Kamis, 31 Desember 2015

[Cerpen] Kedua




Jatuh cinta? Aaahhhhh, siapa yang tidak tahu rasanya. Hormon dopamine saja bekerja dengan cepat membuat hati selalu berbunga- bunga ketika bertemu dengannya, ada gelenyar rindu ingin selalu bersamanya di setiap detik dan pastikan ada rasa ingin membuatnya terus bahagia.



Cinta akan terasa semakin indah jika ternyata orang yang kita cintaipun mencintai kita. Dunia serasa milik berdua. Yang lain ngontrak.



Kali ini yang kurasakan. Aku mencintai lelakiku. Hei, aku masih normal tak mungkin aku menyukai sejenis. Membayangkan mencium sesama jenis, ewww... Melihatnya dari tontonan saja sudah mual. Baiklah abaikan. Aku hanya ingin bertemu lelakiku sekarang. Melihat wajah teduhnya dengan senyum manis terukir dari bibirnya, mencium aroma aftershavenya dan pelukan hangat yang membuatku nyaman. Argh... sial aku merindukannya. Aku merindukan lelakiku.



Bergegas kuraih smartphoneku. Tak berapa lama kuketik,



Aku kangen



Satu...

Dua...

Tiga...



Tak lama kudengar nada dering dari smartphoneku. Aku mengulum senyum dan tak butuh waktu lama aku mengangkatnya.

"Miss me, darl?" sapanya lembut dari seberang telepon.

Aku mengangguk. Namun kemudian aku merutuki tingkahku sendiri, mana mungkin ia melihat anggukan kepalaku.

"Sayang,"

"Kangen," rajukku manja. Hei... Tak salah bukan manja pada kekasihmu sendiri.

Kudengar tawa kecil di seberang, membuatku manyun. Ah, dia menertawakanku.

"Apa yang membuatmu tertawa?" tanyaku ketus. Argh... Tak tahukah ia rasa rindu yang kupendam.

Kali ini bukan lagi tawa kecil yang kudengar, namun tawa keras memenuhi rongga telingaku. "Jangan marah- marah, Yang. Cepet tua loh!"

Aku semakin manyun.

"Hei honey, bagaimana kalau kita bertemu hari ini?"

Secepat kilat aku sumringah. Melupakan rasa kesal karena tawa tadi. Ya beginilah bila si cupid sudah beraksi, seketika marah pun bisa lumer dalam sekejap karena ajakan akan bertemu. Padahal baru ajakan, bukan? Belum juga bertemu! Ahh, lagi- lagi aku mengulum senyum.



Butuh waktu dua jam bagiku untuk sekedar bersiap bertemu dengan lelakiku. Entah sudah berapa baju yang harus keluar masuk dari lemariku. Aku memang ingin tampil aempurna dihadapannya. Tak sabar memang ingin bertemu namun juga aku ingin memperlihatkan diriku tampil secantik mungkin dihadapannya. Aku ingin ia memujiku bahkan mungkin menggombaliku. Argh, bohong malah wanita tak suka digombali karena nyatanya tetap saja rona merah akan bersemu di pipi dan juga hari yang mendadak membuncah bahagia.



"Wow, kamu cantik sekali, Sayang!" Kata yang terlontar dari lelakiku sesaat setelah kubuka pintu rumah sukses menghadirkan rona di wajahku. Eh... Sudah kubilangkan siapa wanita tak tersipu dipuji apalagi oleh pasangannya sendiri.

Aku tertawa sumringah dan segera memeluk tubuh lelakiku. Pelukan yang kurindukan. Hatiku semakin menghangat saat perlahan ia mengecup dahiku. So sweet, kan? Jangan iri ya...

"I miss U," ucapku lirih masih berada di pelukannya.

"I miss u too, Honey!"
Tak lama kurasakan pelukan mengendur, yang jujur membuatku sedikit kecewa.

"Hey, kalau kita tidak segera pergi kurasa kita akan menghabiskan semalaman di kamarmu," ujarnya menggoda.

"Itu maumu, Darl," Aku terkekeh, "Baiklah saatnya pergi," kataku kemudian sambil mengapit lengan kirinya.

Ia mengangguk dan tersenyum melangkah beriring denganku. Serasa dunia milik kami berdua, yang lain ngontrak. Sudah kubilang kan tadi...


"Aku harus pulang," ucapnya saat aku masih berceloteh riang tentang kegiatanku selama beberapa hari ini.

Aku menatapnya tajam, tak suka waktu yang baru saja kulalui harus berakhir segera.

"Sayang, mengertilah," pintanya memelas.

Aku berdecak kesal. Tahu seperti ini tadi harusnya kusita handphonenya.

"Jadi ada apalagi sekarang?" tanyaku ketus.

"Lana ingin aku menemaninya tidur malam ini,"

"Sakit?"

Ia menggeleng, "Tidak, hanya menginginkanku. Mungkin mimpi buruk,"

Arrrggghhh, aku berjengit kesal. Lana lagi Lana lagi...

"Sayang..." Ucapnya memelas membuatku semakin kesal.

"Kalau begitu sampai kapan?" Aku berteriak kesal, "Sampai kapan seperti ini?"

"Honey, bisakah tak membahasnya?" Ujarnya lirih.

"Tap...,"

"Sayang,"

"Fine...fine...," kataku sambil mengangkat kedua tanganku. "Pergilah,"

Ia tersenyum lalu berdiri, "You're the best, Honey."

Aku hanya dapat tersenyum getir, tetap terpaku di kursiku.

"Pulanglah dengan taksi, aku akan mengabarimu sampai di rumah," ucapnya sesaat sebelum melangkah keluar ruangan. Masih ia sempatkan mencium keningku, "Take care, Darl."

Arrggghhh...

***

"Kamu harus bahagia," Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Ungkapan terakhir dari seorang wanita yang paling kucintai di dunia ini. Ibu. Bahagia? Bahagiaku jika aku berdamping bersama lelakiku. Hanya bersamaku. Tidak ada tempat untuk yang lain.

"Lo ini gila, mau sampai kapan sih?" Ucapan ketus terdengar dari bibir sahabatku, Via. Sesaat setelah dinner yang berantakan aku memutuskan ke rumah sahabatku.i

"Dan bisa nggak sih lo nggak hakimin gue," sengitku sebal.

"Hey nona, lo yang ke rumah gue. Berarti lo yang butuh gue,"

Kutatap ia sebal. Aku sudah cukup paham karakter Via, mau bagaimana lagi kuakui aku yang membutuhkannya.

"Hentikan kegilaan lo, SEGERA!" Kata- kata tajamnya menyiratkan aku harus mengikuti omongannya secepatnya. Namun sanggupkah aku meninggalkan kebahagiaanku?

"Vi, gue kesini mau nenangin diri gara- gara Lana ngerusak dinner gue," ucapku lirih, "Eh malah lo marah- marah,"

Via menggeleng, "Gila lo, bocah kangen saja bapaknya lo cemburuin,"

"Lo mikir nggak sih malah lo jadi bininya? Atau jadi anaknya!" Lanjutnya semakin ketus, "Lo tuh nggak punya perikeperempuanan apa!"

Aku mendelik. Maksudnya semacam perikemanusian gitu. "Emang salah gue mau bahagia, Vi?" Suaraku pelan.

"Nggak, nggak salah lo mau bahagia. Yang salah adalah lo mengambil kebahagiaan orang lain. Kayak laki single sudah abis aja!"

Gerr,,, ucapan Via makin lama makin menusuk. Argh, sepertinya malah tempat aku kesini. Aku menghela nafas. Bahagia? See, menjadi yang selalu dinomorduakan apakah sebenarnya aku bahagia? Mungkin kalian akan mengatakan aku bukan Perempuan baik- baik. Orang ketiga. Perusak rumah tangga atau apapun itu, tetapi sudah kukatakan bahagiaku hanya bersama lelakiku dan aku selalu memegang teguh kata- kata terakhir mendiang ibu.

"Nggak usah egois jadi manusia itu!" Aku mencebik kesal, sepertinya Via belum akan rampung berkata pedas padaku.

"Tempatkan posisimu bila jadi istrinya," Katanya menambahkan.

Kuhela nafas perlahan kemudian menarik selimut yang berada di ujung ranjang.

"Heh, mau ngapain lo?" kata Via tepat ketika kurebahkan tubuh ke kasur empuknya.

"Tidur! Lo Bawel sih!"

"Enak aja, kan gue masih perlu buat lo tobat,"

Kuputar bola mataku jengah. Segera kutarik selimut menutupi tubuh hingga kepalaku. Sebodo amat Via ngomel, aku butuh istirahat. Masih ada hari esok untuk memikirkannya.

"Gue cuma pengen lo bahagia," ujar Via pelan sebelum kegelapan menyelimutiku.


-end-

Bandung, 1 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar