Senin, 14 Desember 2015

REUNI PLAYBOY


Reuni Playboy
“Arah jam 3, sexy bro!” terdengar suara di sebelahku. Kuarahkan pandangan dengan apa yang dikatakan Rey, sahabatku.


Seorang wanita yang terlihat cukup cantik asyik memainkan tabletnya.


“Sembilan atau sepuluh?” Rey senyum- senyum sambil menaikkan alisnya naik turun.



“Delapan aja!” sahut suara lain di seberangku, Bima sahabatku yang lain.



“Halah Rey mah nilai sexy dari bibirnya kan? Yah harus diakui rada sexy!” celetuk Radit yang membuatku tertawa kecil.



“Inilah kalau pemuja Angelina Jolie, nilai cewek dari sexy bibir.” Cibir Bian pada Rey.



“Hey guys, lihat dong! Wajahnya beneran cantik, kulitnya terlihat hmm… apaya? eksotik ya hitam manis, bodynya beuh… Sexy abis” jelas Rey mencoba mendreskipsikan.



“Dan….”



“Dan apa?” tanya kami berempat.



“Bibirnya sexy!” sahut Rey tertawa lebar yang membuat kami ikut tertawa.



“Susah kalau penjahat bibir mah!” seloroh Bian.



Rey mengernyitkan dahi. “King of Kiss tepatnya!”



“Ya ya ya ya, harus diakui entah berapa jumlah korbannya sejak dulu! ” ucapku mengingatkan.



“Termasuk Tania!” kerling Rey.



“Tania?”



“Pacar Bima.” sahut Radit menyadari kebingunganku.



“Mantan.” potong Bima yang mau tak mau membuatku terkekeh geli.



“Tapikan waktu kejadian masih pacarmu, Bim!” Rey menyahut.



“Bukankah waktu itu kau juga berpacaran dengan Amanda, Bim?” tanya Radit.



Bima tertawa. “Iya, makanya aku cuek saja ketika Tania mengaku berciuman dengan Rey. Hanya satu yang membuatku kesal?”



“Apa??” tanya kami



“Tania berkata Rey lebih jago dalam berciuman!”



Hahaha, meledaklah tawa kami.



“Kau gila, Rey!”



“Wanita itu lebih Gila!”, elak Rey.



“Tapi dulu kita memang gila, pacar tak cukup satu,” ucap Bian. Aku terkekeh mengingatnya, “Mereka yang menggilai kita, mereka pula nembak kita, mau jadi yang kedua kek yang ketiga kek, oke saja!”. Hahaha…



“Pesona kita luar biasa ya?” ungkap Rey narsis.



“Dulu sampai sekarang!” celetuk Radit.



Aku menatap Radit. Ia nyengir. Oiya kuingat ceritanya, beberapa wanita di kantornya selalu memberi perhatian lebih kepadanya. Menurut bisik- bisik, ia dinobatkan sebagai pria tertampan di kantornya oleh para wanita diam- diam.



Aku tersenyum. Mengingatkan kelakuan aku dan sahabat- sahabatku. Ya kami berlima bersahabat sejak duduk di sekolah menengah. Awal persahabatan yang aneh. Lima anak lelaki dihukum panitia MOS sekolah tak membawa perlengkapan yang diwajibkan. Bukannya menjalani hukuman membersìhkan kamar mandi, kami berlima malah kabur dengan melompati pagar halaman sekolah. Ya, dimasa sekolah kami memang dikenal sebagai pembuat onar. Namun walaupun keluar masuk ruang BK, kami memiliki banyak fans setia. Para hawa khususnya. Menurut mereka wajah kami sangat keren dan tampan. Selain itu walaupun bengal, prestasi kami untuk sekolah cukup membanggakan. Bima, dengan band sekolahnya sudah beberapa kali menjuarai festival dimanapun. Bian dan Rey, sang ketua klub Basket dan Badminton telah beberapa kali memenangkan pertandingan tingkat siswa, Radit, sang jago debat bahasa inggris dan aku sendiri tak pernah absen memberikan piala juara siswa teladan, terbaik, atau apalah untuk



sekolah. Hal ini jelas menambah kepopuleran kami di sekolah dan membuat para gadis memuja kami.



“Aryan, bagaimana yang itu?” lagi- lagi Rey mengagetkanku. Kulirik arah pandangannya.



“Sembilan atau sepuluh? ” tanyanya.



“Delapan bolehlah!” sahut Radit.



“Hmm, tujuh setengah!” ucap Bian terkekeh.



“Delapan setengah.” komentar Bima.



Kupandangi ketiga wanita yang tertawa cekikikan. Kalau diperhatikan mereka dari tadi curi- curi pandang ke arah kami. Ketiga gadis terlihat memiliki postur yang sama. Wajahnya cukup manis, namun. . .



“Empat” jawabku yakin.



“Hahhhh” keempatnya terbengong



“Ish, penilaianmu rendah sekali kawan!” sahut Rey sambil mengacak rambutnya.



Aku tersenyum penuh arti. “Karena aku bukan pedofil.”



“Sial, anak SMA!” seru Bima menyadari.



“Maksud lo, Bim?” Rey tampaknya tak mengerti.



“Lihat rok yang dipakai!”



Hahaha, akupun tertawa.



“Sialan, eh dandannya dewasa banget ya..” jawab Rey.



“Iya, gue juga cuma lihat wajahnya,” kata Bian menyadari.



“Kalau yang itu gimana?” tanya Radit menunjuk ke arah pintu masuk.



Seorang wanita masuk kedalam restoran. Memakai dress selutut yang menampakkan kaki jenjang dibalut high heels setinggi 5 cm yang membuatnya terlihat semakin tinggi. Dress pink muda terlihat serasi dengan warna kulit putihnya. Rambut hitam panjangnya terurai sebahu dengan memakai bandana yang berwarna pink. Hidungnya mancung, bibirnya mungil, bulu mata yang lentik dan riasan wajah yang minimalis menambah kecantikan wanita yang baru masuk ini.



“Wah, cantiknya!” seru Rey bersemangat yang justru tingkahnya membuatku tertawa.



“Sepakat!” Bima menambahkan dengan pandangan masih mengikuti sang wanita yang memilih tempat duduk.



Kulirik Bian mengangguk- anggukkan kepala.



“Hey bung, bagaimana kau?” tanya Radit kepadaku.



Aku menggeleng. “Biasa aja”



Rey mengacak rambutnya lagi. “Ah, yang bagaimana lagi yan wanita cantik menurutmu!”. Hahaha, aku tertawa melihat Rey yang terlihat frustasi.



“Hehehe, menurutku wanita cantik dan mendapat sepuluh itu. . . . . . “



“Papaaaaaaaaaaaa….”



“Hwaaaaaaaaaa, Daddddyyyyy…..”



Belum selesai aku berkata, terdengar teriakan dan tangisan anak- anak dari area permainan yang memang tak jauh dari tempat duduk kami. Tak lama, kulihat Bian, Bima dan Rey berlari menghampiri suara.



“Daddy, Kenzo nakal menarik rambutku!” kudengar Sasha, balita empat tahun mengadu pada Rey sambil terisak.



Reypun tak lama merengkuh gadis kecilnya dalam pelukan.



“Cup- cup sayang, jangan nangis lagi ya!” ucapnya menenangkan sambil memelototi Bima seakan berkata, “gara- gara anak lo ni!”



Bima nyengir dan menasehati putra tiga tahunnya, “Abang bisa nggak nggak gangguin temannya!”



Kulìhat Bian tak kalah repot sedang menenangkan putrinya yang juga berusia 3 tahun. “Kenapa anak lo?” tanyaku ketika ia mengambil duduk disampingku. Masih terdengar suara tangis Kayla dipelukan Bian



“Didorong sama Kenzo juga tuh!” ucapnya masam melirik Bima yang menggendong Kenzo sedang berjalan menghampiri kami. Dibelakangnya diikuti Rey.



” Hwaaaaaaaa” terdengar tangis bayi lagi. Serempak kami memandang Radit yang segera putranya yang berada di kereta bayi.



“Ah, Kemal kebangun nih gara- gara pada nangis semua!” protes Radit yang diiringi cengiran ketiga sahabat.



“Argh, mamanya mana lagi?” ucapnya sambil memegang hp dan mencoba menghubungi seseorang. Tapi sepertinya gagal karena tak lama ia meletakkan kembali hpnya ke meja. Yah, memang kedatangan kami bersama anak dan istri awalnya. Namun, tiba- tiba para istri kompak menuju mall perbelanjaan di depan restoran. Dengan alasan efektif dan efisien, anak- anakpun ditinggal. Ah, kulihat akhirnya Radit berdiri menggendong putranya seraya menimang- nimang.



“Bawa susu kan, dit?” tanyaku. Radit mengangguk tak lama menggeledah tas bayi disamping.



“Yan, anak lo!!” ucap Rey tiba- tiba. Astaghfirullah, menepuk jidat menyadari anakku tak ada di area permainan.



“Itu!” tunjuk Rey.



Kualihkan tatapan dan. . .



Ah, anak ini…. bergegas kuhampiri.



“Tante, tante cantik deh!” ku dengar suara manja Wega.



Wanita didepannya tersenyum. Loh, itukan wanita yang di pintu masuk tadi.



“Mau nggak nikah sama aku!”



Aduh anak ini, nonton apa lagi.



“Maaf- maaf mbak, anak saya bicaranya jangan ditanggapi!” sesampainya aku di meja mereka.



“Ayah!! ” jerit Wega. Wanita itu menyadari kedatanganku dan tersenyum. “Tidak apa- apa namanya anak- anak.”



“Permisi kalau begitu, maaf meng…”



“Tante, aku sama ayah keren siapa?” potong Wega tiba- tiba.



Aktpun mengernyitkan dahi. Bingung.



“Aku kan, tante! Kata Bunda, Ayah mah nggak ganteng, payah!” ucap anak 5 tahun disampingku. Aku memutar bola mataku, aduh anak ini dapat kata- kata apa dari bundanya. Segera kurengkuh dalam pelukan, menggendongnya dan menjauh dari meja ini. Kulirik wanita itu menahan tawa.



“Nanti dulu, ayah.” tahannya



“Tante, Wega kasih tau yah. Kata bunda, Ayahku yang jelek ini tidak bisa hidup tanpa bunda. Ayah pernah berhari- hari nangis waktu bunda pergi ke rumah Kakek. Nggak keren kan tante, masa laki- laki ceng….”



Segera kututup mulut anakku. “permisi.. Maaf anak saya mengganggu..” pamitku pada wanita yang terlimenahan tawa.



Ah, sial. Ucapku dalam hati. Apalagi yang bundanya katakan. Keempat sahabat tertawa ketika aku kembali ke meja. Setelah kududukkan Wega kudengar Bian berkata,



“Sepertinya sepuluhnya minus!” senyumnya.



“Gara- gara aibnya dibongkar ke anak sendiri!” celetuk Bima. Aku hanya mengangkat bahu. Kesal.

-end-

(ISL)


Repost! Pertama kalinya ngepost cerita fiksi ya ini. Di kompasiana waktu itu. hehehe...



3 komentar:

  1. ahaaaa... iyaaaa...

    makanya kok rasanya kaya pernah baca.
    pernah tayang di K soalnyaaaa...

    tapi tetap jempol 4, mbak...

    emang tu ya, walopun dah mantan, namanya playboy tetep aja matanya jelalatan... :D :D :D
    tapi kena batunya ma anak sendiri... wuakakakakakakakakaka...

    BalasHapus
  2. huaaaaaaa....
    baru pertama kali baca, keren bangeeeeettt
    2 jempol deh 👍👍👍👍 👍

    BalasHapus