Kamis, 22 Oktober 2015

GENDIS (1)




Satu


“Nih!”

Dahi Gendis mengerut bingung. Di atas mejanya kini terdapat sebuah botol mineral. Ia mendongak menatap Kinar, sahabatnya yang masih bertengger manis di depan mejanya.

“Dari emak gue! Air yang udah didoain supaya enteng jodoh.”

Sontak Gendis terbeliak. Ia memandang horror botol mineral kembali. Lalu kembali menatap Kinar yang kini memasang wajah geli. Gendis mendengus.

“Please deh ya bilang ke tante, gue nggak sampe segitu nggak lakunya.”

Kinar terkekeh geli. Kedua bahunya terangkat, “Lo kayak nggak tahu galaunya emak gue aja!”

“Haduh, pusing gue Ndis! Tiap hari yang dibahas laki mulu. Sumpah deh ribet tau emak- emak galau.”

Kini giliran Gendis yang tertawa. Ia dan Kinar sudah bersahabat sejak sama- sama diterima bekerja di perusahaan. Memiliki banyak kesamaan serta usia yang setara membuat keduanya cocok. Persahabatan mereka juga akhirnya melibatkan anggota keluarga masing- masing. Kinar juga cukup akrab dengan ayah dan saudari Gendis yang lain. Pun Gendis, dia sudah tak pernah sungkan jika ke rumah Kinar. Orang tua Kinar bahkan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.

“Nggak usah ketawa lo! Emak gue juga ngomongin lo. Sama payahnya kita berdua katanya. “

Gendis terbahak. Mengingat tante Resi, mama Kinar memang membuatnya tertawa geli. Wanita bertubuh tambun itu suka sekali berkata tanpa henti. Bertanya banyak hal dalam satu kalimat panjang. Awal pertama kali Gendis dibuat bingung, namun lama kelamaan ia terbiasa. Toh sebenarnya tante Resi juga pribadi yang baik dan menyenangkan. Hobi memasaknya selalu menjadikan Gendis betah berlama- lama di rumah Kinar.

Masakannya selalu enak!

“Kata emak gue wajib diminum loh!”

“Ish, ogah lah! Lagian darimana sih tante dapet beginian.”

“Dari kyai sapa gitu.” Sahut Kinar, “Dia kan sama komunitasnya abis ziarah ke makam para wali.”

Gendis manggut- manggut. Ia tahu hal itu. Tante Resi sendiri juga pernah bilang padanya. Tapi ya nggak juga begini…

“Nggak ah! Nanti gue kasih orang kalau nggak gue bu…,”

Kalimat Gendis terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Ia terbelalak tak percaya saat mendapati nama yang tertera di layar. Tante Resi.

Gila! Kok bisa? “Naluri emak- emak itu emang tepat ya.” Gendis merengut. Kinar tengah menggodanya. Sorot geli terlihat jelas di matanya. Tak lama wanita itu mengangkat dagunya menyuruh Gendis segera mengangkat panggilan.

“Iya, Tante.” Ucap Gendis sesaat setelah mengucapkan salam.

“Tadi tante titip air di botol sama Kinar. Udah dikasih kan? Gimana udah kamu minum belum? Tante khusus lo minta sama pak Kyai untuk kalian berdua. Supaya kalian cepat menikah. Nggak jomblo aja!” “Udah. Udah kok, Tan. Kiran udah ngasih.” Gendis manyun.

“Pokoknya wajib diminum ya, Ndis. Itu dapetnya kemarin pas tante ziarah sama teman- teman. Tante bingung mau bawain apa buat kalian. Eh kebetulan ngobrol sama temen tante yang udah pergi ziarah, dia saranin supaya tante minta doa- doa gitu sama pak Kyai. Ya tante kan pengen kalian cepat menikah. Jadi tante bilang sama pak Kyainya.” Gendis memutar bola matanya jengah. Berbicara dengan mama Kiran tentu akan menghabiskan waktunya. “Eh Tan maaf ini, Bos Gendis udah dateng. Gendis tutup ya!”

“Oh gitu ya. Ya udah kerja yang bener. Jangan ngegosip sama Kinar terus. Mending kalian berburu cowok daripada cekikikan berdua… “Tante, maaf ya!”

Oh iya ya. Lupa tante. Ingat jangan lupa diminum…,” “Iya Tante! Maaf ya Tan, Gendis tutup.” Tak menunggu lama bagi Gendis untuk segera memutuskan panggilan setelah ia mengucapkan salam penutup. Biar bagaimanapun mama Kinar tetap harus dihormati. Tidak sembarangan memutuskan panggilan.

Suara tawa terdengar sesaat kemudian. Gendis mendengus. Kinar masih di dekatnya ternyata. “Emang enak ngadepin emak gue?”

Gendis mendelik. Ia mengibas- ngibaskan tangan kanannya. “Buruan balik ke ruang lo sana. Ssst… nggak boleh ngegosip! Mending berburu laki.”

Tawa Kinar semakin lebar, “Pasti kata emak gue!”

Gendis mengangguk seraya tertawa geli. Mama Kinar memang selalu tahu!

“Mbak Gendis, ada cowok kece nyariin lo tuh!”

Gendis menoleh. Di depan pintu sosok Vania, juniornya tengah berdiri dengan wajah berbinar- binar. “Gila Mbak, lo kenal dimana sih cowok sekeren itu.”

Gendis mengernyit. Cowok? Keren?

“Ck, Ndis sejak kapan lo kenal cowok keren nggak ngasih tahu gue!”

Gendis hanya mendengus mendengar celetukan Kinar. Ia memilih bangkit dari kursinya sembari mengingat- ngingat sosok laki- laki yang pernah dikenalnya dan layak dikatakan keren.

“Kamu belum pernah lihat, Van?”

Vania menggeleng. “Belum, Mbak. Aku yakin dia belum pernah kemari.”

Siapa? Tanyanya dalam hati.

Tiba- tiba langkah Gendis terhenti. Benaknya mengingat satu nama. Nama yang selalu dirindukannya.

Ya Tuhan, diakah?



=tbc=

Selanjutnya Gendis (2)

Lampung, 22 Oktober 2015

4 komentar: