Selasa, 19 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (26)


Dua Puluh Enam

Sebelumnya di sini

“Ba—bang Malik?”

Mirah ternganga mendapati sosok lelaki yang tumbuh bersamanya di masa kecil. Laki-laki yang belum lama ini ia tolak lamarannya.

Ya Tuhan, kenapa dia di sini?
“Ternyata benar kamu,” Mirah melihat Malik menarik nafas lega. “Dari tadi Abang lihat, tapi Abang ragu mau negur. Takut salah orang.”

Mirah tersenyum kecut. Ternyata sudah sejak tadi Malik memperhatikannya. Sungguh, sejak ia menolak lamaran Malik, Mirah tak pernah berharap akan bisa bertemu lagi. Malik, laki-laki yang baik dan ia berhak mendapatkan wanita yang sama baiknya.

Bukan aku.

“A—abang sendiri?” Mirah celingukan.

Malik tersenyum dan mengangguk. “Abang tadi bertemu dengan kawan lama. Tapi dia sudah harus kembali bekerja,”

Mulut Mirah membulat. Ia baru hendak membuka mulut untuk kembali bertanya tetapi urung karena kemunculan Nena.

“Mir, gimana ini bagu…,” Kata-kata Nena terhenti karena melihat keberadaan Malik. Sejenak matanya menyipit menatap Malik lalu menatap Mirah menuntut penjelasan. Mirah yang maklum pun mengangguk.

“Kenalin, Teh. Ini Bang Malik. Saudara jauhku.” Ujarnya. “Dan, Bang ini Teh Nena. Sahabatku di sini.”

Sesaat kemudian mereka berdua bersalaman. Mirah berharap kemunculan Nena, membuat Malik tersadar untuk pergi tetapi nyatanya Malik bergeming. Ia justru bersikap ramah dan akrab pada Nena. Hingga tak lama kemudian Nena menawarinya bergabung untuk menghabiskan waktu di salah satu tempat makan mengingat Mirah dan Nena memang berencana untuk makan setelah mengunjungi toko pakaian itu.

“Cakep, Mir sodara kamu,” bisik Nena saat ketiganya melangkah meninggalkan toko pakaian menuju tempat makan.

Nena merengut. “Teteh kenapa sih ajak-ajak dia?”

“Loh kan sodara kamu, Mir. Nggak enak juga lah,” sahut Nena santai. “Emang masalah?”

Banget. “Mir,”

Bahu Mirah mengedik. Diabaikannya tatapan penasaran Nena. Sungguh yang ia inginkan sekarang adalah kasur sehingga ia bisa tidur lalu terbangun esok pagi dan melupakan kejadian hari ini. Firasatnya mengatakan Malik masih belum menyerah. Laki-laki itu pasti masih berharap banyak padanya dan tentu saja kesempatan seperti ini takkan disiakan olehnya.

***

“Kamu kenapa sih, Mir kayaknya bete amat sama Malik?” tanya Nena sepeninggal Malik. Laki-laki itu mendapat telepon penting yang mengharuskannya segera pergi. Entah apa yang dilakukannya, Mirah tak ingin tahu. Baginya cukup Malik pergi dan tak banyak bertanya lagi tentang dirinya seperti yang dilakukannya beberapa menit yang lalu.

“Katanya saudara kamu?”

“Saudara jauh.” Sahut Mirah pendek.

“Ya tetap saudara kan,”

Bahu Mirah terangkat. Ia kini bisa menikmati makanan dengan enak. Kepergian Malik mendadak membuat nafsu makannya kembali normal. Sungguh, ia kelaparan. Berkeliling mall memang menghabiskan energi.

“Sepertinya ada yang belum kamu ceritain ke Teteh ya?” tanya Nena curiga.

Mirah nyengir. “Dia melamarku kemarin waktu aku di kampung, Teh.”

“Nge—ngelamar?” Mata Nena terbeliak.

Mirah mengangguk. “Terus jawaban kamu?” tanya Nena lagi.

“Ya apalagi, Teh. Aku tolak lah,”

Nena berdecak. “Ck, Mir laki-laki sebaik itu kamu tolak? Ya Allah, baru sekali ketemu aja Teteh teh yakin dia laki-laki baik. Eh malah ditolak,”

“Teteh nggak lupa kan aku masih terikat kontrak dengan Dae Ho Oppa,”

Seketika Nena tersadar. Ia pun menepuk dahinya perlahan. “Ya ampun, iya ya, Mir. Maaf atuh,”

“Eh tapi kalau kamu nggak terikat kontrak gitu, berarti kamu teh mau nikah sama Malik?”

Kunyahan di mulut Mirah pun terhenti. Benaknya memikirkan ucapan Nena barusan. Kalau saja tak ada perjanjian nikah kontrak ini…

“Dia baik, mapan dan terima kamu apa adanya. Ah, Mir susah cari laki-laki seperti itu di zaman sekarang. Mana kita janda berbuntut lagi,”

Mirah meringis. Dalam hati ia membenarkan ucapan Nena. Jika tak ada nikah kontrak ini, mungkin ia tak perlu berpikir lama untuk menerima lamaran Malik. Selain pribadi Malik yang memang tak bercela, dirinya pun sempat memendam rasa pada laki-laki itu. Mungkin tak butuh waktu lama untuk membuatnya kembali jatuh pada pesona Malik.

Ya, mungkin saja seperti itu…

“Teh,” Ujar Mirah setelah menyelesaikan kunyahannya. “Asal teteh tau ya, kemarin pas aku di kampung aku juga ketemu mantan suamiku,”

Mata Nena melebar. “Mantan suami kamu?”

Mirah mengangguk. “Iya. Dan dia ngajak rujuk,”

Nena ternganga. “Astaga, Mir. Kenapa disaat kamu udah nikah kontak mereka muncul sih?”

“Aku nggak tahu,Teh. Aku sendiri aja bingung.” Tukas Mirah lirih. “Bang Malik itu udah lama menghilang. Tau-tau muncul ngelamar, siapa orang nggak bingung.”

“Mir, kalau yang Teteh lihat dia teh peduli sama kamu. Kayaknya masih ngarep,”

Mirah mengangguk lemah. “Kayaknya memang seperti itu,”

“Terus gimana rencana kamu?”

“Ya nggak gimana-mana, Teh. Kan aku masih terikat sama Dae Ho.”

Nena manggut-manggut. “Iya. Kamu benar. Selesaikan saja dulu kontraknya. Urusan mereka mah belakangan.”

“Iya, Teh.” Memang begitu seharusnya kan?

“Mir?”

“Hmm,”

“Kepikir nggak kalau mereka mengetahui soal Dae Ho?”

Tubuh Mirah pun membeku seketika.

***

Hari ini istimewa. Sepulang sekolah Mirah dan seluruh pengajar juga pekerja di sekolah tak langsung pulang ke rumah. Kanaya kemarin meminta semuanya untuk datang ke rumahnya karena akan ada perayaan ulang tahun anaknya yang ke-10.

Mirah memang mengetahui jika Kanaya memiliki seorang anak perempuan yang kini telah duduk di kelas 4 SD, tetapi sayang ia memang belum pernah bertemu dengan anak Kanaya.

“Mbak Mirah pernah lihat anaknya Miss Kanaya?” tanya Lilian yang duduk di sebelahnya saat mereka dalam perjalanan menuju rumah Kanaya. Semua pergi dengan taksi dan Mirah kebagian bersama Lilian.

Mirah menggeleng. Pertama kali ke rumah Kanaya saat bersama Nena, Mirah sama sekali tak melihat keberadaan anak Kanaya. Pun sudah hampir beberapa bulan bekerja di sekolah, Kanaya sama sekali tak pernah membawa anaknya turut serta. Mirah hanya sempat melihat fotonya di ruang kerja Kanaya.

Seorang gadis cilik yang cantik.

Gadis yang mengingatkannya pada Rania…

“Miss Lilian sering ketemu ya?” Mirah balik bertanya.

“Nggak. Tahun kemaren pas ultah juga, Mbak.”

“Oh gitu,” Kepala Mirah manggut-manggut. Sepertinya atasannya tak suka membawa anaknya kemana-mana.

“Yang aku dengar sih Mbak, Nayra lebih sering sama Ayahnya.” bisik Lilian kemudian.

Kening Mirah mengerut. “Maksudnya Miss Lilian?”

“Loh Mbak Mirah nggak tahu ya, kalau suami yang sekarang itu suami kedua Miss Kanaya. Nah yang pertama, ayahnya Nayra udah lama pisah.”

Mirah sedikit terkejut. Tetapi tak lama ia memilih tak perlu memikirkan terlalu jauh. Toh, setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.

“Eh, udah sampai nih Mbak. Yuk turun!”

Ini kedua kalinya Mirah datang ke rumah Kanaya. Berbeda saat pertama, kali ini depan rumah tampak dekorasi khas ulang tahun anak-anak. Tampak ucapan selamat datang serta ucapan selamat ulang tahun.

“Yuk Mbak!” Lilian menarik tangan Mirah untuk kemudian bergabung dengan beberapa pengajar yang juga baru tiba. Tak lama rombongan kecil itu menuju rumah. Kanaya yang melihat kedatangan mereka pun segera menyambut. Mirah dapat melihat binar bahagia di wajahnya.

Sesaat setelah bersalaman dan mengucapkan selamat pada anak Kanaya yang memang sangat cantik, Mirah pun mengikuti Lilian juga beberapa pengajar yang mulai mencicipi hidangan.

“Mumpung banyak makanan enak, Mbak. Jadi jangan disia-siakan,” bisik Lilian yang mengundang gelak tawa Mirah. Lilian itu supel dan ramah. Usianya memang terbilang paling muda, tapi ia bisa membawa diri dengan siapa pun. Yang Mirah sukai, sikap Lilian yang sangat ramah padanya. Tak canggung atau kikuk jika bersama dirinya. Makanya bisa dikatakan ia memang cukup dekat dengan gadis itu.

“Eh tapi biasanya Miss Kanaya bawain makanan loh Mbak kalau pulang,”

“Oh ya?”

Lilian mengangguk. “Lumayan buat makan malam kan,” kekehnya geli. Mirah pun tak urung ikut tertawa.

“Perbaikan gizi ya, Miss?”

“Nah itu Mbak Mirah tau!”

Tawa kembali pecah. Mirah menggeleng geli melihat tingkah Lilian. Gadis itu benar-benar tak ada jaimnya.

“Mirah!”

Mirah yang baru saja hendak mengambil penganan pun mendongak. Matanya terbelalak saat melihat sosok mantan suaminya berdiri tak jauh darinya.

“Ba—bang faisal?”

“Ya Tuhan, ini bener kamu?” Senyum Faisal merekah. “Kok ada di sini?”

“A—aku…,” Mirah tergagap. Kenapa Jakarta benar-benar sempit sih. Jika dua hari lalu Malik, sekarang Faisal. Ya Tuhan, kenapa sih ini?

“Ya—yang punya rumah ini atasanku.”

“Maksud kamu Bu Kanaya?”

Mata Mirah membulat. “Abang kenal?”

Faisal mengangguk. “Aku kerja dengan mantan suaminya. Pak Adhi.”

Enam bulan lalu aku bertemu dengan Pak Adhi. Ia menawariku pekerjaan sebagai supirnya yang siap kemanapun beliau pergi… Mirah teringat cerita faisal saat dia bertamu ke rumahnya di kampung. Jadi Pak Adhi itu mantan suami Kanaya, atasannya.

Astaga, Jakarta benar-benar sempit…




Selanjutnya di sini

0 komentar:

Posting Komentar