Rabu, 27 Januari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (3)


Tiga

Sebelumnya di sini


 “Itu si Eli pulang, Mir.”

Mirah yang tengah menghitung uang hasil dagangannya hari ini mendongak. Darmini menghampirinya lalu mengambil tempat di kursi yang berseberangan dengannya.

“Dia kan sukses, Mir. Kamu bisa ikut dia aja. Minta cariin kerja apa gimana, ibu juga udah ngomong sama Eli. Kata dia nggak papa kalau kamu mau ikut dia ke kota.”


Seketika hitungan nominal di benak Mirah buyar. Ibunya ternyata benar- benar serius menyuruhnya pergi. Belum apa- apa wanita yang melahirkannya itu sudah menitipkannya pada orang lain.

“Mirah kan belum memutuskan, Mak.” Mira berkata pelan. Berusaha menyinggung hati ibunya.

“Mau sampe kapan, Mir?” Darmini bersikeras, “Semakin cepat semakin baik, toh uangnya akan cepat terkumpul. Kalau nanti- nanti nggak kekumpul, Mir.”

“Ta--tapi Rania?”

“Nanti emak yang urus. Dia udah gede. Gampang dibilangin.” Ucap Darmini. “Kemarin sore si Eli pulang. Dia benar- benar sukses sekarang. Cantik, putih lagi. Perawatan ke salon- salon mahal kata emaknya. Orang kaya dia! Kamu kalau ke pasar lihat emaknya nggak? Bajunya bagus- bagus kan? Dikirimin tiap bulan sama si Eli itu.”

Mirah memilih diam. Ia sudah tak lagi bisa mencerna kalimat- kalimat yang diucapkan ibunya. Hatinya gamang, keputusannya belum bulat. Rania masih menjadi beban pikirannya.

Bisakah ia meninggalkan anak itu? “Emak itu bisa nggak sih nggak iri sama orang?”

Mira terhenyak. Kumala, adiknya muncul dari pintu belakang masih dengan seragam yang melekat di tubuhnya. “Hidup itu masing- masing, Mak. Ya biarin aja Wak Lili bajunya bagus- bagus, emasnya banyak lah emangnya harta mau dibawa mati?”

“Eh ini anak ngomongnya kayak gitu sama orang tua! Nggak sopan!”

“Ya abisnya bete Mala denger emak ngomongin orang terus. Bersyukur, Mak kita masih dikasih sehat masih…,”

“Nggak usah dibilangin juga emak udah tahu!” Darmini bangkit dari kursi dengan wajah memerah menahan kesal.

Kumala baru saja hendak membuka mulut saat matanya bersirobok dengan mata kakaknya. Jelas, ia dilarang untuk membalas ucapan ibunya.

“Belajar sana yang benar nggak usah nyeramahin orang tua! Ck, anak sekarang ya pada ngelunjak sama orang tua.”

Mirah hanya bisa menggeleng melihat sikap ibunya. Sesaat setelah tubuh ibunya menghilang dibalik pintu kamar, Mirah menatap tajam Kumala.

“Nggak boleh kayak gitu, La.”

Kumala manyun. Bibirnya mengerucut sempurna, “Emaknya juga sih, Yuk!”

“Iya. Ayuk tahu. Tapi jangan sampai kamu ngomong ketus gitu. Kamu kan tahu emak keadaannya gimana sekarang,”

Kumala manggut- manggut. “Eh ayuk beneran mau cari kerja di kota?” Tanya gadis remaja itu. Dihempaskannya tubuhnya di kursi yang sebelumnya diduduki ibunya.

Mirah mendesah, “Nggak tahu, La. Ayuk berat sama Rania. Tapi kalau nggak gitu ya gimana lagi.”

“Maaf, Yuk!”

Mirah mengernyit. Ia menatap intens adiknya, “Kenapa minta maaf kamu?”

“Mala belum bisa bantu ayuk. Malah ayuk harus cari duit banyak buat sekolah Mala.” Ujar Kumala lirih.

Kepala Mirah menggeleng lalu senyum tersungging di bibirnya. “Jangan bilang kayak gitu, Kumala. Kamu adik ayuk, ayuk pasti akan lakukan apapun buat kamu, emak sama Rania. Jadi jangan dipikirkan! Yang penting kamu sekolah, belajar yang benar. Urusan biaya biar jadi urusan ayuk.”

Kumala mengangguk perlahan. “Kamu tolong bantu ayuk ya? Jagain Rania.”

“Iya.” Jawab Kumala pendek. “Jadi ayuk mau berangkat sama Yuk Eli?”

Mirah menghela nafas, “Nggak tahu. Ayuk kemarin sudah nanya sama temen ayuk dulu, dia juga mau bantu.”

“Mending sama teman ayuk aja kalau gitu?”

“Kenapa memangnya?” Dahi Mirah mengerut bingung.

“Ck, Yu Eli itu centil. Kanji, Yuk! Mala curiga kerjaan dia di kota nggak benar.”

“Huss!” Mirah menegur cepat. “Nggak boleh ngomong gitu! Udah sana kamu ganti baju, seragamnya besok dipakai lagi kan?”

Kumala nyengir. “Eh. Iya.” Kata gadis itu sembari bangkit lalu meninggalkan Mirah yang berada dalam kegamangan. Dipejamkannya matanya sesaat,

Ya Tuhan, kuatkan aku! ***

Pagi itu cerah. Masyarakat sudah memulai aktivitasnya, pun dengan Mirah. Seperti biasa tenda warungnya sudah dipenuhi beberapa pelanggan tetap. Beberapa diantaranya minta dibungkuskan untuk dibawa pulang, tetapi banyak pula yang makan di tempat. Orang- orang yang sama. Para lelaki yang mengagumi si kembang desa, Mirah.

“Beneran Mir kamu mau kembali ke kota?”

Sejenak Mirah terkejut. Secepat itu beritanya berhembus di kampung. Padahal ia masih belum memutuskan.

“Eh Kang Maman dapat kabar dari mana?”

Maman, lelaki yang berusia 40an itu tersenyum lebar. “Ya tahulah Mir, kamu kayak nggak tahu kampung ini aja. Cepet kalau ada berita tentang kamu,”

“Banyak ibu- ibu ngomongin juga. Katanya kamu mau pergi sama Eli.”

Mira mendesah. Ini pasti terdengar saat ibunya berbicara dengan Eli. Dan seperti kebanyakan ibu- ibu lain, maka dengan cepat berita ini menyebar lewat omongan.

“Wah, Mir kowe arep minggat meneh toh?”

Bibir Mirah mencebik kesal. Ia menatap Karim gusar, “Minggat opo, Rim? Wong arep golek duit.” Golek duit kok adoh- adoh, Mir- Mir?”

“Jadi beneran Mirah mau pergi?” Maman kembali balik bertanya. “Lah nanti saya sarapan dimana, Mir?”

Mira tersenyum kecut. “Itu kan ada warungnya Mbok Jum, Kang. Nah di ujung ada dagangan Lek Kar. Ada lagi nasi uduk Mbak Ratri toh. Banyak gitu kok bingung, Kang?”

“Lah tapi sayakan maunya lontong bikinan kamu, Mir.”

“Pret!” Celetuk Karim menanggapi ucapan Maman. “Ngerayu ae Kang, inget anak bojo neng omah.” “Huss, berisik kamu Rim!” Sungut Maman kesal membuat Karim terkekeh. Sudah beranak dua, masih saja merayu.

“Kenapa nggak di sini aja Mir nyari duitnya?” Kini giliran Roni yang bertanya. “Daganganmu laris terus kan?”

“Iya, Bang. Alhamdulillah laris. Tapi kebutuhan makin meningkat, Bang. Apalagi sekarang mahal- mahal, ya harus ada tambahan.”

Roni menelan ludah susah payah. Kalau saja bukan karena ibunya, ia sudah melamar Mirah sejak lama. Menikahi wanita itu dan membuat hidupnya bahagia. Tapi apa daya, ibunya sudah mewanti- wanti untuk mencari gadis perawan sebagai istrinya. Bukan janda beranak satu seperti Mirah.

“Ya Mir, sayang lo.”

“Iyo Mir, neng kene aelah. Ra sah adh- adoh golek duit.”

“Di sana banjir, Mbak. Macet pula!”

“Enakan di kampung ya?”

“Udah di sini aja, Yuk!”

Mirah hanya tersenyum menanggapi celoteh orang- orang di warungnya. Tak hanya mereka, dirinya juga menginginkan tetap di sini, di kampungnya. Di dekat Rania, juga di samping keluarganya. Tapi takdir lain sepertinya harus dijalani. Dan semua yang dilakukannya juga untuk kebaikan keluarganya, agar mereka bisa tetap hidup.

***

Mirah baru saja hendak membereskan dagangan ketika sosok perempuan muda seusianya menghampirinya. “Laris ya, Mir dagangan kamu?”

Mirah mengangguk. “Alhamdulillah, Li.” Ujarnya seraya mengamati Eli yang tampak cantik dengan dress selutut berwarna tosca. Ibunya benar wanita ini makin cantik dan putih, terlihat jelas kulit dan tubuhnya terawat sempurna. Dia memang belum bertemu Eli sejak wanita itu tiba di kampung. Hanya melalui ibunyalah keduanya berkomunikasi.

“Yah padahal saya mau, Mir. Ya udahlah!” Tukas Eli kecewa, “Eh Bi Min bilang kamu mau ikut saya ke Jakarta?” tanyanya lagi.

Mirah tersenyum kecut. Dia sudah menduga kedatangan Eli ke lapaknya., “Memang kapan kamu mau berangkat?”

“Besok.”

“Besok? Cepat sekali liburanmu.”

“Cuma dikasih izin 5 hari, Mir.”

Mulut Mirah membulat, kepalanya manggut- manggut. “Jadi kamu mau ikut besok?” Tanya E li lagi.

“Belum Li, kalau besok mah. Terlalu terburu- buru. Saya harus mempersiapkan semuanya dulu termasuk ngomong sama Rania. “

“Tapi kamu pasti mau pindah?”

Bahu Mirah terangkat, “Ya mau gimana lagi. Nggak ada pilihan, Li.” Ucapnya lirih.

Eli menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau gitu nanti kalau mau kesana hubungi saya. Ini nomor telepon ya.” Eli menyerahkan selembar kartu nama yang langsung diterima Mirah.

“Eliana?” Kening Mirah mengernyit mendapati nama yang tertera di kartu nama. “Bukannya nama kamu Elisa Masita?”

“Oh. Itu nama panggung.”

“Nama panggung?” Kerutan di dahi Mirah bertambah.

“Iya. Nama di tempat kerja.” Mirah menahan diri untuk bertanya lebih banyak lagi. Toh bukan urusannya ini.

“Ya udah pokoknya kabarin kalau kamu ke sana ya. Nanti biar dijemput. Sekarang saya pulang dulu ya.”

Mirah mengangguk. “Iya. Makasih ya.”

Dan sosok cantik itupun berlalu meninggalkan Mirah yang menatap nanar kartu yang berada di genggamannya. Sungguh, tak ada jalan lain kah yang bisa ia lewati? ***


tbc

Selanjutnya di sini


catatan.
Kowe arep minggat meneh: Kamu mau kabur lagi?
Minggat opo? Wong arep golek duit : Kabur apa? Orang mau cari uang
Golek duit kok adoh- adoH : Cari uang ko jauh- jauh
Ngerayu ae, ingat anak bojo neng omah : Merayu saja, ingat anak istri di rumah 


8 komentar:

  1. Apiiik... Mau baca dari tadi adaaa aja yang ganggu.
    Lanjuuut! GPL yak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakaka, tengkyu ye mak. ntar lagi dipikir2 dulu part selanjutnya.hehehe

      Hapus
  2. Kereen mbak Imas bisa bahasa jawa ya? Lanjuut mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bahasa jawanya, jawa lampung, bu. Jadi agak kasar. Itu juga ngerti dan paham coba kalo di suruh ngomong, bubar. hahaha
      trims bu

      Hapus
  3. Lanjutt jenkk,ceritanya baguss hehe

    BalasHapus