Sabtu, 27 Agustus 2016

Sayembara Askar (1)




1.    Perintah

Tantra ternganga. Matanya membulat tak percaya. Bahkan untuk beberapa saat mulutnya pun terbuka. Namun menyadari jika perilakunya sangat memalukan, apalagi di hadapan komisaris utama, Tantra pun cepat-cepat kembali memasang wajah normal. Meskipun tak dipungkiri, benaknya masih tak bisa habis pikir dengan apa yang baru diperintahkan oleh Bram Adinata, sang komisaris utama.
“Kamu paham, Tantra?”
“Pa—paham, Pak!” Tantra sedikit tergagap.
Bram manggut-manggut. “Bagus! Urus semuanya dengan cepat dan pastikan kamu mendapatkan yang terbaik.”
“I—iya, Pak!” jawab Tantra pelan. Sungguh, otaknya masih butuh mencerna apa yang diperintahkan Bram beberapa menit lalu.
“Kamu tenang saja. Akan ada bonus jika kamu berhasil. Oh, bukan itu saja, gajimu akan saya naikkan lima kali lipat.”
Lima kali lipat?
Tantra menelan ludah dengan susah payah. Bonus dan gaji lima kali lipat dari yang diperolehnya sekarang?
Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?
Bayangan nominal angka yang cukup besar pun seketika melintas di kepala Tantra. Dalam bekerja, Tantra tak mempunyai ambisi yang besar. Baginya berapapun gaji yang diterima, ia syukuri. Yang penting sesuai dengan apa yang sudah dia kerjakan.
Lamat-lamat bibirnya pun menyungging sebuah senyuman. Jika benar gajinya bertambah lima kali lipat, tentu saja keinginannya untuk menaikkan haji orang tua di kampung akan semakin mudah.
“Kalau perlu apa- apa kamu hubungi saja Indra.” Ucapan Bram pun sontak menarik kesadaran Tantra. Tak lama kepalanya pun mengangguk mengiyakan. Indra yang dimaksud pastilah Indra Sasmita, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Bram Adinata.
“Baik, Pak.”
Bram mengangguk. “Baiklah kalau begitu, saya rasa kamu sudah mengerti apa yang menjadi keinginan saya.”
“I—iya, Pak!” Tantra mengangguk kembali.
Senyum lebar pun menghias di wajah Bram. “Saya tahu kamu bisa diandalkan, Tantra!”
***
 Tantra menegak tandas segelas air putih yang disiapkan Pak Kardi beberapa menit lalu. Lelaki paruh baya yang sudah  mengabdi belasan tahun itu hanya dapat  melongo melihatnya. Sebenarnya ia tak aneh dengan kedatangan Tantra yang tiba-tiba. Sudah biasa jika para karyawan bolak-balik ke pantry, tapi wajah keruh Tantra tak urung menelisik tanyanya. Selama lebih dua tahun mengenal Tantra, Pak Kardi jarang menemukan wajah Tantra yang kusut seperti sekarang. Tantra itu pemuda yang supel dan ceria. Meskipun pekerjaannya cukup banyak pun, Tantra tak pernah mengeluh.
 “Kenapa toh, Mas?” Akhirnya Pak Kardi tidak dapat menahan rasa penasarannya. Ia menarik kursi yang berada di sebelah Tantra. Lalu memandangi pemuda sederhana yang selama ini dekat dengannya. Terlihat kerutan- kerutan yang menandakan Tantra tengah berpikir keras. Sesekali ia memijit pelipisnya membuat rasa ingin tahu Pak Kardi semakin besar.
“Gara- gara pak bos ya?”
Tantra menggeleng. Pak Bos yang dimaksud Pak Kardi adalah Askar Adinata, atasannya sesungguhnya. Direktur utama ditempatnya bekerja.
“Bos besar malah, Pak!” Suara Tantra lirih namun mampu membuat Pak Kardi terbelalak.
Bos besar?
“Pa—pak Bram?”
Tantra mendengus. “Iya, Pak Bram!”
Bram Adinata memang lebih dikenal dengan sebutan bos besar oleh para karyawan. Mengingat kedudukannya sebagai komisaris utama sekaligus ayah kandung Askar Adinata.
“Mas Tantra bikin salah apa memangnya sampai bos besar manggil,”
Kepala Tantra menggeleng. “Bukan kesalahan, Pak saya dipanggil Bos Besar.”
“Lalu?”
Tantra mendesah panjang. Ia sendiri sampai detik ini masih tak bisa berpikir jernih maksud dari perintah Bram Adinata.
Haruskah seperti itu?
 “Orang kaya itu ada- ada aja ya, Pak.”
Pak Kardi bengong. Dia bingung dengan apa yang terucap dari bibir Tantra.
“Apa toh, Mas maksudnya? Aku kok nggak paham ya?” keluh Pak Kardi sambil mengaruk- garuk kepalanya yang tak gatal.
Bahu Tantra terkedik. Ia sendiri saja bingung. Ah, bagaimana mengatakan dengan bosnya? Bisa ngamuk Mas Askar!
“Ck, ini gara-gara Mas Askar sih?”
Pak Kardi makin bingung. “Loh kok Mas Tantra jadi ngomongin Bos?”
Berbeda dengan kebanyakan karyawan, Tantra memang memanggil Askar dengan sebutan Mas. Hal yang memang khusus diminta Askar sendiri. Entah karena apa, Tantra tak pernah tahu alasannya. Sebagai asisten pribadi, ia hanya harus mematuhi semua perintah Askar.
Mulut Tantra baru saja terbuka, hendak menjawab pertanyaan Pak Kardi, ketika menyadari sosok lain masuk ke dalam pantry.
“Iya. Kok bawa-bawa gue sih, Tra?”
Spontan mata Tantra terbeliak. Pak Kardi pun tak kalah kaget. Askar Adinata, orang yang tengah dibicarakan kini berada di dalam pantry dengan tangan bersidekap di dada.  
“Emangnya abis ngapain lo sih gue?” Suara Askar kembali terdengar. Datar tapi sinis.
Tantra meringis sejenak. Tak lama ia menghela napas panjang. “Eh, Ma—mas Askar…”
Askar mendatangi pantry itu bukan hal yang aneh mengingat keberadaan Tantra di kantor kalau tidak di kursinya ya di pantry.
“Kemana aja lo?” semprot Askar pada Tantra. “Dari tadi gue cariin! Mana  ditelepon nggak diangkat lagi,”
Refleks Tantra merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya. Sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi kaku. Ternyata ia lupa kembali mengubah mode ponsel. Tadi saat dipanggil Bos Besar, ponselnya memang sengaja di-silent. Siapa pun tahu jika Bram Adinata tak suka kalau sedang berbicara terputus karena dering ponsel.
“Ma—af, Mas Lupa! Masih di-silent ternyata,”
Askar berdecak. “Kenapa di-silent sih?”
“Eh, ta—tadi…,” Tantra gugup. Sesaat ia menarik napas panjang. “Tadi saya dipanggil Pak Bram, Mas.”
“Papa?” Dahi Askar berkerut.
Tantra mengangguk perlahan. Perasaannya kebat-kebit tak keruan. Cepat atau lambat, ia memang harus mengatakan pada Askar rencana Ayahnya. Tapi tidak secepat ini juga. Tidak, disaat ia masih belum memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan pada Askar.
“Ke ruangan sekarang, Tra!”
Eh?
“Gue tahu pasti Papa sedang menyuruh lo melakukan sesuatu kan?”
Kembali, Tantra hanya mengangguk. Tak lama ia pun beranjak dari kursi lalu mengikuti langkah Askar. Sesaat sebelum meninggalkan pantry, ia pun melirik Pak Kardi. Terlihat jelas tatapan iba sekaligus penasaran. Tantra pun tersenyum lalu mengangkat tangan kanannya dan menggabungkan ibu jari serta telunjuk membentuk huruf o.
Tenang, Pak! Semuanya akan baik-baik saja.
***

“Jadi apa yang disuruh Papa?”
Tantra meneguk ludahnya. Ia baru saja selangkah masuk melewati pintu ruangan, tetapi Askar sudah bertanya. Laki-laki itu terlihat benar-benar penasaran.
“Ehm i—tu, Mas. Pak Bram suruh…,”
Kalimat Tantra terhenti karena ketukan di pintu. Ketukan yang hanya sesaat sebelum kemudian  pintu terbuka dan memunculkan sosok perempuan bertubuh langsing serta tinggi.
“Halo Sayang,” Sapa wanita itu seraya melangkah masuk dan segera menghampiri Askar.
“Hai, Sayang!” Senyum Askar melebar.
“Aku ganggu kamu nggak?”
“Ganggu? Ya nggak dong!”
Tantra menghela napas pendek lalu membuang muka. Ia tak tahu siapa nama wanita yang baru saja masuk, tapi dia tahu jika wanita itu pasti lah sedang menjalin hubungan atau minimal baru saja menghabiskan malam bersama dengan bosnya.
 “Saya permisi keluar dulu aja, Mas!” pamit Tantra. Ia jelas tahu jika berhubungan dengan wanita, Askar akan mengesampingkan urusan lain.
Askar menggeleng. “Urusan kita belum selesai, Tantra!”
Tantra terdiam. Jelas tak mungkin membantah kata-kata atasannya. Tapi bertahan di ruangan ini, menyaksikan dua manusia bercumbu mesra juga bukan sesuatu yang menyenangkan.
“Jadi papa nyuruh lo ngapain?”
Eh?
Tantra mengangkat kepalanya. Detik selanjutnya ia menggerutu dalam hati mendapati Askar duduk dengan tenang dengan wanita di pangkuannya.
Ck, Mas Askar memang menyebalkan!
“Jawab pertanyaan gue, Tantra!”
Askar terlihat mulai kesal. Tantra pun cepat-cepat bersikap normal. Namun hingga beberapa saat ia tak jua menjawab pertanyaan Askar, membuat Askar makin gusar.
“Tantra! Gue lagi nanya!”
“Eh… i—itu,” Tantra kembali bingung. Hatinya sejak tadi menimbang-nimbang haruskah dikatakan sekarang, disaat ada orang lain di ruangan. Tak peduli sedekat apa hubungan wanita itu sekarang dengan Askar, tetap saja bagi Tantra wanita itu bukan bagian kehidupan Askar.
Salah-salah Askar bisa malu sendiri.
“BURUAN NGOMONG! ATAU GUE…,”
“I—iya, Mas.” Potong Tantra tergagap. “Ta—tapi Mbaknya bisa keluar dulu!”
“APA-APAAN INI? Siapa kamu berhak mengusir saya?” Terdengar suara bernada tinggi tak terima. Mata Tantra terpejam sejenak. Ia tahu jika ucapannya akan menimbulkan masalah, tapi mau bagaimana lagi.
“Kamu mengusirnya, Tantra?”
Suara Askar terdengar lebih rendah. Ia tak berseru seperti wanita di sampingnya. Tapi tetap saja Tantra menangkap nada sinis.
“Ma—maf, Mas tapi…,” Tantra menghela napas. “Baiknya memang seperti itu.”
“Cukup Mas Tantra saja yang perlu tahu!” ucapnya menambahkan.
“HEH! KAMU INI SIAPA SIH MELARANG-LARANG SAYA? KAMU NGGAK TAHU SIAPA SAYA YA?”
Cewek gila!
Tantra mencibir dalam hati. Selalu yang seperti ini!
Dua tahun lebih bekerja pada Askar, membuat Tantra tahu bahwa bosnya tak hanya sekedar tampan dan kaya. Tapi juga cerdas. Kemampuan otak Askar diatas rata-rata. Apalagi terkait pekerjaan. Askar selalu totalitas. Maklum lah jika imperium Adinata semakin luas.
Tapi sayang, kecerdasan itu tidak berlaku dalam urusan wanita. Tantra tak habis pikir dengan wanita-wanita di sekeliling Askar. Wanita-wanita yang hanya mendewakan kecantikan dan kemewahan semata.
Huh, otak kosong, sikap minus! Benar-benar menyedihkan.
“Tunggu aku di luar, Sayang!”
“APA? Ka—mu…,”
“Hanya sebentar saja,”
“Nggak! Aku nggak mau.”
“Ayolah hanya sebentar, Sayang. Kurasa ini benar-benar urusan penting.”
Tantra hanya menundukkan kepalanya mendengar perbincangan dua orang di depannya. Sungguh, ia tak menduga jika akhirnya Askar mengalah. Jarang-jarang Askar mengabaikan wanitanya.
“Tapi, Yang…,”
“Tunggu di luar, Ok!”
Tantra meneguk salivanya susah payah. Meski tak menatap secara langsung, ia bisa merasakan aura kemarahan wanita yang jelas ditujukan padanya. Wanita itu pasti memedam kekesalan padanya.
Tak lama kemudian, Tantra merasakan bunyi pintu yang ditutup dengan sangat keras. Sedetik kemudian dihelanya napas panjang. Bisa dipastikan setelah ini, wanita itu akan mengumpat tentang dirinya.
“Udah buruan ngomong lo? Ngambek tuh sih Katrin kan jadinya?”
Tantra mendongak kemudian meringis. Mimik wajahnya kentara begitu bersalah, tapi mau bagaimana lagi masa iya dirinya akan mempermalukan Askar. Biar bagaimanapun Askar bosnya. Tak jarang memang bersikap menyebalkan, tapi kebaikannya pun selalu dirasakan Tantra.
“Ehm, it—itu, Mas…,”
“Itu apa?” Askar berseru gemas. “Dari tadi ngomong lo putus-putus sih, Tra?”
“Eh i—iya, Mas. Maaf.” Tukas Tantra lirih.
Askar hanya diam tak menyahut. Ia menunggu Tantra melanjutkan ucapannya.
“Pak Bram ma—mau Mas Askar nikah. Beli…,”
“Apa-apaan sih, Papa ini? Kayak nggak ada urusan lain aja.” potong Askar gusar. Sungguh, ia tak pernah mengerti mengapa orang tuanya selalu mendesak untuk menikah. Padahal, ia sudah berulang kali mengatakan jika ia akan menikah. Tapi nanti. Bukan dalam waktu dekat-dekat ini. Askar masih ingin memuaskan dahaga gejolak mudanya.
“Terus Papa nyuruh lo nyari  calon gitu?”
Tantra mengangguk lemah. “I-iya, Mas.”
“Caranya?”
“Buat sayembara.”
Askar mengernyit. “Sayembara? Maksud kamu?”
“Sayembara di—di TV, Mas. Ya.. seperti ajang pencarian bakat itu.”
Askar terbeliak seketika. Ya Tuhan, Papa!!
***

Hari masih dini hari ketika Agni bersiap bersiap untuk pergi. Sesaat setelah memastikan penampilannya di depan cermin, ia pun segera keluar kamar. Di ruang tengah Mama terlihat duduk di sofa tepat di depan TV. Kepalanya mendongak saat melihat Agni keluar kamar.
“Udah mau berangkat?” tanyanya lembut.
Agni mengangguk sesaat sebelum kemudian menghela napas panjang. “Mama ngapain bangun sih? Masih malam tau, Ma.”
“Udah kebiasaan,” sahut wanita baya itu santai tetapi beroleh dengusan Agni. Sudah sebulan mendapat jadwal siaran pagi, Mama selalu meluangkan waktu untuk bangun di saat dirinya akan berangkat kerja. Sungguh Agni tak menginginkan hal itu. Selain karena memang waktunya yang masih malam dimana Mama sebaiknya beristirahat, Agni yang sekarang bukanlah seorang anak-anak yang semua tindakannya masih harus didampingi. Ia wanita dewasa sekarang.
Tapi sudahlah! Mama tetaplah Mama. Wanita keras kepala yang telah membesarkannya hingga saat ini.
“Ya udah aku panggil Pak Min dulu, Ma.”
“Nggak usah.” Geleng Mama. “Tadi Mama lihat udah di depan kok.”
“Oh,” Kepala Agni terangguk lalu melangkah ke pintu depan rumahnya. Samar telinganya menangkap helaan napas Mama. Ia pun mendesah sejenak.
“Ma, kita udah bahas lo ya!”
“Tetap aja, Ni Mama lebih pengen kamu kerja di kantor Mas Arga.”
“Ada Sava, Ma.” Tukas Agni santai.
Mama menggeleng. “Mau kamu mau Sava, baik-baiknya di kantor semua.”
Agni menarik napas panjang. “Udah dong, Ma. Please Agni kan udah bilang pengen coba dunia baru. Nah kebetulan kesempatan terbuka, jadi sayang dong dilewatin.”
“Tapi ya nggak gini juga,”
“Gini?” kening Agni berlipat sambil membuka pintu. “Siaran pagi maksud Mama?”
“Ya udah sih Ma, mau siaran pagi, siang mau tengah malam juga sama aja.” Jelas Agni. “Udah ya, nggak usah dibahas lagi deh! Mama itu harusnya bangga anaknya sekarang tiap hari masuk TV. Kadang-kadang kalau beruntung wawancara orang-orang penting lagi.”
“Mama itu kapan sih nggak bangga sama anak-anak Mama.”
Agni tersenyum lalu mencium pipi Mama. “Yess! Berarti Mama bangga Agni jadi penyiar kan?” senyumnya lebar. “Ya udah ah, Agni pergi dulu ya Ma. Daah Mama cantik.” Pamitnya sembari menuju mobil yang telah terparkir di halaman rumahnya. Sesaat setelah kembali mengulas senyuman ke Ibunya, ia pun masuk ke dalam mobil.
“Jalan yuk, Pak!”
***

“Ni!”
“Hmm,”
“Lo orang kaya kan?”
Agni mendelik. Siarannya sudah selesai dari setengah jam lalu. Kini ia bermaksud mengisi perut yang sudah meronta.
 “Apaan sih Mbak ini!” katanya dengan wajah manyun ke arah Lintang, senior sekaligus penanggungjawab acaranya yang duduk di sampingnya.
Sorry--sorry! Gue nggak bermaksud gitu.” Lintang nyengir. Sudah belasan tahun mengenal Agni, Lintang tahu jika gadis itu tak pernah suka diungkit tentang keluarganya.
“Maksud gue mau nanya,” ujar Lintang kembali.
“Nanya?” Kedua alis Agni bertaut. “Nanya apaan Mbak?”
“Emang orang kaya itu suka aneh-aneh ya?”
“Hah?” Agni melongo bingung. “Maksudnya gimana sih, Mbak?”
Lintang terdiam sejenak. Sesaat kepalanya celingukan. “Lo pernah dengar nggak sayembara cari istri.”
“Sayembara cari istri?”
Lintang mengangguk. Agni terkekeh. “Udah kayak zaman kerajaan aja sih, Mbak?”
“Ember!” cibir Lintang. “Tapi ini era modern masih ada aja ide begitu.”
“Maksud Mbak?” Dahi Agni berkerut dalam.
“Tadi Mas Aksa sempat ngajakin gue ngomong. Katanya ada pengusaha yang mau bikin program sayembara cari calon istri buat anaknya.”
Agni terbeliak. “Serius?”
“Makanya gue tanya, emang gitu orang kaya aneh-aneh.”
Agni mendesis. “Ish, nggak gitu juga Mbak. Eh terus gimana-gimana?”
“Mas Aksa masih bingung lah.” tukas Lintang sembari menyebut nama CEO stasiun TV mereka. “Tapi masalahnya dia juga sering jadi sponsor di TV kita juga, Ni. Oh ya punya saham juga malah.”
“Emang siapa sih?” tanya Agni penasaran. “Ck, masa iya anak pengusaha sukses sampai segitunya nggak laku.”
“Pak Bram Adinata.”
Sedetik kemudian mata Agni terbelalak. “A--adinata? Om Bram?”
Lintang mengangguk. “Lo kenal?”
Dalam hati, Agni mengumpat. Ia kenal baik dengan keluarga Adinata dan juga tahu persis jika mereka hanya memiliki satu anak.
Sh*t! Benar-benar sial!
***
selanjutnya Sayembara Askar 2

Lampung, Agustus 2016
Ps. Berhubung tiap part bakal dibuat panjang, jadi bersabarlah menunggu postingan selanjutnya. Ini awalnya iseng tapi sayang juga kalo nggak dipost kan?


3 komentar: