Minggu, 26 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (20)


Sebelumnya di sini

“Hanya sekali saja, Mir! Lusa aku harus kembali.”

“Ta—pi…,”

“Ayolah, Mir! Izin aku! Aku benar-benar sudah berjanji pada Rania.”

Mirah mendesah panjang sambil menggigit bibir bawahnya ragu. Permintaan Faisal tak mungkin ditolaknya. Rania berhak pergi dengan ayahnya. Apalagi semalam Rania antusias bercerita tentang senangnya ia bertemu dengan ayahnya.

Jadi mengapa rasanya berat mengizinkan Rania pergi?

Emak.

Mirah menghela napas dalam-dalam. Ia sebenarnya enggan membuat sang ibu kembali meradang. Tapi harus bagaimana lagi, ia pun tak tega melarang Faisal menemui Rania.

“Kita janjian di luar aja, Bang.” Ujarnya lirih.

“Boleh.” Sahut Faisal. “Di karang bisa?”

Kening Mirah mengerut. “Apa nggak kejauhan, Bang?”

“Aku yang akan menjemput kalian, Mir. Tapi karena aku telah berjanji membawa Rania jalan-jalan ke mall jadi mau tak mau aku harus membawanya ke karang.”

Mirah tersenyum kecut. Di tempatnya memang tak ada mall. Mall terbanyak hanya ada di Bandar Lampung yang merupakan ibukota provinsi. Tetapi masyarakat lebih suka menyebut kota Bandar Lampung sebagai Tanjung Karang, nama di masa lalu.

“Ya sudah kalau begitu.”

Tiba-tiba senyap.

Mirah baru saja hendak berbicara untuk memutus sambungan, ketika suara Faisal terdengar.

“Emak benar-benar membenciku ya, Mir?”

Mirah tertegun sesaat. “Maafkan aku ya, Mir. Aku tel…,”

“Sudah, Bang!” potong Mirah cepat. “Tak usah dipikirkan! Ini urusanku. Yang penting Rania tak kehilangan ayahnya lagi.” Lanjutnya lagi dengan nada menyindir.

“Iya aku paham.”

Tak lama setelah berbasa-basi menentukan waktu, sambungan pun terputus. Mirah pun membuang napas jengah. Semoga keputusannya tak salah.

“Ibu, abis teleponan sama siapa?”

Rania masuk ke dalam kamar. Gadis itu mulai membaik. Luka lecet dan goresan mulai mengering. Mirah pun tersenyum lalu menepuk-nepuk sisi kosong di atas kasur,

“Sini! Ibu mau ngomong,”

“Ngomong apa?” tanya Rania sambil melompat ke atas tempat tidur.

“Rania senang nggak kalau ketemu Ayah lagi?”

“Senang, Bu. Kapan?” Mata Rania berbinar seketika. Kebahagiaannya jelas kentara. “Ayah janji mau ajak Rania jalan-jalan ke mall buat beli baju baru.” Sambungnya antusias.

Mirah kembali tersenyum. Setidaknya keputusannya membuat Rania gembira. “Kalau besok gimana?”

“SERIUS?”

Mirah mengangguk dan detik selanjutnya Rania memeluknya. “Yes! Rania mau jalan-jalan. Rania mau beli baju baru. Yeyeye!”

“Rania senang, Nak?”

Rania mengangguk cepat. “Senang lah. Senang banget.”

Mirah tersenyum tipis. Arti kata senang yang sederhana buat seorang Rania. Ah, terbersit iri di hati Mirah. Ingin rasanya kembali menjadi anak-anak. Bebas, tanpa beban. Tapi hidup kan proses. Tak mungkin selamanya menjadi anak-anak.

Sudahlah, Mir! Nikmati saja hidup, bisiknya dalam hati. Tak perlu berpikir macam-macam, karena semua orang sudah punya suratan takdirnya masing-masing.

***

“Kalian jadi pergi?”

Mirah mendongak. “Emak ngelarang?”

Darmini mencibir. “Emak larang juga kau akan pergi kan?”

Bahu Mirah mengedik. “Tergantung alasannya logis nggak.”

“Ah sudahlah! Pergi sana! Yang penting kamu sudah janji nggak akan rujuk,”

Mirah menggeleng sejenak kemudian berdecak. “Ck, pikiran darimana itu, Mak. Kami sudah berpisah beberapa tahun lalu. Jadi buat apa kembali bersama.”

“Cinta tak pernah dapat ditebak datangnya,” sahut Darmini sambil ngeloyor pergi ke arah dapur.

Lagi-lagi Mirah menggeleng melihat sikap Ibunya. Terkadang memang sulit memahami wanita yang telah melahirkannya tersebut. Apalagi kini, semakin bertambah usia semakin tak terduga. Kumala bahkan tak jarang beradu mulut karena tingkah Ibu yang dirasanya kekanakan. Mirah pernah mendengar jika seseorang semakin tua maka sikapnya bisa kembali menjadi anak-anak. Kalau sudah begitu, satu-satunya yang dibutuhkan adalah kesabaran.

“Ibu!”

Rania muncul dari pintu kamar dengan wajah sumringah. Ia mengenakan dress selutut berwarna merah muda. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai, tetapi terdapat bandana berwarna senada dengan pakaiannya, melingkar di kepala.

Sejenak mata Mirah menyipit. Rania-nya mulai beranjak dewasa. Tak lagi anak-anak seperti dalam ingatannya selama ini. Waktu benar-benar berlalu begitu cepat.

“Kenapa, Yuk? Jelek ya?”

Pertanyaan Kumala membuat Mirah tersadar. Seketika kepalanya menggeleng. “Nggak. Ini udah oke. Makasih ya,” ujarnya pada sang adik. Kumala memang yang bersemangat untuk mendadani Rania.

“Tapi ini beneran nggak masalah, Yuk?”

Mirah tersenyum kecut. Ia tahu maksud pertanyaan adiknya. Kumala jelas khawatir. Faisal menghilang cukup lama dan tiba-tiba kembali. Hal yang sedikit mengejutkan.

Tapi sudahlah, bukankah Mirah sudah membulatkan tekad untuk tak memutus hubungan ayah dan anak.

“Nggak papa, La. udah sana kamu siap-siap sekolah. Telat lagi nanti,”

“Iya, Yuk! Aku siap-siap dulu kalau gitu.” Ucap Kumala dengan membalikkan tubuhnya. Namun disempatkannya melirik Rania. “Jangan lupa oleh-oleh buat bikcik ya,”

Mirah mendengus geli. Dasar Kumala!

***

“Rania senang?”

“Senang banget.”

“Mau ya kapan-kapan main sama Ayah lagi?”

“Iya.”

“Nanti kalau Ayah ke sini lagi, kita main lagi. Oke!”

“Oke.”

“Jangan lupa kalau Ayah telepon harus diangkat.”

Mirah mendengus mendengar percakapan antara Faisal dan Rania. Jelas Rania senang bukan main kalau setiap berjalan-jalan dengan ayahnya, semua permintaan anak tersebut dituruti. Faisal tak hanya membelikan baju baru tetapi juga mainan, sepatu serta tablet yang sudah lama Rania inginkan.

Ah, boros!

“Mirah!”

Mirah terhenyak. “Kamu kenapa?” tanya Faisal lagi.

Kepala Mirah menggeleng. Sekilas ditatapnya Rania yang asyik menikmati es krim cokelat pesanannya. Senyum Mirah terulas sesaat karena melihat mulut anaknya yang sedikit belepotan.

“Pelan-pelan, Ran! Malu ah kalau belepotan,” katanya yang disambut cengiran Rania.

“Abisnya enak, Bu.”

“Enak kan nggak mesti buru-buru. Nih punya Ibu juga masih banyak.”

“Emang boleh kalau untuk Rania?”

Mirah mengangguk dan Rania berbinar senang. “Asikkk…,”

“Makannya pelan-pelan ya!”

Rania mengangguk dan tak lama Mirah menoleh. Faisal ternyata masih menatapnya lekat-lekat. Sejurus kemudian ia membuang napas jengah.

“Rania masih kecil, Bang. Jangan dibiasain nurutin semua maunya,” ujar Mirah pelan. “Hari ini Mirah rasa Abang terlalu berlebihan.”

“Apa salahnya, Mir. Aku ingin Rania senang.”

“Tapi tidak dengan menuruti semua maunya.” Balas Mirah. “Rania bisa manja. Padahal aku sudah mendidiknya untuk jadi anak mandiri. Memahami bahwa orang tuanya bukan orang berpunya.”

Sesaat hening.

“Maaf,” bisik Faisal. “Aku hanya senang,”

Mirah mengangguk. “Lain kali ingat-ingat, Bang kalau mengajak Rania pergi jangan semua diturut. Ajari Rania hidup sederhana.”

“Iya.” Jawab Faisal. Tak lama keningnya mengerut. “Ingatkan aku kalau begitu,”

“Aku kan tidak selamanya bersama Rania, Bang.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu setelah ini, setiap Abang kemari pasti akan menemui Rania. Makanya kubilang kalau kalian pergi bersama tanpaku.”

“Memang kamu mau kemana?”

Mirah tertawa pelan. “Aku kan harus kembali bekerja, Bang.”

Lagi-lagi keheningan menyapa keduanya. Mirah mendesah. Sudah terlalu lama ia di kampung, segera dan secepatnya ia harus kembali. Tak enak rasanya pada Kanaya. Apalagi kini Rania juga sudah membaik.

“Kenapa kamu harus kerja, Mir? Rania sekarang menjadi tanggung jawabku.”

Kening Mirah mengerut sebentar sebelum kemudian ia berdecak. “Aku bekerja bukan hanya untuk Rania, Bang tapi juga keluargaku.”

“Tapi itu berarti kamu melepaskan pengawasan terhadap Rania,”

“Lalu aku harus bagaimana? Aku bukan hanya seorang Ibu tapi juga seorang anak dan kakak,” ucap Mirah kemudian.

“Rania selamanya memang menjadi tanggung jawab Abang sebagai Ayahnya, tapi Abang juga punya tanggung jawab terhadap keluarga Abang yang lain kan?” lanjut Mirah mengingatkan. Tak lama setelah perceraian, Mirah mendapat kabar kalau Faisal telah menikah lagi. Sejujurnya sejak kemarin Mirah penasaran tetapi sebisa mungkin ia menahan diri. Toh, mereka tak ada hubungan apapun lagi. Jadi tak perlu lah banyak bertanya, ucap Mirah dalam hati.

Faisal mendesah panjang. “Kami sudah tak bersama.”

“Maksud Abang? Cerai?”

Faisal mengangguk. “Dan aku ingin kita kembali bersama lagi, Mir.” Seketika Mirah terbelalak.

“Demi Rania, Mir.”

***






4 komentar: