Kamis, 01 Oktober 2015

ELROY (23)


Bab XXIII

Sebelumnya Disini


Elroy merutuk dalam hati saat banyak wartawan tiba- tiba merangsek maju ketika ibunya keluar dari rumah sakit. Keadaan Astrid memang sudah membaik, hingga ia diizinkan pulang. Hal yang tentu disambut gembira banyak pihak terutama Elroy dan Anya. Meski mami ditempatkan di ruangan VIP sekalipun, rumah sakit tetap rumah sakit. Nggak bikin nyaman.

“Jadi tante Astrid gimana kabarnya?”

“Menurut dokter sakit apa yang diderita?”

“Keluhan awalnya gimana, tante?”

“Apakah ini terkait dengan isu keretakan rumah tangganya?”
Elroy mendelik. Ia mendengus gusar. Berhadapan dengan pewarta berita khusus infotainment memang menguras emosi. Privacy sudah diabaikan di sini. Semakin berskandal semakin menarik.

Ck, menyebalkan!
Elroy memilih diam. Ia mengamati mami yang masih bisa tersenyum serta menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan wartawan. Kondisinya memang sudah lebih baik, wajahnya tak sepucat pertama kali. Namun karena masih sedikit lemah, mami pun berjalan dibantu dengan kursi roda. Setidaknya sampai mobil yang menjemput mereka.

“Semuanya terima kasih. Mohon doanya untuk kesembuhan mami.”

Elroy mencibir. Anya ikut- ikutan pula. Tapi sudahlah, peduli amat. Yang penting baginya segera pergi dari kerumunan ini. Mami perlu istirahat, gumamnya dalam hati seraya terus mendorong kursi roda Astrid hingga ke sisi mobil yang telah disiapkan, mengabaikan jeprat- jepret kamera serta pertanyaan wartawan yang tak henti.

Cih! Resiko artis!
***

“Ndis!”

Gendis terkesiap kaget saat tubuhnya disentuh dari belakang. Dengan cepat tubuhnya berbalik dan sedetik kemudian bibirnya mengerucut sebal. “Nggak usah ngagetin bisa kan? Bikin jantungan aja kalian ini!”

Tama terkekeh, “Situ aja yang keasyikan ngelamun sampe nggak denger panggilan kita.”

Gendis mengernyit. Sebelah alisnya terangkat. “Masa sih?”

Bastian mengangguk seraya menarik kursi tepat di sebelah Gendis. “Ck, menyedihkan amat sih Ndis nasib lo!”

Gendis melotot. Tama terkekeh. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di depan Gendis. “Oh cinta deritanya tiada akhir,” Katanya mengutip salah satu ungkapan yang sering dilontarkan tokoh dalam seriabisa kan? Bikin jantungan aja kalian ini!”

Tama terkekeh, “Situ aja yang keasyikan ngelamun sampe nggak denger panggilan kita.”

Gendis mengernyit. Sebelah alisnya terangkat. “Masa sih?”

Bastian mengangguk seraya mengambil tempat di sisi kanan Gendis. “Ck, menyedihkan amat sih Ndis nasib lo!”

Gendis melotot. Tama terkekeh. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di sisi kiri Gendis. “Oh cinta deritanya tiada akhir,” Katanya mengutip salah satu ungkapan yang sering dilontarkan tokoh dalam serial TV favoritnya dulu.

“Apaan sih kalian?” Delik Gendis gusar. “Berisik tauk! Lagi ngapain ke sini lagi? Ini gedung gue. Gedung kalian tuh di seberang!” Gendis menunjuk bangunan yang berdiri kokoh tak jauh dari tempatnya duduk.

“Ish, pelit amat sih lo!” Protes Tama, “Lagian sejak kapan ada larangan anak teknik dilarang maen kemari?”

“Nggak usah kepedean kita kemari karena lo!” Cibir Bastian. “Lo ingatkan cewek gue banyak juga di sini.”

“Mantan.” Sindir Gendis yang mengundang tawa keras Tama. “Gue yakin jajaran mantan lo ada di tiap angkatan jurusan gue, Bas!”

“Bastian!” Sahut Bastian bangga, menyombongkan dirinya.

“Iya. Jajaran cewek- cewek katarak. Ck, apa sih bagusnya lo. Ganteng nggak. Pintar jauh! Entah apa yang dilihat mereka.”

Tawa Tama makin keras mendengar Gendis mengolok- olok sahabatnya. Bastian si korban pun ikut tertawa. Dia sama sekali tak tersinggung. Toh yang dikatakan Gendis memang benar adanya, jadi buat diambil pusing.

“Awas lo ngomong begitu nanti suka sama gue!”

“Ogah. Jauh- jauh ah gue dari playboy macam lo.”

Tawa Bastian makin lebar. Inilah yang disukai dari Gendis. Apa adanya. Tidak dibuat- buat. Lain hal dengan banyak gadis yang mendekatinya atau yang pernah berhubungan dengannya. Pura- pura. Sok manis.

“Udah ah, sakit perut gue!” Sela Tama tiba- tiba. “Emang Cuma lo Ndis yang nggak ngaruh sama pesona Bastian.”

Gendis mengangguk. Tetapi ia tak berminat membalas kata- kata Tama. “Ya udah kita kesini mau nanya lo dapet kabar dari El nggak?”

Kedua alis Gendis bertaut mendengar pertanyaan yang Tama ajukan padanya. “Nyokapnya udah keluar dari rumah sakit dua hari lalu, tapi batang hidungnya masih belum muncul tuh! Kita samperin rumahnya nggak ada kata satpamnya.”

Dahi Gendis makin berlipat. “Ponselnya non aktif. Nggak tahu kemana tuh orang.” Bastian melanjutkan kata- kata Tama.

Menghilang lagi!
“Berarti dia lagi sama maminya kan?”

“Kayaknya sih gitu.”

Gendis menghela nafas berat. “Kalau begitu biarin lah. Banyak yang harus mereka selesaikan.”

“Maksud lo?” Bastian dan Tama kompak bertanya.

Gendis menatap Bastian sesaat sebelum berkata, “Lo pernah bilang kan Bas, kehidupan El nggak sesimple yang kita kira?” Kepala Bastian mengangguk. Mengiyakan kalimat Gendis. “Ya mungkin aja.”

“Lo tahu sesuatu, Ndis?”

Gendis menggeleng perlahan. “Kalaupun gue tahu gue nggak akan ember sama kalian.”

“Hish!”

“Nggak asyik lo, Ndis!”

Gendis tersenyum simpul. “Ck, kayak cewek aja lo Tam. Doyan gossip!”

“Sialan lo!” Tama merengut.

“Ya udahlahlah itukan urusan pribadi El. Yang penting kalian tetap sahabatnya. Dia harus tahu kalau dia bisa mempercayai kita. “

“Pintar lo, Ndis!” Gendis mencibir. “Seperti yang pernah kita omongin kan, Tam. Dia kehilangan kepercayaan dengan orang- orang di sekitarnya. Makanya dia sebenarnya perlu kita sahabatnya.”

Tama manggut- manggut. Gendis memilih mengiyakan dalam hati. Matanya menerawang jauh. Everything will be ok, El!

***


“Kamu nggak kuliah, El?”

El mendongak dari buku yang tengah dibacanya. Astrid keluar dari kamar lalu menghampirinya dan mengambil tempat di sofa tepat di sebelahnya.

“Males, Mam!” Sahut Elroy singkat. Ia kembali membaca. Sesaat hening, membuat Elroy mengernyit heran. Diliriknya Mami yang berkali- kali menghela nafas gusar. Sama sekali tak tenang.

Elroy mendesah. Sepertinya sudah tak mungkin melanjutkan bacaannya. Ia pun meletakkan buku di atas meja. “Mami mau ngomong apa?”

“Eh?”

“Mam,”

Astrid gelagapan. Sejenak dihirupnya nafas dalam- dalam lalu dihembuskan perlahan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, “Kakak kamu mana?”

Elroy mengendikkan kedua bahunya, “Tidur kali.”

Astrid manggut- manggut. “Mami…,” Sesaat terhenti. Ditatapnya lekat- lekat Elroy, “Ada yang ingin mami katakan pada kalian berdua.”

“Soal?”

“Pernikahan ini…,” Astrid lagi- lagi menarik nafas dalam- dalam. Terasa berat. Sangat sulit diucapkan. “Mami ingin ber…cerai.”

Elroy sedikit terkejut, tetapi sedetik kemudian ia sudah kembali ke sikapnya yang semula. “Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu aja!”

“I..tu ka..rena…,” Astris merasa bibirnya kelu. Mengingat hal itu dadanya terasa sesak. Ia merasa matanya terasa lembab. Tak butuh lama seharusnya untuk air matanya jatuh, namun sekuat mungkin ia mencoba tegar. Kesalahan tak boleh terulang lagi.

“Ma..mi sa..ngat mencintai pa..pi!”

Selanjutnya Disini



-tbc

Lampung, Oktober 2015








4 komentar: