Kamis, 18 Agustus 2016

[Cerpen] Dirga


gambar diambil dari capslocknet.com
Dirga!

Black coffee. Kopi hitam tanpa gula. Entah mengapa aku ingin menyesapnya lagi dan lagi. Rasa pahit yang mengaliri tenggorokan memberikan efek yang kubutuhkan saat ini. Menenangkan. Aku pernah mendengar kandungan caffein pada kopi akan membalikkan semua kerja adenosin, senyawa yang membuat orang cepat tertidur. Bukan saja tubuh tidak lagi mengantuk, tetapi muncul perasaan segar, sedikit gembira, mata terbuka lebar, jantung berdetak lebih kencang, tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi dan hati akan melepas gula ke aliran darah yang akan membentuk energi ekstra.
Hmm, memang ini yang sedang kubutuhkan.
“Belum pulang… astaga Na, kopi lagi? Sehari ini lo udah minum berapa gelas sih?”
Aku mendongak dan menemukan Dirga, rekan sekantorku tengah menggelengkan kepalanya dari balik kubikelku. Tak lama terdengar ia mendengus gusar.
“Gue harus bilang berapa kali, itu nggak baik, Na.” Sambungnya yang hanya kubalas dengan cengiran. Alih-alih mendengarkan peringatannya, aku  justru memilih kembali mengalirkan cairan hitam ini ke dalam perutku.
Pahit!
 Tapi nikmat.
“Stop dong, Na! Nggak baik buat kesehatan lo. Lo tahu kan bahayanya keseringan minum kopi?”
Kuhela nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dirga benar, terlalu banyak mengkonsumsi kopi juga tak baik untuk tubuh. Efek ketagihan yang ditimbulkan dari kopi memang berbahaya. Selain mengganggu sistem pencernaan, kopi juga dapat menimbulkan resiko stroke. Tetapi entahlah, meskipun sudah mengetahuinya aku memilih tak peduli. Bagiku merasakan pahit yang berasal dari kopi itu menenangkan. Setidaknya kegundahan hatiku menghilang sejenak saat meminum kopi.
Ah, pelarian yang aneh sebenarnya.
Kuberitahu satu hal, sejujurnya kopi bukanlah minuman favoritku. Tapi hal itu bukan berarti aku tak pernah meminumnya ya. Kopi itu bukan minuman asing karena setiap pagi dan sore, Ibuku di kampung selalu menyuguhkan kopi untuk Bapak. Aku ingat saat kecil, sesekali aku mencicipi kopi dari cangkir Bapak, dan ketika beranjak dewasa tak jarang beberapa kali aku pun membuatnya sendiri.  Hanya sesekali disaat aku memang menginginkannya saja.
Namun akhir-akhir ini berbeda. Aku menjadi penggila kopi. Maniak. Nyaris setiap hari aku meminumnya. Bisa lebih dari tiga atau empat kali mungkin. Dan kesukaanku adalah kopi hitam. Tanpa gula ataupun pemanis lainnya.
 “Woy, Na!”
Aku terkesiap. “Lo denger gue ngomong nggak sih?”
“Denger,”
“Bohong!” sergah Dirga galak. “Lo pasti ngelamun tadi!”
Aku tersenyum kecut. Dirga memang menyebalkan!
“Ck, gagal move on!” decaknya yang seketika membuat mataku melotot kesal.
Tapi harus kuakui jika ucapannya benar. Kebiasaanku minum kopi setiap hari ini berawal dari kandasnya hubunganku dengan Mahendra. Laki-laki yang nyaris dua tahun ini menjadi kekasihku. Hubungan kami seharusnya meningkat ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan.
Ya seharusnya seperti itu…
Tapi nyatanya, pernikahan itu takkan pernah ada. Selamanya takkan pernah terjadi.
Menyedihkan bukan?
“Eh, malah balik ngelamun lagi nih cewek!”
Aku manyun. Mendesis gusar pada Dirga. “Eh, bawel! Berisik amat sih lo! Pergi sono!”
Alih-alih tersinggung dengan ucapanku yang terang-terangan mengusirnya, Dirga justru tergelak. Ia tertawa sesaat sebelum kembali melemparkan cibirkan padaku.
“Lo tuh ya! Laki kayak gitu dipikirin. Anak mama, huh! Nggak tegas!”
Aku terdiam sambil menarik napas panjang. Sejujurnya aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya keputusan Mahendra untuk mengakhiri hubungan kami. Sungguh ia laki-laki yang baik. Anak berbakti. Patuh pada kemauan Ibunya, yang ternyata telah menyiapkan calon istri untuk Mahendra. Kupikir pernikahan yang dijodohkan karena latar belakang keluarga yang sama-sama terpandang dan kaya hanya ada di dunia fiksi, tapi ternyata aku mengalami sendiri.
Ah, aku dan keluargaku memang tak sepadan dengan keluarga Mahendra.
“Seharusnya dia lebih bisa memperjuangkan lo, Na.”
Suara Dirga kembali terdengar. Aku tersenyum masam. Inilah sebenarnya yang membuatku terpuruk. Kupikir seharusnya Mahendra memperjuangan cinta kami dulu, walaupun Ibunya telah menyiapkan calon. Toh, kami sudah berpacaran selama dua tahun. Sudah saling mengenal karakter dan sikap masing-masing. Sungguh, aku benar-benar mencintainya. 
Tapi sayangnya, keinginanku sia-sia. Mahendra langsung mengiyakan keinginan Ibunya tanpa bantahan. Alih-alih memperjuangkanku, Mahendra justru memutuskan hubungan kami, membuatku merasa sangat kecewa.
Dua tahun yang sia-sia.
Sial! Aku salah terlalu mempercayainya.
“Woy, Na! Males deh gue dari tadi lo ngelamun mulu!”
Bibirku mencebik. Kesadaranku kembali tertarik.
Cukup, Na! Cukup! Seharusnya lo lupain dia, bisikku getir dalam hati.
Iya, lupakan dia, Na!
“REINA!”
Eh!
Dirga memutar bola matanya jengah. “Gue kasih tahu ya! Lo mau ngelamun, sedih, terus minum kopi sampai sakit perut juga tuh kunyuk kagak bakal balikan sama lo. Udah sih Na, move on dong!”
Aku berdecak, “Ck, sok tahu sih lo!”
Giliran Dirga yang memajukan bibir bawahnya. “Tau lah! Lo sih masih terpaku sama dia aja.”
“Padahal ya, Na ada loh cowok lebih ganteng dan perhatian serta tanggung jawab. Gue jamin deh lo bahagia sama dia,” lanjut Dirga lagi.
 “Oh ya?” Mendadak firasat aneh menghampiriku.
“Iya.” Angguk Dirga. “Lo nggak percaya?”
“Siapa?” tanyaku makin penasaran.
“Nah lo nggak lihat nih di depan mata lo!”
Spontan mataku mendelik. Ternyata firasatku benar. Siapa lagi yang Dirga maksud kalau bukan dirinya sendiri. Sedetik kemudian aku berdecih.
“Cih, narsis!”
“Loh emang bener kan?” Seringai Dirga. “Kapan coba gue nyakitin cewek?”
Keningku mengerut untuk beberapa saat. Sebelum kemudian mendesis. “ Ya iyalah lo nggak pernah nyakitin cewek, secara lo jones!”
“Jomblo ngenes. Akut! Parah!” sambungku lagi yang berbuah pelototan Dirga.
“Shit! Sialan lo, Na!” umpat Dirga. “Nggak usah bilang akut juga bisa kali.” katanya lagi dengan wajah bersungut-sungut gusar.
Seketika tawaku pecah. Tawa kebahagiaan karena melihat ekspresi gusar di wajah Dirga. Kami berdua memang sudah lama berteman akrab, jadi sedikit hina-hinaan itu biasa.
Aku mengenal Dirga saat pertama kali melamar pekerjaan di perusahaan ini. Dia duduk tepat di sebelahku saat aku sedang menunggu antrian untuk tes wawancara. Saat itu aku tegang, mulut tak henti komat kamit merapal doa hingga kemudian Dirga mengajakku mengobrol. Obrolannya cukup konyol sehingga mampu memancing tawaku. Tanpa kusadari keteganganku pun berkurang hingga kemudian saat wawancara aku merasa lebih rileks.
Kupikir saat itu kami takkan bertemu lagi. Yah, siapa tahu salah satu diantara kami tidak diterima bekerja kan? Tapi siapa sangka justru aku menemukan wajahnya saat training hari pertama para  karyawan baru. Ternyata kami berdua sama-sama diterima. So, tak menunggu lama bagiku untuk kemudian menyapanya.
Dari awal aku sudah menduga jika Dirga merupakan lawan bicara yang asyik dan menyenangkan. Ia bisa menempatkan dirinya di saat serius atau bercanda. Sikapnya dan karakternya pun membuatku nyaman membuat kami semakin dekat dan bersahabat.  Sungguh Dirga benar-benar sahabat yang baik.
“Na,”
“Hmm,” sahutku malas.
“Gue tanya deh mau sampai kapan lo kayak gini?”
Aku terdiam lalu menghembuskan nafas berulang kali. Mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Dirga.
Mau sampai kapan?
Aku sendiri tak tahu jawabannya.
“Udah deh lupain si Maman sialan itu! Lo jangan ngerusak diri sendiri deh!”
Sesaat aku tersenyum geli. Dirga konyol! Bagaimana nama Mahendra bisa berganti dengan Maman sih?
“Kenapa sih lo nggak coba buka hati lo buat yang lain? Buat gue misalnya?”
Dahiku berlipat. Kepalaku sedikit miring. “Maksud lo?”
Dirga mendesah panjang. Ditatapnya mataku lekat-lekat sebelum kemudian ia berkata, “Gue sayang lo, Na!”
Aku ternganga sesaat. Namun sedetik kemudian logikaku mengatakan Dirga sedang bergurau. Kebiasaannya memang selalu bersikap konyol. Namun baru saja aku hendak membuka mulut untuk melayangkan protes, suara Dirga kembali terdengar.
“Please, gue serius, Na!” Kutatap Dirga lekat-lekat. Mencoba mencari kekonyolan yang biasa tampak di wajahnya. Sayangnya sia-sia. Dirga benar-benar terlihat serius.
“Kalau soal perasaan gue nggak pernah main-main, Na!
Aku kehabisan kata-kata.
“Satu aja, Na. Kasih gue satu kesempatan untuk bikin lo bahagia.”
***
Lampung, Agustus 2016
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com





3 komentar: