Kamis, 16 Juli 2015

TIKET


Ardi terbeliak tak percaya saat mendapati selembar tiket bus jurusan Pekan Baru berada dalam amplop putih yang berada di genggamannya. Amplop yang entah dari siapa, karena pagi tadi ia menemukan amplop tersebut terselip tepat di bawah pintu kamar kostnya.
Dan yang membuat dirinya makin terkejut. Tiket tersebut atas nama dirinya. Ardiansyah.
Siapa pengirimnya?
“Nggak kerja, Di?”
Ardi terkesiap. Jamal, penghuni sebelah kost menyapanya. Lelaki bertubuh tambun itu telah siap dengan gerobak bakso dagangannya.
“Ke…kerja kok,”
“Oh, belum berangkat?” Ardi mengangguk, “Ya sudah, aku duluan ya!”
Ardi mengangguk kembali, “Ya, hati- hati Mas!”
Jamal mengangguk dan tersenyum. Sesaat setelahnya ia mendorong gerobaknya menjauhi kostan dengan teriakan nyaring. “Bakso! Bakso!”
Sepeninggal Jamal, Ardi dengan cepat menutup pintu kamarnya. Sekali lagi memastikan kebenaran tiket tersebut. Nama serta tujuan yang tertera.
Benar. Tak salah, gumamnya dalam hati.
Tapi siapa?
Ardi menghempaskan tubuhnya di kasur segiempat yang sudah usang. Terlalu tipis dan keras. Sudah tak layak pakai sebenarnya, tetapi ini saja ia sudah bersyukur karena beberapa penghuni kost lain justru hanya beralas tikar untuk tidur.
Mata Ardi masih tak lepas dari tiket yang ada di tangannya. Otaknya terus berpikir mencari tahu siapa malaikat baik hati yang mengirimkan tiket ini. Namun sejauh ia berpikir selama itu pula ia tak menemukan orang yang memungkinkan berbaik hati mengirimkan tiket ini.
Lingkungan kehidupan sosialnya sangat sedikit. Teman? Ia tak benar- benar mempunyai teman sejak tinggal di kota ini lima tahun lalu. Kota ini mengajarkan kerasnya hidup dan ia harus berhati – hati dengan orang- orang di sekitarnya.
Tetangga? Jamal? Hadi? Rahmat?
Ardi tersenyum kecut. Ongkos ke Pekan baru terang tidak murah. Cukup mahal buat orang seperti mereka. Seperti dirinya. Orang- orang yang berniat mengubah nasib di ibukota namun pada akhirnya nasib tak juga lebih baik. Justru semakin terpuruk di kota besar.
Bosnya?
Makin mustahil.
Laki- laki  itu tak mungkin menghamburkan uangnya untuk membelikannya tiket pulang. Pinjam saja sulit , apalagi memberi cuma- cuma.
Jadi siapa?
***
Tiga hari berlalu sudah. Ardi masih dilanda kebingungan dengan keberadaan tiket tersebut. Ia masih belum memutuskan. Tiket tersebut memang bagai durian runtuh baginya. Rezeki tak diduga. Tetapi kegamangan siapa pemberinya membuatnya sangsi.
Ia ragu.
“Minum, Di?”
Ardi menggeleng. “Saya puasa, Pak!” katanya memberi alasan. Pak Siwo, lelaki yang menawarkannya minum terkekeh, “Masih kuat to kowe, Di?”
Ardi tersenyum lalu mengangguk, “Alhamdulillah, Pak!”
Pak Siwo manggut- manggut, “Hebat kamu! Aku malah sudah lupa rasanya puasa.”
Ardi mengernyit. Ia bingung dengan ucapan Pak Siwo, laki- laki yang baya yang juga merupakan rekan kerjanya. Sesama kuli bangunan.
“Dulu waktu di kampung, aku juga rajin puasa. Rajin shalat. Rajin ngaji. “
Sesaat hening.  Ardi memilih diam, ia menunggu Pak Siwo melanjutkan ceritanya. “Tapi dulu. Sebelum aku pindah ke Jakarta. “
“Di Jakarta semua serba sulit. Aku harus bekerja lebih keras. Kerja, kerja dan kerja. Lupa shalat apalagi seringnya ketemu bos yang tak mengizinkan shalat. Wislah lama lama jadi nggak shalat sekalian.”
“Lagian buat apa? Hidupku yo nggak berubah. Masih aja susah. “
Ardi terkejut seketika. Ia tak menyangka kalimat terakhir Pak Siwo. Laki- laki ini kecewa dengan hidupnya. Membuatnya menjauh dari tanggung jawabnya sebagai manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang wajib menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
“Tapi, Pa…,”
