Kembang Desa Pulau Panggung (9)
Sembilan
Sebelumnya di sini
“Sudah selesai?”
Mirah berjengit kaget. Ia nyaris terjungkang di depan pintu kamar mandi saat mendapati sosok Dae Ho berada di dalam kamar. Seingat dirinya ketika akan mandi, kamar masih kosong. Dae Ho terlihat sibuk menerima telepon. Entah siapa? Karena bahasanya tak dimengerti Mirah.
“Miste...” Mirah menggeleng cepat, “Oppa!”
“Saya membuat kamu terkejut?” tanya Dae Ho dengan kerutan di dahi, “Maafkan saya.”
Mirah menggeleng lagi, “Nggak papa, Oppa. Saya yang salah, tidak menyadari keberadaan Oppa di sini.”
Dae Ho manggut- manggut, “Sudahlah. Saya kemari ingin bertanya kamu mau makan apa? Sejak kita sampai belum sekali makan,”
Mirah ingin tertawa geli mendengar kata- kata yang diucapkan Dae Ho. Terlalu formal, kaku sekaligus menggelikan. Namun sebisa mungkin ia menahan tawanya, tak ingin salah diartikan Dae Ho.
Dirinya belum sama sekali mengenal pribadi Dae Ho. Maksudnya lucu, bisa jadi menurut Dae Ho tersinggung.
“Mira…,”
“Mirah,” Ujarnya membenarkan lafal pengucapan Dae Ho. “Ada huruf h di belakangnya, Oppa.”
“Merah?”
Mirah mendengus geli. Mengapa jadi namanya tersebut sebuah warna. “Mirah, Oppa!”
“Mira, “ Dae Ho menggeleng frustasi. “Sudah- sudah! Lebih baik kita makan. Saya sudah lapar.”
Mirah pun mengangguk. Dia juga tak bisa memaksakan Dae Ho untuk menyebut namanya dengan benar. Maklum warga asing. Dia bisa berbicara bahasa Indonesia saja sudah lebih baik.
“Kamu mau makan apa?”
“Apa saja. Terserah, Oppa.” jawab Mirah kemudian. Dia memang bingung setiap kali ditanya soal makanan. Baginya makanan apapun tak ada masalah.
“Kamu pernah makanan Korea?”
Meski pertanyaan terdengar ada yang kurang, Mirah paham. Kontan kepalanya menggeleng, “Belum.”
“Kalau begitu makanan yang lain saja. Masakan Padang?”
Mirah mengangguk. “Tunggu, saya pesan dulu!” ucap Dae Ho sembari mengangkat kembali ponselnya lalu meletakkan di sisi telinga kanannya.
Mirah memilih keluar kamar dan menuju dapur untuk mencari minum. Sesaat langkahnya terhenti saat berada di depan kulkas, ia pun bergerak untuk membukanya. Keningnya mengerut saat mendapati kulkas benar- benar kosong. Hanya terdapat beberapa botol berisi air putih. Mirah tak pernah menyukai air dingin, giginya selalu terasa ngilu jika bersentuhan dengan es.
“Besok kamu berbelanja saja. Saya jarang di rumah. Jadi tak ada isinya.”
Mirah terkejut dengan suara Dae Ho yang tak jauh darinya. Kepalanya pun dengan cepat mengangguk. Mengiyakan kata- kata ‘suaminya’.
“Kamu biasa minum?”
Alis Mirah bertaut. Matanya memperhatikan langkah Dae Ho Oppa yang bergerak membuka lemari yang berada di atas. Sebuah botol berwarna sedikit gelap dikeluarkan Dae Ho Oppa dari tempat itu. Mirah mengernyit.
“Champagne?” tawarnya dengan mengangkat botol ke hadapan Mirah.
“Al—alkohol?” tanya Mirah ragu. Dae Ho mengangguk. Mirah pun segera menggeleng.
“Saya tidak minum alcohol, Oppa.”
Dae Ho terdiam beberapa saat. Tak lama ia menghembuskan napasnya perlahan lalu mengembalikan botol ke dalam lemari. “Baiklah. Kamu tidak aku juga tidak.”
Mirah terbelalak. Kepalanya menggeleng kuat- kuat. “Nggak- nggak. Saya nggak masalah kalau Oppa mau meminumnya,”
Dae Ho menggeleng, “Tidak apa- apa.” senyumnya lebar. “Kamu kesini mau apa?”
“Oh. Saya mau cari minum.” jawab Mirah, “Air putih,” tambahnya. Ia tak ingin Dae Ho mengeluarkan lagi botol itu. Tidak, ia dilarang meminum alcohol. Haram.
Dae Ho mengangguk. “Bisakah kamu buatkan saya teh?”
“Baik.”
“Terima kasih, Mira.”
Mirah menggeleng geli. Sepertinya memang sulit bagi Dae Ho menyebutkan namanya. Sudahlah, biarkan saja. Dia tak bisa memaksa kehendak. Lagipula sekarang tugasnya melayani suami.
“Cerita tentangmu, Mirah?”
Dahi Mirah berkerut. Kini mereka berada di depan TV, duduk berdampingan sembari menunggu pesanan makanan yang belum juga sampai.
“Keluarga saya?”
Anggukan di kepala Dae Ho membuat Mirah terdiam sejenak. Kemarin ia hanya mengisi biodata yang disodorkan Teh Nena. Semua pertanyaan dijawab lengkap dan jujur. Tak ada yang disembunyikan. Teh Nena bilang form itu akan dibaca dulu oleh laki- laki yang sedang mencari ‘istri’. Jadi seharusnya Dae Ho sudah mengetahui jati dirinya.
“Mira,”
Mirah tersentak. Ia menoleh dan menemukan dae Ho menatapnya intens. Ia pun menghirup napas dalam- dalam sebelum akhirnya menceritakan tentang keluarganya.
“Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Kami bertiga perempuan semua. Ayah saya sudah meninggal…,” sesaat kalimatnya terhenti karena mengingat bayangan ayahnya.
Ya Tuhan, entah apa yang terjadi jika Bapak tahu yang dilakukannya saat ini?
“Kamu rindu dia?”
Kepala Mirah mengangguk menjawab pertanyaan Dae Ho. Tentu saja! Siapa tidak rindu orangtua. Apalagi jika seumur hidup takkan pernah bisa bertemu lagi…
“Bagaimana ibumu?”
Mirah kembali menghirup napas panjang, “Dia tinggal bersama adik dan a—anak saya di kampung, Oppa.”
Dae Ho manggut- manggut. “Saya membaca tentangmu sekilas. Keluargamu juga anakmu. Berapa usianya sekarang?”
“Enam tah…,”
Bunyi bel menghentikan ucapan Mirah. Dae Ho tersenyum lalu beranjak dari sofa. “Tunggu saja. Saya ambil.”
Mirah menurut. Ia tetap duduk di sofa. Hingga tak berapa lama Dae Ho kembali dengan beberapa bungkusan di tangannya. Dirinya pun segera bangkit untuk mengambil alih bungkusan tersebut.
“Saya siapkan di piring,”
Dae Ho mengangguk dan menyerahkan bungkusan lalu mengikuti langkah Mirah. Ia berhenti saat sudah berada di meja makan. Menarik kursi dan menunggu Mirah menyiapkan makan.
Sesaat Mirah terkesiap dengan cara makan Dae Ho. Lelaki tampan dan jangkung itu sama sekali terlihat berbeda. Selama ini Mirah sering melihat laki- laki tampan selalu menjaga penampilan serta cara makannya agar terlihat lebih elegan. Tapi tidak dengan Dae Ho, ia terlihat lahap. Beberapa kali terdengar suara cecapan yang menunjukkan dia sangat menikmati menu yang tersaji.
Padahal kan pedas.
“Oppa suka masakan Padang? Nggak pedas?”
Dae Ho mendongak. Ia tersenyum kecil, membuat matanya terlihat segaris, “Saya suka. Ini enak.”
Mirah manggut- manggut. Satu hal yang dia pelajari hari ini. Dae Ho Oppa tak bermasalah dengan makanan pedas sekalipun.
“Ayo, makan banyak, Mira! Tubuhmu itu kurus. Saya beri tahu kamu tak cocok jadi model.”
Mirah tergelak. Sepertinya suaminya tak sekaku yang dia bayangkan.
***
Mirah meremas- remas jemarinya kuat- kuat. Jantungnya berdegup tak beraturan. Beberapa kali matanya mengarah ke pintu. Memastikan Dae Ho belum masuk ke dalam kamar. Atau sebaiknya dia tak perlu masuk.
Tapi kan ini kamarnya, lagipula dirinya kini berstatus istri Dae Ho. Jadi apapun yang diminta Dae Ho harus dipatuhinya termasuk meminta dirinya melayani di atas ranjang.
Mirah sudah pernah menikah. Dan tentu saja dia hapal dengan kebutuhan seorang laki- laki. Tetapi sudah bertahun- tahun, sejak bercerai dirinya sama sekali tak pernah tersentuh laki- laki. Jelas kegugupan kembali melanda dirinya.
Sungguh aku belum siap, bisiknya dalam hati.
Mirah berdiri. Dia bolak- balik memikirkan cara yang tepat untuk menghindari Dae Ho. Tapi semakin banyak otaknya memikirkan cara- cara yang bisa dilakukan, semakin gelisahlah dirinya.
Kewajiban, Mirah! Kewajiban…
Iya, tapi kan…
Mirah terlonjak kaget saat mendengar ponselnya berdering. Melihat nama Nena tertera di layar ia pun mengangkat cepat.
“Teteh,” Tanpa sadar Mirah berseru.
“Mirah, kamu baik- baik saja kan?” tanya Nena di seberang. Jelas ia sedikit kaget karena suara Mirah yang cukup kencang.
“Maaf- maaf, Teh. Sa—say…
“Kamu takut?” Mirah mengangguk tetapi kemudian ia tersadar jika Nena tak bisa melihat anggukan kepalanya.
“Su—sudah lama, The.”
Terdengar sebuah helaan napas panjang di seberang. Mirah tahu Nena memahami apa yang tengah dirasakannya.
“Jangan khawatir, Mir. Semua akan baik- baik saja. Kamu lakukan saja yang menjadi tugasmu sebagai istri.”
“Lagipula sepertinya kamu beruntung, Teteh merasa dia laki- laki yang baik.”
Mirah diam. Ia mendengarkan ucapan Nena saksama. Sesaat dihelanya nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Iya, ini sudah kewajibannya. Jadi mau tak mau, cepat atau lambat dia pun harus melakukannya.
“Ya sudah, Teteh tutup ya. Tenanglah, Mir. Semua akan baik- baik saja.”
“Iya, Teh. Makasih.”
Tepat di saat Mirah memutuskan panggilan, pintu kamar terbuka. Dae Ho muncul dengan wajah sedikit gusar.
“Mira, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang. Ada masalah di pabrik.”
Mirah tak pernah tahu jika sekarang ia bisa bernapas lega. Ketakutan dan kegugupannya sirna sudah. “Kamu tidak apa- apa sendiri?”
Mirah pun mengulum senyum dan mengangguk. “Nggak papa,”
Dae Ho mengangguk. “Saya tak tahu pulang jam berapa. Kamu tidak usah menunggu. Tidur saja.”
Mirah kembali mengangguk. Ia mengikuti langkah Dae Ho keluar kamar menuju pintu depan.
“Saya pergi,” Dae Ho berpamitan dan Mirah pun tak dapat menahan senyum lebarnya sesaat setelah Dae Ho berlalu.
Yes, malam ini aman!
selanjutnya di sini
***
0 komentar:
Posting Komentar