Minggu, 06 September 2015

ELROY (16)


Bab XVI

Sebelumnya Disini


Elroy baru tiba di kosannya menjelang dini hari. Ia memang tak langsung pulang setelah pergi dari rumah Gendis. Elroy memilih menghabiskan malam di jalanan. Mengelilingi setiap sudut, tanpa perlu mengingat berapa kali ia melakukannya. Cukup baginya merasakan kedinginan malam, berharap ketika esok saat matahari terbit maka seluruh masalahnya pun ikut sirna.

Meski itu mustahil.

Sangat tak mungkin.

Masalahnya takkan usai meski hari berganti sekalipun.

Justru semakin kompleks.


Mata Elroy nyalang menatap langit- langit kamar. Pikirannya memang terus berkecamuk. Bohong kalau dia selalu berkata untuk tidak peduli. Terserah apa yang akan kedua orang tuanya lakukan, bahkan bila mereka berpisah sekalipun. Tidak, dalam hati kecilnya masih selalu berharap keajaiban itu hadir. Keluarganya kembali utuh. Dalam sikap diam tak pedulinya, masih selalu terselip doa untuk kebahagiaan keluarganya. Kembalinya perasaan cinta mami dan papi.

Kau punya seorang anak. Anak perempuan manis berusia 2 tahun.

Elroy meringis. Dulu sekali ia memang pernah berkeinginan memiliki adik. Adik laki- laki. Dirinya butuh teman bermain perang atau mobil- mobilan di rumah. Bermain dengan Anya sungguh tidak menyenangkan, karena kakaknya selalu mengajaknya bermain peran- peranan atau boneka. Hal yang sama sekali tak digemarinya. Tak hanya dirinya, Anya pun memedam keinginan yang sama yakni mempunyai adik. Bedanya Anya menginginkan adik perempuan. Yah apalagi alasan jika dia juga mencari teman bermain. Tetapi kenyataannya mempunyai adik tak semudah berkata. Mami selalu mengingatkan tentang adanya Tuhan yang mengatur semuanya. Jikalau Tuhan mengatakan iya, maka tak lama pasti perut mami akan membesar yang didalamnya ada adik bayi keinginan keduanya, tetapi jika Tuhan tak berkehendak maka dia dan Anya harus tetap bersyukur dan saling menyayangi sebagai dua bersaudara.

Dan bertahun kemudian, Elroy emang harus berpuas karena hanya mempunyai Anya sebagai saudara kandung satu- satunya.

Tetapi kini?

Anak perempuan manis!

Anya harusnya bersorak. Keinginannya memiliki adik perempuan tercapai, meski mungkin sekarang Anya tak lagi mengajaknya bermain boneka tetapi mungkin kakak perempuannya yang cantik itu bisa memborong isi toko boneka untuk adik perempuannya itu.

Elroy tersenyum kecut dengan pemikiran di kepalanya.

Anya?

Bagaimana keadaan kakaknya itu?

Sejak kecil Anya cenderung pendiam dan tertutup. Berbanding terbalik dengannya yang mudah meledak- ledak.

Sejenak mata Elroy terpejam. Hatinya berharap, dimanapun dan apapun yang kini dilakukan Anya bukanlah sesuatu yang membahayakan perempuan itu sendiri. Terbersit dalam pikirannya untuk kembali ke rumah untuk menemui kakaknya, tetapi sesegara mungkin ia menepisnya.

Tidak, ia tak pernah ingin kembali ke sana. Apapun alasannya. Toh Anya pun cukup dewasa dan tahu apa yang baik dan buruk baginya, ingatnya dalam hati.

Semua akan baik- baik saja.

***



“Mana El?”

Bastian mendongak lalu bahunya terangkat, “Gue nggak tahu.” Jawabnya singkat lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada layar ponselnya kembali.

“Nggak tahu atau emang nggak mau ngasih tahu.”

Bastian mendengus. Matanya kembali berhadapan dengan sang lawan bicara. Ia menatap tajam, “Gue. Nggak. Tahu!”

Gendis mendesah. Sudah jelas jawaban Bastian yang penuh penekanan memang menyatakan kebenaran. Laki- laki itu sama sekali tak tahu apa- apa. Ia pun akhirnya memilih menghempaskan dirinya di kursi yang berada di depan Bastian.

“Yang lain tahu nggak?”

Bastian menggeleng. “Hari ini dia nggak masuk.” Katanya pendek namun membuat Gendis semakin nelangsa.

Mau minta maaf aja susah.

“Ada apaan sih?” Bastian penasaran. Raut wajah Gendis menyiratkan ada hal yang tidak enak diantara keduanya. “El nolak pernyataan cinta lo!”

“SEMBARANGAN!” Gendis melotot. Refleks tangan gadis itu memukul lengan Bastian tetapi sepertinya tak berpengaruh karena tubuh Bastian yang cukup besar. Bastian terkekeh sembari menggeleng kepalanya.

“Dia kan biasa ngilang. Lo kayak nggak tahu aja!”

Gendis hanya manggut- manggut mendengar kata- kata Bastian. Pikirannya menerawang, mengingat tampang Elroy semalam saat datang ke rumahnya. Jelas pemuda itu sedang tertekan. Ia terlihat sangat berantakan. Benar- benar frustasi.

Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?

“Woy, Ndis!” Gendis terhenyak. Bastian mencibir.

“Gue nanya lo cuekin!”

“Eh, iya…ya!” Gendis tergagap, “Tanya apaan?”

Sesaat kepala Bastian menggeleng lalu menghela nafas berat, “Something happen?”

Gendis menggeleng cepat membuat Bastian berdecak sebal, “Ck, gue nggak nanya lo. Tapi El? Gue tahu pasti ada sesuatu dengannya”

Gendis nyengir. Ia tertegun sebentar saat menyadari seorang Bastian sangat memperhatikan Elroy, padahal seingatnya Elroy bersikap dingin dengan orang- orang di sekitarnya.

“El itu nggak sejahat yang lo kira. Sebenarnya dia baik. Hanya gue rasa kehidupan membuatnya menjadi seperti itu.” Kata Bastian seolah menjawab kebingungan Gendis.

“Asal lo tahu dia orang yang paling jujur yang gue kenal,” Lanjut Bastian kembali.

Gendis lagi- lagi terpekur. Tak disangka. Dihelanya nafas panjang sebelum ia berbicara, menceritakan kegundahannya sejak semalam. “Gue nggak tahu dia kenapa. El nggak cerita. Semalam dia datang ke rumah. Berantakan banget. Sayang, dia nggak cerita apa- apa.”

“Buat seorang El yang sering dikecewakan nggak mudah membagi masalahnya dengan orang lain.”

Gendis mengernyit, “Kecewa? Skandal keluarga itu?”

Bastian mengendikkan bahunya, “Bisa jadi. Cuma gue rasa nggak sesimpel gossip yang menyebar.“

“Terus gimana?”

“Gue juga nggak tahu. Dia sulit disentuh. Tapi yang pasti gue selalu memperlakukan dia seperti biasa. Dia nggak suka dikasihani.”

Gendis tersenyum tipis. “Kelihatan sih. Dia sedikit angkuh!”

Bastian tergelak. “Baru tahu!”

“Nggak juga sih! Udah dari lama,” Tawa Bastian makin lebar.

“Nggak nyangka aja…,” Tiba- tiba Bastian menghentikan kalimatnya membuat Gendis mengerut heran.

“Nggak nyangka apa?”

“Nggak nyangka kalau lo jatuh hati dengannya.”



-tbc-

Selanjutnya Disini




Lampung, Sept 2015


0 komentar:

Posting Komentar