Jumat, 13 November 2015

BBM



BBM

“Udah siap, Dar?”

Aku mengernyit bingung. “Untuk?”

“Ulangan Biologi hari ini.”

Kerutan di dahiku semakin bertambah. “Biologi? Ulangan?” Tanyaku meyakinkan lagi.

Kamila, gadis yang nyaris sebulan ini menjadi teman sebangkuku mengangguk. “Iya. Pak Damrin kan ngadain ulangan hari ini.”

What?

Mataku terbeliak seketika. Ulangan. Hari ini? Astaga, semalam terang aku nggak belajar untuk mempersiapkan ulangan. Ah, Pak Damrin kenapa sih harus mengadakan ulangan mendadak. Bisa kali diberitahukan sebelumnya, jadi kan setiap dari kami bisa belajar untuk meraih nilai baik. Coba kalau sampai nilai- nilai ulangan rendah, yang kesal kan pasti bapak juga.

Eh tapi ngomong- ngomong sepertinya tidak mendadak. Ini buktinya Kamila tahu!

“Kok lo tahu kalau mau ada ulangan?”

“Loh semalam kan Andi ngeBC anak anak sekelas. Bilang kalau kemarin dia dipanggil Pak Damrin katanya beliau hari mau ngadain ulangan.”

BC?

“Ups, sorry Dar gue lupa ngasih tahu lo. Lagian lo sih hari gini nggak punya BBM.”

Gerrrr….

Aku tertunduk lesu. Harusnya aku tahu itu akan dijadikan alasan. Aku bukan orang bodoh yang nggak tahu arti BC. Broadcast message yang ada di aplikasi BBM. Layanan yang memudahkan mengirim pesan ke banyak orang. Dan Andi, ketua kelas kami pasti melakukan hal itu. Tapi memang tidak bisa ya dia mengabariku via SMS. Kan dia tahu aku tidak mempunyai Blackberry atau smartphone canggih seperti teman sekelas yang lain. Atau Kamila sendiri? Semahal apa sih mengirim SMS. Paling cuma beberapa ratus rupiah.

Tapi sudahlah, memang aku yang kuno. Seperti kata Kamila tadi, hari gini nggak punya BBM. Argh, sebegitu pentingnyakah setiap orang harus punya BBM. Mungkin penting atau memang sangat penting. Buktinya ulangan hari ini saja aku ketinggalan berita. Tak ada pilihan, HP ku harus berganti. Harus.

***

“Yah,” Aku berkata sehalus mungkin. Ayah yang tengah asyik menonton TV menoleh sesaat lalu kembali menatap layar kaca tersebut.

“Dara ganti HP dong,”

“Memang kenapa HP kamu?” Alih- alih mengiyakan rengekanku, ayah justru bertanya balik kepadaku.

“Ya nggak papa.”

“Lalu kenapa minta ganti HP?”

“Dara mau HP yang bisa BBMan.”

Kali ini ayah menoleh lalu mengernyit menatapku heran. “Memang BBM itu penting?”

Ck, decakku dalam hati. Resiko punya orang tua nggak gaul. Nasib. Ayah mana tahu kalau zaman sekarang BBM itu sudah jadi layanan instant messaging yang pokok dan wajib dimiliki. Dimana- mana orang lebih suka meminta PIN daripada meminta nomor handphone yang bersangkutan.

“Yah penting dong, Yah.” Kataku jengkel. “Semua teman- temanku kalau kirim pesan lewat BBM. Bahkan ngasih tahu soal ulangan. Ayah nggak tahu kan kalau hari ini aku nggak tahu info ulangan Biologi karena nggak punya BBM.”

“Kenapa nggak lewat SMS?”

Bibirku mengerucut kesal. Ah, ayah kenapa sih sulit banget bilang iya. Lagian kata teman- teman harga smartphone juga nggak mahal kok. Kalau nggak sanggup beli merk terkenal beli yang produk- produk Cina itu juga nggak masalah. Yang penting nanti bisa install BBM.

“SMS itu udah jadul, Yah. Sekarang zamannya BBM.”

“Jadul?”

Kutepuk jidat perlahan. Benar- benar ngenes punya orang tua nggak gaul.

“Ya udah ayah mau beliin nggak?” Tanyaku ketus. Mengingat ayah yang sedari tadi hanya menginterogasi, tidak mengiyakan membuatku semakin kesal.

Ayah menghela nafas berat lalu kepalanya menggeleng. Kontan tubuhku terasa lemas. “Selama HP kamu yang sekarang masih bisa digunakan itu berarti kamu belum butuh HP baru.” Ujar beliau tegas.

Fix. gagal.

***

“Kenapa?”

Aku mendongak. Tante Angie, adik bungsu ayah yang ikut tinggal bersama kami muncul di balik pintu kamarnya. Wanita muda itu kini bahkan telah melangkah masuk ke dalam kamarku dan menghempaskan tubuhnya di ranjang tidurku.

“Ayah nyebelin, Tan!” Sungutku kemudian. Aku benar- benar kesal dengan ayah. Beliau benar- benar tak bisa digoyahkan. Aku merajuk sekalipun, beliau tak bergeming. Dia masih ngotot agar aku tetap menggunakan handphone yang lama.

Handphone jadul itu.

“Tante tadi denger sekilas. Emangnya kamu pengen banget ya?” Kuanggukkan kepala dengan cepat. Siapa sih yang tidak mau HP baru, apalagi itu memang tujuanku semula.

“Gaptek aku, Tan sekarang.”

Tante Angie terbahak. “Oke deh Tante beliin tapi…,”

Seketika mataku melotot lebar. Tante Angie mau beliin? Aku nggak salah denger kan? Yes! Akhirnya aku dapat HP baru juga. HP keren yang ada BBMnya.

“Ada tapinya loh, Dar!” Aku terdiam seketika. Mataku menyipit menatapnya curiga.

“Tapi aku harus nyembunyiin dari ayah?” Tanyaku tak sabar.

Tante Angie menggeleng. “Nggak perlu! Ayah kamu sih nggak bakal protes kalau tante yang beli. Kan pake uang tante sendiri.”

Aku nyengir. Tante Angie memang sudah bekerja tetapi karena overprotectivenya ayah terhadap adik satu- satunya jadi mau tak mau tante Angie ikut tinggal bersama kami. Dan kurasa tante Angie kini pahlawanku.

“Asal apa, Tan?”

Tante Angie tersenyum. “Hemat.” Sahutnya pendek.

“Nggak minta- minta tambah uang saku. Kelola pulsa sebaik mungkin.” Lanjutnya yang dengan cepat kuiyakan. Bukan masalah, toh selama ini aku juga tak pernah bermasalah dengan uang saku. Jatah yang ayah berikan selalu pas. Tak pernah aku meminta lebih.

“Dan pastikan nilaimu harus tetap yang terbaik di sekolah.”

Ah, kecil itu mah! Gumamku dalam hati. Alih- alih menyuarakan isi hati aku lebih memilih menganggukkan kepala.

“Selesai kalau gitu!” Tante Angie beringsut dari ranjang lalu berdiri tegak melangkah menuju pintu. “Besok HP sudah ada di kamarmu!”

“Makasih tante cantik.” Kataku sesaat sebelum ia benar- benar menghilang di pintu kamarku.

***


“Bagi PIN dong, Mil?”

Kamila sedikit terkejut namun sedetik kemudian wajahnya berbinar. “Ciye, HP baru ya?” Aku tersenyum lalu mengangguk. Tak lama Kamila sudah menyebutkan deretan angka juga huruf yang harus kumasukkan ke dalam kontak BBM.

Yah, akhirnya aku punya HP Baru. Oh tepatnya smartphone baru. Tante Angie benar- benar menepati janjinya. Dan memang sesuai dugaannya, ayah tidak protes. Beliau hanya menggeleng lalu mengomel sebentar saat tante Angie memberikan benda berbentuk segiempat itu kepadaku. Aku melonjak girang karenanya.

“Jangan cuma BBM aja, Dar! Pakai LINE juga.”

Aku mengangguk singkat. Sedikit banyak aku memang paham jika layanan instant messaging tak hanya BBM, meski ya BBM lebih popular.

“Pakai kakao talk juga dong, Dar.” Kali ini Sintia, gadis yang duduk tepat dihadapanku ikut bergabung dalam obrolan kami. Kebetulan sedang jam istirahat, jadi kumanfaatkan untuk bertukar PIN dengan teman- teman sekelas.

Lagi- lagi kepalaku mengangguk mengiyakan ucapan Sintia. Apapun layanan itu aku gunakan deh, biar dibilang tidak ketinggalan zaman. Toh tak ada salahnya juga kan, justru akan semakin mengakrabkan diri dengan teman- temankan?

***

PING

Aku tersenyum lebar. Ara, teman SDku yang baru kudapat PIN BBMnya menghubungiku. Tadi siang aku memang tanpa sengaja bertemu dengannya di toko buku dan karena dia sedang terburu- buru maka kami tak dapat mengobrol lami. Namun beruntung karena kami sempat bertukar PIN.

Lg apa, Dar? Sorry ya tadi gw buru2.

Dengan cepat aku mengetik balasan.

It’s Ok, Ra. Next time kan bisa kita ketemuan lg.

Iya. Uh jd kngen kalian deh! Reunian yuk! Ajkn yg lain. Pesan Ara kembali masuk.

Boleh2! Kpn?

Kita rencanain dulu dong, Dar. Kita kmplin tmn2.

Ok! Gw gak sabar jdnya.

Sip!

Btw lo ingat Arya?

Aku terdiam sejenak. Berpikir sebelum membalas pesan Ara.

Arya yg bdnnya kecil itu ya? Yg jahilnya gak ketulungan.

Huss, dia gak kcl lagi, Dar. Aku mengernyit bingung.

Skrg keren tau dia. Kece mampus pokokny.

Emngnya lo ktmu dimn? Ketikku penasaran.

Kmrn dia k skul gw. Trnyt dia masuk tim basket loh, Dar.

Keren bgt deh. Aplg pas main, bkn klepek2.

Kerutan di dahiku bertambah. Sampe segitunya?

Iya. Tmn2 kita emng bnyk yg berubah.

Oh ya?

Iya. Tempo hari gw jg ktmu Ridho?

Ridho yg cengeng itu.

Kalo ktmu dy gak bkl bisa hina lo! Dia jangkung skrg, keren lgi!

Pada akhirnya aku larut dalam obrolan bersama dengan Ara. Bahkan tanpa kusadari malam sudah semakin larut dan ketika Ara menutup obrolan aku terbelalak tak percaya saat mendapati jam di ponselku menunjukkan pukul 23.05 WIB.

Astaga! PRku….

***

“Ada apa denganmu akhir- akhir ini, Dara?”

Aku menunduk lesu. Bu Rahmi, wali kelasku hari ini secara khusus memanggilku untuk menghadapnya. Aku tahu ada yang salah di sini. Dan kesalahan itu berasal dari diriku. Semua tidak lain tidak bukan karena nilai pelajaranku yang semakin menurun.

“Nilai kamu semakin hari semakin menurun, Dara.”

Tuh kan! Prediksiku tepat.

“Kamu ada masalah?”

Kugelengkan kepala perlahan. “Ti…dak, Bu.”

“Lalu?”

Kepalaku semakin tertunduk. Tak mungkin kukatakan jika semua gara- gara smartphone sialan itu. Tanpa kusadari aku kecanduan. Setiap hari bahkan setiap detik jemariku tak bisa lepas dari benda segiempat tersebut. Tak hanya BBM, tapi juga layanan media social lainnya. Ada saja yang kukerjakan dengan smartphone itu. Mengobrol tak jelas di BBM, berkomentar di status teman atau bolak balik mengupdate foto yang kuambil setiap saat.

Benar- benar tak penting!

Sebenarnya aku sedikit sadar dengan perilaku anehku sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya ada yang janggal jika sehari aku tak memegang benda tersebut. Dan ketika ponsel sudah berada di tangan, maka dapat dipastikan berbagai kegiatan tak penting akan kulakukan. Oke dibagian mana yang penting jika setiap waktu ketika tak ada yang mengajak mengobrol aku hanya berganti- ganti DP atau PM, benar- benar hal sia- sia kan?

Bukan hanya Bu Rahmi saja sebenarnya yang mulai complain tetapi juga keluargaku terutama ibu dan ayah yang semakin mengeluh karena perilakuku yang kelewat batas. Bagaimana tidak kelewat batas, gara- gara BBMan aku sering melewatkan waktu makan atau ketika sedang berkumpul bersama aku justru sibuk dengan ponsel. Awalnya terang aku tak peduli omelan ibu juga gelengan kepala ayah tapi lama- kelamaan aku merasa tersingkir. Ada beberapa info keluarga yang tak kuketahui, yah apalagi kalau bukan karena kesibukanku.

“Baiklah,” Aku mendongak. Bu Rahmi mendesah pasrah. Dia tak berhasil membuatku buka suara. “Apapun masalah kamu, ibu harap segera selesai. Sejujurnya ibu banyak berharap denganmu. Jika nilaimu semakin turun, beasiswamu bisa dicabut.”

Aku terbeliak. Astaga! Bagaimana aku bisa lupa beasiswa sekolahku. Aku harus memperoleh nilai terbaik untuk mendapatkannya dan kini gara- gara ponsel atau tepatnya BBM tak jelas, beasiswaku terancam.

Oh! Tidak.




-***

Lampung, Agustus 2015

9 komentar: