Jumat, 20 November 2015

GENDIS (7)


Tujuh

Sebelumnya Gendis (6)


Banyak pertanyaan berkelebat di kepala Gendis tentang fakta yang baru diketahuinya. Tetapi dia sadar tak mungkin memaksa Elroy untuk berbicara sekarang. Sampai kapanpun lelaki itu takkan bicara. Tetapi menunggu dia berkata duluan juga sulit. Rasa penasaran akan terus menggelayutinya.

“Ck, gue pikir nggak balik lo?”

Gendis meringis. Ia baru saja kembali ke kantor. Elroy memang mengantarnya, namun selama perjalanan tak ada yang bicara. Gendis masih terlalu shock hingga tak tahu harus berkata apa. Dan ia tersadar ketika sudah berada di depan kantor.

“Gue nyaris nelepon polisi kalo lo nggak balik- balik.”

“Lebay!” Cibir Gendis. Ia masuk ke dalam ruangannya. Sempat berpapasan dengan Vania yang tersenyum lega karena kehadirannya.

“Mbak, dicari pak Bos tuh!” Gendis hanya mengangguk mendengar seruan Vania. Ia tahu alasan bos mencari dirinya, apalagi kalau bukan urusan berkas pelamar- pelamar baru ke kantornya. Bulan ini perusahaan tengah merekrut banyak karyawan yang akan ditempatkan di kantor cabang. Dan Gendis bertanggungjawab untuk hal itu.

“Jadi Ndis lo diapain aja sama si El?”

Gendis sontak melotot. Kinar masih mengikutinya ternyata. Padahal ia kira gadis itu kembali ke ruangannya. Tapi tunggu apa katanya? Diapain?

“Bahasa lo itu gagal paham gue, Nar?”

Kinar terkekeh, “Ish! Sok polos lo. Udah bertahun- tahun nggak ketemu masa iya Cuma diam- diaman aja. Nggak ada yang hot- hot gitu!”

Mata Gendis makin membulat. Ia menggeleng gusar. Hot- hot katanya? Ck, apa sih isi otak sahabatnya ini!

“Lo kira kompor, hot!”

“Yak, nggak lucu kalau kalian cuma diam- di….,” Sesaat Kinar mendelik, “Astaga jadi beneran kalian Cuma diam- diaman gitu. Ih, gue kira pertemuan sepasang kekasih yang tak lama jumpa itu bakalan lebih seru.”

Gendis bergidik mendengar kata seru yang dimaksud Kinar. Dihelanya nafas panjang lalu menatap Kinar intens, “Pertama gue sama El bukan sepasang kekasih. Jadi buang jauh- jauh itu hot- hot versi lo. Kedua, mending lo balik ke ruangan karena gue mesti ngadep bos dulu, jadi percuma mau nungguin gue cerita.”

“Yak nggak asik lo, Ndis!”

“Lah ketimbang gue dipecat!” Sahut Gendis sembari meraih beberapa berkas yang telah disiapkannya. “ Lagian gue kerja sama bos, bukan sama lo. Daaaah!” Lanjutnya dengan mengedipkan sebelah mata sesaat sebelum meninggalkan Kinar yang hanya bisa melongo menatap kepergiannya.

“Utang cerita lo, Ndis!”

Gendis terus melangkah meski Kinar berseru keras. Kepalanya menggeleng geli.

Ck, penasaran- penasaran deh lo, Nar!
***

Gendis mendengus gusar saat mendapat sosok Marvin yang berada di depan pintu ruangannya saat jam pulang kantor tiba. Ah, ngapain sih dia kemari? Bikin bete aja! Gerutunya dalam hati.

“Ayo kita pulang, Gendis!”

What? Kita? Gendis mengernyit tak suka.
“Duluan aja, Pak. Saya masih ada yang harus diberesin.” Tolak Gendis halus. Sejujurnya dirinya tak sebaik itu, tetapi mengingat terjalinnya hubungan professional antar perusahaan jadi mau tak mau sikap baik harus dipertahankan.

“Aku kesini sengaja buat jemput kamu.”

Nggak ada yang nyuruh!
“Aku udah tanya Rama, kamu nggak ada lembur loh.” Lanjut Marvin yang sontak membelalakkan mata Gendis.

Gila nih orang! Niat banget sih! Maki Gendis dalam hati.

“Ayolah, Ndis! Sekalian kita dinner bareng.”

Argh, Gendis mengerang frustasi dalam hati. Bagaimana bisa sih dia berurusan dengan lelaki perayu macam Marvin. Sungguh dia sudah pernah bersumpah takkan pernah dekat atau berhubungan dengan laki- laki player, playboy dan sejenisnya. Ujungnya bikin sakit hati karena perilaku tebar pesona dan tak setia mereka. Dia memang tak pernah mengalaminya, tetapi cukup kisah cinta kakak serta teman- temannya membuatnya berhai- hati dengan lelaki semacam itu.

“Maaf, Pak. Saya…,”

Sebuah dering ponsel membuat kalimat Gendis terhenti. Ia meraih ponsel lalu mengernyit bingung dengan deretan angka yang tertera di layar.

“Ya halo,”

Aku di bawah. Buruan turun!”

Hah! Gendis melongo bingung. Siapa sih? Pake nyuruh- nyuruh lagi!

“Sia..”

“El.”

Apa!

Gendis ternganga. El? Elroy?

“Lima menit, Ndis! Dan kamu sudah harus turun!”

What!

“APA-A…”

Klik.

Sambungan terputus. Gendis terbelalak. Sedetik kemudian ia menggeram kesal. Ini hari apa sih? Kenapa banyak sekali yang membuat emosinya meledak. Belum usai urusannya dengan Marvin, kini ada El. Ngapain juga dia jemput? Nggak ada yang nyuruh kan? Gendis merutuk dalam hati tanpa henti. Ia benar- benar sangat kesal.

“Ada apa, Ndis?” Gendis mendengus. Marvin masih di hadapannya. Arghhh….

“Are you okay?”
Gendis menghela nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan, “Bapak nggak perlu repot- repot antar saya. Kebetulan saya sudah dijemput dan…”

“No! No! No! Kan aku duluan yang datang.”

Mata Gendis melotot kaget. Ah, ini apa lagi sih?
“Maaf?”

“Iya. Kamu tetap pulang sama aku. Siapapun yang jemput kamu sekarang suruh pulang aja!”

Gerr… Kenapa dirinya seperti barang ya?
Gendis menggeleng kasar. “Maaf, Pak. Saya bisa pulang sendiri.” Sahutnya dengan tangan bergerak membereskan meja. Sesaat setelah mematikan computer, ia mengambil tas lalu melangkah keluar ruangan. Mengabaikan keberadaan Marvin di ruangannya.

Ck, Mengapa ia terjebak dalam situasi yang seperti ini sih. Marvin. Elroy. Lelaki- lelaki yang hanya bisa menguras emosi dan energinya saja.

“Terlambat tiga menit, Ndis!”

Gendis memutar bola mata jengah. Elroy ternyata benar sudah berada di lobby kantor. Dan apa katanya? Terlambat?

“Nggak ada yang nyuruh lo jemput gue, El!”

Sebelah alis Elroy terangkat. Gendis melengos. Ia memilih terus melangkah, mengabaikan Elroy juga Marvin yang terus mengikutinya. Argh…

“Mau kemana?” Elroy menahan lengan kanannya membuat Gendis mau tak mau berhenti melangkah.

“Eits! Lepaskan tangan anda, Bung!”

Sebuah helaan nafas kasar terdengar. Gendis mencibir. Sepertinya akan ada tontonan konyol di depannya. Drama, huh!

“Gendis akan pulang dengan saya. Jadi anda tidak bisa memaksanya.”

Gendis terbeliak. Marvin benar- benar tak mengerti juga. Dia sudah bilang tidak. Tetap saja memaksa. Dan El, ah Gendis lupa kalau lelaki itu selalu bertindak semena- mena.

“Maaf, Pak! Saya tadi sudah bilang saya bisa pulang sendiri.” Ujar Gendis tegas. Ia menatap intens Elroy, “Dan El, lo tenang aja selama ini juga gue balik sendiri kok. Jadi kepulangan lo nggak akan mengubah hal itu.” Tambahnya sembari melepaskan pegangan tangan Elroy di lengannya. Ia kembali meneruskan langkah. Tak peduli keberadaan Marvin juga Elroy di belakangnya.

Ah, hari ini benar- benar hari yang menyebalkan!

“Itu kan mau lo, bukan mau gue!”

Gendis ternganga. Elroy sudah berada di sampingnya. Bahkan entah kapan tangan kanannya sudah berada di genggaman lelaki itu. Baru saja Gendis hendak protes, sebuah kalimat yang diucapkan Elroy membuat tubuhnya membeku seketika.

“Dan anda, tolong jangan ganggu calon istri saya lagi! Terima kasih.”

=tbc=

Selanjutnya Gendis (8)



Lampung, November 2015

12 komentar: