sebelumnya di sini
Sejak mendapati keberadaan Agni di
pesta, pandangan Askar tak pernah lepas. Ia bahkan tak pernah jauh dari Agni.
Selalu di sampingnya, membuat gadis itu beberapa kali menghela napas gusar.
Askar bukan tak tahu Agni terganggu, tapi…
Demi Tuhan, Agni malam ini begitu cantik.
Dulu –bagi Askar- Agni hanyalah sosok
gadis manja yang baru saja menyelesaikan sekolah, lalu bekerja di perusahaan
milik keluarganya. Gadis yang beruntung, karena tak perlu bersusah payah
mencari kerja.
Tapi sekarang…
Dalam pandangan Askar, Agni menjelma
menjadi sosok yang berbeda. Bukan lagi gadis manja, tetapi wanita dewasa yang
punya pesona menawan. Askar bukan tak melihat beberapa pemuda terang-terangan
memandang Agni, meskipun Agni sendiri terlihat cuek dan masa bodoh.
Ah gadis ini…
“Ni, pulang yuk!”
Askar terkesiap. Ia menoleh dan menemukan sosok wanita baya sudah bergabung diantara
dirinya dan Agni.
“Mama udah
selesai?”
Askar mengenali
sosok paruh baya tersebut, meskipun sudah lama tak bertemu. Sejenak
dikembangkan senyuman lalu menyapa wanita yang ia ketahui sebagai Ibu Agni
sekaligus teman mamanya.
“Malam, Tante!”
Askar mengangguk, senyumnya makin
melebar. “Iya, Tante. Saya Askar.”
Agni mendengus melihat sikap hormat
yang ditunjukkan Askar pada Ibunya. Sok
manis, huh!
Agni memilih mengabaikan obrolan
antara Askar dan Ibunya. Basa-basi nggak
penting!
“Ma, Agni tunggu di depan,”
“Loh, kok gi…,”
“Yuk, Kar! Gue duluan!” pamit Agni
mengabaikan tatapan heran Ibu juga wajah bingung Askar.
Peduli amat dibilang nggak sopan,
bisik Agni dalam hati seraya melengang meninggalkan tempat acara. Agni bukan
tak sadar jika Askar sejak tadi berada di dekatnya, ia tahu persis jika lelaki
itu mulai menaruh perhatian padanya. Namun, mengingat pengalamannya bertahun
lalu, Agni enggan sakit hati. Askar seorang player. Mungkin bagi lelaki itu,
malam ini dirinya begitu menarik, tetapi Agni berani bertaruh jika dalam pesta
tadi ada wanita yang lebih cantik dan seksi, Askar tentu takkan mendekatinya.
Ah, selamanya playboy tetaplah
playboy.
***
“Kamu semalam jutek amat sih, Ni?”
“Hmm,” Agni yang tengah menyelesaikan
sarapan mendongak menatap Mama yang melangkah mendekati meja makan.
“Bete banget ya diajak ke party Tante
Sofia?” tanya Mama lagi.
Agni menggeleng. “Nggak. Biasa aja,”
“Terus kenapa manyun sepanjang malam?
Kayak anak kecil deh kamu,”
Bahu Agni terangkat. Ia tak menjawab.
Mana mungkin ia mengatakan yang sebenarnya pada Ibunya kalau ia kesal karena
keberadaan Askar.
Gerr… laki-laki itu!
Mengingat semalam, Agni mendengus.
Mengapa harus bertemu dia sih? Merusak mood saja.
“Askar ya namanya?”
“Eh,”
“Anaknya Pak Bram itu, namanya Askar kan?”
Sial! Dibahas lagi sama Mama.
“Kamu ada masalah sama dia?”
“Hah?”
“Sesuatu terjadi diantara kalian?”
Mama
kepo, huh!
Agni mendengus, bahunya mengedik. Ia
memilih menyesap jus jeruk yang telah berada di atas meja makan.
“Nggak boleh gitu loh, Ni sama orang.
Itu namanya nggak sopan, main ngeloyor aja! Kamu kan bukan anak kecil, masa
kayak gitu harus Mama omongin sih!”
Kedua bola mata Agni berputar. Ah, topic apa sih pagi ini?
“Bukannya kalian dulu dekat kan?”
Justru itu… ah,
sudahlah…
“Mama ini pagi-pagi ngomongin apa
sih? Nggak penting ah ngomongin orang,” protes Agni kemudian. “Udah ah, mending
Agni siap-siap.” Katanya seraya berdiri.
“Eh, anak ini! Orang tua lagi bicara
main tinggal-tinggal aja.”
Agni mendesah. Langkahnya tertahan. “Ya
lagian Mama juga pagi-pagi ngomongin orang,”
“Ya nggak gitu, Mama kan penasaran.
Mama tahu kamu nggak suka pesta, tapi nggak sampai segitunya juga. Semalam tuh kamu
kentara banget betenya, Ni.” Jelas Mama yang tak begitu didengarkan Agni.
Sungguh, Askar bukan topic yang baik
di pagi hari.
“Ma, udah ya! Agni siap-siap dulu.”
ujar Agni mengalihkan pembicaraan.
Mama menoleh, “Jadi berangkat jam berapa
memangnya?”
“Nanti jam 10,”
“Diantar Pak Min?” Kepala Agni
terangguk.
“Teman-teman kamu?”
“Janjian ketemu di bandara.” Jawab Agni
sambil melangkah menuju kamarnya. Tetapi baru beberapa langkah, panggilan Mama
menahannya.
“Ni!”
Agni berbalik, “Iya, Ma…,”
“Ngomong-ngomong Askar itu calon
potensial untuk dijadikan imam lo,”
Agni mendelik, tak lama ia berdecak
gusar. Ck, dia lagi!
***
Askar tersenyum lebar saat mobil yang
dikendarainya berhenti di stasiun televisi milik kakak sepupunya. Masih dengan
senyum yang tak lepas di wajah, lelaki itu turun dari kendaraan dan melangkah
pasti memasuki gedung. Tak lama ia sudah berada di ruang pimpinan.
“Ada apaan lo kemari?” tanya Azka
curiga. “Nggak bilang-bilang lagi,”
Askar hanya tersenyum tipis,
diliriknya jam di pergelangan tangan sebelum kemudian bibirnya kembali
menyunggingkan senyuman.
Kerutan di dahi Azka bertambah, ia
tahu ada sesuatu yang aneh dengan sikap Askar. Tak biasanya lelaki itu mau
mengunjungi kantornya, dan seingatnya Askar sedang menghindari ajang pencarian
jodoh yang akan ditayangkan di televisi miliknya.
Jadi, sedikit aneh dan…
Azka membuang napas pendek. Ia
menepuk dahinya perlahan. Bertahun-tahun tumbuh bersama, seharusnya ia sudah
bisa menduga maksud kedatangan Askar yang tiba-tiba. Tak hanya itu, seharusnya
ia pun sudah dapat menyimpulkan tujuan laki-laki itu dari senyum serta sikap
yang sedikit berbeda.
“Jangan karyawan gue ngapa sih, Kar?
Berabe kalau sampai patah hati, resign
yang ada.” Ucap Azka yang beroleh kekehan Askar.
“Lo ini, Mas negative thinking aja,”
“Loh emang gitu kan kenyataannya. Lo
bisanya bikin patah hati banyak cewek. Serius dikitlah kalau berhubungan sama
wanita, Kar. Ingat umur! Bukan main-main lagi. Masa iya lo seumu…,”
Tangan Askar terangkat untuk
menghentikan ucapan Azka. “Lo lama kelamaan kayak Mama tahu, Mas!” protesnya
gusar.
Azka terbahak. Ia baru menyadari jika
dirinya terlalu banyak bicara. “Sorry!
Sorry! Bukan maksud gue kayak gitu. Tapi sebagai saudara yang baik, gue
nggak pengen lo nyesel.”
“Nyesel?” kening Askar berlipat.
“Nggak lah, Mas. Masa muda itu harus dinikmati. Toh, mereka juga nggak
rugi-rugi amat. Apa yang mereka mau, juga gue kasih.”
Kali ini kepala Azka menggeleng.
“Terserah lo lah, tapi gue ingatin nggak semua cewek suka materi.”
Bahu Askar mengedik.
“Ngomong-ngomong, jam segini karyawan lo udah boleh makan siang belum?”
Azka melirik jam di atas meja
kerjanya. Pukul 11.40. Tak lama kepalanya mengangguk. “Bisa, asal tuh cewek
nggak sibuk.” Jawabnya asal.
“Nggak lah,”
Azka mencibir. “Sok tahu lo!”
“Tahulah!” Askar menyeringai, membuat
Azka makin penasaran. Siapa memangnya gadisnya yang tengah didekati Askar?
“Nggak usah segitunya ngeliat gue,
Mas.” Ujar Askar seraya bangkit dari sofa. “Semalam juga lo ketemu orangnya
kok,”
Dahi Azka mengerut, “Semala… ck sial!
Lo ngedeketin Agni?” serunya ketika tersadar. “Gila lo cewek baik-baik tuh!”
Askar tergelak. “Tenang aja kali ini
gue serius, Mas.”
“Udah berapa kali lo bilang kayak
gitu sama gue, Dude!” sungut Azka.
“Dan hasilnya, nol besar.”
Tawa Askar makin kencang. “Kan salah
mereka juga, Mas yang terlalu posesif sama gue. Lo tahu gue nggak suka
cewek-cewek terlalu posesif. Membatasi gerak gue.”
Azka menggeleng. “Terserah apa lo
kata. Tapi awas lo buat dia resign
dari kerjaan!” Ancam Azka kemudian. “Eh, tapi omong-omong lo sia-sia kemari,”
“Maksud lo, Mas?”
“Agni nggak ada. Baru tadi pagi dia
berangkat ke Thailand. Gue kirim dia untuk ngeliput KTT ASEAN,”
Sedetik kemudian terdengar umpatan
dari bibir Askar. “Sial lo, Mas! Ngapa lo nggak bilang dari tadi?”
Azka terbahak. “Lah, gue aja mana
tahu lo datang kemari buat Agni.”
“Shit!”
Askar kembali mengumpat.
Sial! Sial! Sial!
***
“Akhirnya sampai juga,"
“Home
sweet home!”
Agni hanya tersenyum tipis mendengar
celoteh beberapa rekannya saat mereka menginjakkan kaki di bandara. Hampir
seminggu sudah dirinya dan team berada di negeri gajah putih untuk meliput KTT Asean
yang diadakan di negeri tersebut. Sungguh, ini pengalaman menarik bagi Agni.
Selain memang pertama kali baginya, siapa sangka ia bisa bertatap muka langsung
dengan pemimpin-pemimpin negara lain bahkan beberapa diantaranya berhasil ia
wawancarai.
“Eh, Ni balik sama siapa?”
Eh!
Agni sedikit terhenyak. Tak lama
kepalanya celingukan. Mama sudah bilang jika Pak Min akan menjemputnya. “Gu—gue
balik sam… Pak Min!” seru Agni saat matanya menemukan sosok laki baya yang
telah bertahun-tahun bekerja di keluarganya.
“Udah dijemput gue,” katanya seraya
menatap rekan-rekannya. “Gue duluan ya!”
Pak Min yang sudah berada di dekat
Agni segera bergegas menarik koper Agni. Tak lama keduanya sudah berada di
dalam mobil.
“Gimana rumah, Pak?”
“Gimana apanya toh, Mbak. Ya gitu-gitu
aja!”
Agni terkikik. “Ya kali ada yang
berubah Pak!”
Pak Min tergelak. “Mbak Agni ini bisa
aja.”
Agni tersenyum. Pandangannya tersapu
ke jalanan. Lampu merah di persimpangan jalan menyala, membuat laju mobilnya
pun terhenti. Agni baru saja akan melanjutkan obrolan dengan Pak Min, ketika matanya membaca iklan di papan reklame
besar yang berada di sisi kiri jalan. Sedetik kemudian ia mendengus.
Jadi begitu…
***
Suara gelak tawa dari dalam rumah
yang tertankap indera pendengaran Tantra membuatnya mengeryitkan dahi. Itu
suara Gerry dan…
Bergegas Tantra memasuki rumah. Ia
sedikit familier dengan suara tersebut.
“Hey,
Bro! Udah balik lo?”sapa Gerry sesaat setelah Tantra masuk dan mengucap
salam.
Tantra hanya mengangguk. Matanya menangkap
sosok Salsa di dalam rumah.
“Hai, Tra!”
“Hai,”
Dahi Tantra sedikit mengerut. Salsa? Gerry?
“Nggak usah mikir aneh-aneh lo, bro.
Salsa kesini nganter makanan tuh! Lagian ada yang mau dia tanyain ke lo,”
ungkap Gerry yang menyadari keheranan di wajah Tantra.
Mulut Tantra membulat. Senyumnya pun
seketika merekah. Dihampiri keduanya yang duduk di sofa ruang tamu.
“Mau tanya apaan?”
Salsa tersenyum. Tak lama ia meraih
selembar kertas dari atas meja dan menunjukkannya pada Tantra.
“Ini!” katanya. “Teman-teman pengen
aku ikutan. Tapi aku sangsi. Takutnya fiktif. Nah ada Adinata grup sebagai
sponsor utama. Kamu kerja di Adinata kan?”
Eh?
Tantra terbeliak. Ia tahu persis
kertas yang berada di tangan Salsa.
“Lo cantik dan menarik, jadi ikutan
aja, Sa!” celetuk Gerry yang bersambut dengusan Tantra.
“Gimana, Tra?”
“Eh, i—tu…,” Tantra menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal. Mungkinkah ia memberitahu yang sebenarnya. Kontes
kecantikan yang diadakan hanyalah kamuflase dari ajang pencarian jodoh yang
digagas Pak Bram.
“Udah ikutan aja! Lagian lo bilang
dulu lo sempat jadi model kan? Kesempatan, Sa! Jangan sia-siain kecantikan lo,”
“Eh, gitu ya!”
Tantra dapat melihat wajah Salsa yang
bersemu merah. Seketika ia menatap tajam Gerry. Ck, perayu ulung!
“Apa perlu gue antar, Sa?”
Gerrr…. Gerry!!
***
selanjutnya di sini
Lampung,
November 2016
Akhirnyaaa... Nongol lagi lanjutannya! Tariiik, Neeeng... 😍😍😍
BalasHapus