Rabu, 15 Juli 2015

ELROY (7)


Bab VII

Sebelumnya Disini

“El, dima…,”

“Gue baik- baik aja. Ok! Nggak ada pengaruhnya berita itu sama gue. Terserah!” Sentak Elroy kasar sembari menekan tombol off di ponselnya. Sejak tadi ponselnya bordering karena panggilan Anya membuat Elroy jengah sendiri.

Ck, gara- gara berita sialan itu!


Elroy tersenyum kecut. Setelah ini apa lagi yang bisa dibanggakan keluarganya? Benar- benar keluarga menyedihkan.

Dan kenapa gue harus lahir di keluarga seperti itu?

“El!”

Elroy berbalik. Sesaat dahinya mengerut. Menatap heran pada sosok Gendis yang berada di belakangnya. “Lo ngikutin gue?”

“Loh tadi kan emang gue sama lo,” Jawab Gendis santai. Ia mendekati Elroy lalu mendudukkan tubuhnya di sebelah laki- laki itu. “Tega amat lo ninggalin gue!”

“Cih! Nggak usah sok manis lo! Nggak cocok!” Balas Elroy kemudian. Ia memang masih sedikit bergidik dengan sikap Gendis yang menurutnya dibuat- buat. Baginya Gendis adalah cewek garang yang selalu mengajaknya beradu mulut. Bahkan gadis ini tak segan menginjak kakinya.

Gendis tergelak, “Kalau gue bilang gue manis gimana?”

Elroy mencibir, “Pede amat lo!”

“Tapi emang manis kan?” kekeuh Gendis lagi.

Sesaat sudut bibir Elroy berkedut menahan tawa. Ia tak ingin membuat gadis ini makin over percaya diri karena sikapnya. Jadi Elroy memilih membuang muka. Mengalihkan tatapannya ke danau yang berada dari kursi yang didudukinya.

“Kalau mau ketawa, ketawa aja kali!”

Elroy melirik sinis sekilas. Ia berdecak kesal namun tak berniat membalas ucapan Gendis. Hanya dengusan gusar yang terdengar dari dirinya.

By the way besok- besok jangan tinggalin gue lagi dong! Apalagi sama Bastian dan Tama.”

Mata Elroy melebar seketika.

What the hell? Apa urusannya sama gue?

***

Bastian tersenyum kecut dari tempatnya berdiri. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Matanya masih tak lepas dari pemandangan di dekat danau kampus. Menatap dua orang berbeda jenis kelamin yang asyik terlibat obrolan, meski satu pihak terlihat tak menginginkan membuat perasaan kesal serta sesak yang bersamaan.

“Cemburu?”

Bastian meringis. Cemburu? Apakah ini yang disebut cemburu. Sepanjang hidup ia memang sering dekat dengan wanita. Pacarnya sudah tak terhitung. Ia bahkan dicap sebagai playboy. Tapi ia tak pernah peduli, baginya selama wanita masih hidup selama itu pula ia masih bisa menikmati keberadaan mereka.

Toh mereka sendiri yang datang padanya.

Tapi tidak kali ini. Gadis itu justru menjauhinya. Terlihat sekali enggan bersama dirinya.

“Yuk ah, cabut!” Bastian mendengus gusar mendengar ajakan Tama . “Udah sih Bas, stok cewek lo kan banyak! Biarin aja Gendis sama El!” Lanjut Tama seraya berbalik meninggalkan Bastian. Sesaat ia tersenyum, kepalanya menggeleng.

Cewek, cewek! Bisa aja bikin rusak persahabatan orang.

***

Malam masih larut, namun matanya belum terpejam. Ia menghembuskan nafas gusar lalu menegakkan tubuhnya, bersandar pada kepala ranjang. Diraihnya ponsel yang berada di atas nakas tepat di samping ranjang. Ia hidupkan sesaat. Puluhan missed call dan inbox menyambutnya seketika. Dia tersenyum kecut.

Ck, Dasar tukang gosip!

“Ada apa?” Ia menoleh. “Tidurlah kembali ini masih larut,”

Ia menggeleng namun tak bersuara apapun. Hanya terdengar helaan nafas berat dari dirinya.

Seketika hening. Sosok yang berada di sebelahnya hanya bisa menggeleng perlahan lalu ikut bersandar di ranjang.

“Untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu,”

“Kenapa?”

“Media sudah menciumnya,”

“Ta..Tapi…”

“Tidak ada tapi- tapian!” sergahnya kasar sembari menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia beringsut dari ranjang, “Jaga dirimu! Aku akan menghubungimu kembali jika sudah aman.” Katanya lagi sembari meraih pakaiannya. Mengenakannya dengan cepat lalu melangkah menuju pintu.

“Aku pergi!” Ucapnya sesaat sebelum menghilang dibalik pintu.

Harus segera kuselesaikan.

***

“Hai!”

Elroy terbelalak sejenak lalu mendengus kasar. Nyaris saja ia menghempaskan pintu kamarnya, namun mengingat etika dan jenis kelamin sosok yang berada di hadapannya membuatnya menahan diri.

“Ngapain sih lo kesini?” Tanya Elroy ketus. Ia terang- terangan menunjukkan kekesalannya.

“Jemput lo!” Jawab Gendis santai membuat Elroy memutar bola matanya jengah. Gadis ini benar- benar mengganggu hidupnya. Sungguh menyebalkan!

“Nggak perlu!” Sahut Elroy cepat, “Udah sana pergi lo! Gue mau tidur!” Katanya lagi. Kali ini ia berniat menutup pintu kamarnya tetapi kalah cepat dengan gerak kaki Gendis yang menahan tertutupnya pintu.

No! No! No!” Gendis menggerakkan telunjuknya ke kanan kiri dengan kepala menggeleng, “Lo nggak boleh bolos! Lo harus kuliah!”

“Cih, siapa lo ngatur- ngatur gue!”

“Gue?” Gendis menunjuk dirinya sendiri. Dengan senyum merekah ia berkata, “Gue Gendis.”

Elroy melotot kesal. Terang bukan itu maksud perkataannya. Tapi emang dasar cewek aneh, gerutunya dalam hati.

“Udah sana- sana! Suka- suka gue mau bolos apa nggak. Bukan urusan lo! Paham!”

“Nggak!”

Elroy berdecak sebal. Cewek sinting! Sudah menganggu paginya, bertingkah menyebalkan pula.

“Ck, lo itu mau apa sih sebenarnya?”

Gendis tersenyum lebar, “Berangkat kuliah bareng lo!”

Elroy melirik sinis, “Gue nggak mau,”

“Terserah!” Sahut Gendis dengan kedua bahu terangkat, “Gue bakal tunggu di sini!”

Whatt!!

“Segitu pentingnya lo harus bareng gue?” Tanya Elroy dengan nada frustasi.

Gendis mengangguk, “Iya. Kuliah kan penting.”

Elroy menghela nafas berat. Sepertinya ia tak ada pilihan lain. Mengingat sikap Gendis yang memang keras kepala. Daripada ia harus melihat Gendis di depan kamarnya lebih baik ke kampus. Bukankah ia berbeda jurusan dengan Gendis, jadi tak selamanya ia berada di dekat gadis itu.

Jelas gue lebih pintar.

***

“Lo pacaran sama Gendis?”

Pertanyaan Adit menyambutnya sesaat setelah Elroy menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi. Ia menghembuskan nafas gusar, Gendis benar- benar membuatnya tak berkutik. Setelah pagi- pagi muncul di depan kosannya dan berhasil menyeretnya ke kampus padahal ia sudah berniat membolos, Gendis pun mengantarnya hingga depan kelas. Memastikan jika dirinya benar- benar masuk kelas, tidak kabur alasan gadis itu yang terang membuat Elroy kesal setengah mati.

Siapa lo?

Belum hilang kekesalannya, kini ia dihadapkan pada pertanyaan Adit. Sebenarnya bukan hanya Adit, Kenzi yang duduk di sebelah Adit dan beberapa rekan sekelasnya yang telah hadir juga menatap dirinya heran.

Sialan tuh cewek.

“BUKAN URUSAN LO!”

“Wow, wow! Santai, Bro!” Sahut Adit dengan tangan terangkat, “Gue cuma nanya, jadi lo nggak perlu marah- marah!”

Elroy melirik sinis. Ia mencibir dalam hati, pertanyaan yang pada akhirnya akan jadi bahan pergunjingan seantero kampus.

Cih, lagu lama!

“Ada apaan sih?”

Elroy mendongak. Dua orang laki- laki menghampiri mereka. Baru saja datang sepertinya. Elroy mendengus sinis saat melihat wajah keduanya.

Tambah lagi orang- orang sok peduli!

“Nggak ada apa- apa.” Ucapnya dingin.

Bastian mengernyit. Ia menatap Elroy sesaat sebelum mengarahkan pandangan pada Adit dan Kenzi bergantian. Namun keduanya hanya mengangkat bahu acuh. Seolah- olah memang benar apa yang dikatakan Elroy.

Tak ada apa- apa.

“Udah, Bas!” Tama yang berada di belakang Bastian menengahi, “Tuh dosennya udah datang!”

Bastian pun pasrah, ia mengikuti Tama. Mencari kursi yang masih kosong. Sesaat ia melirik Elroy kembali. Laki- laki itu kini tengah memainkan ponselnya. Wajahnya seperti biasa. Datar dan dingin.

Ck, manusia salju.

***


Elroy dengan cepat menyambar tasnya sesaat setelah dosen menutup perkuliahan. Ia dengan cepat melesat meninggalkan ruangan. Membuat beberapa pasang mata ternganga dengan sikapnya. Elroy boleh jadi terlalu dingin dan tak peduli, tapi pergi meninggalkan kelas bahkan saat dosen masih ada jelas itu bukan khas dirinya.

“Kenapa dia?” Tanya Bastian pada Adit. Ia penasaran. Dihempaskannya tubuhnya di kursi yang sebelumnya diduduki Elroy. Elroy memang duduk bersebelahan dengan Adit di deret tengah, sedangkan dia karena datang terlambat harus duduk di deretan depan yang memang kosong.

Adit mengendikkan kedua bahunya, “Entah!” Katanya tak peduli, “Udahlah biarin kayak lo nggak tahu adatnya aja!”

Mata Bastian memicing curiga lalu menarik nafasnya panjang, “Makin hari gue makin aneh sama dia.”

“Bukannya emang dari dulu ya dia aneh,” Cibir Adit.

“Dan lo benci banget sama dia kan?” Celetuk Tama yang kini sudah berada di samping Bastian. Perkuliahan sudah selesai, dosen pun sudah meninggalkan ruangan. Hanya tersisa beberapa orang yang masih enggan beranjak meninggalkan kelas.

Adit mencibir, “Kayak lo nggak aja,”

Tama tersenyum, “Gue nggak benci. Nggak pernah benci sama dia. Cuma ya memang dia terkadang menyebalkan,”

“Yakin lo nggak benci?” Tanya Adit meremehkan, “Gue kok nggak percaya,”

“Lo, Bastian juga Kenzi sama kayak gue. Benci sama dia.” Lanjut Adit lagi.

Bastian terdiam. Ia sama sekali tak mendengarkan kata- kata Adit maupun Tama. Sejak tadi otaknya memikirkan alasan dibalik sikap Elroy yang terburu- buru meninggalkan perkuliahan. Kalau seperti itu, bukankah lebih baik bolos seperti biasanya. Apa karena Gendis? Atau masalah keluarganya yang terkuak di media?

Argh, kenapa dia?

-tbc-

Selanjutnya Disini


Lampung, Juli 2015





1 komentar: