Senin, 15 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (5)



Lima


Sebelumnya di sini


“Pulang, Mir? Yuk aku anter!”

Mirah tersenyum lalu menggeleng. “Makasih Mas Pras, kost aku deket kok. Jadi jalan kaki aja!”

“Ya nggak papa, Mir. Sekalian aku juga pulang.” Bujuk Pras lagi yang dijawab gelengan oleh Mirah.

“Nggak papa. Aku jalan kaki aja.”

Prasetyo, salah satu rekan kerja Mirah yang terang- terangan menunjukkan rasa ketertarikannya pada wanita itu. Mirah menyadarinya, maka sesegera mungkin ia menolak semua ajakan dan tawaran Pras. Pras memang telah berkali- kali menawarkan layanan antar jemput atau pergi bersama berdua tetapi semua ditolak Mirah halus. Karena Mirah tak ingin Pras berharap lebih dari hubungan professional kerja.

Laki- laki!
“Ayolah, Mir! Sekali- kali kenapa?” Pras masih belum menyerah. “Aku beneran nganter kamu pulang kok, nggak kemana- mana. Swear!”

“Maaf, Mas. Makasih tawarannya. “ Mirah berlalu. Ia masuk ke dalam ruang ganti.

“Kenapa Mir? Pras ngajak elu lagi ya?”

Mirah tersenyum kecut. Di ruang ganti ternyata ada Lina, teman kerjanya yang telah berganti seragam kerja. Liana pasti mendengar ajakan Pras di depan ruang ganti tadi.

“Shift siang ya, Lin?” Mirah mencoba mengalihkan topic pembicaraan. Sungguh dia tak menyukai dirinya dijadikan gossip pembicaraan.

Lina mengangguk dengan bibir mencebik. “Si Pras tuh ya setiap ada pegawai baru pasti dideketin mulu. Ati- ati lo, Mir.”

“Iya.” Sahut Mirah pendek. Dia meraih baju yang ada di dalam loker untuk kemudian berganti dengan seragamnya. Sudah tiga minggu ini Mirah bekerja di restoran sebagai pelayan. Pekerjaan yang ditawarkan Nena, karena melihatnya nyaris frustasi selama dua minggu tak jua satupun lamarannya diterima. Mencari pekerjaan saat ini sulit. Apalagi ibukota. Makin banyaknya perantau yang menjajal peruntungan di Jakarta tentu menjadi kesulitan sendiri bagi Mirah. Apalagi dia hanya seorang lulusan SMA. Pengalamannya bekerja di pabrik tak membantu sama sekali. Dia benar- benar harus berusaha sendiri. Beruntungnya salah seorang kenalan Nena tengah mencari pelayan baru di restorannya.

Tak masalah. Toh dia sadar diri dengan pendidikan yang disandangnya.

Untuk sementara ini lebih baik. Daripada terus- terusan menumpang hidup pada Nena. Nanti setelah berjalannya waktu, dia bisa memikirkan pekerjaan lain yang dapat menambah pundi- pundi keuangannya.

Hidup memang penuh perjuangan, Mir!
***

Mirah menghembuskan nafas lega sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Sudah menjadi kebiasaan Mirah, setiap hari selalu menyempatkan untuk menghubungi putrinya. Meski tak bisa menghapus seluruh rasa rindunya, tetapi ini lebih baik. Mendengar celoteh manja Rania disertai cerita- cerita kegiatan harian si bocah sudah cukup bisa membuat Mirah tersenyum senang.

Mirah bersyukur diusianya yang masih belia, Rania sepertinya cukup memahami maksud kepergiannya. Menurut Kumala, Rania juga tak pernah rewel. Tak pernah ribut menanyakan ketiadaan Mirah di sampingnya.

Anak manis.

Ibu kangen, Nak!
Mirah menarik nafas dalam- dalam. Mencoba mengusir sesak yang selalu datang setiap ia mengingat Rania. Ah, ibu mana tak sedih jika terpisah dengan anaknya.

Maaf- maafin Ibu, Ran!
***

Mirah terbelalak. Sepasang laki- laki dan perempuan yang baru saja melewati pintu masuk restoran membuat dirinya terkejut setengah mati. Dia memang tak mengenal laki- laki itu sama sekali, tapi perempuannya?

Teh Nena.
Melihat gelayut manja tangan Nena di lengan laki- laki itu jelas Mirah berpikir laki- laki itu bukan orang sembarangan bagi Nena. Someone special? Pacar mungkin?

Nyaris dua minggu Mirah tinggal di apartemen Nena dan dia tahu betul perempuan itu tak pernah pergi atau menerima kedatangan lelaki. Yang Mirah tahu Nena terbiasa menghabiskan hari di apartemen- selama ia tinggal di sana tentunya. Tak tahulah jika tiga minggu sudah berlalu saat Mirah pindah kost. Bisa jadi laki- laki itu sekarang memang tengah mendekati Teh Nena, pikir Mirah dalam hati.

Mirah menghela nafas sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju kursi yang diduduki Nena dan pasangannya. Senyumnya mengembang berusaha bersikap seperti biasa meski sejujurnya benaknya diliputi tanda tanya tentang sosok laki- laki yang bersama Nena.

“Permisi,”

Nena mendongak dan tersenyum. “Hai, Mir!” Sapanya tulus.

Mirah mengangguk, “Iya, Teh. Gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah baik, Mir. Kamu gimana? Betah kerjanya?”

“Alhamdulillah, Teh. Ini teteh mau pesan apa?” Ucap Mirah seraya menyodorkan buku menu pada Nena.

“Atuh santai aja, Mir. Nggak usah buru- buru gitu. Ini kenalin Josh.” Mirah hanya mengangguk sejenak. Josh, lelaki yang berada di samping Nena sepertinya tak tertarik berkenalan dengannya, karena lelaki berparas asing itu asyik dengan tablet di tangannya. Mendongak sesaat lalu tersenyum tipis kemudian kembali lagi dengan benda berbentuk segiempat itu.

“Josh! This’s Mirah.”
Josh hanya manggut- manggut membuat Mirah keki. Ck, orang sibuk!
“Oh ya udah Teh, mau pesan apa? Biar nanti Mirah catat.” Mirah kembali menatap Nena. “Biar nggak lama nunggunya.”

Nena mengangguk lalu menekuni buku menu di tangannya. Sesekali ia bertanya pada Josh, yang hanya dijawab dengan anggukan membuat Mirah menggeleng gusar.

Bagaimana bisa Teh Nena yang demikian ramahnya bertemu dengan lelaki macam Josh yang kelewat cuek. Ck, mudah- mudah tidak ada apa- apa diantara keduanya, gumam Mirah dalam hati.

Eh tapi kalau ada apa- apa, siapa dia juga sih?
***

Mirah sebenarnya tak mau ambil pusing saat beberapa hari sebelumnya menemukan Nena menggandeng mesra seorang laki- laki yang kemudian diketahui bernama Josh di restoran tempatnya bekerja. Toh lelaki jangkung itu bersikap acuh dan tak peduli, jadi untuk apa dipikirkan.

Yang penting baginya adalah Nena, karen memang wanita itu selalu bersikap baik pada dirinya.

Tapi kenyataan yang diterimanya saat ini membuatnya berpikir ulang. Siapa Josh?

Hari ini Mirah datang ke apartemen Nena karena permintaan wanita itu. Sesekali saat dia sedang mendapat libur, Nena sering mengajaknya menghabiskan waktu bersama. Jalan- jalan ke mall atau hanya mengobrol di apartemen. Mirah tak pernah berkeberatan, karena dia sendiri memang belum punya banyak teman.

Dan pagi ini saat mendapati pintu apartemen Nena terbuka, Mirah ternganga sesaat. Bukan Nena yang membukakan tetapi Josh. Ya lelaki acuh itu yang berdiri di depan pintu dengan kernyitan di dahi dan tunggu!

Pakaiannya?

Wajah Mirah memerah. Lelaki di hadapannya tampak tak bermasalah hanya dengan mengenakan celana pendek tanpa kaos melekat di tubuh. Sedangkan Mirah malu sendiri dibuatnya.

“Siapa kamu?” Tanya lelaki itu dengan aksen bahasa Indonesia yang aneh di telinga Mirah.

“Ssa-saya Mirah. Ini…,”

“Siapa, Josh?” Sebuah suara terdengar dari dalam. Mirah tahu itu suara Nena. Dalam hati ia mengucap syukur karena tak lama sosok wanita itu muncul dari balik punggung Josh. “Loh Mir, udah dateng? Teteh kira siang. Ya udah yuk masuk!”

Mirah menelan ludah pahit. Ia tersenyum kecut lalu melangkah dengan berat masuk ke dalam. Dia dapat mendengar sekilas bisikan Josh dan Nena, tetapi karena menggunakan bahasa inggris Mirah tak dapat mengerti.

Mungkin lelaki itu menanyakan tentang maksud dirinya kemari.

“Kalau mau apa- apa ambil sendiri ya, Mir. Entar teteh harus nyiapin keperluan Josh. Dia mau balik ke singapur. “ Ujar Nena santai namun tak juga mengusir ketegangan dalam diri Mirah.

Laki- laki dan perempuan satu rumah?

Pakaian Josh?
Mirah melihat punggung Nena menghilang di balik pintu kamar menyusul Josh. Wanita itu hanya mengenakan kimono tidur.

Jadi?

=tbc=

selanjutnya di sini


Lampung, Februari 2016

4 komentar: