Minggu, 03 Mei 2015

[Cerpen] Gagal Bersembunyi


“Bang Elang!”
“Hmm,”
“Boleh nanya?”
“Hmm,”
“Ini siapa?”
“Siapa?”
“Cantik.”
Aku mendongak seketika saat kata cantik terucap dari bibir Diandra, adik bungsuku. Keningku mengerut saat melihatnya tenga menatap selembar kertas yang kuyakini sebuah foto.
“Apa itu, Di?” Tanyaku penasaran.
“Pacar abang ya?” alih- alih menjawab pertanyaanku, Abg labil itu justru menanyakan hal yang membuatku bingung. Pacar? Siapa?
“Cantik tau, Bang.” Ujarnya lagi. “Kok nggak pernah dibawa kerumah?”
Kerutan di dahiku makin bertambah. Rasa penasaranku pun menjadi. Jadi sebenarnya foto siapa di tangannya.
“Coba lihat! Siapa sih?”
“Ish, punya cewek cantik diumpetin aja abang mah!”
Aku mencibir. Ini anak bukannya ngasih malah ngomong aja. Dengan cepat aku berdiri dan menarik foto tersebut.
“Ih, abang mah!” Protesnya namun tak kupedulikan. Aku penasaran sosok dibalik foto yang dipuji Diandra.
Seketika hening.
Detak jantungku tiba- tiba tak berirama beraturan. Mendadak ada sesak yang terasa di dada. Dia?
“Wuih, kayaknya abang terpana!”
Suara cempreng Diandra menyentakkan kesadaranku. Aku menatapnya tajam, “Dari…mana i..ni?”
Diandra mengangkat buku yang ia baca tinggi- tinggi. Ia tersenyum lebar. Seketika aku menyadari buku karangan Billi P.S Lim itu terlalu lama tak kusentuh. Kurasa nyaris berlumut di salah satu lemari bukuku.
“Kamu ambil buku abang?”
“Pinjam, Bang!” Diandra meralat kata- kataku sebelumnya, “Kan Dian udah bilang mau pinjam buku abang.”
“Tapi kenapa ini?”
“Judulnya menarik,” Sahut Diandra acuh. Aku menggeleng sesaat. Diandra tidak salah. Hanya saja buku yang ia pinjam membuka fakta lama tentang seseorang.
Tentang dia yang seharusnya terlupakan.
***
“Lang! Elang! Sini!” Aku tersenyum saat menemukan sosoknya ada diantara sekian banyak mahasiswa yang sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Tangannya melambai- lambai ke arahku, membuatku setengah berlari menghampirinya.
“Siang amat?” Celotehnya saat aku tiba di hadapannya.
“Biasa. Bu Tantri nggak akan keluar kalau tugas belum rampung.” Terangku menjelaskan alasan keterlambatanku. Bu Tantri, dosen yang terkenal perfeksionis dan galak. Ia takkan membiarkan seorang mahasiswa pun keluar dari kelasnya, jika tugas belum selesai. Dan tadi karena salah seorang teman sekelasku masih belum menyelesaikan tugasnya meski jam kuliah telag usai, mau tak mau kami sekelas pun tak bisa keluar kelas tepat waktu. Nasib.
“Oh,” Ia mengangguk mahfum.
“Udah pesan?” Aku meliriknya ke meja dihadapannya. Hanya ada segelas es jeruk. Itupun tinggal setengah.
“Gue pesenin deh,” Kataku kembali. “Kayaknya lo belum makan?”
“Eh nggak usah, nggak usah!” Aku mengernyit. Tumben. Tak biasanya ia menolak makan siang.
“Gue mau pergi,”
“Kemana?” Mataku menyipit curiga.
“Mau tahu aja sih lo,”
Keningku makin berkerut. Aku menangkap sesuatu yang tak biasa disini. Kupandangi dirinya yang justru mengalihkan tatapannya ke segala penjuru. Bola matanya yang sesekali mengarah kepadaku pun tak luput dari perhatianku.
“Fine! Fine! Gue mau pergi sama Aldo.”
Akhirnya ia menyerah juga. Tunggu? Aldo?
“Aldo?”
Ia mengangguk. “Anak TI,”
Hah. Anak TI? Itukan berarti…
“Angkatan berapa? Kok gue nggak pernah dengar?”
“Senior lo kayaknya.”
“Senior?” Ucapku ragu. Aku terdiam sejenak untuk berfikir. “Astaga, jangan bilang Aldo yang lo maksud Rivaldo Salim,”
“Iya. Cakepkan? Orangnya itu baik, Lang. Duh, gue beruntung bisa kenalan sama dia. Eh, dia ngajakin gue makan siang bareng lagi,”
Kepalaku pusing seketika. Tak kupedulikan kata- katanya. Bagiku cukup. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawahku getir. Aku kalah. Lagi- lagi ia akan bersama orang lain. Aku hanya bisa memandang. Aku hanya bisa jadi pemuja rahasia.
***
Sekelebat ingatan tentangnya kembali memenuhi benakku. Ah, gara- gara Diandra ini. Kalau saja ia tak menemukan foto itu. Kalau saja ia tak mengambil buku itu, bisa kan buku lain, omelku dalam hati. Tapi ini tentu tak adil. Bukan Diandra yang salah, tapi aku. Aku meringis. Foto itu?
Ah, Foto itu mengapa masih kusimpan atau tepatnya tersimpan di salah satu lembaran buku bacaanku. Bukankah semua tentangnya sudah aku buang dan bakar hingga tak bersisa. Mengapa satu foto itu tertinggal. Padahal aku ingat betul, aku sudah menyortir semua kenangan bersamanya. Tak ada satupun yang kubawa saat kembali ke rumah.
Sashi. Kirana Sashika. Aku mengenalnya saat kami sama- sama menjadi mahasiswa baru. Saat itu kami sama- sama terlambat di acara penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas. Ia yang tengah berlari- lari menuju gedung tempat acara, menabrak diriku yang juga menuju gedung yang sama. Benar- benar ceroboh, omelku saat itu. Aku yang sudah siap dengan amarah mendadak terpaku oleh wajah menggemaskannya. Dia terlihat manis dan cute secara bersamaan. Sejak saat itu kami bersama. Menjalin sebuah persahabatan.
Persahabatan?
Cih, aku meragukannya. Justru aku sendiri yang mengkhianatinya. Entah sejak kapan aku menyukai seorang Sashi. Wajah imut serta tingkahnya yang ceria dan menyenangkan mendapat tempat tersendiri di sudut hatiku. Sayangnya aku tak pernah berani mengungkapkan isi hatiku. Aku takut perasaanku tak berbalas hingga merusak persahabatan kami.
***
“Ini?” Mendadak kurasakan tubuhku melemas. Lunglai tak bertenaga. Kenyataan yang ada dihadapanku sekarang benar- benar tak dapat kuterima.
Aku menatap Sashi yang hanya terdiam dengan kepala tertunduk. “Sas?” Aku menyebut namanya dengan lirih. Sashi membuang muka. Sepertinya ia tak berani menatapku langsung.
“Sashi!” Aku sudah tak sabar.
“Undangan itu menjelaskan semuanya, Lang.”
Aku mendesah kecewa. Ternyata benar gossip yang beredar seminggu belakangan ini. Sashi dan  Aldo akan menikah. Awalnya aku tak percaya, tapi undangan di meja yang berada tepat di depanku menjelaskan semuanya.
“Benar- benar tak ada tempat untukku?” Detik kemudian saat melihat keterkejutan di wajah Sashi, aku menyadari mulutku yang telah lancang menyuarakan isi hati.
“Lang, el-lo…?”
Aku mengangguk perlahan. Kepalang basah. “Sejak dulu, Sas. Gue suka sama lo. sejak awal kita ketemu,”
Setitik air mata lolos dari mata Sashi membuatku makin nelangsa, “Ll-lang, mm-mmaaf!”
“Gue tahu,” Kataku kecewa, “Sudahlah. Yang penting lo bahagia. Gue minta maaf kalau selama ini ada salah,”
“Lang,”
“Setelah menikah, kita nggak akan sama lagi, Sas. Gue harus hormati Aldo sebagai suami lo,”
Bohong? Lebih tepatnya aku takkan siap bertemu denganmu, Sas.
“Gg-gue minta maaf, Lang.”
“It’s Ok, Sas. Cuma satu aku tanyakan terakhir kalinya.” Sashi menatapku bingung, “Benar kata orang- orang tentang kalian?”
Anggukan kepala Sashi yang pelan seketika membuat bahuku merosot pasrah. Dadaku terasa sesak. Aku merutuk dalam hati, bagaimana aku bisa kecolongan?
***
Aku tersenyum tipis saat memandangi layar di hadapanku. Dia masih sama. Meskipun kini telah berstatus sebagai ibu,  tapi secara keseluruhan ia masih terlihat sama seperti dulu. Tak berubah.
Ingatan tentang Sashi membawaku menjelajah dunia buatan Mark Zuckenberg. Lingkungan pertemanan kami yang sama, membuatku tak sulit untuk mencarinya. Hanya saja aku tak pernah berniat menambahkan dia ke dalam list pertemananku. Masih menyesakkan!
Aku meringis. Ah, ternyata ia masih tersimpan di salah satu sudut hatiku. Belum benar- benar terlupakan. Hari ini ketika Diandra menemukan fotonya, ingatan tentangnya seketika memenuhi otakku.
Rindu? Mungkin?
Senyumnya yang hangat masih kuingat jelas. Gayanya yang ceria serta mulutnya yang tak henti berceloteh jika kami sedang bersama.
Argh, aku merindukanmu, Sas. Sangat rindu.
Kali ini saja biarkan aku mengingatmu. Mengingat sekelumit tentang cerita kita yang dahulu. Yah, kali ini saja!

-end-

Terinspirasi GAGAL BERSEMBUNYInya THE RAIN





0 komentar:

Posting Komentar