“Wis Di, aku ora butuh ceramah.” Potong Pak Siwo cepat, “Sudah banyak yang ngomong, banyak yang ceramah tapi lihat hidupku masih begini- begini aja.”
Ardi menelan ludahnya susah payah. Berhadapan dengan orang yang pesimis dalam hidup memang sulit. Ia juga tak bisa menyalahkan. Kehidupannya sendiri juga sama sulitnya. Jauh- jauh merantau guna mendapat kehidupan yang layak, membantu kehidupan ekonomi orang tuanya di kampung nyatanya ia malah tersungkur di kota besar.
Kuli bangunan.
Argh, ibu bisa pingsan jika tahu!
“Kalau gitu saya hanya bisa doakan bapak supaya tercapai cita- citanya.” Pak Siwo tertawa kecil meski tak urung kepalanya mengangguk. Namun tak lama menggeleng berulang kali.
“Aku cuma pengen pulang kampung, Di!”
***
Ardi menatap heran pada Jamal, laki- laki tambun itu kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sebuah tas besar diletakkan tepat di sebelahnya.
“Aku pamit yo, Di!”
“Loh mau kemana, Mas?” Ardi tak dapat menyembunyikan keingintahuannya.
“Mudik. Aku dapet mudik gratis.” Ardi mengernyit heran. Ia tahu bagaimana Jamal sama sepertinya. Tak bisa mudik karena kesulitan ongkos.
 “Itu lo kecap yang aku pakai ngadain mudik gratis, yo aku ndaftar.”
Mulut Ardi membulat. Kepalanya mengangguk- angguk. “Hati- hati ya Mas kalau gitu. Semoga selamat sampai tujuan.”
Jamal tersenyum tipis. “Yo. Makasih. Sekalian aku minta maaf kalau selama ini banyak salah. Abis lebaran aku nggak balik lagi kesini.”
Ardi tertegun, “Loh kok?”
“Mumpung ada yang gratisin pulang kampung, Di. Aku mau di kampung aja. Usaha di sana. Deket orang tua. Keluarga.  Makanya aku minta maaf kalau selama ini ada salah. Bikin kamu nggak nyaman,”
“Iya, Mas. Sama- sama. Aku juga minta maaf.”
Jamal mengangguk. “Ya sudah aku permisi kalau gitu. Baik- baik kamu! Kalau ada kesempatan pulang mending pulang aja. Di Kampung lebih baik untuk orang kayak kita- kita ini.”
Ardi hanya bisa tersenyum mendengar seloroh Jamal. Meski tak dapat dipungkiri kebenarannya. Orang- orang seperti dirinya. Orang- orang yang tidak memiliki bekal ijazah tinggi, tak punya kemampuan lebih. Biasa saja atau malah terpinggirkan.
Kalau ada kesempatan pulang mending pulang saja!
Aku Cuma pengen pulang kampung, Di!
Tiba- tiba benak Ardi terbayang ucapan Akmal serta Pak Siwo tadi siang. Ia teringat tiket bis yang masih belum diketahui pengirimnya.
Kalau ada kesempatan pulang …
Ardi menarik amplop putih yang berada di bawah bantalnya. Sesaat ia menimbang- nimbang amplop tersebut. Pikirannya terus bekerja.
Inikah kesempatan?
***
“Bagaimana?”
“Sudah saya kerjakan, Bu. Tiket sudah ada padanya. Tapi saya tidak tahu apakah dia mau menggunakannya atau tidak.”
“Tapi dia pasti pulang kan?”
“Saya tidak bisa menjamin, Bu. Tapi saya yakin dia pasti berfikir hal itu sekarang.”
“Baiklah. Terima kasih kalau begitu.”
“Sama- sama, Bu.”
Wanita tua itu menghela nafas berat sesaat setelah mematikan saluran telepon. Dihembuskannya nafasnya perlahan, sudah tepatkah sikapnya.
“Ibu kenapa harus main sembunyi- sembunyi sih kalau ngasih tiket sama Bang Ardi.”
Wanita baya itu menoleh. Ia tersenyum tipis lalu menghampiri seorang gadis belia yang duduk di kursi kayu panjang. “Ibu menjaga perasaan abangmu,”
“Abangmu selama ini saja menutupi kesulitan dirinya di sana. Itu berarti ia tak ingin merepotkan kita. Merepotkan ibu. “
“Selama ini ia bekerja keras untuk membantu keluarga, bahkan ia tak mempedulikan dirinya sendiri. Ibu ingin dia kembali. Lebih baik disini. Di dekat kita.”
Gadis muda itu mengangguk. “Kita berdoa ya, Bu semoga bang Ardi digerakkan hatinya untuk pulang.”
Wanita tua itu mengangguk. Semoga!
-END-

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR BATIN YA…..

6 komentar: