Rabu, 09 Desember 2015

GENDIS (11)


Sebelas

Sebelumnya Gendis (10)


Kening Gendis mengerut saat mendapati pagi- pagi Elroy telah berada di depan rumahnya dan asyik bercengkerama dengan ayahnya. Kerutan di keningnya bertambah saat menyadari baju yang dikenakan Elroy adalah baju yang sama yang dipakai semalam.

Dia nggak pulang? “Eh Ndis!” Gendis tersenyum. Ayahnya lebih dulu melihat dirinya. “Udah mau berangkat? Ini Nak El udah dari tadi nungguin.”

Gendis mengangguk samar. Sedikit bingung dengan keakraban ayahnya dan Elroy. “Iya, Yah. Gendis pamit ya!” Ujarnya kemudian. Sesaat setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan sang ayah, ia pun melangkah. Mengabaikan keberadaan Elroy di samping ayahnya.

Baru beberapa langkah, bibir Gendis mencibir. Elroy berpamitan pada ayahnya dengan sangat sopan. Ck, mau apa lagi sih dia kemari?

Nggak tahu apa aku masih jengkel?
Argh, Gendis mengerang frustasi. Aish, bikin mood rusak pagi-pagi aja! “Masuk mobil, Ndis!”

Gendis berdecak gusar. Elroy berbisik di telinganya. Keduanya telah berada di luar pagar rumah. Tepat di sisi kanan, mobil Elroy terparkir. Meski enggan, Gendis mau tak mau menuruti kata- kata Elroy. Ayahnya masih berada di teras rumah, tak elok jika beliau melihat dirinya dan Elroy beradu mulut hanya soal pergi ke kantor.

Lagi pula lumayan untuk mengirit pengeluaran dia hari ini kan?

Perjalanan terasa senyap karena keduanya sama- sama diam. Gendis memang masih malas berbicara dengan Elroy. Entah apa yang membuat Elroy diam, Gendis tak peduli. Ia memilih memandang jalanan di depannya daripada mengajak Elroy berbicara. Jelas, berbicara dengan lelaki itu akan berakibat fatal dengan moodnya yang memang sudah memburuk.

Namun mendadak Gendis mengernyit heran. Dua alisnya bertaut bingung. “Mau kemana kita?” Tanyanya saat menyadari laju mobil tetap lurus di jalanan bukan belok kanan ke arah kantornya. Gendis pun menoleh cepat, “Ini bukan arah kantor gue.”

“EL!” Alih- alih Elroy menjawab yang ada lelaki itu hanya tertawa kecil membuat Gendis memekik kesal.

“PUTAR BALIK, EL!” Hardiknya keras. “BISA TELAT NIH AH!”

“ELROY!” Wajah Gendis memerah. Amarahnya menggelegak. Elroy bergeming. Lelaki tak sedikitpun berniat memutar kendaraannya, justru ia terlihat santai dan nyaman di jalanan lurus.

Menyadari tak ada perubahan dari Elroy, Gendis akhirnya memilih diam. Ia mengatupkan mulutnya rapat- rapat. Dihelanya nafas panjang beberapa saat. Mengikuti emosinya mungkin dia akan marah dan berteriak- teriak tetapi tidak, dia bukan orang yang seperti itu. Apalagi berhadapan dengan Elroy, yang ada ia akan kehabisan energy.

Maka diam adalah pilihan terbaik.

Terserah kemana mobil ini melaju?

Ia pun tak bodoh untuk melompat, keluar paksa dari mobil. Tindakan konyol yang akibatnya bisa sangat serius pada organ tubuhnya. Oh tidak, jadi biarkan saja kemana tujuannya? Nanti bisa ia pikirkan jika sudah sampai tujuan.

Gendis melirik ponselnya. Memastikan baterainya terisi penuh. Jika terjadi sesuatu hal, ia bisa menghubungi keluarga atau sahabatnya untuk menjemput.

“Buang jauh- jauh pikiran negatif kamu, Ndis. Aku pastikan kamu pulang dengan utuh.”

Gendis ternganga sesaat. Bagaimana dia bisa tahu?

“Kita cuma perlu berbicara…,” sambung Elroy, “Bicara banyak.”

Walaupun sedikit kaget, Gendis manggut- manggut. Elroy benar, mereka memang perlu bicara, pembicaraan yang banyak untuk mengurai benang kusut yang tercipta diantara keduanya. Sepertinya semalam dia banyak berpikir, gumam Gendis dalam hati. Tapi sudahlah yang penting setelah ini permasalahan mereka selesai.

Apapun itu hasilnya…. ***

Sirosis hepatitis. Gagal hati stadium akhir.” Gendis ternganga. Dia tahu jelas apa maksud kata- kata Elroy. Tepatnya siapa yang dimaksud lelaki itu.

Tante Astrid.“Kebiasaannya melarikan diri pada minuman ternyata mulai terasa. Sel hatinya rusak karena alkohol. Ah, nyaris tiap malam aku menemukan mami dalam keadaan mabuk. Entah berapa banyak yang dia minum sebenarnya.”

Gendis diam. Pikirannya mengelana beberapa tahun lalu, saat dia pertama kali bertemu ibu Elroy di rumah sakit. Wanita itu tampak lemah tapi berusaha untuk tegar. 

“Bukan itu saja. Tenyata organ lain sama rusaknya. Pencernaan mami bermasalah, juga gagal ginjal. Dokter berusaha keras mami pun sebenarnya berjuang untuk kesembuhan dirinya namun ternyata takdir berkata lain.”

Elroy terdiam sesaat. Dihelanya nafas panjang. Gendis menyadari tak mudah bagi lelaki itu membuka kembali memori tentang ibunya. Ia tahu bagaimana dekatnya El dan sang ibu. 

“Butuh berbulan- bulan bagiku menerima kenyataan itu. Selama di sana aku nyaris menghabiskan waktu bersama mami, jadi ketika beliau pergi ada yang hilang di sini.” Ucap Elroy sembari meletakkan tangan kanannya di atas dada.

Gendis menelan ludah pahit, ia ikut sakit mendengarnya.

“Melihat kondisi mami, Anya akhirnya memutuskan pindah. Kami berdua bahu membahu untuk terus mendukung dan menyemangati mami. Hingga akhirnya mami pergi, Anya tetap bertahan di sana.” Mendadak Elroy tersenyum, “Dia sekarang lebih bahagia karena menemukan lelaki yang tulus mencintainya. Bahkan seorang gadis mungil telah hadir dihidupnya.”

Gendis pun tak urung ikut tersenyum. Sebuah kebahagiaan menelusup ke dalam hatinya mendapati fakta Anya telah menikah dan kini hidup berbahagia. Benaknya membayangkan seorang anak perempuan cantik yang memiliki paras seperti Anya.

Sesaat hening.

Gendis melirik Elroy. Pandangan lelaki itu menerawang jauh ke depan. Gendis sebenarnya sudah tak sabar menunggu kelanjutan kata-kata Elroy namun ia pun harus menahan diri. El kembali sibuk dengan pikirannya.

“Saat itu yang terpikir di benakku adalah kembali. Bertemu denganmu.” Elroy kembali berbicara lalu menoleh sejenak sebelum akhirnya kembali memandang ke depan. “Tapi kembali dalam keadaan terpuruk justru hal yang paling memalukan.”

Sesaat Gendis tertegun. El!

“Jadi pilihan terbaik adalah memantaskan diri untuk muncul di saat yang tepat. Aku nggak mau kamu lihat aku dalam posisi yang hancur.”

“Dan sekarang saat yang tepat?” Cibir Gendis. Ia sedikit tercengang dengan fakta yang barusan diketahuinya. Elroy menghilang karena merasa tak pantas saat itu. Seputus asa itu?

Elroy menggeleng. “Setelah lulus S2 aku akan kembali, tetapi kondisi papi menahanku.”

“Om?”

“Perceraian itu membuat papi jatuh. Beliau sama terpuruknya dengan mami. Apalagi papi juga berpisah dengan tante Rinrin. Anya pun tak lama ikut pindah jadi papi sendiri di Indonesia. Anya sempat pulang sebulan sebelum kelulusanku, dia berniat menjemput papi. Tanpa kami ketahui papi selama ini sakit, akhirnya Anya memutuskan membawa papi ke Jerman. Praktis aku dan Anya kembali merawat orang sakit.” Ujar Elroy tersenyum getir.

Nafas Gendis tercekat. Berubi- tubi mendapati fakta tentang Elroy selama ini membuatnya nyaris tak bisa bernafas.

“La—lalu kenapa tak ada kabar?”

“Aku ingin. Tapi aku tak bisa. Sekali melihatmu keinginan pulang semakin kuat.”

Gendis melongo. Alasan aneh! “Lalu yang lain?”

“Bastian akan segera terbang ke Jerman jika mengetahui kondisiku. Aku tak mau itu terjadi. Mereka harus baik- baik, tak perlu mencemaskanku lagipula sedikit mereka tahu tentangku aku jamin 100% kamu pun pasti akan tahu.”

“Tapi akhirnya Bastian menemukanmu?”

“Yah akhirnya.” Ucap Elroy seraya tersenyum lebar.

Hening kembali menyapa diantara keduanya. Gendis benar- benar tak habis pikir dengan isi otak Elroy. Bagaimana bisa dia menghilang lalu kembali seperti sekarang ini?

“Bagaimana kalau gue sudah nikah?”

“Nggak mungkin.” Elroy menyeringai membuat Gendis mengeryit bingung. Mendadak Gendis tersadar sesuatu.

“A--ayah…,”

Gendis terbelalak. Elroy tak menjawab, ia hanya tersenyum namun sudah cukup jelas baginya. Ck, sialan!

“Ba--bagaimana bi--sa?

“Bisa dong. Elroy!” Tukas Elroy dengan nada bangga. Gendis merengut jadi selama ini ia….

Argh, ia mengerang frustasi. Mengingat bagaimana sikap- sikapnya selama ini karena Elroy membuatnya kesal sendiri. Ck, menyebalkan!

“Belum lama kok Ndis aku berhasil menghubungi ayahmu. ”

Wajah Gendis makin bertekuk. Bodo! “Jadi?”

“APA!” Sahut Gendis galak.

“Sudah jelas semua kan?”

Gendis makin keki. Pantas aja sikap Elroy semau- mau setelah kembali. Ternyata selama ini lelaki itu tak benar- benar menghilang. Ah, ayahhh…..

“Ndis, aku sudah menjelaskan semuanya.”

Iya tau! “Jadi kenapa kamu masih marah?”

Ck, peka juga! “Gendis!”

Gendis menghela nafas berat lalu menoleh menatap Elroy. “Lo kira segampang itu?” Ucapnya ketus. “Nggak. Nggak segampang itu. Bertahun- tahun juga gue butuh waktu untuk bangkit. Gue juga jatuh, El saat lo menghilang. Lo egois tahu nggak, cuma memikirkan diri sendiri. “

“Ndis…,”

Tangan kanan Gendis terangkat. “Gue bersimpati untuk hidup lo. Gue sedih dengan keadaan tante Astrid dan om Hector. Gue bahagia dengan tentang Anya tapi nggak sama lo. Gue kecewa.”

“Mending kita jalani hidup seperti dulu. Masing- masing. Lo dengan hidup lo, gue dengan hidup gue.”

“Nggak! Nggak bisa gitu.”

“Apanya yang nggak bisa? Selama ini seperti itu kan.” Balas Gendis tak mau kalah.

“Nggak!”

“BISA!”

“Nggak, Ndis!”

“Ini keputusan gue jadi lo…,”

“Aku cinta kamu, Gendis Amelia.”

Keterkejutan jelas tergambar di wajah Gendis. Entah mengapa kalimat itu ampuh membungkam bibirnya. Padahal sedari tadi ia masih bisa membalas ucapan Elroy tapi tidak ketiga tiga kata ajaib terucap.

“Aku minta maaf, oke! Tapi asal kamu tahu aku nggak permah main-main dengan perasaanku.”

-END-

Selanjutnya Epilog


3 komentar: