Sabtu, 06 Agustus 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (33)


Tiga puluh tiga

sebelumnya di sini

Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga. Pun soal kehamilan Mirah. Ia yakin cepat atau lambat semua orang akan mengetahuinya. Dan Mirah yakin berita ini jelas akan mencoreng nama baik keluarganya. Untuk itu ia mulai memikirkan hal-hal yang harus segera dilakukan untuk menutupi kehamilannya.

“Kamu yakin mau resign?”

Mirah mengangguk mantap. “Iya, Mbak.” jawabnya. “Mohon maaf sebelumnya.”

Kanaya menggeleng. “Buat apa minta maaf,” tukasnya pelan. Sejurus kemudian ia menghela napas panjang. “Pasti gara-gara kejadian kemarin ya suami kamu nggak ngizinin kerja lagi?”

Mirah meringis. Langkah pertama yang ia lakukan memang mengundurkan diri dari pekerjaan. Mirah berpikir bekerja dengan Kanaya sudah bukan lagi hal penting. Kanaya teramat peduli dan kepeduliannya itu bisa berbahaya untuk Mirah. Apalagi Faisal mengenal betul Kanaya. Meskipun Mirah yakin Kanaya takkan ikut campur, tetap saja ia was-was.

“Sampaikan maaf aku sama suami kamu,”

Mirah tersenyum skeptic. Suami yang mana?

Ah, Dae Ho mungkin sudah melupakannya…

“Maafin aku ya, Mir.” Ujar Kanaya kembali.

“Mbak ini minta maaf melulu. Kan udah aku bilang nggak papa.”

“Ya tapi kan karena ini kamu keluar. Suami kamu pasti marah,”

Bibir Mirah tertarik ke samping. Ia mencoba membentuk senyuman sembari mempertimbangkan kalimat apa yang pantas terucap di bibirnya.Demi Tuhan, ia sudah terlalu banyak berbohong.

“Sudah, Mbak. Jangan dipikirkan! Kalau bukan karena aku pingsan, mungkin aku nggak tahu soal kehamilan ini. Jadi tolong Mbak Nay jangan ngerasa bersalah terus.”

Kanaya terdiam dan menatap Mirah lekat-lekat. Mirah menghela napas, “Dan soal aku mengundurkan diri murni karena keinginanku untuk lebih banyak istirahat di rumah kok, Mbak.” sambungnya kemudian.

“I know. Kandungan kamu sedikit bermasalah karena kamu terlalu lelah kan?” ucap Kanaya yang dibalas anggukan pelan Mirah.

“Kalau begitu sih aku bisa apa,” lanjutnya lagi. “Anak dan keluarga harus jadi prioritas.”

Mirah bisa menangkap nada getir dan sedih dalam kalimat Kanaya. Wanita itu mungkin tengah mengingat anak atau keluarganya. Ah, sudahlah bukan urusanku, bisik Mirah.

Setiap orang punya masalah masing-masing.

***

“Yuk, Mir!” ajak Nena sesaat setelah mobil yang dikendarainya berhenti di parkiran sebuah rumah sakit. Mirah mengangguk lalu mengikuti Nena keluar. Selang seminggu dari dirinya dirawat, kini Mirah kembali ke rumah sakit untu harus memeriksa kandungannya. Sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya dulu. Sejujurnya Mira berpikir untuk memeriksa kehamilan pada bidan atau rumah sakit milik pemerintah yang biayanya jauh lebih murah, tetapi Nena melarangnya. Mengingat ia kemarin sempat pingsan, Nena masih cemas.

“Sekali dua kali ke rumah sakit takkan menghabiskan tabunganmu, Mir!” ujar Nena yang hanya disambut ringisan oleh Mirah.

“Setidaknya sekali ini saja. Kalau bayimu tak ada masalah berarti, kita bisa pindah dokter.”

Dan disinilah mereka saat ini. Di sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar dan luas. Dalam hati Mirah bersyukur karena keberadaan Nena di sampingnya, wanita itu bersikap kakak yang begitu baik pada adiknya. Nena pun selalu memastikan asupan gizinya terpenuhi. Wanita itu bahkan pada akhirnya memaksa Mirah untuk tinggal bersamanya yang sebenarnya sempat ditolak Mirah. Namun akhirnya diiyakan, karena hidup sendiri di kost justru membuat Mirah makin banyak melamun.

Dan hal itu tentu tak baik untuk janinnya.

“Semuanya baik-baik aja, Bu.” Mirah bernafas lega mendengar penjelasan dokter. “Pastikan untuk makan makanan yang bergizi, istirahat cukup, dan jangan terlalu lelah.”

Mirah hanya manggut-manggut mendengar semua yang dokter ucapkan. Ia tak begitu menyimak jelas, karena baginya cukup mengetahui bahwa kondisi bayinya baik-baik saja.

“Sama jangan stress ya, Bu. Dibawa happy.”

Setelah pemeriksaan, Mirah pun berniat bergegas pulang. Kantuk mulai menyerangnya. Memang ada yang bilang banyak hal yang dialami wanita selama kehamilan. Dan setiap orang berbeda-beda. Jika dulu hamil Rania, Mirah merasakan trisemester pertama yang berat sepertinya berbeda dengan bayi yang dikandungnya kini. Mirah tak merasa mual ataupun kesulitan makan, hanya kantuk yang menyerangnya dengan cepat.

“Tunggu sebentar ya Teteh tebus vitam…,”

“MIRAH!”

Mirah mengangkat kepalanya dan detik selanjutnya ia terbelalak. Lagi-lagi kenapa harus bertemu Malik di sini, Ya Tuhan!

Kenapa dunia ini benar-benar sempit sih?

***

Mirah berusaha untuk tak menangis saat Malik menginterogasinya. Ia tahu pasti hal ini akan terjadi saat Malik melihatnya keluar dari ruang dokter kandungan. Mirah hanya bisa menghela napas pasrah saat kemudian Malik memintanya waktunya untuk berbicara berdua di kantin rumah sakit.

“Jadi siapa ayahnya?”

Mirah masih menunduk. Meski begitu ia dapat merasakan tatapan tajam Malik ke dirinya.

“Mir…,”

“Aku nikah kontrak, Bang.” Jawab Mirah cepat. Cepat atau lambat sama saja kan?

Malik terbelalak. “Ni—nikah kon—trak?”

Mirah diam. Malik masih tak percaya tapi sebisa mungkin ia bersikap tenang. Emosi bukanlah solusi terbaik.

“Jangan kamu bilang kontrak nikahmu sudah berakhir dan laki-laki itu tidak tahu kamu hamil?”

Malik itu cerdas. Mirah tahu sudah sejak lama. Tapi jika kemudian lelaki itu bisa menebak dengan cepat apa yang tengah dialaminya, sontak kekagetan pun dirasakannya. Mirah mendongak seketika.

“Sepertinya aku benar ya?”

Mirah membuang napas pendek. Dibuang pandangannya ke samping. Kemana saja, yang penting matanya tidak harus menatap Malik. Sekilas gurat kecewa dan iba terpancar di mata laki-laki itu dan Mirah seumur hidup tak pernah ingin dikasihani.



“Tapi setidaknya dia harus tahu, Mir.”

Sesaat senyap. Malik membiarkan Mirah bungkam. Pasti ada yang dipikirkan wanita itu hingga tak langsung menjawab pertanyaan yang diajukannya. Apa sulitnya mengatakan pada mantan ‘suaminya’ soal kehamilannya.

“Kami sudah tidak berkomunikasi, Bang.” Ucap Mirah pelan. Nyaris berbisik tetapi masih tertangkap indera Malik.

“Maksudmu?”

“Dia sudah tak di Indonesia.”

Malik memang pernah mendengar adanya praktek-praktek nikah kontrak antara wanita lokal dengan warga asing, tetapi mana ia sangka jika hal itu terjadi pada Mirah. Wanita yang sudah dikenalnya sejak kecil. Wanita yang bahkan berniat ia nikahi.

“Kenapa kamu lakukan ini, Mir?”

“Apalagi memangnya kalau bukan karena uang, Bang.” Dengus Mirah.

“Apa memang tak ada solusi lain? Ya Tuhan, Mir! Nikah kontrak sama saja kamu menjual diri.” Malik mengerang frustasi.

“Jadi Abang samakan aku dengan pelacur?” Mirah naik pitam. Ia tak terima. Siapa Malik berani menghina dirinya. Laki-laki itu mungkin pernah dicintainya, kemudian beberapa bulan lalu melamarnya tapi lamaran itu jelas sudah ia tolak. Jadi sejauh ini, Malik tak punya hak apapun akan dirinya.

Malik menggeleng. “Kamu tahu betul Abang tak bermaksud seperti itu. Hanya saja Abang pikir ada banyak pekerjaan lain yang bisa…,”

“Nggak ada, Bang!” Potong Mirah. “Emak masuk rumah sakit, kami butuh uang banyak. Belum semua keperluan yang juga harus dipenuhi,” lanjut Mirah getir. Sesaat matanya terpejam mengingat kesulitan yang pernah dirasakannya. Hal yang memicunya melakukan pernikahan tersebut.

Malik mendesah. Klise! Materi memang akan menjadi alasan bagi orang-orang untuk melakukan hal yang menurut Malik tak elok. Tapi ia sendiri bisa apa, di saat itu dirinya belum bertemu Mirah. Ia tentu tak tahu bagaimana Mirah harus menanggung semua hidup keluarganya.

“Maafkan Abang, Mir.”

Kening Mirah mengerut, kepalanya lalu menggeleng. “Kenapa Abang minta maaf. Ini bukan kesalahan Abang.”

Malik mendesah. “Lalu rencana kamu selanjutnya? Keluargamu?”

Bahu Mira mengedik. “Aku akan tetap melahirkannya, Bang. Kalau soal Emak, aku masih menyembunyikannya.”

“Tapi cepat atau lambat dia pasti akan tahu, Mir.”

“Nanti, Bang. Aku masih butuh waktu berpikir.”

“Kutawarkan satu solusi padamu, Mir.”

Mirah mengernyit. “Apa?”

“Menikah denganku,”

Mirah terbeliak. Mulutnya terbuka untuk beberapa saat sebelum kemudian ia berdecak. “Aku nggak suka dikasihani, Bang. Aku masih mampu menghidu…,”

“Aku mencintaimu, Mir.”

Dan Mirah kehabisan kata-kata.

***
selanjutnya di sini

3 komentar:

  1. Menikah saja sama Malik. Mendingan menikah sama yang mencintai, daripada yang mau enaknya sendiri kayak Faisal... Hahahahaha... Terbawa cerita... Nice story mbak.

    BalasHapus
  2. Menikah saja sama Malik. Mendingan menikah sama yang mencintai, daripada yang mau enaknya sendiri kayak Faisal... Hahahahaha... Terbawa cerita... Nice story mbak.

    BalasHapus