Kamis, 17 September 2015

ELROY (19)


Bab XIX

Sebelumnya Disini



Elroy gusar. Sejak tadi ia tak tenang di kursinya. Sekali waktu duduk dengan gelisah di lain waktu berdiri lalu berjalan mondar mandir. Kepalanya berulang kali melongok ke depan pintu kamar kemudian tak lama mendesah kecewa.

Sungguh ia kecewa karena mami mengizinkan laki- laki itu masuk ke dalam kamar inapnya. Laki- laki yang menyebabkan semua kekacauan yang terjadi di dalam keluarga. Laki- laki yang dibenci sekaligus teramat dicintai dan dihormati. Argh, Elroy mengerang frustasi.

Betapa hidup ini terlalu sulit.

“El!”

Elroy mendongak. Anya muncul di depannya. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di samping Elroy membuat Elroy merutuk dalam hati.

Jika Anya keluar, gimana mami? Apa yang akan dilakukan laki- laki itu. Awas saja kalau sampai bikin mami sakit lagi!

“Mereka butuh privacy, El.” Ujar Anya lirih. Ia seakan bisa membaca pikiran adiknya. “Lo tenang aja nggak mungkin papi nyakitin mami.”

“Cih!” Elroy tersenyum sinis, “Memangnya apa yang dia lakuin selama ini kalau nggak nyakitin mami.”

Anya menghembuskan nafas berat, “Maksud gue, ini rumah sakit, El.”

Elroy menggeleng, “Kalau yang lo maksud dengan mukul atau main fisik, memang papi nggak mungkin bisa ngelakuin di sini. Tapi kalau tekanan mental, atau mengintimidasi mami dia bisa melakukannya.”

“Astaga, El! Papi nggak mungkin ngelakuin itu sama mami.”

Elroy menghela nafas lalu mengendikkan bahunya. Ia memilih diam. Selama ini ia tak pernah banyak bercerita pada Anya. Tak pernah sekalipun ia mengatakan pada Anya soal dirinya yang terang- terangan melihat ayahnya berselingkuh di kantor atau juga melihat ibunya bersama lelaki lain. Elroy cukup memendamnya sendiri, ia tak ingin Anya ikut terpuruk melihat kenyataan yang menyakitkan. Anya sudah cukup sedih dengan pertengkaran kedua orang tuanya, ia tak ingin menambahkan kesedihan kakaknya lagi dengan menceritakan kenyataan yang sebenarnya terjadi.

“Papi juga mami sama- sama orang tua kita, El. Bagaimanapun buruknya mereka, tetap keduanya harus kita hormati.”

Elroy bungkam. Meski ia terlihat tak peduli, telinganya masih menangkap kalimat Anya. Dan jauh di lubuk hatinya terdalam ia mengakui kebenaran kata- kata itu.

“Gue cuma pengen damai, Nya.”

Anya mengangguk- anggukkan kepalanya. “Gue juga. Makanya gue berharap sekarang mereka berbicara dari hati ke hati untuk menyelesaikan semuanya.”

Sesaat hening.

“Apa mungkin keluarga kita bersatu?” Elroy menerawang. Benaknya mengangankan hal yang dia sendiri tak yakin akan dapat terjadi. Pahit. Teramat pahit. Dadanya bahkan terasa sesak. Impian memang tak sesuai kenyataan akan menyakitkan.

“Gue nggak tahu, El. Gue nggak tahu.”

Elroy menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Di setiap pertengkaran mereka, selalu terselip doa gue kalau semuanya akan berakhir. Keluarga kita akan kembali normal.” Elroy menoleh sejenak lalu kepalanya menggeleng, “Tapi sekarang sepertinya ini mustahil.”

“Ja..jangan El, jangan bilang ini mustahil.” Sebutir air mata lolos turun membasahi pipi putih Anya membuat nafas Elroy tercekat.

Anya masih sangat berharap. Sangat! Sangat!

“Gue pengen keluarga kita utuh, El.”

Kontan Elroy melingkarkan tangannya ke bahu Anya lalu menariknya kedalam pelukan. Ia pun ingin rasanya menangis. Harapan keduanya sama. Sama- sama menginginkan keutuhan keluarga kembali. Meski begitu mereka pun tahu kenyataan yang terjadi.

Mustahil.

“Gu…gue pengen ketemu di..a, El!”

***

Mata Gendis terbelalak saat mendapati tayangan infotaiment di layar TV. Ia baru saja pulang dan ketika melewati ruang tengah, ia tak sengaja telinganya mendengar kabar soal Astrid Kumala yang dilarikan ke rumah sakit.

Astrid?

Ibunya El!
Refleks Gendis merogoh tas dan mencari ponselnya. Ia mencoba menghubungi Elroy namun ternyata sia- sia. Nomor Elroy sama sekali tak bisa dihubungi. Entah sengaja dimatikan atau memang kehabisan baterai. Gendis merengut seketika. Sulit sekali sih orang ini.

Baru ia akan melanjutkan langkah ke kamar, ponselnya bordering. Nama Bastian muncul.

“Gue di depan rumah lo.”

Hah! Gendis mendelik saking terkejutnya. “Buruan keluar!“ Meski manyun karena perintah Bastian tak urung Gendis berbalik. Ia melangkah menuju halaman depan rumahnya.

“Ikut gue sekarang!”

“Kemana?”

“Rumah sakit.” Tak butuh lama bagi Gendis untuk mencerna apa yang dikatakan Bastian.

“Tunggu bentar! Gue bilang dulu sama orang rumah.” Katanya mengabaikan decakan Bastian. Dan dengan setengah berlari ia kembali ke dalam rumah lalu muncul tak lama setelahnya.

“Lo tahu rumah sakitnya?” Tanya Gendis saat Bastian menyodorkan helm padanya.

Bastian mengangguk. “Di gossip juga ada kali, Ndis! Buruah ah!”

Gendis nyaris menepuk jidatnya. Iya juga. Ia tadi tak begitu memperhatikan berita sampai tak mengingat nama rumah sakit dimana ibu Elroy dirawat.

“Buruan, Ndis! Nggak pake lelet ngapa!” Bibir Gendis mencebik. Kalau saja tidak darurat, ia rasa ia akan mendamprat balik Bastian karena ejekannya tapi sekarang abaikan terlebih dahulu. Kini pikirannya dipenuhi Elroy, bagaimana keadaan pemuda itu? kenapa pula ibu El masuk rumah sakit?

Ah sabarlah, Ndis!

-tbc-

Lampung, Sept 2015

4 komentar: