Rabu, 30 September 2015

ELROY (22)


Bab XXII

Sebelumnya Disini


Sialan, Anya!


Sint*ing dia!

Elroy tak henti menyumpah serapah kakaknya dalam hati. Pantas saja kalau Gendis mendadak bersikap aneh, jelas gadis itu memikirkan apa yang dikatakan Anya hingga menjadi seperti ini.


“Aw!”


Elroy terhenyak. Sedetik kemudian ia tersadar jika ia baru melakukan kesalahan. Ia menoleh dan menemukan Gendis tengah mengusap dahinya berulang kali. Sepertinya ia terbentur dashboard.


Shit!

“Lo nggak papa, Ndis?”


Gendis melotot. Ia mendengus sebal. “Sakit tauk! Bisa nyetir nggak sih! Kalau ngerem itu bilang- bilang ngapa? Lagian ngapa sih pake mendadak berhenti?”


Sudut bibir Elroy berkedut menahan tawa. Gendis is back! The real of Gendis. Sungguh dia menyukai Gendis yang seperti ini. Apa adanya daripada Gendis yang mendadak irit bicara dan bersikap aneh. Sekilas Elroy teringat pertemuan pertamanya dengan Gendis, gadis galak dan bawel yang menyebalkan.


“El!”


“Eh!” Elroy terkesiap. Tangan Gendis melambai di depan wajahnya. Ck, tanpa sadar ia melamun lagi.


“Lo kenapa sih?” Tubuh Elroy menegang seketika. Tangan Gendis tengah meraba keningnya. Hangat. Mendadak bibirnya kelu.


“El! El!”


Hah!


“Ck, lo kenapa sih?” Gendis mengerut heran. Ia menurunkan tangannya lalu menarik nafas panjang, “Sorry, gara- gara kata- kata gue tadi ya!”


Elroy mendelik, “Eh?”


“Udahlah El nggak usah dipikirin. Gue kan cuma nyampein kata- kata Kak Anya aja.”


What? Apa?


Nggak usah dipikirin?


Semudah itu…


Arrrgghhh…

“Terus kenapa lo diam aja dari tadi?”


“Gue laper!”


Astaga!

***


“Darimana?”


Wanita itu terkejut. Matanya menemukan sosok laki- laki yang tengah duduk di sofa ruang tamunya dengan pandangan tajam mengarah ke dirinya. Dihelanya nafas dalam- dalam, percuma juga berbohong karena dia yakin sebenarnya laki- laki ini telah mengetahui kemana dirinya pergi.


“Aku tanya kamu darimana?”


“Aku yakin kamu sudah tahu kan!” Jawab wanita itu singkat. Ia memilih terus berjalan menuju kamarnya, mengabaikan keberadaan laki- laki itu.


“KARINA!” Lelaki itu berteriak gusar. “AKU MASIH BELUM SELESAI BERBICARA!” Lanjutnya lagi sembari mengikuti langkah wanita itu.


“Nggak perlu kamu teriak- teriak. Telingaku belum tuli.” Wanita itu. Karina Devi menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya. “Lagipula kamu tidak berpikir jika suaramu menganggu Selena!” Tegur Karina lagi.


“Kalau begitu jangan abaikan aku!”


Karina menggeleng. “Aku hanya lelah.” Ujarnya lirih, “Aku butuh istirahat, Mas!”


“Huh! Kamu menghindariku kan? Aku tahu Karina. Kamu menjauhiku kan?”


Karina melengos. Ia membuang muka. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya. Mengapa semakin lama semakin sulit.


“Ki…kita akhiri saja, Ma…mas!”


“APA?”


Karina mengangguk. Ia menghela nafas dalam- dalam, menguatkan diri untuk tak menyesali kata- katanya. “Kita berpisah saja. Sampai kapanpun kamu takkan bisa bercerai darinya kan? Jadi untuk apa hubungan kita dilanjutkan.”


“KARINA!”


“Semakin lama aku semakin sadar, Mas. Sampai kapanpun aku bagai pungguk merindukan bulan. Takkan bisa memilikimu seutuhnya. Aku hanya wanita kedua, wanita yang hadir di tengah- tengah kebahagiaan kalian. Aku hanya seorang perusak rumah tangga, Mas.”


“Sayang, janga…”


“Aku seorang ibu sekarang.” Karina memotong cepat. “Anakku juga perempuan. Aku…aku tak ingin ia mengalami nasib sepertiku. Wanita simpanan.” Sebulir air mata lolos membasahi pipi Karina. Wanita itu tak tahan untuk menumpahkan segala kegundahannya selama ini.


“Selamanya kamu milik Astrid, Mas. Bukan aku. Ma..af!” Ujar Karina lagi sesaat sebelum melangkah menuju kamarnya.


Laki- laki itu. Hector Adelard terpaku di tempatnya. Kepalanya tertunduk.


Aku seorang ibu. Anakku juga perempuan. Aku tak ingin ia mengalami nasib sepertiku.


-tbc-

Selanjutnya Disini



Lampung, September 2015

1 komentar: