Rabu, 20 Januari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (2)


Dua


Sebelumnya Satu


“Cari kerja teh sekarang susah, Mir!”

Mirah tersenyum getir. Ia menelepon Tina, rekan kerjanya dulu. Satu- satunya teman yang dia miliki saat kerja di kota. Dulu keduanya tinggal di kost yang sama hingga akhirnya Mirah menikah terlebih dahulu.

“Lagian saya udah nggak di Jakarta, Mir. Jadi nggak bisa bantu.”

“Iya.” Mira menyahut pendek. Tadi diawal percakapan, ia memang sudah menanyakan dimana temannya sekarang tinggal. Sejak ia kembali ke kampung, intensitas hubungannya dengan Tinah memang berkurang. Saling bertukar sapa via telepon pun semakin jarang. Terakhir yang Mirah ingat, keduanya berkomunikasi sekitar tiga atau empat bulan yang lalu saat Tinah bercerita tengah berhubungan serius dengan seorang laki- laki.

“Jadi kapan nikahnya?” Tanya Mirah lagi. Tinah memang sudah tidak di Jakarta karena akan menikah. Gadis itu kembali ke kampungnya di Cianjur.

“Akhir bulan. Doain ya!”

“Selalu.” Mirah tersenyum tipis. “Tapi maaf aku nggak bisa datang.”

“Nggak papa, Mir. Jauh pisan. Yang penting doanya ya!” Mira manggut- manggut.” Eh tapi beneran kamu teh mau kembali ke Jakarta? Kasihan atuh anak kamu ditinggal.”

Mirah menghela nafas berat. “Sebenarnya nggak tega ninggalin Rania. Tapi mau gimana lagi, Tin! Kebutuhan semakin banyak.”

“Ck, gara- gara Faisal tea kamu hidup sengsara sekarang!” Umpat Tina dari seberang. “Tau kitu teh saya dulu nggak akan ngerestuin dia deketin kamu.”

“Ya udahlah, Tin. Masa lalu itu. Nggak usah dibahas. Yang pasti kami sudah bercerai.”

“Iya bagus itu! Eh tapi saya punya teteh di sana. Kalau kamu mau nanti saya coba hubungi dia. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.”

“Teteh?”

“Iya. Teh Nena namanya. Saudara tapi jauh sih. Belum lama kamu kembali ke kampung, dia pindah ke Jakarta. Katanya sih sebelumnya dia tinggal di Bandung. Saya juga  ketemu dia waktu udah di Jakarta.”

“Oh,” Mulut Mirah membulat. Sesungguhnya dia benar- benar tak kenal dengan nama Nena. “Tapi apa nggak ngerepotin?”

Suara kekehan terdengar, “Ish kamu kayak apa aja. Udah tenang aja. Besok nikahan juga dia datang. Nanti biar saya ngomong ya!”

“Nggak papa nih?”

“Nggak papa. Udah santai aja, Mir. Nanti coba saya tanya- tanya sama dia ya.”

Mira mengangguk namun sedetik kemudian ia tersadar jika Tina tak melihat anggukannya. “Makasih ya, Tin.”

“Iya sama- sama. Ya udah kalau gitu ya. Saya masih harus nganterin emak nih. Besok- besok kita sambung ya.”

“Oh iya- iya. Sekali lagi makasih ya, Tin.” Ujar Mirah menutup percakapan. Ia pun segera memutus sambungan sesaat setelah mengucap salam.

Dihelanya nafas dalam- dalam. Sudah berhari- hari ini ia mencoba memikirkan tentang hidupnya juga anaknya. Perkataan ibunya terus bergema di telinganya. Tak ada salahnya mungkin jika ia kembali ke ibukota. Toh semua juga demi Rania? Gadis kecilnya butuh biaya yang cukup besar untuk sekolah. Dan sekolah tak hanya setahun dua tahun. Jenjangnya cukup lama.

“Ibuuuuuuuu!”

Mirah terkesiap seketika. Rania muncul setelah berteriak cukup kencang. Dengan terengah- engah gadis kecil itu menghampiri ibunya. Ia tampak manis dalam balutan busana muslim yang melekat pas di tubuhnya.

“Pulang ngaji kok teriak- teriak sih, Nak. Harusnya masuk rumah bilang apa?”

Assalamualaikum.” Jawab Rania nyengir.

Mirah tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala anaknya, “Walaikumsalam.”

“Hehehe, Lupa, Bu!” ujar Rania masih dengan cengiran khasnya yang membuat Mirah hanya bisa menggelengkan kepala berulang kali.

“Namanya salam nggak boleh lupa. Itukan doa juga.”

“Iya, siap!” Rania tersenyum dan mengangguk cepat. Mirah tersenyum tipis. Entah apa yang akan terjadi jika ia berjauhan dengan Rania. Selama ini ia bisa bangkit dari ketepurukan dan masalah yang membelitnya karena keberadaan Rania di sampingnya. Kini jika ia harus berpisah….

Dia benar- benar tak bisa membayangkan…

“Ran!” Rania mendongak. “Ganti baju terus makan yuk! Ibu tadi beli sate di Mang Karim.”

“Sate!” Binar bahagia terlihat jelas di kedua bola mata Rania. Mirah tertawa melihatnya. Dia tahu betul jika Rania sangat menyukai sate ayam.

“Yee! Makan sate!” Teriak gadis itu girang. “Rania ganti baju dulu ya, Bu!” Ucapnya lagi seraya ngeloyor masuk ke dalam kamar. Sepeninggal Rania, Mirah pun menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

Bisakah aku?

***

Darmini mendengus gusar sembari menutup buku yang ada di atas meja dengan kasar. Perempuan baya itu tak habis pikir kenapa catatan hutangnya tak pernah juga berkurang. Yang ada justru semakin bertambah hingga memusingkan kepalanya di setiap saat.

Darmini menghela nafas berat. Entah sampai kapan kemiskinan mendera keluarganya. Hutang tak kunjung lunas, kebutuhan semakin banyak ditambah harga- harga bahan pokok yang makin mahal. Keluarganya benar- benar miskin. Penghasilan Mirah, anaknya pun masih jauh dari kurang. Padahal dia sudah berkerja lebih keras, tetapi tetap saja kian hari keadaan semakin sulit.

Angan Darmini melayang jauh ke belakang. Ia kembali mengenang kehidupannya di masa lalu. Keluarganya tidak kaya raya tapi juga tidak semiskin sekarang. Yang pasti semua kebutuhan tercukupi. Tak ada kekurangan. Tetapi semenjak Amrin, suaminya sakit kehidupan keluarga merosot hingga titik terendah. Banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan telah menghabiskan seluruh harta yang mereka miliki. Bahkan akhirnya ia terjebak hutang dengan rentenir kampung. Alih- alih bisa terbayar dengan mencicil, yang ada justru bunga yang semakin tinggi hingga terasa mencekik.

Namun, satu hal yang diam- diam disyukurinya adalah keberadaan Mirah. Anak sulungnya itulah yang mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Mirah bekerja keras untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga serta mencicil hutang yang ditinggalkan suaminya. Entah apa jadinya bila tak ada Mirah, karena dia sendiri juga tak mampu berbuat banyak. Kondisi fisiknya jelas tak sekuat dulu, apalagi penyakit asma yang diidapnya juga melarangnya bekerja terlalu keras.

Tetapi walaupun Mirah telah berusaha keras tetap saja penghasilan yang didapatnya masih kurang untuk menutupi pengeluaran selama ini. Bahkan terkadang hutang tak dapat terbayar, yang berarti akan menambah kembali bunga di bulan selanjutnya. Entah kapan lunasnya kalau seperti ini, gumamnya dalam hati. Apalagi tahun ini Rania, cucunya serta Kumala, anak bungsunya sama- sama membutuhkan biaya untuk masuk sekolah. Dan tentu saja biaya yang tidak sedikit.

Argh, Darmini mengerang frustasi. Sejenak dipijitnya pelipis dengan kedua tangan. Hanya memikirkan saja kepalanya bertambah pusing. Entah apa jadinya nasib keluarganya nanti? Darmini tak bisa bayangkan.

Dia benar- benar ketakutan. Ya Tuhan, bagaimana ini?
***

=tbc=

Selanjutnya  di sini

Lampung, Januari 2015

3 komentar: