Jumat, 07 Oktober 2016

Sayembara Askar (7)




sebelumnya di sini

“Dia tuh cowok baek-baek tau, Ni. Nggak banyak tingkah,”
Agni mendengus. Meliana menyejajari langkahnya yang hendak masuk ke rumah. Tantra sudah pulang daritadi, tapi namanya serta kelebihannya terus disebut Meliana tanpa henti.  
“ Percaya deh! dijamin setia.”
“Ya kalau gitu kenapa lo nggak sama dia aja,” sahut Agni jutek katanya sambil membuka pintu pagar.
Meliana nyengir. “Nggak asik! Nggak bisa diajak dugem.” Katanya. “Makanya gue bilang lebih pas sama lo yang anak rumahan.”
“Ya elah,” desis Agni. “Cuma gara-gara itu,”
Agni menggeleng, “Please dong, Mel. Gue nggak kenal-kenal dia. Lagian tadi kebetulan dia nawarin tumpangan karena kita searah. Udah gitu doang. Nggak lebih.” katanya menjelaskan.
“Tuh kan gue bilang apa, dia baik.”
“Mel, lo tahu nggak sih?” Langkah Agni terhenti. Kini keduanya berada di beranda rumah.
 “Ini itu pertama kalinya gue ketemu ama dia. Jadi gue mana ngerti dia aslinya kayak mana. Lagian belum tentu juga kan gue ketemu dia lagi.”
 “Oh ya?”
“Iyalah. Kemungkinan ketemu juga kecil. Sekantor aja kagak. Pokoknya nggak seperti yang ada di kepala lo.”
“Terus ngapain dia di kantor lo? Kan tadi lo bilang ketemu di kantor.”
“Mana gue tahu,” Bahu Agni terangkat. “Tadi bosnya ada urusan sama bos gue.”
“NAH ITU!” seru Meliana tiba-tiba yang membuat Agni nyaris terlonjak. Bikin kaget aja!
“Nah, si bos punya proyek. Bukan nggak mungkin kan dia bakal sering ketemu lo.”
Agni mendelik. Kenapa Meliana segitu semangatnya sih menyangkut dirinya dan Tantra?
“FYI, kerjaan gue banyak di lapangan atau ruang siaran, Mel. Udah ah, ini kenapa jadi ngebahas dia sih? Nggak penting tahu!" ujarnya seraya mengucap salam dan membuka pintu rumah.
“Udah gue mau masuk. Lo sono balik! Rumah di sebelah juga, kenapa ngintil ke sini?”
Meliana tergelak. “Siapa yang ngintilin lo, orang gue kangen Tante.”
“Kangen emak gue apa lapar lo?” cibir Agni yang hanya ditanggapi tawa Meliana. Tak lama gadis itu melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah, melewati Agni yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Eh, Ni!” Agni mendongak. Meliana yang sudah cukup jauh di depannya berbalik menatapnya. “Taruhan yuk!”
“Taruhan? Maksud lo?”
“Kurang dari tiga hari, lo pasti bakal ketemu sama Tantra.”
Agni mendelik. Masih juga dibahas!
“Astaga, Mel lo masih juga ngomongin…,”
“Entah kenapa gue ngerasa kalian jodoh sih!” potong Meliana yang beroleh pelototan Agni. Ck, kenapa hari ini semua orang di sekitarnya bersikap sangat menyebalkan…
***

Tantra baru saja membuka laptopnya, ketika pintu rumah terbuka dan memunculkan sosok Gerry, sahabatnya. Keningnya mengerut untuk beberapa saat sebelum matanya melirik jam di dinding.
“Tumben,” gumamnya pelan namun masih bisa didengar.
Gerry terkekeh. “Emangnya nggak boleh pulang sore,”
Bahu Tantra terangkat. Bibirnya tersenyum miring. “Kamu tahu maksud aku, Ger!”
“Ya ya ya!” angguk Gerry seraya menghempaskan diri di sofa samping Tantra. “Lagi bosen. Suntuk.”
Tantra mencibir. “Bilang aja putus cinta,” ujarnya. “Atau ditolak cewek.”
“Tau aja sih lo,”
“Ya tau lah,” jawab Tantra. “Kayak baru sehari aja kita kenal. Tapi tumben, biasanya alkohol pelarian atau ngedugem nggak jelas.”
“Udah dibilang bosan.” Sahut Gerry seraya melirik layar laptop milik Tantra. Tak lama ia berdecak. “Kerjaan itu dikerjain di kantor, bro. Bukan di rumah,” lanjutnya menyindir.
“Akhir bulan.”  Tukas Tantra pendek.
Gerry mendesah sebelum kemudian menggeleng. Harus diakui, Tantra itu pekerja keras. Ia selalu totalitas dalam bekerja. Makanya wajar jika kemudian seorang Askar Adinata begitu mempercayainya.
“Eh, ngomong-ngomong tadi gue lihat Salsa,”
Refleks Tantra menoleh membuat Gerry terbahak seketika. “Ck, kalau suka bilang kali. Jangan cuma dipendam itu perasaan,”
“Bisa busuk lama kelamaan,”
Tantra meringis. Ia mengedik. “Kan butuh proses.”
“Proses juga perlu eksekusi, Bro.”
“Emang lihatnya dimana?” tanya Tantra mengabaikan ucapan Gerry sebelumnya.
“Di depan rumahnya.”
“Sial!” umpat Tantra mendelik.  Tawa Gerry makin kencang. Dikerjai ternyata dirinya…
“Oh ya, gue tadi ketemu Meliana,”
Gerry berhenti tertawa. “Meliana mantan gue,”
Tantra mengangguk.  “Iya.”
“Di mana?”
“Di depan rumahnya.”
Shit! Ngerjain gue lo ini,”
Tantra menggeleng. “Nggak. Aku serius.”
“Maksud lo?”
“Meliana itu tetanggaan sama Agni. Tadi pas aku nganter Agni ke rumah, pas kebetulan Meliana ada di depa…,”
“Tunggu-tunggu,” Gerry mengerut. “Who’s Agni?”
“Oh,” Mulut Tantra membulat. “Temannya bos.”
“Teman?” kerutan di dahi Gerry bertambah dalam. Tantra bukan tak paham, tapi ia memilih mengabaikan.
“Meliana titip salam.”
Gerry menarik lurus bibirnya. “Makin cantik nggak dia?”
Tantra menggeleng geli. Tepatlah julukan playboy disandang Gerry.
“Seksi?”
“Ketemu sendiri aja,”
“Udah lama gue kehilangan kontaknya.”
Kepala Tantra sedikit terangkat. Ia menunjuk meja dengan dagunya. “Cari di HP,”
Yess!” Gerry bersorak girang. Tak lama tangannya sudah memegang ponsel Tantra. Melihat Gerry seperti itu, Tantra hanya bisa menggeleng geli.
“Eh, gue baru ingat. Agni-Agni yang lo bilang itu tetangga Mel yang dulu mau dikenalin Mel ke lo kan?”
Tantra terdiam beberapa saat sebelum kepalanya mengangguk.
Shit! Dia sih cantik abis,”  gumam Gerry. “ Tajir pula.”
Tantra menggeleng. Sayang, judes!
***

“Gini aja, itukan tim produksi baru dibentuk. Konsep acaranya juga belum dibahas sama anak-anak. Nah selama waktu itu, mending lo manfaatin untuk cari calon istri.”
“Gitu ya, Mas.”
“Usaha dulu! Ya siapa tahu berhasil.”
“Ok. Thank you, Mas.”
“Ok.”
Askar menarik napas sesaat setelah ia memutus sambungan teleponnya pada Azka. Sungguh, otaknya mendadak kosong. Bingung berbuat apa. Ayahnya jelas-jelas tak mempercayai dirinya. Namun, memaksakan tetap menggelar sayembara sama saja bunuh diri.
Mau ditaruh dimana harga diri gue!
“Bokap lo beneran sinting, Kar!”
Askar menoleh lalu mengangguk mengiyakan ucapan Kent. Kini keduanya sedang menghabiskan waktu di private room salah satu bar ternama di Ibukota.
“Bukan sinting lagi tapi nggak waras.”
“Cih! Sama aja.”
Seketika suara tawa terdengar dari bibir keduanya. Kent menertawakan nasib Askar. Askar menertawakan dirinya yang terlahir menjadi anak Bram Adinata.
“Daripada lo pusing dengan ide konyol bokap lo. Mending kita senang-senang,” Ujar Kent dengan mata berkedip.
Askar manggut-manggut. Ibu jarinya terangkat ke atas. “Panggil mereka. Siapin yang terbaik.”
Of course,”
“Service?”
“Harus,” jawab Askar. “Penat nih gue,”
Sedetik kemudian Kent menghubungi seseorang melalui ponselnya. Hanya selang beberapa menit setelah sambungan terputus, pintu terbuka. Tampak lima gadis bertubuh langsing dalam balutan baju super mini  masuk dengan senyum menggoda.
Seketika Kent memandang Askar. “It’s show time!”
Askar hanya terbahak sebelum kemudian  kedua tangannya terentang menyambut kedatangan gadis-gadis itu.
Saatnya bersenang-senang!
***
Hari masih pagi, saat Agni menemukan keberadaan Tantra di lobbi kantornya. Seketika matanya melebar. Meliana menang?
Sial!
Bahkan tak butuh dua hari untuk dirinya bertemu lagi dengan Tantra.
“Ha—hai, Ni!”
Tantra awalnya ragu menyapa Agni. Tapi mau bagaimana lagi, mereka berpapasan di lobbi gedung. Tak menyapa kok rasanya seperti sombong, padahal baru kemarin keduanya berada dalam satu mobil.
“Hai!” Agni menarik senyuman tipis. Senyuman yang sedikit dipaksakan. Entah mengapa, emosinya menjadi meningkat begitu berhadapan dengan Tantra. Bukan, bukan karena persoalan tabrak menabrak kemarin atau perjodohan ala Meliana, tapi lebih ke…
Dia orang Askar.
Asisten kepercayaan lelaki itu.
“Pulang?”
“Ada kerjaan di luar. Lo ke sini?”
“Ehm itu…,” Tantra sedikit gugup. “Mau ketemu orang,”
“Siapa? Mas Aksa?”
Tantra terdiam sejenak. Ia tadi pagi ditelepon Pak Indra untuk mendatangi stasiun TV. Pagi ini, Pak Indra mengatakan akan meeting membahas konsep acara dengan tim produksi. Dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Askar diharapkan dapat memberikan saran serta masukan.
“Tantra!”
Eh?
“Kok bengong lo?”
“Nggak—nggak…” Askar menggeleng. Ia baru saja hendak menjawab ketika mendengar namanya dipanggil. Seketika tubuhnya pun berbalik. Sosok Indra, tangan kanan Bram muncul.
Fiuh, untung Pak Indra datang, bisiknya lega.
“Pak,”
“Baru datang?”
Tantra mengangguk. “Ya sudah sama-sama saja.” lanjut Pak Indra sebelum kemudian menganggukkan sedikit kepalanya ke Agni.
“Iya, Pak.” Tukas Tantra seraya memutar kepala menatap Agni. “Saya duluan ya!”
Kepala Agni mengangguk, namun matanya tak lekang menatap kepergian Tantra juga lelaki baya di depannya. Meski tak mengenal, Agni tahu jika orang tersebut salah satu orang kepercayaan Bram. Dulu saat masih bekerja di kantor kakaknya, Agni pernah sekali melihat kedatangan laki-laki itu bersama Bram Adinata.
Ngomong-ngomong, sayembara itu jadi dibuat?
***

“Darimana lo jam segini baru nongol? Kenapa juga itu ponsel pakai nggak aktif,”
Tantra meringis. Ia baru saja kembali, duduk asaja belum tapi sudah harus mendapati gerutuan dan omelan Askar.
“Dari stasiun TV, Mas. Sorry Hp nya lowbatt.”
“Ngapain?”
“Di suruh Pak Indra,” jawab Tantra. “Tadi pagi saya sudah kasih tahu Mas Askar ya.”
“Kok gue nggak tahu,”
Tantra mengedik. “Kalau pas telepon yang angkat cewek, Mas. Tapi saya juga sudah kirim pesan loh.”
“Cewek?”
Tantra mengangguk perlahan. Sejurus kemudian terdengar umpatan dari bibir Askar.
Shit! Sial tuh cewek!” makinya. “Berani angkat telepon gue. Pasti pas gue lagi di kamar mandi. Pantas aja…”
Askar terus menggerutu. Tantra memilih mengabaikan. Sungguh, ia tak menyukai kebiasaan Askar yang suka tidur dengan wanita yang bukan pasangan resmi. Tapi mau gimana, Askar memang penganut gaya hidup bebas. Toh, ia juga memiliki segalanya. Jadi terserah dia mau berbuat apapun juga.
“Terus gimana?”
Tantra mendongak. “Apa, Mas?”
“Acara itu lah? Masih tetap akan dibuat?”
“Masih, Mas.” Jawab  Tantra. “Konsepnya lagi dirembugin gimana baiknya,”
Askar berdecih. “Mau sebegimana baiknya juga, harga diri gue jatoh.”
Tantra meringis. Tak berucap apapun. Itu sih pasti!
“Terus ceweknya?”
“Cewek?”
Askar menggeram. “Astaga Tantra! Jangan bilang lo lupa suruhan gue. Baru juga kemarin gue suruh kan?”
“Oh,” Mulut Tantra membulat. Ia mulai paham. Tak lama senyum di bibirnya mengembang. “Kan baru kemarin, Mas bilangnya. Saya belum sempat cari-cari lah.”
Bibir Askar mencibir. “Jangan ngeles lo!”
Tantra menggeleng. Askar mendesah panjang. “Ya udah kalau gitu, lo kerja lagi.”
Tantra tahu diri. Tak lama ia berpamitan dan pergi meninggalkan ruang kerja Askar. Sepeninggal Tantra, Askar pun  menghela napas dalam-dalam.
Papa itu benar-benar menyebalkan!
***
selanjutnya di sini
Lampung, Oktober 2016

0 komentar:

Posting Komentar