Senin, 17 Agustus 2015

Hati Seorang Ibu




Ibu, maafkan aku
Seketika aku tersentak. Terbangun dari tidur. Mimpi itu datang lagi. Mimpi tentangnya.

Ya Allah, lindungi ia. Kembalikan ia ke sampingku.
Kulirik jam di dinding. Pukul 03.00. Aku memutuskan untuk bangkit dari kasur. Tidur lagi pun takkan mungkin. Mata ini sudah sulit terpejam kembali.

Ku ambil air wudhu lalu memasrahkan diri pada sang pencipta. Bukankah ia tempat sebaik- baiknya untuk berkeluh kesah?

"Ini sudah tidak bisa dibiarkan,"


"Kali ini kita harus bangkit, demi rakyat!"

"Apakah tidak berbahaya, Dit?"

"Insya Allah kita dilindungi. Niatkan semuanya demi perjuangan untuk rakyat,"

Aku terkesiap saat tak sengaja mencuri dengar obrolan Radit, anakku dan teman- temannya di kamar. Jantungku berdegup cepat, aku merasakan ada hal yang tidak biasa yang diperbincangkan mereka. Bukan tugas kuliah seperti yang biasa Radit katakan.

"Kita akan berkoordinasi dengan teman- teman seluruh Indonesia," Suara Radit yang mantap dan tegas semakin membuatku semakin tak nyaman. Tunggu dia bilang seluruh Indonesia, ada apa gerangan?

"Pastikan semua siap besok. Dan sesuai rencana!"

Masih dengan hatiku tak menentu, kutinggalkan mereka. Rasa cemas, gelisah dan was- was membayangiku. Radit, anak sulungku memang sangat aktif di berbagai kegiatan kampusnya. Makanya aku sudah terbiasa dengan kedatangan teman- teman Radit, namun tidak kali ini.

"Bu,"

Aku menoleh dan mendapati anak sulungku berdiri tepat di pintu kamarku. Ia memandangiku dengan sorot yang tak kumengerti. Aku dapat merasakan Radit menyimpan sesuatu yang kali ini akan disampaikannya.

Dengan perlahan ia menghampiriku yang terduduk diatas sajadah. Ia mendekatiku, lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku.

"Kok kamu disini? Teman- temanmu gimana?" tanyaku kemudian sambil mengelus kepalanya berulang kali.

"Sudah pulang," Jawabnya singkat.

"Ada apa, Nak?"

Aku pun tak kuasa menahan diri untuk bertanya. Apalagi tadi sekilas kudengar percakapan dengan beberapa teman- temannya. Percakapan itu membuat hatiku tak menentu.

"Maafkan Radit, Bu!"

Aku menatapnya. Dahiku berkerut. Radit minta maaf? Ada apa gerangan,

Kurasakan kepala Radit terangkat perlahan. Ia mengambil tempat di sampingku. Lalu tangannya menggenggam erat jemariku.
 

"Radit sayang sama Ibu!"

"Radit, ada apa?" Aku semakin penasaran, Radit benar- benar menyembunyikan sesuatu.

Radit menghela nafas panjang, "Besok Radit mau demo,"

Aku terbelalak, "De...demo?"

Sekelebat bayangan para mahasiswa yang berorasi di jalan melintas di kepalaku. Akhir- akhir ini tontonan televisi menayangkan para mahasiswa yang bergerak untuk mengecam pemerintahan yang telah bertahun- tahun lamanya berkuasa.

"Maafkan Radit, Bu. Radit tahu ibu nggak suka. Tetapi Radit merasa harus ikut berjuang, Bu!"

Aku menggeleng tegas.

"Semua yang kami lakukan untuk rakyat, Bu!"

Aku menelan ludah, "Haruskah kamu ikut, Nak?"

Dapat kulihat anggukan kepala Radit yang mantap, "Kalau bukan kami siapa lagi, Bu!"

"Ta... tapi," Suaraku tertahan di tenggorokan. Ketakutan membayangiku. Aku yang sudah hidup jauh sebelum Radit sangat mengetahui bagaimana pemerintah yang berkuasa bertahun- tahun tidak pernah sekalipun dapat diguncang. Segala bentuk perbedaan dan opini di masyarakat terkungkung. Bila salah berbicara, militerlah yang berkuasa. Sudah terlalu banyak potret mereka yang berseberangan dengan pemerintah harus mendekam di penjara. Dan kali ini anakku ikut serta,

Tidak, kepalaku menggeleng kuat- kuat.

"Bu, izinkan Radit. Radit melakukan hal baik. Perjuangan yang kami lakukan semua demi rakyat kita. Ibu tahukah sudah berapa lama pemerintah kita berkuasa namun rakyat hidup dalam kemiskinan. Sudah saatnya kita melakukan reformasi!"

Ucapan Radit yang sangat menggebu- gebu membuatku sdikit terhenyak. Ada kebenaran nyata yang ia jabarkan.

"Negeri ini kaya tetapi kita selalu hidup miskin. Para pejabat kita asyik menikmati sendiri tanpa peduli rakyatnya!"

"Tapi, Nak!" Ujarku ragu, "Ibu takut terjadi sesuatu," Aku terisak, mencoba jujur padanya akan ketakutanku.

Sesaat Radit mencium punggung tanganku, "Ibu jangan lupa kalau dunia ini ada yang menciptakan, segala yang terjadi sudah diatur olehNya! Kita manusia hanya dapat berencana tapi pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan!"

Aku beristighfar dalam hati mendengar penjelasan Radit. Anakku benar, apa yang aku takutkan padahal ada yang mengatur hidup ini. Termasuk urusan hidup.

Kutatap wajah anakku lekat- lekat. Wajah yang selalu mengingatkanku pada satu- satunya lelaki yang kucintai di dunia ini. Secara keseluruhan wajah Radit memang menurun dari ayahnya, termasuk sifatnya. Berani dan tak pernah kenal lelah.

"Ka...kamu ya..kin, Nak?" Kataku sedikit terbata,

Radit mengangguk, "Untuk hal baik kita tidak boleh ragu,"

Mataku semakin memanas, sebuncah perasaan bangga melingkupiku. Anakku benar- benar peduli terhadap orang lain. Bukankah seharusnya aku berbangga hati untuk sikap simpati dan kepeduliannya?

Kupandangi wajah anakku kembali, mencari sedikit keraguan di matanya. Aku menggeleng menyadari keyakinan kuat terpancar di matanya. Kutangkupkan kedua tanganku ke wajahnya,

"Ibu doakan yang terbaik untukmu, Nak! Tapi berjanjilah satu hal!"

Kening Radit berkerut, namun ia tak mengucapkan sepatah apapun. Menunggu diriku yang berkata,

"Berjanjilah kamu akan kembali!"

"Kembali ulang ke rumah."

Anggukan dan senyuman cerah yang Radit berikan sedikit menguraikan kecemasanku. Aku yakin ia akan menepati janjinya.
"Bu,"

Tanpa perlu mendongak aku tahu siapa yang memanggil. Ku usap kembali foto yang berada di tanganku. Bayangan Radit yang meminta izinku malam itu berputar kembali di memoriku. Kupejamkan mata sesaat,

Kalau saja aku tetap bertahan untuk tak mengizinkannya,

Kalau saja aku menahan kepergiannya,

Kalau saja pemerintah lebih adil

Kalau saja negara benar- benar menjamin hidup warganya,
"Ibu, sudahlah!" Suara lembut yang memanggilku kini terdengar jelas. Ia mengambil tepat disampingku. Kurasakan sebelah tangannya merengkuh pundakku.

"Ikhlaskan, Bu! " Ucapnya lagi, "Dimana ia berada semoga selalu dalam lindunganNya,"

Aku menoleh dan mendapati Raisa, adik Radit juga menatapku sendu. Matanya berkaca- kaca membuatku semakin tergugu. Isak tangispun tak tertahankan. Kurasakan Raisa memelukku.

"Sudah hampir tujuh belas tahun, Ra!" Kataku di sela tangis."Tapi ibu tidak tahu keberadaannya,"


"Bahkan negeri ini sudah berganti banyak pemimpin tetapi kakakmu tak pernah pulang."

Ya Allah, ini sudah terlalu lama.
"Iya, Bu. Raisa mengerti. Tapi kita pasrahkan semua sama Allah ya, Bu!"

Aku mengangguk dalam pelukan Raisa. Hati ibu mana tak teriris ketika mendapat kabar putranya menghilang.

Radit tak pulang hari itu. Aku mengira ia masih sibuk berdemo untuk membela rakyat. Namun tiga hari kemudian salah seorang teman Radit mengatakan bahwa Radit mendadak menghilang. Ia tak diketahui keberadaannya sehari setelah demo.

Sebagai orang tua, aku dan suami pun berusaha mencari keberadaannya. Selain melaporkan kehilangan ke pihak kepolisian, kami menghubungi pihak- pihak terkait. Karena beredar kabar banyak mahasiswa yang berdemo ditangkap oleh pihak militer.

Namun hingga beberapa bulan, pencarian kami tak ada hasilnya. Radit tetap tak kembali. Aku dan suami menyakini ada pihak- pihak tertentu yang menculik Radit dan beberapa orang temannya. Radit disekap dan disembunyikan ditempat yang benar- benar tak dapat diketahui khalayak.

Bersama beberapa orang tua yang juga kehilangan anakanya, kami meminta kepada pemerintah untuk mengusut kejadian tersebut. Menghukum orang- orang yang terlibat serta menemukan kembali anak- anak kami.

Namun hingga saat ini anakku tetap tak diketahui rimbanya. Bahkan hingga ayahnya berpulang lima tahun lalu. Jenderal- jenderal militer yang jelas terlibat dalam penculikan beberapa mahasiswa pun tersentuh hukum. Hal ini membuatku semakin geram akan kerja pemerintah. Ah, hukum memang hanya milik penguasa.

Malam ini tepat malam Radit meminta izinku. Malam tujuh belas  tahun yang lalu. Radit memang kembali, namun hanya lewat mimpi. Aku pasrah. Naluri seorang ibu tak dapat diabaikan. Sepertinya ia datang karena ingin meminta maaf tak menepati janjinya kembali ke pangkuanku.

Misteri hidup memang hanya Tuhan yang tahu. Namun sebagai ibu hanya ingin tahu keberadaannya walaupun hanya tinggal gundukan tanah sekalipun.

Ya Tuhan, lindungi ia dimanapun ia berada.

-END-

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 70
Masih banyak PR yang belum terselesaikan di negara ini....


4 komentar: