Selasa, 17 Januari 2017

Sayembara Askar (15)




sebelumnya di sini

Senyum tipis terulas dari bibir Askar sambil menyalami beberapa orang terkenal yang berdiri saat dirinya tiba. Hari ini masing-masing kontestan yang terpilih akan unjuk kebolehan. Dan sesuai janjinya, Askar tak mungkin tak ikut serta dalam proses tersebut. Apalagi ayahnya pun datang. Jadi mustahil baginya jika tak muncul. Toh, ada bonus menjanjikan dengan melihat bakat wanita-wanita cantik ini.

“Silahkan, Pak!”
Askar mengangguk. Tempatnya tentu special. Pas ditengah-tengah panggung kecil yang sudah ditata sempurna. Tepat di sebelah ayahnya.
“Papa pikir kamu kabur, huh?”
Bisikan Bram membuat wajah Askar meringis sesaat. Kabur dan melewatkan para wanita cantik? Tentu saja itu bukan dirinya. Terlepas tujuan sebenarnya acara dibuat, Askar memilih tak peduli. Selama ada wanita cantik, disitulah ia berada.
Baj*ngan? Player? Playboy!
Askar tak pernah ambil pusing dengan julukan-julukan yang melekat dirinya. Sudahkah jelas jika wanita diciptakan untuk laki-laki? Apalagi jika kemudian wanita-wanita itu yang melemparkan dirinya sendirinya pada Askar. Percayalah,  kucing takkan pernah menolak ikan asin yang berada di hadapannya.
“Ada yang menarik?”
Askar menoleh. “Tim yang luar biasa. Papa menyukai beberapa calon.” Ujar Bram kembali yang hanya disambut anggukan malas Askar.
Menarik? Tentu saja. Mereka cantik-cantik.
Tapi istri?
Askar medengus. Hati serta pikirannya belum ikhlas kalau harus menjalani kehidupan rumah tangga.
Ah, Kebebasan hidup gue
“Papa sudah menyetujui rencana kamu. Jadi jangan pernah berpikir untuk tak memilih seorang pun!”
Askar terhenyak sejenak. Tak lama ia menggeleng gusar. Ck, Papa selalu tahu apa yang gue pikirkan!
Askar baru saja hendak membalas ucapan ayahnya ketika mendengar suara MC yang hendak memulai acara. Seketika mulutnya pun terkatup, urung berkata. Bukankah lebih baik memandang wanita cantik daripada meladeni ucapan Papa?
***

Jika Askar tengah duduk tenang menikmati jalannya acara, lain hal dengan Tantra, sang asisten. Lelaki muda itu hanya dapat misah-misuh dalam hati karena perintah sang Bos. Jelang akhir bulan, kesibukan di kantor luar biasa padat. Tak hanya itu, ada meeting dengan beberapa klien yang sudah dijadwalkan hari ini. Tentu saja semuanya didelegasikan Askar padanya. Tak ada pilihan, karena memang si bos tak mudah percaya pada orang lain.
“TANTRA!”
Tantra mendongak.  “Sa—Salsa!” ujarnya tak dapat menutupi keterkejutan. Wanita itu begitu cantik dalam balutan gaun biru safir yang terbuka pada bagian atas hingga memamerkan kulit bahunya yang putih mulus.
“Long time no see,”
Tantra meneguk ludah. Dihelanya napas kasar. Demi Tuhan, ia mengumpat Askar yang tak membiarkannya ikut bergabung menikmati kebolehan para peserta. Pagi ketika Askar memintanya datang ke stasiun TV, Tantra senang bukan kepalang. Ia kira Askar memintanya ikut menonton, lalu meminta opininya seperti biasa. Tapi ternyata dugaannya salah, Askar ternyata hanya menyuruhnya mengambil data-data penting yang dibutuhkan untuk meeting hari ini.
Sial!
Ah, sejak kapan juga urusan wanita Mas Askar meminta pendapatku.
“Tra, kok bengong?”
“Eh, sorry!” Tantra nyengir. “Loh kok di sini?” tanyanya lagi sembari celingukan melihat ke arah dalam ruangan yang terlihat sedikit ramai. Salsa memang tengah berdiri di depan sebuah pintu.
“Nunggu antrian.”
“Oh,”
“Tadi aku lihat kamu lewat. Kupikir ke arah sana toilet.  Jadi aku tunggu.”
Tantra manggut- manggut. Ia memang baru saja dari toilet. Tapi tak menyadari jika melewati ruangan yang digunakan para kontestan.
“Sekarang mau balik lagi ke panggung?”
Pertanyaan Salsa seketika membuat hati Tantra mencelos. Ia pun hanya dapat menampilkan wajah bersalah seraya menggeleng kepala.
Sorry, Sa. Aku harus kembali ke kantor.”
“Yaaa, kok gitu, Tra?”
Tantra tersenyum kecut. Ya mau gimana, nasib bawahan! Bisiknya dalam hati.
“Maaf ya. Lagi banyak pekerjaan. Tapi tenang aja, tadi aku lihat keluarga kamu lengkap datang kok.”
Salsa tersenyum, “Mereka sih pasti datang. Eh, tapi ngomong-ngomong bos kamu ganteng banget ya, Tra?”
***

...berita tadi menutup acara Morning News hari ini. Saya, Agni Ananda dan rekan saya, Hikmal Nadi mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa.
“OK!”
Agni menarik nafas lega sesaat setelah siarannya berakhir. Meski sudah berbulan-bulan melakukan rutinitas yang sama, tetap saja rasa gugup terkadang dirasakannya. Tak lama seorang wanita muda sudah sangat dikenalnya membantunya melepaskan microfone yang sebelumnya ia gunakan. 
“Ni! Anak gue  senang lo kiriman piyama spiderman kemarin. Thanks ya,” ujar Hikmal, rekan Agni tiba-tiba.
Agni pun menoleh lalu tersenyum. “Syukur deh, Mas kalau Obi suka. Pokoknya gue kalau jalan lihat tokoh Spiderman ingatnya tuh anak lo dah. Ck, itu bocah tergila-gila banget sih sama manusia laba-laba.”
“Untungnya dia nggak sampai mikir kalau dia anaknya Spiderman, Mas. Kalau sampai kepikiran berabe dong, bisa-bisa lo nggak dipanggil Papa lagi.” lanjut Agni berseloroh sehingga membuat Hikmal tertawa lepas.
“Ngaco ah lo!” geleng Hikmal. “Eh, lo mau ke hall nggak? Bareng yuk! Rame di sana.”
Kepala Agni menggeleng. “Mending ke kantin daripada ke sono.”
“Lapar ya, Mbak?” tanya wanita muda tersebut setelah memastikan semua peralatan di tubuh Agni terlepas.
“Banget.” Angguk Agni. Tak lama ia mengucapkan terima kasih kepada wanita muda itu.
“Katanya mereka keren-keren, Ni?”
“Keren apa cantik?” Sebelah alis Agni bertaut. “Ingat bini di rumah oy, Mas.”
“Ya sekali-kali cuci mata, Ni!”
“Wow!” seru Agni. “Perasaan gue kerja di TV, lo seringlah Mas lihat cewek-cewek cantik keliaran. Masih kurang,”
“Maksud lo?”
“Lo nggak lihat rekan kerja samping lo. Cewek cantik gini.”
“Sial!” Hikmal terbahak. “Mana cantik? Rata iya!”
“Wah-wah ni orang ngajak ribut. Seksi gue, Mas!”
“Iya. Tapi sayang jomblo!”
“Sh*t! Bawa-bawa status lo ah, Mas!”
Agni merengut seketika. Berbeda dengan Hikmal yang tawanya makin keras. “Makanya jadian sono!”
“Au ah!” Agni berdiri. “Gue duluan ya, Mas.”
“Ngambek?”
Agni terkekeh. “Apaan sih, Mas? Nyantai kali. Gue bilang kan tadi lapar.”
“Oh kirain.”
“Nggak lah! Ya udah gue duluan ya, Mas.”
Agni tidak bohong. Ia memang sedang kelaparan. Siaran pagi dengan persiapan sejak dini hari tentulah banyak menguras energinya. Jadi kantin adalah tujuan yang tepat baginya kali ini. Tapi walaupun ia tidak lapar sekalipun, ajakan Hikmal tetap akan ditolaknya. Sungguh, ia tak begitu tertarik. Tak peduli sehebat apapun kemampuan serta kepandaian yang para kontestan miliki, tak membuat Agni ingin melihatnya. Jauh di lubuk hatinya, justru ia merasa kasihan dengan mereka.
Ah, kalau saja mereka tau yang sebenarnya.
***

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Tantra berpikir dalam-dalam. Ia kembali memikirkan perkataan Agni beberapa hari sebelumnya. Tak selamanya ia akan menjadi bawah orang lain. Apalagi menjadi asisten Askar. Tak mungkin kan, jika nantinya ia gagal berkencan gara-gara perintah Askar yang tak tahu aturan.
Dengan kapasitas otak lo kayak gini sih, gue yakin beasiswa ke LN juga lo bisa dapat.
Ucapan Agni kembali melintas di kepalanya. Mungkinkah kesempatan itu ada untuknya?
Kenapa nggak? Kan belum dicoba?
Tantra menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dilema. Benaknya sibuk membayangkan hal-hal yang akan terjadi jika ia memutuskan kembali melanjutkan sekolah. Bahkan jika kemudian luar negeri menjadi pilihannya. Tentu saja semuanya bukan hal yang mudah. Dua adiknya sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dua lainnya masih sekolah. Jelas keempatnya masih membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tapi...
Argh!
Tantra mengacak rambutnya kasar. Sungguh, hari ini ia demikian kesal dengan sikap Askar yang dengan mudah menyuruhnya mengurus semua. Sebenarnya memang sudah biasa terjadi. Tapi tidak hari ini, dimana Salsa akan tampil menunjukkan kemampuan bermain pianonya. Ah, sayang memang! Ia benar-benar melewatkan penampilan gadis yang disukainya.
Sial! Sial! Sial!
***

Agni pikir hari ini ia terbebas dengan keberadaan Askar di sekitarnya. Mengingat pagi hingga siang terdapat unjuk kebolehan para peserta. Tapi sayang, Agni salah duga. Askar tetap memunculkan dirinya. Tidak bertemu di kantor, laki-laki itu memilih kembali datang ke rumah Agni.
“Kayaknya gue bilang, gue nggak bisa diajak keluar deh.”
“Siapa yang mau ajak kamu keluar?” Askar memamerkan senyum terbaiknya. Sejujurnya, ia sendiri enggan ke rumah Agni. Tubuhnya letih karena kegiatan sehari ini. Tapi mengingat rencananya untuk membiasakan kehadirannya di depan Agni, mau tak mau ia membelokkan mobilnya ke rumah gadis itu.
“Terus ngapain lo ke sini?”
“Seharian aku nggak lihat kamu,”
Gombal!
Agni mencibir mendengar pernyataan Askar. Dasar player! Gerutunya dalam hati.
“Mau gombalin gue? Nggak mempan!”
“Siapa yang gombal? Emang beneran aku kangen aja sehari nggak lihat kamu.” Askar masih tersenyum manis. Senyum yang sesungguhnya membuat Agni gusar.
“Udah deh nggak usah ngomong ngaco. Yang ada gue mau muntah dengernya.”
Askar tertawa. Sedikit lupa kalau Agni, gadis yang berbeda.
“Loh ada tamu kok nggak disuruh masuk, Ni? Eh, Askar ya?”
Agni berbalik dan menemukan Mamanya muncul. Tak lama wajahnya manyun karena Mama membuka pintu lebih lebar.
“Masuk, Kar!”
Agni dapat melihat senyum Askar melebar saat Mama mempersilahkannya masuk. Sial, rutuknya dalam hati. Padahal ia sudah berniat mengusir laki-laki itu.
“Ini baru pulang?”
“Iya, Tante. Saya langsung ke sini.”
“Oh gitu. Ya udah yuk kalau gitu sekalian makan malam aja.”
“Makan, Tante?”
“Iya. Kan katanya baru pulang. Tante sekeluarga juga lagi siap-siap mau makan malam. Yuk ah! Ikut Tante!”
Masih di dekat pintu, wajah Agni berlipat mendengar interaksi Mama dan Askar. Lelaki itu bahkan tanpa canggung mengikuti ibunya ke dalam rumah.
Ah, sial! Kenapa pula dia harus kemari sih?
***

note. kondisi kesehatan sedang menurun, jadi mohon maaf updatenya telat. 

1 komentar: