Selasa, 10 November 2015

GENDIS (4)


 Empat

Sebelumnya Gendis (3)

Lunch?”

Gendis mendesah. “Kalau saya menolak juga bapak pasti tetep maksa kan?”

“Marvin. Not Bapak. Berasa tua sekali saya.”

Gendis mendengus gusar. Setelah beberapa hari ini kiriman bunga datang tak henti di setiap pagi, lalu telepon ajakan makan siang yang selalu ditolaknya, maka hari ini ia tak bisa menghindar karena pelaku telah berada di depan ruangannya. Melangkah masuk tanpa beban sama sekali.

“Kenapa sih bapak ngotot banget ngajakin makan siang?”

Marvin terkekeh, “Sejak kapan ada larangan lelaki single tak boleh mendekati wanita single.”

Gendis mendelik. Ck, sepertinya lelaki ini sudah terlalu banyak tahu tentang dirinya. Niat sekali!

“Bapak kepoin saya?”

“Hanya memastikan jika saya mendekati wanita yang bukan milik orang lain.”

Cih! Apalagi sih ini! Gendis manyun. Ia sungguh tak menyukai kehadiran Marvin. Tapi ia juga tak kuasa menolak. Marvin sahabat Pak Rama, atasannya juga salah satu partner perusahaannya, jadi sebisa mungkin ia tak ingin berkata terlalu frontal.

“Ndis! Ayo ma..,” Gendis mendongak. Kinar muncul dari kejauhan. Seperti biasa ia sudah berbicara meski belum berada di tempat tujuan. Namun kata- katanya terhenti karena menyadari keberadaan orang lain di ruang sahabatnya.

“Ups, sorry!” Kinar nyengir. Namun sedetik kemudian keterkejutan tak dapat ditutupi di wajah gadis itu saat menyadari siapa yang berada di ruang Gendis. “Pa..pak Marvin!”

“Oh, Hai..,”

“Kinar! Saya Kinar, Pak!” Gendis memutar bola mata jengah saat mendapati kegugupan di wajah Kinar. Dia berani bertaruh Kinar terpesona dengan penampilan Marvin. Tampan dan kaya, kombinasi yang tepat untuk dijadikan calon potensial seorang suami, menurut Kinar.

“Eh sorry kalau gang…,”

“Nggak!” Cepat- cepat Gendis menggeleng. Tiba- tiba terlintas sebuah ide di kepalanya. “Pak Marvin mau traktir gue makan siang. Lo belum makan kan, Nar? Yuk bareng aja! Nggak papa kan Pak kalau Kinar ikut?” Tanyanya dengan senyum yang dibuat- buat. Sekilas matanya melirik Kinar yang tengah mengulum senyum. Gadis itu paham jika ia butuh bantuan. Sedikit banyak Kinar memang tahu cerita tentang Marvin yang tengah mengusiknya beberapa hari ini.

“Eh, eng..nggak papa!” Gendis nyaris terbahak melihat Marvin yang sedikit gelagapan menjawab pertanyaannya.

Yes!

“Tapi apa Kinar nggak ada janji dengan yang lain?”

Ck, apa- apaan ini! Gendis menatap tajam Kinar. Awas lo nggak bantu gue! Lagian makan gratis masa lo tolak.

“Nggak! Saya nggak ada janji kok, Pak!” Gendis tersenyum, “Lagian temen makan siang saya ya Gendis, jadi kalau bapak ajak Gendis saya juga harus diajak.”

Love you so much, Kinar! Senyum di wajah Gendis pun semakin melebar.

“Yuk kalau gitu nunggu apalagi!” Gendis berdiri. Ia melangkah sesaat setelah meraih tasnya yang tergeletak di atas meja. Saat tubuhnya berpapasan dengan Kinar yang masih berdiri depan pintu, matanya mengedip sebelah. Thank you, Kinar!

***

Pada akhirnya Gendis tertawa dalam hati. Makan siang tak hanya berakhir dengan bertiga saja. Saat di lobby, Gendis bertemu dengan Vania yang bermaksud pergi ke kantin kantor. Tanpa menunggu persetujuan Marvin, Gendis pun mengajak gadis itu yang tentu takkan ditolak.

Yup! Semakin rame semakin bagus.

“Wah, Pak sering- sering aja traktir kita kayak gini. Lumayan ngirit pengeluaran.” Kata Vania. Mereka kini menunggu pesanan datang, “Saya kan anak kost, Pak. Jadi harus hemat.” Lanjut Vania yang disambut gelengan kepala Gendis.

“Ck, anak kost bukan nggak emang dasar lo aja doyan gratisan!”

“Ih Mbak Kinar jangan gitu, Mbak Kinar juga doyan kan kalau ditraktir.”

“Hust, kalian ini ribut aja!” Tegur Gendis. “Bilang makasih udah belom?”

“Oh iya, makasih ya Pak Marvin.” Ujar Vania seraya memamerkan senyumannya.

“Thanks lo Pak udah ajak kita makan di tempat enak begini.” Timpal Kinar lagi dengan senyum tak kalah manis.

“Eh iya- iya!” Gendis tersenyum simpul. Marvin mungkin tak menyangka jika hari ini rencananya makan siang hanya berdua dengannya gagal total dengan kehadiran dua wanita lain.

“Santai saja! Yang penting kalian suka.”

Gendis mencibir. Playboy mah playboy aja! Tetep tebar pesona…

“Wah Pak Marvin memang baik. Nanti kalau gitu nanti saya nambah boleh dong ya!”

Gendis nyaris terbahak saat mendengar ucapan Vania. Gadis ini benar- benar ceplas- ceplos. Mengutarakan keinginannya dengan gamblang. Ah biarkan saja Marvin menghadapi gadis itu. Bukan urusannya. Justru lebih baik jika Marvin memutar haluan berurusan dengan Vania ketimbang dirinya.

He isn’t my type.

Gendis membuang muka. Ia lebih memilih menelusuri seluruh sudut restoran daripada ikut larut dalam celoteh Vania, Marvin juga Kinar. Berbasa- basi jelas bukan karakternya. Lagipula ia memang menghindari banyak berbicara dengan Marvin.

Mata Gendis masih asyik menjelajah keseluruhan interior ruangan yang bernuansa Eropa saat beberapa laki- laki masuk ke dalam restoran. Ia tak memperhatikan kedatangan mereka hingga Vania yang duduk di depannya menyenggolnya.

“Mbak, Mbak itu kan cowok yang pernah nyamperin mbak di kantor kan?”

Gendis mengernyit sesaat. Tubuhnya pun berbalik. Matanya menyipit saat menemukan keberadaan Bastian diantara beberapa lelaki yang tengah berjalan santai mengikuti seorang pelayan laki- laki. Mereka berjalan sambil mengobrol hingga tak menyadari keberadaannya. Apalagi tadi mereka memilik duduk di dekat sudut di samping jendela. Sehingga sedikit tak terlihat bila tidak di dekati.

Tapi tunggu itu kan…

Satu.

Dua.

Tiga.

Gendis masih ingat empat lelaki yang bersama Bastian. Tama, Kenzi dan Adit!

Ck, ngapain mereka disini? Tanya Gendis dalam hati. Ah, mungkin saja memang mereka biasa makan siang bersama. Mereka kan memang sahabat sejak lama.

Mata Gendis masih mengikuti gerak keempat hingga tiba- tiba berhenti di sebuah sudut ruangan. Pelayan menggeser pintu dan mempersilahkan keempatnya masuk.

Deg.

Meski sekilas mata Gendis masih menangkap keberadaan sosok laki- laki yang berada di dalam ruang tersebut. Tak terlalu jelas memang tapi Gendis berani bertaruh jika ia tahu betul siapa dia.

Argh! Dia sudah di sini? Bukankah masih beberapa hari lagi…

Tunggu! Tunggu! Bagaimana kalau nanti mereka bertemu? Apa yang akan dikatakannya.

Hai oh halo! Long time no see!

Kamu apa kabar?

Kapan nyampe? Kok nggak ngasih tahu aku?

Kemana aja menghilang selama ini?

Bukan- bukan itu, Gendis! Ngapain sih ketemu, bukannya lebih baik nggak. Dia udah menghilang cukup lama itu berarti dia pergi. Nggak mau lagi bertemu denganmu! Buktinya dia sudah tiba di Indonesia tapi tak mengajakmu bertemu.

“Ndis, lo kenapa?” Gendis menoleh. Kinar menatapnya bingung. Ia juga menyadari Marvin dan Vania juga tengah menatapnya.

“Eh, nggak! Gue nggak papa.”

“Serius, Mbak?”

Gendis mengangguk cepat. Ia menghela nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tadi ia memang sedikit panik, tapi sudahlah mungkin belum saatnya mereka bertemu. Setidaknya Gendis boleh bernafas lega, kelimanya berada di bilik khusus. VIP mungkin sehingga kemungkinan bertemu dengannya sangat kecil. Kalau begini lebih cepat makan terus kembali ke kantor, bisik Gendis dalam hati.

Ya ya ya! Seperi ini lebih baik.

Ck, kenapa sih aku! gerutu Gendis dalam hati.

“Udah semua kan?” Gendis memandang satu per satu, memastikan ketiga orang di hadapannya telah menyelesaikan makan siangnya. Diliriknya piring- piring yang tingga terisi sisa makanan. “Yuk balik keburu jam makan siang abis.” Ajaknya lagi. Dia benar- benar ingin cepat pergi.

“Santai dong, Beib! Nggak usah buru- buru.” Gendis melotot. Bab beb bab beb gundulmu! Enak saja siapa dia?

“Iya Mbak, masih lama juga kok.” Kini giliran Vania yang bersuara. Gendis mendengus. Diliriknya Kinar yang justru asyik dengan ponselnya.

“Nar, lo mau bareng gue apa masih mau tinggal?”

Kinar mendongak. “Eh kenapa?”

“Loh kok gitu?”Protes Marvin cepat, “Kan berangkatnya bareng masa pulang sendiri- sendiri?”

Gendis acuh. Diabaikannya Marvin. Ia dengan cepat beranjak dari kursinya. Terserah mereka mau pulang kapan, yang penting gue duluan! Gumamnya dalam hati.

“Eh, eh Ndis! Tunggu gue!” Spontan Kinar berdiri. “Gue bareng lo deh!”

“Yah kalau Mbak Kinar juga balik gue juga ngikut dong!”

Gendis berdecak gusar. Mau pulang aja ribet!

“Ya udah ayo!” Ujar Gendis. Sesaat ia menatap Marvin seraya mengulas senyum tipis. Senyum yang terpaksa. “Thanks ya Pak buat makan sia…,”

“GENDIS!”

Refleks Gendis menoleh. Detik selanjutnya ia ternganga.

Sh*t! kenapa ketemu juga sih? umpatnya dalam hati.

Selanjutnya Gendis (5)

=tbc=










4 komentar: