Sebelumnya di sini
19.
“TUNGGU
APALAGI! KERJAIN SANA!”
Bergegas
Tantra membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan Askar. Sejenak kepalanya menggeleng perlahan,
karena sikap Askar yang sangat menyebalkan sejak pagi.
Salah!
“Kenapa,
Mas?”
Beberapa
langkah setelah keluar ruangan, Tantra mendapati Pak Kardi tengah menatap ke
arahnya. Sekilas matanya menangkap lelaki tua itu baru saja meletakkan beberapa
map di atas mejanya.
“
Titipan darimana, Pak?”
“Dari
bagian keuangan, Mas.”
“Oh,”
mulut Tantra membulat dan kepalanya mengangguk-angguk. Tak lama ia mendaratkan
tubuhnya di kursi meja. Sesaat matanya terpejam, namun hanya beberapa detik
karena ia tersadar sesuatu.
“Ada
urusan lagi, Pak?”
Pak
Kardi yang memang belum beranjak pergi menggelengkan kepala. Ia mencondongkan
tubuhnya, lalu berkata pelan pada Tantra.
“Bos
ngamuk ya, Mas.” Ujarnya lirih seraya bolak-balik menengok ke pintu ruangan
Askar.
Tantra
mengedik. Tak menjawab sama sekali.
“Ya,
Mas Tantra ini ditanya juga.”
“Nggak
perlu ditanya Bapak juga udah tau kan jawabannya,” senyum tipis Tantra terulas.
Pak
Kardi mengangguk. Dihelanya napas pendek seraya menatap Tantra dalam-dalam.
Dalam hati, ia merasa iba pada Tantra. Pak Kardi tahu bagaimana cakap dan
rajinnya Tantra dalam bekerja, namun Askar tetaplah Askar. Putra tunggal
Adinata yang selalu menginginkan hasil sempurna. Dan jika tak sesuai keinginan,
lelaki itu lebih senang mengeluarkan emosi daripada berpikir tenang.
“Mas
Tantra mau dibeliin makan siang apa?” kata Pak Kardi kemudian. Dirinya yakin
Tantra pasti mendapat banyak pekerjaan dari si bos. Sungguh, ia ingin membantu.
Tapi bisa apa?
Satu-satunya yang bisa
dia lakukan adalah memastikan Tantra tak melewatkan makan siangnya.
“Memangnnya
udah jam makan siang ya, Pak?”
“Sebentar
lagi, Mas.” Jawab Pak Kardi seraya menunjuk jam dinding yang berada di salah
satu sudut ruang.
Tantra
pun tersenyum. Kepalanya mengangguk kemudian. “Seperti biasa aja, Pak.” Ujarnya
seraya mengeluarkan beberapa nominal uang untuk kemudian diserahkan pada Pak
Kardi.
“Terima
kasih, Pak.”
***
Kesibukan
bandara tak pernah sepi. Apalagi siang hari. Keramaian terlihat di berbagai
penjuru. Setiap orang disibukkan dengan kegiatannya masing-masing termasuk Agni
yang kini tengah duduk di salah satu bangku tunggu. Dengan novel di tangan,
Agni asyik membaca. Tak peduli dengan keadaan sekitar. Entah berapa lama waktu
berlalu, hingga Agni merasakan kegiatannya terusik. Novelnya terangkat dan
seketika berrpindah tangan.
“Ini
sih namanya yang dijemput nyari sendiri penjemputnya.”
Agni
nyengir ketika mendapati siapa yang berdiri di depannya. Orang yang sama yang
telah mengambil novelnya. “Eh, udah mendarat ya pesawat lo, Va?” ujarnya
santai.
Sava,
lelaki muda mendengus lalu menggeleng. “Ini ni malesnya dijemput lo. Acuh aja
nggak peduli,” gerutunya. “Gue yang dijemput gue yang kelabakan nyari
penjemputnya. Mana HP ditelponin nggak diangkat-angkat lagi.”
“Tau
gitu mending ngiyain kata dijemput supir Mas Arga.” Lanjut Sava kesal.
“Eh,
emang lo nelpon gu...,” Seketika tangan Agni mencari keberadaan ponsel di tasnya,
sedetik kemudian dia meringis. “Sorry, silent!
Lupa gue!”
Sava
mendelik. “Kebiasaan!” katanya sembari berbalik meninggalkan Agni yang hanya
tersenyum menanggapi kekesalan Sava. Udah
biasa!
“Va!
Tungguin gue dong!”
Segera
Agni menyusul langkah pemuda itu. Sesaat setelah bersisian, tanpa canggung Agni
melingkarkan tangan kanannya pada pergelangan tangan kanan Sava. Beberapa
pasang mata tampak melirik ke arah mereka, tapi Agni tak peduli. Sava pun sama
cueknya. Wajahnya yang tadi berteuk telah berganti dengan bersikap biasa.
“Langsung
ke rumah ya?”
“Emang
ada apa di rumah?” Sava menoleh sekilas.
Bibir
Agni mencibir. “Ck, sok nggak ingat. Dimana-mana ya kalau pangeran Sava datang,
Nyonya besar pasti bakal masak enak.”
Sava
tergelak. “Kayak sendirinya pulang nggak disambut Tante aja.”
“Iya
ya,” Agni nyengir. “Buruan yuk! Lapar gue udahan. Lagian momen ngumpul kayak
gini jarang-jarang.”
“Ngumpul?
Maksudnya?” tanya Sava dengan sebelah alis terangkat.
“Lo
nggak lupa kan sama Mas Arga sekeluarga. Mereka pasti udah di rumah sekarang.”
Seketika
senyum Sava pun mengembang. Agni yang memperhatikan mengerutkan kening.
“Kenapa
lo?”
“Hah?
Kenapa apa?”
Agni
berdecak. “Senyum-senyum gitu,”
“Oh,”
mulut Sava membulat. “Nggak. Lagi bayangin ramenya di rumah.”
“Ya
namanya aja lagi ngumpul. Pasti rame lah.”
“Iya
tau!” sahut Sava. “Tapi bukan itu juga yang gue pikirin.”
“Terus
apaan?” Agni penasaran.
”Berdasar
curhat lo semalam. Kemungkinan keramaian di rumah akan bertambah.”
Agni
terdiam beberapa saat, mengingat hal yang dikatakannya semalam pada Sava via
telepon. Namun belum sepenuhnya ingatannya terkumpul, Sava sudah kembali
berbicara.
“Dua
laki. Askar, Tantra. Jadi mana yang lo pilih?”
***
Jam di
pergelangan tangan telah menunjukkan pukul 9 malam, ketika Tantra melirik benda
tersebut. Seketika ia pun menghentikan pekerjaannya. Direnggangkannya sejenak
tubuhnya yang kaku karena sedari tadi mengerjakan banyak pekerjaan. Tak lama ia
pun beranjak dari kursi dan melangkah menuju jendela kaca.
Jakarta
masih ramai. Meski hari telah berganti malam, jalanan masih tak juga sepi.
Beruntung tak lagi semacet sore hari di saat banyak orang pulang kerja.
Tantra
menghela napas dalam-dalam. Pandangannya memang terarah ke depan, tetapi tidak
dengan pikirannya. Kejadian beberapa hari lalu di cafe membuatnya sadar, jika
ia tak bisa selamanya menggantungkan diri bekerja pada Askar. Apalagi beberapa
hari ini sikap Askar yang semakin mempersulit dirinya dengan pekerjaan. Tantra
bukan tak tahu, namun ia masih memilih bungkam.
Aku harus putuskan segera,
Tantra
menarik napas kembali. Perlahan diraihnya ponsel. Tak lama terdengar nada
sambung di seberang. Tantra menghitung dalam hati. Meski waktu sudah malam,
Tantra yakin jika orang yang tengah dihubunginya belum tidur. Tepat di hitungan
ke sepuluh, sebuah suara menjawab,
“Halo,
assalamua’laikum...,”
***
“Aku
sayang sama kamu, Ni!”
Agni
melotot. Entah mimpi apa dia semalam, tiba-tiba Askar menyatakan perasaannya.
Padahal sudah tiga hari pasca pertemuan di cafe, mereka tidak bertemu dan
sekarang tiba-tiba Askar menjemputnya lalu membawanya ke sebuah restoran.
Dan,
menyatakan cinta?
Lelaki
sinting!
Tapi...
“Aku
tahu mungkin menurut kamu ini terlalu mendadak, tapi aku serius aku sayang sama
kamu.” Ujar Askar lagi.
Agni
ternganga. Otaknya blank. Masih bingung mencerna apa yang tengah terjadi.
Padahal, tiga hari ini ia merasa kehidupan jauh lebih normal.
“Aku
nggak minta kamu jawab sekarang. Kamu punya banyak waktu. Tapi asal kamu tahu,
bersamaku kamu nggak akan pernah sekalipun sedih. Aku selamanya akan bikin kamu
bahagia.”
Perkataan
Askar spontan membuat Agni menggaruk-garuk kepalanya. Dulu sekali ia pernah
mengharapkan hal ini terjadi. Dan, di saat itu terjadi pastilah hatinya bahagia
berbunga-bunga. Askar lelaki yang tengah disukainya memiliki perasaan yang
sama? Ah, setiap wanita siapa tak bahagia.
Tapi
sekarang?
Kosong.
Tak
ada rasa apapun yang bergetar di hati Agni karena pernyataan Askar. Alih-alih
bahagia, yang ada ia justru kesal luar biasa. Orang ini seenaknya menarik
dirinya untuk kemudian dibawa ke restoran, lalu mengatakan cinta dengan begitu
mudahnya.
Hmm,
apa begini caranya menyatakan cinta pada wanita-wanita yang dikencaninya?
Dan,
tunggu....
Sayembara
itu?
Refleks
Agni mengerutkan dahi menatap Askar dengan tatapan yang begitu dalam. Laki-laki
ini sepertinya tidak tahu jika Agni mengetahui hal yang sebenarnya. Sesaat Agni
pun menghela napas panjang.
“Kenapa?
Kenapa lo suka gue?”
Askar
tersenyum tipis. “Nggak ada yang bisa tahu kapan datangnya cinta, Ni.”
“Kalau
gitu sejak kapan lo suka gue?”
Askar
terdiam sejenak, tetapi tak lama senyumnya mengembang. “Sejak kita ketemu lagi
di kantor Mas Aksa. Kamu begitu berbeda.”
“Berbeda?”
Askar
mengangguk. “Dewasa, smart dan tentu
saja cantik.”
Sial nih orang!
Jadi, aku dulu secara tak langsung
dinilai dia masih bocah, bodoh dan jelek.
“Bagaimana
dengan pernikahan?”
Kening
Askar mengerut dengan perkataan Agni, “Maksudmu? Kita menikah.”
“Memangnya
kemana arah hubungan dua orang dewasa beda jenis kelamin?”
“Oh,”
Askar manggut-manggut. “Kupikir sebaiknya kita jalani hubungan ini dulu.
Selanjutnya biarlah waktu yang menentukan.”
Agni
tersenyum miring. “Gue asumsikan lo masih males nikah...,”
“Nggak
ada yang tahu masa depan, Ni.” Potong Askar sembari mengulas senyuman. “Siapa
tahu kita ditakdirkan berjodoh. Ah, sudahlah, sebaiknya kita makan dulu. Yang
pasti kamu punya banyak waktu untuk berpikir.”
Agni
menggeleng. “Gue nggak butuh waktu untuk berpikir lama, Kar,” ujarnya. “Gue
pikir gue nggak mau jadi salah satu koleksi lo.”
“Koleksi?”
Bahu
Agni terangkat acuh. “Sepertinya yang sudah-sudah,”
Tak
lama Agni merasakan tangannya digenggam lembut oleh Askar. “Kamu salah, Ni. Aku
nggak pernah mengoleksi wanita. Mereka saja yang terus mendekatiku. Dan, tentu
saja kamu berbeda dengan mereka.”
“Oh,
ya?” Kedua alis Agni bertaut.
“Tentu
saja. Kamu istimewa, Ni.”
Agni
terbahak dalam hati. Jadi gini playboy
bermulut manis.
“Aku
janji kalau kita bersama, nggak akan ada lagi wanita lain di sampingku. Cuma
kamu, Ni. Cuma kamu satu-satunya yang ada dihatiku.”
selanjutnya di sini
selanjutnya di sini
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino