Senin, 01 Agustus 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (32)


Tiga Puluh Dua


sebelumnya di sini

“Kamu teh yakin pulang hari ini?” tanya Nena was-was.

Mirah mengangguk. “Iya, Teh. Lagian aku nggak papa,”


“Beneran?”

Mirah terkekeh. “Astaga , Teh. Aku kan cuma hamil bukan didiagnosa penyakit serius gitu,”

“Iya. Tapi kan kondisi kamu nggak fit, Mir. Kan kasihan kamu, kasihan janin.”

“Makasih ya, Teh.” Senyum Mirah. “Makasih karena Teteh selalu baik sama aku. Teteh…,”

“Ish, ngomong apa sih?” potong Nena. “Sesama manusia itu harus saling menolong. Lagian kamu the udah Teteh anggap adik sendiri.”


“Lagian kamu kayak sekarang juga karena Teteh,” sambung Nena kembali. Kali ini suaranya pelan. Nyaris tak terdengar membuat Mirah mendesah panjang.

“Teh, kalau soal kehamilan aku ini bukan salah Teteh. Lagian soal nikah kontrak itu kan emang maunya aku. keputusanku. Jadi Teteh jangan nyalahin diri ya,”

“Ini murni semua tanggung jawabku,”

“Tapi kalau bukan karena kamu lihat hubungan Teteh dan Josh, kamu juga nggak akan tahu kan Mir soal profesi istri kontrak.”

Mirah tersenyum kecut. Bisa jadi tapi…

“Semalam aku udah berpikir, Teh. Apapun yang terjadi yasudah terjadi. Nggak bisa diulang. Aku nggak bisa juga ngarepin Dae Ho Oppa kembali, bahkan untuk sekedar memberitahunya. Bagiku cukup aku besarkan anak ini, karena memang dia berhak hidup.”

“Cukup Mirah yang berdosa, Teh. Jangan dia.”

Ruangan terasa senyap untuk beberapa waktu.

“Jadi rencana kamu gimana?”

Mirah mengedik. “Aku belum tahu, Teh.”

“Pulang kampung?”

Kepala Mirah menggeleng. Ia menelan ludah susah payah. “Nggak mungkin, Teh.” Katanya parau. Di kepalanya berkelabat wajah Emak juga keluarganya. Ini aib. Jelas ia mencoreng nama baik keluarga. Pulang, sama saja bunuh diri.

“Ya sudah nanti kita pikirkan. Yang penting sekarang pulang dulu.” ujar Nena maklum. “Kamu tunggu ya, Teteh tanya ke perawat dulu jam berapa kita bisa pulang.”

Sepeninggal Nena, Mirah membuang napas pendek. Ia harus memikirkan hidupnya ke depan. Apalagi dengan adanya bayi di rahim. Ia harus berpikir ekstra keras untuk bertahan hidup di Ibukota.

Nasibmu, Mir…

Bibir Mirah tertarik lurus. Tersenyum skeptic. Ia sendiri masih tak percaya jika ia hamil. Mirah tahu bahwa setiap anak adalah anugerah, tapi tetap saja ia seharusnya lebih berhati-hati. Entah bagaimana status hukum anaknya di masa depan. Menikah resmi saja tidak…

“Mir,”

Nena kembali masuk. Mirah mendongak. “Kita bisa pulang kok siang ini,”

Syukurlah!

“Nanti Teteh siap-siap dulu ya. Eh iya tadi Kanaya telepon, katanya mau kesini. Sekalian mau antar kamu pulang katanya. Tapi Teteh bilang nggak usah.”

“Terus?” ekspresi wajah Mirah berubah.

“Terus dia bilang nggak enak sama suami kamu. Ck, Teteh makin bingung, Mir.”

“Teteh bilang apa?”

“Nggak bilang apa-apa. Terserah dia ajalah.” Tukas Nena. “tapi ngomong-ngomong kamu tuh gimana sih bilang ke dia? Bikin bingung. Teteh teh jadi takut salah ucap.”

Mirah menghela napas. “Makin banyak bohong aku, Teh.”

“Teteh tahu dia tuh baik. Peduli lagi sama semua pegawainya. Tapi tetap aja kamu musti jaga jarak. Salah-salah semuanya ketahuan.”

“Iya, Teh. Aku barusan kepikiran mau keluar kerja aja.”

Nena mengernyit. “Cari kerjaan lain gitu maksud kamu?”

Kedua bahu Mirah terangkat. “Belum tahu, Teh.”

“Kayaknya nanti kita pikirkan jalan keluar semua masalah kamu, Mir. Belum tahu-belum tahu itu nggak enak dengarnya.”

Mirah nyengir. Nena menggeleng. “Ruwet! Ruwet, Mir hidup kamu,” ujarnya lagi yang diamini oleh Mirah sendiri.

Memang semakin ruwet, Teh!

***

“MIRAH!”

Merasa namanya disebut, Mirah pun berbalik. Kontan matanya melotot tak percaya saat melihat sosok laki-laki yang setengah berlari ke arahnya. Tubuhnya pun menegang. Ia pun menoleh menatap Nena yang ternyata sama kagetnya.

“Ah, ternyata benar kamu! Oh ada Nena juga,”

“Ba—bang Malik.” Ujar Mirah tergagap. Nena mengangguk kaku. “K—kok di sini, Bang?”

“Lagi jenguk kawan.” Jawab Malik. “Kamu?”

Kebetulan? Takdir?

Entah apapun itu, Mirah masih tak percaya mendapati sosok Malik berdiri di depannya. Ia pikir takkan lagi bertemu lelaki itu. Jakarta itu luas dan padat. Jadi kecil kemungkinan bagi mereka bertemu kembali.

Seperti itu logikanya, tapi faktanya…

“A—aku…,”

“Kamu sakit?”

“Eh, eng—enggak. Aku…,”

“Hanya sedikit kelelahan,” Nena menyahut. Ia tahu Mirah gelagapan bingung. “Jadi kubawa ke dokter.”

“Oh,” Mulut Malik membulat. “Kupikir sesuatu yang serius?”

Sangat serius sebenarnya…

“Ehm, Bang!” Mirah berdehem. “Kami permisi pulang dulu kalau begitu,”

“Aku antar,”

Mirah menggeleng. “Terima kasih. Tapi sudah ada mobil Teh Nena.”

“Oh,” Kentara sekali kecewa di wajah Malik, namun Mirah memilih mengabaikan. Ia tak mau sedikitpun memberi harapan pada Malik.

Menjauh itu lebih baik.

“Maaf ya, Bang. Kami duluan.” Pamit Mirah. Ia baru saja hendak berbalik ketika mendengar Malik berkata,

“Kamu ganti nomor ya, Mir? Abang selalu gagal menghubungimu.”

***

“Malik? Faisal? Hemm,”

Mirah menoleh menatap Nena yang berada di balik kemudi. Senyum tipis terkembang di wajah wanita itu. “Yang satu mantan suami yang satu cinta pertama.” Ujarnya lagi yang disambut dengusan oleh Mirah.

“Apaan sih Teteh ini?” sungutnya kemudian.

Nena mengulum senyum. “Nggak papa. Cuma hidup kamu teh kayak menarik banget. Kalau dijadiin novel seru, Mir?”

“Ngawur Teteh ini,” cibir Mirah.

“Eh beneran loh! Lepas dari bule sipit kamu dikerubutin dua laki-laki yang siap buat bahagiaan kamu. Mana keliatan banget dua-duanya cinta sama kamu lagi, Mir,” ungkap Nena.

Mirah tergelak dengan kosakata yang dipakai Nena. “Dikerubutin? Macam gula aja, Teh.” Kekehnya. “Itu kan kelihatannya, tapi faktanya. Ingat loh Teh Bang Faisal kan meninggalkanku.”

“Dulu! Sekarang dia nyesel kan.” Sahut Nena. “Baiklah abaikan si mantan suami kalau gitu teh. Kita fokus ke cinta pertama yang terus bertemu tanpa sengaja,”

“Ini kebetulan atau memang takdir, Mir? Ada aja lo waktu kalian ketemu. Hem, Jakarta kan luas ya, tapi kalian ketemu mulu.”

Mirah meringis. “Baru dua kali juga, Teh.”

“Mau nunggu sekali lagi nih jadinya?” seloroh Nena yang membuat Mirah merengut.

“Teteh kok kayaknya senang banget sama Bang Malik? Suka? Mau aku comblangin?”

Bibir Nena mencebik. “Sejujurnya ya, Mir. Malik itu calon potensial. Suami idaman juga calon mantu favorit emak-emak. Dewasa iya, cakep oke, mapan lagi kan?”

“Tapi sayangnya cuma satu. Dia tuh sukanya sama kamu bukan sama Teteh,”

“Belum tentu, Teh,” Mirah menggeleng. “Bang Malik itu cintanya sama calonnya yang dulu. Buktinya tetap sendiri bertahun-tahun. Aku mah kebetulan aja udah dikenal dari kecil. Keluarganya udah kenal baik.”

“Kamu ini kenapa pesimis sih, Mir?” Nena menoleh sekilas. “Kenapa nggak coba ngasih kesempatan buat dia? Atau mantan suami kamu itu juga kelihatan banget ngebet mau rujuk,”

“Teteh sih cuma pengen kamu bahagia, Mir!” sambung Nena lirih. Perasaan bersalah itu masih melekat didirinya. Sulit terhapus bila belum memastikan Mirah mendapat kebahagiaannya.

“Mirah bahagia kok, Teh.”

“Kamu yakin?” Nena pun menggeleng. “Teteh rasa kamu nggak akan bahagia selama masih terus terbayang-bayang oleh Dae Ho, Mir.”

Tak lama Nena pun menarik napas. “Apalagi ada yang tertinggal sekarang.”



TBC

selanjutnya di sini

Lampung, Agustus 2016




4 komentar: