Cinta itu saling memberi, bukan menuntut
Cinta itu saling memahami, bukan memaksa
Cinta itu melengkapi, bukan saling menyakiti
Alea memekik. Ia histeris. Pemandangan di depannya membuatnya hatinya hancur seketika. Dadanya sesak. Air matanya sudah melesak keluar. Tak tertampung.
“Tega kamu, Mas!” Desisnya tajam. Lalu dengan cepat ia menghapus air matanya kasar. Tidak, aku tak boleh terlihat lemah!
“Lebih baik kita berpisah secepatnya!” Tambahnya lagi dengan mengarahkan pandangan jijik, “Supaya kalian bebas!”
“Tung…tunggu Le! A..ku…”
Alea menepis kasar lengan kokoh yang berusaha meraih tangannya. Ditatapnya laki- laki itu dingin, “Dan anak- anak bersamaku!”
“Le! Tungg…,”
Bergegas dibalikkan tubuhnya. Secepatnya ia ingin meninggalkan apartemen ini. Apartemen yang banyak menyimpan kenangan manis untuknya namun juga luka di hari ini. Selamanya, aku takkan pernah kembali kesini. Tempat ini akan mengingatkanku pada hari ini. Hari dimana aku merasakan luka karena mencintainya.
Samar, ia mendengar teriakan menyebut namanya. Namun diabaikannya. Sudah cukup, Mas! Lebih baik hentikan semuanya!
Tepat sesaat ia masuk ke mobilnya. Air mata menerjang kembali. Deras. Tak terkendali. Serta merta digelengkan kepalanya kuat- kuat. Kuat, kamu harus kuat Le!
Sejenak ditenggelamkan kepalanya di balik kemudi. Ia tergugu.
Semua sudah berakhir.
Tamat. End.
Habis. Tak bersisa.
Dan ia hancur.
***
“Aku mencintaimu,”
Alea terperangah. Tak menduga dengan ucapan yang keluar dari bibir laki- laki yang duduk di hadapannya. Lelaki yang hampir setahun ini dikenalnya. Laki- laki yang di awal perkenalan sudah memikat hati Alea. Siapa bilang tak ada cinta pada pandangan pertama? Itu bohong. Buktinya dirinya sudah menyimpan rasa sejak dikenalkan temannya. Namun apalah daya, ia seorang perempuan. Pemegang teguh adat ketimuran. Pantang mengatakan cinta terlebih dulu. Walaupun zaman sudah berubah, tak masalah katanya jika seorang wanita mengatakan cinta terlebih dahulu. Tapi tidak bagi Alea. Ia memilih menyimpan rapat perasaannya. Hingga akhirnya malam ini penantiannya berbuah,
“Ka…kamu serius, Mas?”
Alea sedikit ragu. Walaupun sejujurnya dirinya senang dengan penyataan cinta itu namun semua masih hmm… bagai mimpi.
Alea merasakan kedua jemarinya diraih lalu digenggam lembut oleh kedua tangan kokoh lelaki itu. Terasa pas dan hangat. Hatinya seketika meleleh.
“Aku serius, Le!” Lelaki itu menatapnya, “I love you,”
Alea tertegun. Kata cinta untuk kedua kalinya terucap. Tidak, ia tidak membutuhkan sebanyak itu. Cukup satu tapi tulus.
Alea balas menatap lelaki itu. Mata bertemu mata. Alea mencoba menyelami seberapa dalam perasaan yang lelaki itu miliki. Ia pun tersipu. Pipi putihnya merona. Kejujuran dan keyakinan jelas terpancar di kedua bola mata hitam itu.
Dihelanya nafas dalam. Mengatur detak jantungnya yang berirama lebih cepat juga hatinya yang girang luar biasa. Bahagia.
Dipandanginya kembali lelaki itu. Lalu jemarinya yang masih bertaut. Ya Tuhan, inikah rasanya dicintai?
“I love you too,” Suara Alea pelan. Nyaris seperti berbisik namun tetap dapat didengar.
“Terima kasih, Sayang!”
Tak lama punggung tangannya dikecup lembut. Membuat Alea tersenyum simpul.
“I love you Alea. Now and forever!”
Alea pun makin merona. Mabuk kepayang. Hatinya bahagia tak terkira. Pernyataan cinta yang dinantinya. Sungguh beruntung dirinya. Mencintai dan dicintai. Cinta itu indah, bukan?
***
Aku sakit
Terluka
Dalam
Dan Berdarah
Air mata tak henti membasahi pipi Alea. Sejak tadi ia mengurung diri di kamarnya. Kamar di rumah orang tuanya. Kamar yang menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangannya sejak kecil. Kamar yang ditinggalkannya sejak lima tahun lalu, saat statusnya berubah. Hanya sesekali ia tempati saat menginap, bila merindukan keluarganya. Namun tidak kali ini, sepertinya kamar ini akan kembali ia tinggali. Mengingat beberapa jam lalu ia mendapati kenyataan rumah tangganya akan berakhir.
Apa salahku? Apa dosaku?
Apa kekuranganku?
Hingga kau sakiti aku sedemikian dalam.
Alea memandang nanar pada frame yang terletak di nakas di samping ranjang tidurnya. Ia ulurkan tangannya untuk meraih bingkai itu. Gambar dirinya dalam balutan kebaya putih tersenyum bahagia dalam pelukan seorang laki- laki. Laki- laki gagah yang dicintainya juga mencintainya.
Mencintainya?
Ah, mungkinkah masih ada rasa itu? Tepat beberapa jam sebelumnya matanya menangkap sosok lelaki yang dicintainya sedang berpagut mesra dengan seorang wanita. Dan wanita itu bukan dirinya. Wanita yang dinikahi laki- laki itu lima tahun lalu.
“Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega padaku?” gumamnya di sela isak tangis. Tangannya mengelus lembut permukaan bingkai.
“Kamu jahatttttt, Mas!” Teriaknya histeris.
“Aku benci kamuuuuuu!!!”
Prrraaannnggg
Kali ini Alea sekuat tenaga melemparkan bingkai itu ke dinding kamarnya. Pecah. Hancur. Berkeping- keping.
Seperti hatinya saat ini.
***
“Will you marry me, Alea Gayatri?”
Alea tercengang. Sebuah kotak beludru merah kini disodorkan padanya. Ditatapnya sosok yang memegang kotak itu. Tanpa kedip.
Mulutnya terbuka sejenak, lalu ditutupnya kembali. Tangannya refleks mencubit kedua pipinya. Memastikan ini bukan mimpi.
Kepalanya menggeleng. Bukan, ini bukan mimpi! Ini nyata, Alea!
Didekatkannya tangan kanan di depan dada. Merasakan debar jantungnya yang makin kencang. Makin menggila. Ya Tuhan, untungnya dirinya tak punya penyakit jantung.
“Le,” suara bass lembut menyadarkannya. Masih di tempat yang sama. Tak berubah. Setia menunggu jawaban darinya.
“Are you serious?”
Lelaki itu tersenyum. Senyum yang selalu menggetarkan Alea. Di tiap detiknya senyum itu selalu dirindukan.
“Hanya kamu yang kucintai dan anya kamu yang kuinginkan untuk menjadi istri dan ibu dari anak- anakku. Only you now and forever!”
Hati Alea meleleh. Hangat. Tanpa disadari pipinya sudah basah.
“I love you,” ucapnya tanpa ragu.
“I love you too,” Sahut lelaki itu sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Alea. Membuat Alea semakin merasa dicintai.
“So?”
Alea memukul bahu lelaki itu pelan. Ia tertawa kecil, “Masih tanya lagi!”
“I need your answer, Honey!”
Alea tersenyum tipis. Dengan mantap dianggukkan kepalanya, ”Yes! I will,”
“Thank you, Sayang!”
Kecupan lembut mendarat di kening Alea membuatnya tersenyum senang lalu dirasakan tubuhnya direngkuh kedalam pelukan. Tubuh mungilnya terasa nyaman dan hangat dalam dekapan.
Sungguh bahagia itu sederhana.
Saat dirimu mencintai dan dicintai setulus hati.
***
“Le, kamu yakin dengan keputusanmu?”
Alea mengangguk. Dengan mata yang masih bengkak, ia menemui Karina, sahabatnya yang juga berprofesi sebagai pengacara. Seperti keinginannya kemarin, ia ingin segera bercerai. Maka Karina lah yang didatanginya pagi ini.
“Nggak nyesel?”
Alea terdiam sejenak. Sesal?
Jauh di lubuk hatinya penyesalan teramat dalam dirasakannya. Manusiawi bukan? Dulu ia menyakinkan diri pernikahan yang dijalaninya adalah pernikahan pertama dan terakhir di hidupnya. Ia sekuat tenaga akan berusaha melayani suami dan anak- anaknya. Menjadi istri teladan serta ibu terbaik.
Namun kini?
“Le,” Panggil Karina menyentakkan kesadaran Alea, “Sorry, gue cuma nggak ingin lo gegabah ngambil keputusan. Ini urusannya ke anak- anak juga.”
Alea mengangguk- anggukkan kepala, “Thanks Rin,” Ia tersenyum tipis, sungguh hatinya sendiri masih dilema. Sudah tepatkah keputusannya?
“Gue… gue bingung, Rin,” Alea terisak. Lagi- lagi hatinya terasa teriris. Bayangan laki- laki yang dicintainya tengah memeluk tubuh wanita lain melintas di benaknya. Dadanya sesak. Ia dikhianati. Ia tersakiti.
Karina mengusap- usap bahu sahabatnya lembut, ia sendiri tak bisa membantu banyak. Ini urusan rumah tangga sahabatnya. Pribadi. Bukan kapasitasnya untuk terlalu mencampuri. Sebagai sahabat, ia hanya dapat mendukung semua yang terbaik untuk Alea. Semua keputusan tetap berada di tangan Alea.
“Le, gue rasa lo butuh waktu untuk memikirkan semuanya,”
Alea menghela nafas panjang. Ia terdiam.
Waktu?
Mungkinkah itu yang dibutuhkannya?
***
“Bunda, nangis ya?”
Alea terhenyak. Cepat dihapusnya air mata yang tanpa disadari telah membasahi pipinya. Ia menoleh dan mengulas senyum. Didapatinya Nevan dan Nessa, dua anak kembarnya sudah mendudukkan bokongnya di sofa yang ia duduki.
“Sudah pulang anak bunda?”
Alea memeluk kedua buah hatinya bergantian. Tak lupa mengecup kening keduanya yang sudah menjadi candu baginya. Keduanya anugerah terindah yang Tuhan titipkan kepadaNya. Dan dia bersyukur disetiap detiknya karena memiliki keduanya. Walaupun kehamilan keduanya membuatnya harus bedrest total.
Ia tersenyum miris. Mengingat kehamilannya dulu berarti mengingatkan dirinya akan perhatian lebih yang diberikan suaminya. Apapun yang diinginkannya selalu diberikan. Suaminya pun selalu berada disampingnya, melalui masa- masa sulit di trisemester pertama. Saat itu Alea merasa dicintai dan dilindungi sepenuh hati. Membuatnya bahagia tak terkira.
“Bunda,”
Alea terkesiap. Ia melamun kembali. Lagi- lagi mengingat laki- laki itu.
“Bunda sakit?” Tanya Nessa cemas.
Alea menggeleng cepat, “Nggak. Bunda nggak sakit!”
“Terus?”
Kening Alea berkerut.
“Terus kenapa Bunda diam aja,” cecar Nessa tak sabar.
“Nggak papa. Bunda baik- baik aja. Cuma sedikit…,” Sejenak Alea terdiam berfikir. Mencari kalimat tepat untuk dijadikan alasan, “Ehm…capek.”
“Ya udah, Bunda nggak papa kok,” Alea tersenyum lebar. Memperlihatkan pada kedua anaknya semua baik- baik saja, “Sana gih ganti baju terus makan! Nanti Bunda siapin makannya,”
Nessa mengangguk cepat lalu berdiri, “Ok Bun. Nessa mau ganti baju dulu ya! Udah lapar juga,”
Alea terkekeh. Lalu mengacungkan jempol kanannya, “Sip!”
“Ayo, Bang!” Nessa mengajak Nevan, kembarannya yang sejak tadi memilih diam mendengarkan Ibunya dan saudarinya berbicara.
“Duluan deh. Abang nanti nyusul,” Tolak Nevan. Membuat Alea mengernyitkan dahi. Kenapa dengan Nevan?
“Kok?”
“Udah sana duluan. Kamu kan cewek. Lama!”
Nessa mengedikkan bahu santai, “Ya udah. Aku duluan kalau gitu,” Nessa beranjak pergi menuju kamarnya.
Alea tersenyum menatap punggung putrinya. Anak yang ceria. Lalu diarahkan pandangannya ke anak laki- lakinya yang masih terdiam dengan tatapan menerawang. Alea mendesah. Sulungnya ini memiliki perasaan lebih peka dan peduli. Sepertinya ada masalah yang menggelayutinya.
“Kenapa, Sayang?” Alea mengusap lembut kepala sang anak.
Nevan mendongak. Ditatapnya Bunda yang paling disayanginya melebihi apapun.
“Bunda tadi nangis kan?”
Alea terkejut.
“Bunda nangisin ayah kan?”
Alea pias.
Tak menyangka Nevan mengetahuinya.
“Bunda,”
“Eh itu…,”Alea gugup. Ia mengerjapkan matanya berkali- kali, “Nggak. Bunda nggak nangis kok. Cuma…,”
“Cuma apa?” Potong Nevan cepat.
Alea terdiam sejenak. Berfikir, “Sakit mata,”
“Bunda bohong kan?”
Alea tergagap.
“Nevan inget bunda bilang kita nggak boleh bohong kan?”
Alea memejamkan mata sesaat. Ia menarik nafasnya dalam. Sungguh ia melupakan fakta memiliki putra yang cerdas. Daya nalar Nevan terkadang melebihi pemikiran anak seusianya.
“Nevan tahu Bunda ada masalah sama ayah,”
Alea ternganga. Mulutnya terbuka beberapa saat.
“Bunda sama ayah mau berpisah kan?”
Bahu Alea melorot. Ia makin tercengang. Tak menyangka kesedihan yang ditutupinya dapat terbaca oleh anaknya. Bahkan Nevan mengetahui rencana perceraiannya.
“Nevan,” Alea menguatkan hati, “Bunda…,”
Mendadak ucapannya terhenti. Ia terdiam. Hatinya dilemma memikirkan jika kenyataan sebenarnya disampaikan pada anaknya apakah tidak semakin menyakiti.
“Iya, Kenapa Bun?” Nevan menatapnya penuh harap.
Alea menggeleng, “Nevan nggak usah mikir aneh- aneh. Biar semua jadi urusan bunda sama ayah,”
Keduanya terdiam. Hening.
“Nevan sayang Bunda,”
Sebutir air mata lolos dari mata Alea. Ia tersentuh dengan kalimat yang diucapkan anak laki- lakinya.
“Bunda jangan nangis!” Sebuah tangan mungil mengusap pipinya. Membuat matanya semakin berkaca- kaca, “Nevan nggak ingin lihat bunda sedih,”
Seketika didekapnya tubuh kecil di hadapannya, “Bunda juga sayang Nevan dan Nessa,”
“Kalau gitu Bunda janji jangan sedih lagi.”
Alea mengangguk. Bunda janji, Sayang! Demi kalian. Anak- anak bunda
***
Satu tahun kemudian.
“Maaf,” Lelaki itu menunduk.
Alea terdiam. Ia tatap laki- laki itu dengan saksama. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya. Terlihat dari lingkaran mata yang menghitam. Kusut dan tak terurus. Benar- benar kondisi yang mengenaskan.
“Aku benar- benar minta maaf, Le!”
Alea menghela nafas dalam, “Sudahlah Mas, aku sudah memaafkanmu,”
“Benarkah itu, Le?” Terlihat jelas matanya yang berbinar senang.
“Itu masa lalu, Mas. Sudah lupakan saja!”
Sungguh sebenarnya tak mudah bagi Alea ketika mengatakannya. Namun, waktu pula yang mengajarkannya untuk melupakan masa lalu. Ia harus terus melangkah masa depan.
Laki- laki itu menarik nafasnya, ia tahu takkan semudah itu bagi Alea untuk memaafkan kesalahannya. Kesalahannya terlalu besar. “Le, aku benar- benar menyesal,”
“Mas,” Suara Alea tegas, “ Sudah kubilang aku sudah memaafkanmu. Sudah kita lupakan semuanya,”
Lelaki itu menganggukkan kepala, “Te… terima kasih, Le!”
Alea mengangguk datar. Ia memilih menyesap jus jeruk favoritnya dan mengalihkan pandangan keluar jendela café. Bertemu kembali dengan laki- laki yang pernah dicintai juga menyakitinya bukan hal mudah bagi dirinya. Setahun sudah ia mencoba bangkit dari keterpurukan karena pengkhianatan lelaki ini. Dan kini walaupun ia mengatakan sudah memaafkan, namun tetap perih itu masih ada.
Alea lagi- lagi menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Sudahlah Le, hidupmu sudah jauh lebih baik sekarang.
“Le, bisakah kita…,”
“Ok Mas, kurasakan urusan kita selesai. Aku harus jemput anak- anak.” Alea memutuskan pembicaraan. Ia tahu maksud mantan suaminya. Ia sudah sering mendengar kabar yang menyebutkan lelaki malang itu terpuruk setelah perceraian mereka dan berusaha untuk kembali padanya.
“Aku duluan, Mas!” Alea pamit. Tanpa harus menunggu ucapan balasan lelaki itu, ia sudah berdiri dan beranjak pergi melangkah meninggalkan café.
Sejenak ia tersenyum tipis saat berada di luar cafe. Benarkah sikapnya ini?
Dihelanya nafas dalam. Sudahlah, Le! Waktu mengajarkan padanya arti cinta sesungguhnya. Cinta itu memberikan yang terbaik kepada yang dicintainya. Ia tahu ia gagal dengan cinta diantara dia dan lelaki itu. Namun ia tak pernah gagal mendapatkan cinta dari keluarganya. Cinta kedua orang tuanya yang terus mendampinginya selama ini, cinta sahabat- sahabatnya serta cinta anak- anaknya.
Mengingat si kembar, Alea mengucap syukur dalam hati. Anak- anak terbaik yang dimilikinya. Keduanya yang menyayanginya setulus hati. Tawa dan kecerian mereka adalah obat segala kelelahan Alea.
Terima kasih Tuhan, untuk anugerah terindahnya.
***
“Bundaaaaaa,”
Teriakan kencang menghampiri telinga Alea. Ia pun tersenyum saat mendapati Nevan dan Nessa, sedang berlari kearahnya. Spontan tubuhnya menunduk dan melebarkan kedua tangannya untuk menyambut kedua buah hatinya.
Ketiganya tergelak setelah berpelukan bersamaan. Alea pun menciumi kedua pipi anak- anaknya bergantian.
“Bun, Nessa diajak bu guru ikut lomba nyanyi!” Celoteh Nessa dengan riang.
Alea tersenyum menanggapi,”Wah bagus dong!”
“Uh, suara jelek kayak gitu! Nanti malu- maluin aja!” ejek Nevan. Ia tak bermaksud apa- apa. Hanya sedikit menggoda.
Alea menyadari hal itu. Ia tergelak saat mendapati ekspresi kesal di wajah putrinya.
“Kayak abang bagus aja, week!”
“Lebih bagus dari kamu,”
“Jelek aja! Lagian aku yang diajak bu guru. Bukan abang!”
“Kalau abang yang diajak udah pasti menang masalahnya!”
Alea terbahak mendengar kenarsisan Nevan. Sungguh bahagia itu sederhana. Saat kamu bersama orang- orang yang mencintaimu. Dengan setulus hati tentunya.
= END =