Jumat, 13 November 2015

GENDIS (5)


Lima

Sebelumnya Gendis (4)

“GENDIS!”

Gendis tergagap. Panggilan namanya yang kedua kali menyadarkannya. “Eh, Ta..tama!”

“Pas gue ke toilet gue lihat lo sekilas. Awalnya sih sangsi, makanya gue pastiin kemari.” Gendis tersenyum kikuk. “Ternyata beneran lo!”

“I..iya!” Tarik nafas Gendis! Bersikap seolah- olah kamu tidak tahu, bisik Gendis dalam hati.

“Ndis!” Kinar menyikutnya. Membuat Gendis tersadar, masih ada tiga pasang mata yang memperhatikan interaksinya dengan Tama.

“Eh Tam, kenalin temen- temen kantor gue. Ini Kinar, Vania dan Pak Marvin.” Ucapnya mengenalkan satu persatu, “Dan ini Tama.”

“Siapa kamu, Beb?” Dan Gendis rasanya ingin menggetok kepala Pak Marvin atau melempar kepala lelaki itu dengan vas bunga yang ada di atas meja. Apa- apaan Beb? Siapa dia sih?

Ck, lelaki sableng! “Gue sahabat lama Gendis.” Gendis dapat menangkap aura penuh tanya di wajah Tama. Tetapi lelaki itu tetap bersikap tenang saat bersalaman dengan Marvin, Kinar juga Vania. Gendis yakin setelah ini Tama akan mencecarnya.

“Ehm sorry, ini kalian udah selesai?” Tanya Tama yang sontak membuat jantung Gendis berdetak cepat. Jangan- jangan sampai Tama mengajaknya ke bilik itu dan kemudian ia harus bertemu dengan…

“Iya Tam dan gue…,”

“Kita harus cepat kembali ke kantor!” Mata Gendis membulat. Marvin memotong ucapannya. Melihat gesture tubuh lelaki itu, Gendis yakin Marvin tak suka dengan kehadiran Tama. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Tapi sudahlah peduli amat dengan yang dikatakan Marvin, yang harus Gendis lakukan adalah segera pergi dari tempat ini.

“Eh tapi Ndis, di dalam ada..,”

Next time ya Tam, gue buru- buru nih!” Pamit Gendis cepat. “Yuk ah, gue duluan ya!” lanjutnya lagi sambil berbalik meninggalkan Tama yang terbengong karena sikapnya. Kinar yang berada di sebelah Gendis mengerut bingung. Sejak tadi ia memang memilih diam. Awalnya ia paham Gendis tak suka dengan kedatangan Marvin yang mengajaknya makan siang, tapi sepertinya semua baik- baik karena keikutsertaannya dan Vania yang tiba- tiba. Tetapi entah mengapa sikap Gendis menjadi aneh lagi.

“Lo nggak papa kan, Ndis?” Kinar berbisik pelan. Gendis menggeleng.

Are you okay, Gendis?” Gendis mendengus. Marvin sudah ada di sisi kanannya. Berkata pelan terlihat sangat khawatir. Padahal dia juga salah satu pemicu pusing yang menggelayut kepala Gendis saat ini. Ck konspirasi apa sih yang terjadi hari ini?

“Saya nggak papa kok, Pak!” Walaupun dirinya teramat jengkel dengan sikap Marvin tapi Gendis masih tahu etika untuk bersopan santun dengan orang lain. “Lebih baik bapak kembali ke kantor bapak aja. Kami bisa naik taksi kok.”

No! No! No! Saya yang jemput kalian ya saya juga harus antarkan kembali.”

“Nggak, nggak perlu Pak kami bisa sendiri kok.” Gendis melirik Kinar. Meminta bantuan sahabatnya.

“Eh iya Pak, biar kami naik taksi saja!” Timpal Kinar kemudian.

“Yah kalau naik taksi kan berarti ngongkos, Mbak. Gue ngga…, Aw!” Gendis mecubit lengan Vania. Menatap gadis itu tajam. Diam dan ikutin, begitulah kira- kira arti tatapannya. Vania sepertinya dengan cepat menyadari bahwa mood seniornya sedang tidak baik.

“Eh iya- iya Pak, biar kami naik taksi aja! Bapak juga jadi nggak repot bolak- balik.”

“Nggak papa. Saya justru dengan senang hati mengantar wanita- wanita cantik ini.” Gendis mencibir. Playboy satu ini memang penuh bualan!

“Ayolah! Saya tak keberatan kok.” Gendis terdiam. Ditatapnya Kinar yang hanya bisa mengendikkan kedua bahunya dan Vania, ah lupakan gadis itu justru senang hati jika diantar oleh Marvin. Sudahlah, tak ada pilihan. Lelaki ini pun akan tetep kekeuh dengan kemauannya.

“Ya sudah kalau gitu.” Katanya menyerah. Ia pun akhirnya melangkah mengikuti Marvin ke arah parkiran. Tetapi baru beberapa langkah, Gendis merasa lengannya ditarik. Refleks dia berbalik dan seketika tubuhnya membeku.

Long time no see Gendis Amelia!”

“E….L…”

***



Kinar gelisah. Sejak tadi ia tak henti menatap layar ponselnya. Mengecek apa ada panggilan atau pesan yang masuk yang dikirim Gendis. Tetapi nihil. Sudah hampir dua jam berlalu sejak kepulangan mereka pasca makan siang, Gendis sama sekali tak menghubunginya. Ya pada akhirnya Gendis tak kembali ke kantor. Sahabatnya itu ikut pergi bersama lelaki yang mereka temui di parkiran. Kinar tahu siapa dia. Gendis pernah beberapa kali bercerita tentang lelaki itu. Lelaki yang pernah dekat dengan Gendis namun pindah ke luar negeri karena sesuatu hal.

Selama ini Kinar berpikir Elroy hanya bagian dari masa lalu seorang Gendis. Ia mengira Gendis sudah tak memiliki perasaan apapun terhadap lelaki itu. Sudah tujuh tahun berlalu tetapi nyatanya Gendis masih menyimpan perasaan yang sama. Kinar baru menyadari tadi saat melihat binar yang lain di mata sahabatnya ketika beradu pandang dengan lelaki itu. Bahkan Gendis yang tak pernah sekalipun meninggalkan pekerjaan, rela bolos untuk mengikuti lelaki itu.

Argh cinta!

Kinar melirik botol air mineral yang berada di atas mejanya. Ingatannya melambung pada botol mineral yang berisi air yang telah didoakan secara khusus oleh seorang kyai atas permintaan mamanya beberapa waktu lalu. Tak hanya untuk dirinya tetapi mamanya juga menyiapkan sebotol lagi untuk Gendis.

Air itu...

Beberapa hari ini Gendis selalu menerima kiriman bunga dari Marvin, lelaki yang dikenal saat pesta ulang tahun perusahaan. Sudah jelas lelaki itu berusaha mendekati sahabatnya. Bahkan tak ragu untuk mengajak makan siang. Dan tadi Elroy, lelaki yang juga dari masa lalu Gendis kembali. Ck, dua laki- laki dalam satu hari?

Apakah benar- benar karena air itu?

Ck, mikir apa sih Kinar? Gerutu Kinar dalam hati. Mengapa ia jadi mengaitkan air dan lelaki. Memang sudah takdirnya Gendis saja hari ini akan bertemu dua laki- laki itu. Lagian belum tentu juga kan salah satu dari kedua lelaki itu jodohnya Gendis? Jodohkan misteri!

“Mbak!”

“ASTAGA!” Kinar nyaris terlonjak dari kursinya. Ia menggeram kesal saat menemukan cengiran wajah Vania di depan pintu ruangannya. Ck, gadis ini!

“Ngagetin aja sih lo! Ketok dulu kan bisa.”

“Ups sorry, Mbak!”

“Ya udah mau ngapain lo kemari lagi?”

“Si bos nanyain Mbak Gendis nih! Gue harus bilang apa, Mbak? Dia nggak balik- balik ke kantor. Di teleponin juga nggak diangkat.”

Ya Tuhan, Gendis! Kinar berdecak frustasi. Gendis tadi hanya mengatakan akan segera kembali sebelum pergi. Sekarang siapa yang tahu dia dimana.

Ck, benar- benar merepotkan!

“Lo bilang ada urusan keluarga, apa mendadak sakit kek. Terserah lo aja! Gimana yang ada di otak lo aja lah.”

“Ya Mbak nggak berani bohong entar salah- salah akunya dimarahin!”

Kinar mendengus. “Ya udahlah entar gue yang ngomong sama si bos. Gitu aja repot!”

“Bener ya, Mbak?”

“Iyaaa.” Pekik Kinar gemas, “Udah sana urusin kerjaan lo!

Thanks ya, Mbak!”

Kinar hanya mengangguk. Vania pun memilih cepat- cepat pergi. Sesaat setelah sepeninggal Vania, Kinar meraih ponselnya. Segera dan secepatnya ia harus menghubungi Gendis. Tetapi sayangnya beberapa kali ia mencoba menelepon Gendis, gagal. Panggilan tak dijawab. Kinar mendesah.

Dimana sih lo, Ndis?

=tbc=

Selanjutnya Gendis (6)



Lampung, November 2015









2 komentar: