pula kekuatan saya selama ini. Allah memilih saya karena saya kuat, seperti yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah ; 286

"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya"

Kisah buku ini romantic karena sosok Zhongwen. Lelaki Cina bermata sipit yang dengan ketegaran dan keluasan hatinya menerima kondisi Asma. Lelaki langka, kalau kata Febby. Yaps, saya setuju karena sepanjang pengalaman saya di rumah sakit sangat minim seorang laki- laki menemani istrinya yang tengah sakit. Alasan paling banyak pekerjaan tak bisa ditinggal (nggak boleh suudzon, heheh). 
Tapi bagaiman dengan cerita teman sekamar saya dulu yang divonis gagal ginjal (lupa jelas nama penyakitnya, yang pasti ginjalnya rusak berat harus cuci darah seminggu 4x kalau nggak salah ingat). Kisah sedihnya berlanjut karena batal naik pelaminan dan si laki- laki tak pernah sekalipun menjenguk.

Potret pernikahan ideal memang hidup bahagia dengan keluarga harmonis seperti bayangan seorang Dewa. Seorang istri melayani suami, bukan suami yang melayani istri (penyakitan).  Apalagi jika ada embel- embel bermasalah dengan keturunan, ah dari sepuluh orang laki- laki belum tentu ada satu kan yang seperti Zhongwen. Jadi ingat cerita sahabat yang didiagnosa kista, ketika seorang laki- laki mendekatinya dan ia katakana yang sebenarnya dan tebak apa kata laki- laki tersebut, “Ya berarti kamu siap di poligami?”

Whattt, nikah aja belum udah beneran mau punya bini dua. Astaga, beneran lelaki langka bukan Zhongwen ini?

Tapi saya percaya sosok Zhongwen memang ada. Bukan hanya fiksi. Entah menjelma dengan nama apa nantinya. Hhehehe… hanya tinggal saya yang menemukan “Zhongwen” atau “Zhongwen” yang menemukan saya? :p

Well, buku ini recommended pokoknya. MENGINSPIRASI!! Harusnya bukan cuma untuk sakit namun juga bagi yang sehat. Hidup sehat itu hal yang paling disyukuri manusia, namun terkadang manusia terlena dan melupakannya.

Sekali lagi so say thank you buat Febby!!!

Lampung, Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar