Rabu, 30 September 2015

ELROY (22)


Bab XXII

Sebelumnya Disini


Sialan, Anya!


Sint*ing dia!

Elroy tak henti menyumpah serapah kakaknya dalam hati. Pantas saja kalau Gendis mendadak bersikap aneh, jelas gadis itu memikirkan apa yang dikatakan Anya hingga menjadi seperti ini.


“Aw!”


Kamis, 24 September 2015

ELROY (21)


Bab XXI

Sebelumnya Disini



“Siapa, El?”

Elroy terhenyak. Selama beberapa menit ia terpaku. Kedatangan sosok yang kini berdiri di hadapannya benar- benar mengejutkan. Tak pernah diduga sama sekali ia akan kembali bertemu.

“Bukan siapa- siapa, Mam. “ Sahut Elroy tanpa mengalihkan pandangannya. Ia bahkan menutup pintu kamar dari luar. Lalu mendengus gusar. Menatap sinis pada orang di depannya.

“Lebih cepat lebih baik anda pergi!” Katanya ketus. “Kami tak menginginkan kehadiran anda di sini.” Mungkin terdengar tak sopan, kurang beretika tetapi Elroy merasa inilah yang harus dilakukannya. Tak pantas rasanya keberadaan orang itu di sini saat ini.

“Ta…pi, El…”

Elroy menggeleng lalu mengangkat tangan kanannya, “Please, gue nggak mau tahu apa- apa. Lebih baik anda pergi sekarang!” Ujarnya lagi. Tubuhnya berbalik hendak kembali ke kamar namun tiba- tiba tertahan.

“Tolong dengerin penjelasan ta…,”

“Penjelasan, huh?” Elroy memotong dengan cepat. Ia menoleh dan menatap tajam. “Penjelasan yang mana? Penjelasan perselingkuhan anda? Oh.. bukan selingkuh lagi ya tapi istri. Istri kedua, right?”

Karina Devi. Tante Rinrin, demikian Elroy kecil memanggilnya. Wanita muda yang bekerja sebagai sekertaris ayahnya itu memang cukup ia kenal dengan baik. Tante Rinrin yang asyik, Tante Rinrin yang menyenangkan. Tapi itu dulu sebelum matanya memergoki perselingkuhah keduanya di kantor. Ayah dan Tante Rinrin. Sejak saat itu ia bersumpah takkan pernah mau berurusan dengan wanita itu. Baginya ayah maupun sekertarisnya sama- sama menjijikkan.

“Ka…mu tahu?”

Elroy tersenyum miring. “Mami juga sudah tahu. Kami sekeluarga sudah tahu semua.”

Keterkejutan jelas terlihat di wajah Kumala. Elroy berdecih. Ia tak peduli. Ia sudah memantapkan dalam hati, apapun yang dilakukan ayahnya juga wanita selingkuhan atau simpanan takkan perlu ia tahu.

Semuanya sudah berakhir saat ia mendapati fakta papi mempunyai anak selain ia dan Anya. The end.

“Sepertinya tua bangka itu tak memberitahumu kalau kami semua sudah mengetahuinya, Tante Karina Devi!”

“Asal lo tahu. Gue udah peduli hubungan kalian. Terserah kalian mau ngapain. BUKAN URUSAN GUE!”

“EL!”

Elroy menoleh. Matanya menyipit saat menemukan sosok Gendis yang tengah berjalan ke arahnya. Sendirian.

“Sorry, sweater gue ketinggalan.” Ucap Gendis saat sudah berada di depan Elroy. Ia tersenyum mengangguk pada Kumala, “Eh, maaf tante…,”

“Masuk!”

Gendis melongo sesaat. Kenapa El ketus sekali, gumamnya dalam hati. Sejenak ia melirik sosok Kumala. Wanita itu terlihat tertekan. Gesture tubuhnya sangat tak nyaman dipandang oleh Gendis.

“Masuk, Ndis!” Elroy tak sabar. Ia menarik lengan Gendis untuk mengikutinya masuk ke dalam kamar. Tanpa mengindahkan Kumala sama sekali.

“Eh, Tante per..permisi!” Gendis meringis menerima perlakuan Elroy. Benaknya dilingkupi tanda tanya. Tadi ia memang sempat mendengar Elroy berkata keras pada sosok wanita itu, tapi itu pun tidak terlalu jelas.

Jadi sebenarnya ada apa sih?

“Loh, ada Gendis!”

Gendis nyengir. Tanpa sadar ternyata ia sudah berada di dalam kamar rawat ibu Elroy. “Eh sorry Tante, sweater aku ketinggalan.”

“Ternyata beneran punya lo, Ndis!” Celetuk Anya kemudian. Ia berdiri dari sofa lalu melangkah menuju lemari yang berada di seberang ranjang, tepat dibawah televisi. “Nih! Gue simpan dulu di sini. Gue pikir entar gue tanya El.”

Gendis tersenyum. Ia menerima sweater yang disodorkan Anya. “Thanks ya, Kak!” Senyumnya lebar.

“Sama- sama. Eh, itu tangan nggak mau lepas ya?”

Gendis dan Elroy terkejut. Terutama Elroy. Sesaat ia lupa jika ia masih menggenggam tangan gadis itu. Kontan keduanya melepaskan genggaman, membuat Anya terkekeh geli.

“Tuh kan Mam, aku bilang apa!” Katanya sembari mengerling pada ibundanya.

“Apaan sih lo, Nya!”

“Syukurlah Mam, El normal juga!”

Elroy melotot. Anya keterlaluan dipikirnya dia bukan lelaki normal apa?

“Nggak usah rese deh, Nya!”

“Eh, maaf semua.” Tiba- tiba suara Gendis menghentikan keributan kecil itu. “Maaf ini Tante, aku langsung pulang ya, Tante. Takut kemalaman.”

“Loh kesini sama siapa?” Astrid mengerut bingung.

“Tadi diantar Bastian, tapi dia ada urusan jadi aku bilang pulang sendiri aja.”

“Anterin gih, El!”

Elroy terdiam. Ia menatap tajam Anya. Bukan ia tak tahu maksud kata- kata kakaknya.

“Iya El, anterin Gendis aja dulu!”

“Eh Tante, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri kok.” Elak Gendis cepat.

“Nggak, Ndis. El akan nganterin kamu kok. Iya kan, Sayang?”

Elroy mengangguk pelan. Ia menghembuskan perlahan. Tak ada pilihan kan? Toh, ia juga takkan tega membiarkan Gendis pulang sendiri disaat hari mulai menjelang malam.

“Ya udah yuk!”

Hah. Gendis melongo. “Eh tapi…”

“Mau pulang nggak?”

Ck, Gendis berdecak dalam hati. Manusia satu ini benar- benar nggak bisa manis sedikit sepertinya. Gendis pun memilih mengalah. Ia menghela nafas berat lalu berpamitan pada mami dan Anya. Sesaat ia sempat ternganga saat Anya berbisik padanya.

“Sok galak padahal sebenarnya dia cinta tuh sama lo, Ndis. Jadi bersabarlah!”

What??

***

“Anya ngomong apa?”

“Hah?”

Elroy berdecak dalam hati. Entah apa yang dikatakan kakaknya hingga membuat Gendis mendadak lemot seperti ini. Bahkan sejak keluar kamar, Gendis lebih banyak berdiam diri padahal biasanya jika bersama Gendis, mulut gadis itu tak henti berceloteh.

“Tadi Anya bilang apa ke lo?” Tanya Elroy lirih.

“Nggak- nggak, Kak Anya nggak bilang apa- apa.”

Elroy menggeleng, “Lo nggak pandai berbohong, Ndis?”

“Eh!” Gendis melengos. Ia membuang muka. Semudah itu bisa terbaca?

“Serius deh, Ndis!”

Sejenak hening.

Gendis larut dalam pikirannya. Katakan tidak katakan tidak! Dihelanya nafas dalam- dalam lalu dihembuskannya perlahan. Ia pun menoleh, menatap lekat- lekat Elroy yang berada di balik kemudi. Elroy menyadari pandangan Gendis, ia melirik sekilas namun kembali memfokuskan diri ke jalanan di hadapannya. Dia memilih menunggu Gendis mengatakannya.

“Ehm, El!” Ragu jelas dirasakan Gendis. Tapi…

“Ka…Kak Anya bilang ka..mu cin..cinta aku!”

Apa!!

Ciiiitttt…..

Tanpa sadar Elroy menginjak rem kuat- kuat. ANYAAAAA!!!!

Selanjutnya Disini





-tbc-

Selamat Hari Raya Idul Adha


Minggu, 20 September 2015

ELROY (20)



Bab XX

Sebelumnya Disini


Elroy terbelalak saat mendapati Bastian dan Gendis berada dalam kamar ibunya. Bagaimana bisa mereka ada di sini? Tanyanya dalam hati. Ia baru saja kembali dari kantin. Setelah berbicara banyak dengan Anya, Elroy memutuskan mengisi perutnya di kantin rumah sakit. Sedangkan Anya memilih kembali ke kamar. Dia yakin kedua orang tuanya sudah selesai berbicara.

“Hai, El!”

Kamis, 17 September 2015

ELROY (19)


Bab XIX

Sebelumnya Disini



Elroy gusar. Sejak tadi ia tak tenang di kursinya. Sekali waktu duduk dengan gelisah di lain waktu berdiri lalu berjalan mondar mandir. Kepalanya berulang kali melongok ke depan pintu kamar kemudian tak lama mendesah kecewa.

Sungguh ia kecewa karena mami mengizinkan laki- laki itu masuk ke dalam kamar inapnya. Laki- laki yang menyebabkan semua kekacauan yang terjadi di dalam keluarga. Laki- laki yang dibenci sekaligus teramat dicintai dan dihormati. Argh, Elroy mengerang frustasi.

Betapa hidup ini terlalu sulit.

“El!”

Elroy mendongak. Anya muncul di depannya. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di samping Elroy membuat Elroy merutuk dalam hati.

Jika Anya keluar, gimana mami? Apa yang akan dilakukan laki- laki itu. Awas saja kalau sampai bikin mami sakit lagi!

“Mereka butuh privacy, El.” Ujar Anya lirih. Ia seakan bisa membaca pikiran adiknya. “Lo tenang aja nggak mungkin papi nyakitin mami.”

“Cih!” Elroy tersenyum sinis, “Memangnya apa yang dia lakuin selama ini kalau nggak nyakitin mami.”

Anya menghembuskan nafas berat, “Maksud gue, ini rumah sakit, El.”

Elroy menggeleng, “Kalau yang lo maksud dengan mukul atau main fisik, memang papi nggak mungkin bisa ngelakuin di sini. Tapi kalau tekanan mental, atau mengintimidasi mami dia bisa melakukannya.”

“Astaga, El! Papi nggak mungkin ngelakuin itu sama mami.”

Elroy menghela nafas lalu mengendikkan bahunya. Ia memilih diam. Selama ini ia tak pernah banyak bercerita pada Anya. Tak pernah sekalipun ia mengatakan pada Anya soal dirinya yang terang- terangan melihat ayahnya berselingkuh di kantor atau juga melihat ibunya bersama lelaki lain. Elroy cukup memendamnya sendiri, ia tak ingin Anya ikut terpuruk melihat kenyataan yang menyakitkan. Anya sudah cukup sedih dengan pertengkaran kedua orang tuanya, ia tak ingin menambahkan kesedihan kakaknya lagi dengan menceritakan kenyataan yang sebenarnya terjadi.

“Papi juga mami sama- sama orang tua kita, El. Bagaimanapun buruknya mereka, tetap keduanya harus kita hormati.”

Elroy bungkam. Meski ia terlihat tak peduli, telinganya masih menangkap kalimat Anya. Dan jauh di lubuk hatinya terdalam ia mengakui kebenaran kata- kata itu.

“Gue cuma pengen damai, Nya.”

Anya mengangguk- anggukkan kepalanya. “Gue juga. Makanya gue berharap sekarang mereka berbicara dari hati ke hati untuk menyelesaikan semuanya.”

Sesaat hening.

“Apa mungkin keluarga kita bersatu?” Elroy menerawang. Benaknya mengangankan hal yang dia sendiri tak yakin akan dapat terjadi. Pahit. Teramat pahit. Dadanya bahkan terasa sesak. Impian memang tak sesuai kenyataan akan menyakitkan.

“Gue nggak tahu, El. Gue nggak tahu.”

Elroy menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Di setiap pertengkaran mereka, selalu terselip doa gue kalau semuanya akan berakhir. Keluarga kita akan kembali normal.” Elroy menoleh sejenak lalu kepalanya menggeleng, “Tapi sekarang sepertinya ini mustahil.”

“Ja..jangan El, jangan bilang ini mustahil.” Sebutir air mata lolos turun membasahi pipi putih Anya membuat nafas Elroy tercekat.

Anya masih sangat berharap. Sangat! Sangat!

“Gue pengen keluarga kita utuh, El.”

Kontan Elroy melingkarkan tangannya ke bahu Anya lalu menariknya kedalam pelukan. Ia pun ingin rasanya menangis. Harapan keduanya sama. Sama- sama menginginkan keutuhan keluarga kembali. Meski begitu mereka pun tahu kenyataan yang terjadi.

Mustahil.

“Gu…gue pengen ketemu di..a, El!”

***

Mata Gendis terbelalak saat mendapati tayangan infotaiment di layar TV. Ia baru saja pulang dan ketika melewati ruang tengah, ia tak sengaja telinganya mendengar kabar soal Astrid Kumala yang dilarikan ke rumah sakit.

Astrid?

Ibunya El!
Refleks Gendis merogoh tas dan mencari ponselnya. Ia mencoba menghubungi Elroy namun ternyata sia- sia. Nomor Elroy sama sekali tak bisa dihubungi. Entah sengaja dimatikan atau memang kehabisan baterai. Gendis merengut seketika. Sulit sekali sih orang ini.

Baru ia akan melanjutkan langkah ke kamar, ponselnya bordering. Nama Bastian muncul.

“Gue di depan rumah lo.”

Hah! Gendis mendelik saking terkejutnya. “Buruan keluar!“ Meski manyun karena perintah Bastian tak urung Gendis berbalik. Ia melangkah menuju halaman depan rumahnya.

“Ikut gue sekarang!”

“Kemana?”

“Rumah sakit.” Tak butuh lama bagi Gendis untuk mencerna apa yang dikatakan Bastian.

“Tunggu bentar! Gue bilang dulu sama orang rumah.” Katanya mengabaikan decakan Bastian. Dan dengan setengah berlari ia kembali ke dalam rumah lalu muncul tak lama setelahnya.

“Lo tahu rumah sakitnya?” Tanya Gendis saat Bastian menyodorkan helm padanya.

Bastian mengangguk. “Di gossip juga ada kali, Ndis! Buruah ah!”

Gendis nyaris menepuk jidatnya. Iya juga. Ia tadi tak begitu memperhatikan berita sampai tak mengingat nama rumah sakit dimana ibu Elroy dirawat.

“Buruan, Ndis! Nggak pake lelet ngapa!” Bibir Gendis mencebik. Kalau saja tidak darurat, ia rasa ia akan mendamprat balik Bastian karena ejekannya tapi sekarang abaikan terlebih dahulu. Kini pikirannya dipenuhi Elroy, bagaimana keadaan pemuda itu? kenapa pula ibu El masuk rumah sakit?

Ah sabarlah, Ndis!

-tbc-

Lampung, Sept 2015

Minggu, 13 September 2015

ELROY (18)


Bab XVIII

Sebelumnya Disini



“Tidak perlu khawatir, El. Astrid sudah tidak apa- apa. Dia hanya kelelahan.”


Elroy menghela nafas lega. Ia memang cukup panic dengan keadaan mami yang tak sadarkan diri. Sungguh, dia teramat takut jika terjadi hal yang buruk pada wanita yang sangat dicintainya tersebut. Bahkan dia bersumpah takkan memaafkan diri sendiri. Semua karena dirinya yang memaksa pergi dari apartemen, mengabaikan permohonan wanita itu untuk berbicara.


Kamis, 10 September 2015

ELROY (17)


Bab XVII

Sebelumnya Disini


Elroy mengerang perlahan saat membuka matanya. Kepalanya terasa pusing. Teramat berat bahkan ia merasa sulit untuk membuka kedua bola matanya.


“Minum dulu, El!” El terhenyak. Matanya terbuka seketika. Dan keterkejutan jelas tak dapat disembunyikan saat melihat sosok yang kini berada di depan matanya.


Mami.

Minggu, 06 September 2015

ELROY (16)


Bab XVI

Sebelumnya Disini


Elroy baru tiba di kosannya menjelang dini hari. Ia memang tak langsung pulang setelah pergi dari rumah Gendis. Elroy memilih menghabiskan malam di jalanan. Mengelilingi setiap sudut, tanpa perlu mengingat berapa kali ia melakukannya. Cukup baginya merasakan kedinginan malam, berharap ketika esok saat matahari terbit maka seluruh masalahnya pun ikut sirna.

Meski itu mustahil.

Sangat tak mungkin.

Masalahnya takkan usai meski hari berganti sekalipun.

Justru semakin kompleks.


Kamis, 03 September 2015

ELROY (15)


Bab XV
Sebelumnya Disini


Malam semakin larut. Namun kedua bola mata Gendis belum sedikitpun terpejam. Gadis itu teramat sulit untuk tidur mala mini. Tubuhnya berulang kali balik kanan atau kiri. Gusar. Sesekali Gendis mendengus kesal lalu tubuhnya ditegakkan dengan mulut mencebik manyun.

Ck, kenapa sih gue! Decaknya dalam hati sembari kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.

“Tidur, Ndis! Tidur!” Gerutunya dengan tangan kanan meraih guling yang berada di sebelahnya. Lagi ia mencoba memejamkan matanya kembali. Berusaha mengistirahatkan tubuhnya.

Semenit.

Dua menit.