Selasa, 09 Juni 2015

Romansa Puber Kedua (7)

Romansa Puber Kedua (7)

Sebelumnya Disini
Gania mengangguk. “Iya, tadi pas aku masuk ada om Haris di depan lagi ngobrol sama Galang.” Sahut gadis itu santai. Ia tak tahu tubuh ibunya yang mendadak menegang dan hatinya yang bergemuruh hebat.
Tantri menarik nafas, menormalkan kembali detak jantungnya. “Ya udah mbak makan duluan aja, ibu nemuin om Haris duluan ya.” Katanya kemudian melenggang meninggalkan anaknya sendirian.
“Mas dari tadi?” Sapa Tantri saat mendapati keberadaan Haris di ruang depan rumahnya. Lelaki masa lalunya itu tengah asyik bercengkerama dengan Galang.
“Oh Hai Tan,” Senyum Haris lebar, “Adalah lima belas menitan. “
“Loh Galang kok nggak bilang sama ibu?” Tanya Tantri pada putra bungsunya. Ia mengambil tempat di seberang sofa yang diduduki Haris.
Galang nyengir. “Kata om Haris nggak usah bangunin ibu, kasian.”
Tantri menggeleng. “Tetap aja ibu nggak enak,”
Haris terkekeh, “Kayak apa aja Tan, lagian aku juga asyik daritadi ngobrol sama Galang.”
“Tetep aja Mas, besok- besok Galang harus tetap bangunin aku kalau ada tamu.”
“Iya, Bu!” Sahut Galang patuh. Tak lama ia berdiri setelah sebelumnya mengambil sepasang kruk yang berada tak jauh dari dirinya.“Udah ada ibu om, Galang ke dalam dulu.”
Haris berniat membantu Galang namun terhenti, “Nggak papa om, udah biasa kok?”
“Yakin?” Kerutan di dahi Haris menyiratkan ia ragu.
Galang berdiri dengan baik dengan kruk di sisi kanan dan kiri tubuhnya, “Tuh nggak papa kan, Om!” Katanya bangga. “Yuk, om!”
“Lang, minta mbakmu untuk buatin minum ya,” Pinta Tantri yang dibalas anggukan Galang.
“Sepertinya anak itu sudah semakin membaik,” Kata Haris sesaat setelah tubuh Galang tak terlihat dari pandangannya.
Tantri mengangguk. Wajar saja Haris mengetahu perkembangan anaknya, karena selama ini laki- laki itu selalu menyempatkan melihat Galang. Bahkan saat keluar RS, Harislah yang menjemput mereka. “Alhamdulillah Mas, semua atas bantuan Mas juga.”
“Sudahlah Tan, jangan canggung begitu. Seperti dengan siapa saja.”
Tantri tersenyum samar. Lagi- lagi perhatian Haris membuatnya teringat pada masa lalu. Sejak dulu Haris masih sosok yang perhatian dan penuh kepedulian. Ia tak pernah pamrih menolong siapapun. Hal yang membuatnya memcintai lelaki itu.
Dulu sebelum kejadian menyakitkan itu.
“Ehm,” Tantri tersentak. Ia gelagapan. Tanpa sadar ia melamun.
“Ada masalah?”
“Eh nggak, Mas.” Tantri menggeleng.  Ia menghela nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Gerakannya gugup tertangkap oleh Haris.
“Ada apa, Tantri? Galang? Atau Gania?” Cecar Haris. Ia sangat yakin Tantrinya sedang dibebani pikiran.
“Nggak- nggak ada apa- apa kok, Mas.”
Haris menggeleng. “Kalau kamu bilang nggak ada apa- apa berarti ada apa- apa.”
“Tidak ada apa- apa, Mas. Aku serius.”
“Aku hafal dirimu. Aku yakin ada sesuatu hal yang memberatkanmu. Ada apa dengan Gania? Dia membutuhkan sesuatu? Atau ada yang diperlukannya untuk skripsi?”
Mata Tantri melebar. Bagaimana bisa dugaan Haris bisa tepat?
Haris mendesah. “Aku juga punya anak, Tan. Aku paham betul apa yang sedang dilakukan gadis seusia Gania. Sekarang katakana padaku berapa yang dibutuhkan Gania?”
“Tti-tidak perlu, Mas.”
“Kamu masih saja ke...,” Haris menghentikan ucapannya karena kedatangan Gania dengan dua cangkir teh di atas baki yang dibawanya.
“Kok repot- repot, Nia. “ Bibir Gania melengkung membentuk senyuman, “Kamu kan baru sampe istirahat aja dulu,”
“Nggak papa Om, santai aja. Diminum Om. Gania tinggal dulu!”
Haris mengangguk, “Makasih ya,” Katanya yang dibalas anggukan dan senyum dari gadis itu.
“Sama- sama, Om.”
Tantri menghembuskan nafas lega. Ia sedikit gugup kalau Gania mendengar pembicaraannya dengan Haris. Biar bagaimanapun ini urusan intern keluarganya, dan Haris orang luar.
“Tan,” Tantri tersenyum tipis. “Jadi berapa yang dibutuhkan Gania?”
Gelengan kepala Tantri membuat Haris mendengus kesal. Huh,Masih saja keras kepala!
“ Mma..Mas,” Sesaat Tantri menunduk, “Kkita ini apa?”
Sebelah alis Haris terangkat. Kerutan di dahinya bertambah, “Maksudmu?”
“Terima kasih untuk perhatian Mas selama ini untukku dan keluargaku. Tapi kita harus sadar, Mas.”
Haris terdiam. Ia menunggu kalimat yang selanjutnya keluar dari bibir Tantri meskipun hatinya bergejolak.
“Perhatian dan kepedulian Mas harus dihentikan. Ingat istri dan anakmu, Mas?”
Deg.
“Aku wanita, Mas. Bagaimanapun juga istrimu pasti tak menyukai hal ini. Jadi tolong hentikan semuanya.”
“Tapi Tantri aku hanya berniat membantumu. Tak ada maksud apapun.”
“Mas, yakin dengan hal itu?”
Haris bungkam seketika. Ia sendiri tak bisa menjawab. Pertemuan dengan Tantrinya meletupkan kembali gairah masa mudanya. Menghidupkan kembali dirinya. Hanya Tantri yang kini terus menari di benaknya.
“Sebelum terlambat, kita hentikan ini.” lanjut Tantri kemudian.
Haris menunduk. Ia merasa dadanya sesak. Hatinya terluka. Perih. Kesakitan dua puluh tahun lalu kembali.
“Maafkan aku, Tan. Aku…,”Ia menarik nafasnya dalam- dalam, “Aku masih mencintaimu. Seperti dulu.”
Tantri tercengang di tempatnya. Terlambat!

-tbc-
Selanjutnya Disini
Lampung, Juni 2015

2 komentar: