Senin, 27 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (21)



sebelumnya di sini


Demi Rania…
Mirah menggeleng perlahan. Ia baru saja hendak membuka mulut ketika Faisal kembali bersuara.

“Aku tidak memaksa kamu harus jawab sekarang, Mir. Pikirkan saja dulu!”

Mirah mendengus. Berpikir untuk kembali rujuk?

Mustahil.

Mengingat statusnya kini serta janjinya pada Emak! Lagipula buat apa, sudah tak ada lagi rasa cinta bersemayam di hatinya untuk seorang Faisal.

“Mir, ak…,”

Ucapan Faisal terhenti karena dering ponsel milik Mirah. Mirah yang mengenali dering khusus yang sengaja diatur untuk panggilan Dae Ho pun refleks mencari ponselnya. Sedetik kemudian senyum tipis terulas di bibirnya.

“Bentar, Bang!” kata Mirah sambil berdiri lalu menoleh. “Ran, Ibu angkat telepon dulu ya!”

Rania hanya mengangguk sekilas. Gadis cilik itu masih asyik menyantap es krimnya. Tak peduli pada Mirah yang pergi buru-buru menjauh.

“Ya halo, Oppa!” sapa Mirah riang sesaat setelah panggilan terangkat.

“Kamu lagi sibuk?”

Mirah tersenyum. “Lagi ajak jalan-jalan Rania,”

“Oh. Saya ganggu?”

“Nggak-nggak, Oppa!” geleng Mirah. “Kami lagi makan.”

“Ya sudah nanti malam kita bicara lagi. Saya kasih tahu tiket pulang kamu sudah dipesan,”

Kening Mirah mengerut. “Sudah dipesan?”

“Kan kamu bilang lusa akan kembali, jadi saya sudah pesankan. “

“Hah?” Mirah bengong. Secepat itu?

Kemarin malam saat Dae Ho menelpon, Mirah memang mengatakan akan segera pulang. Ia berencana lusa memang sudah kembali, tapi baru sebatas rencana. Siapa sangka Dae Ho segera memesankan tiket untuknya.

“Ta—pi, Oppa…,”

“Saya rindu kamu, Mirah.”

Dan Mirah pun kehabisan kata-kata.

***

“Siapa, Mir?”

“hah?”

“Yang telepon kamu siapa?”

Kening Mirah mengernyit mendapati pertanyaan dari Faisal. Ia sudah pernah bertahun-tahun hidup bersama dengan Faisal dan tahu pasti jika laki-laki itu tengah dilanda cemburu.

Padahal, siapa mereka sekarang?

“Teman, Bang.”

“Pacar kamu?”

Bahu Mirah mengedik. Dilayangkan tatapannya pada Rania. “Udah belum, Nak? Kalau udah siap-siap pulang, yuk! Udah sore, nanti bisa kemalaman loh,”

Rania mengangguk cepat. “Udah, Bu.”

“Mir, nanti dulu. Aku masih ingin bersama Rania.” Faisal menyeletuk.

Mirah tersenyum tipis. “Hari ini sudah cukup, Bang. Kondisi Rania juga harus dipikirkan. Dia kan baru sembuh dari sakit,”

Faisal terdiam sekilas. Sebelah alisnya terangkat. “Ini kamu sedang tak menghindar kan?”

“Menghindar apa?”

“Pertanyaan tadi,”

“Oh yang itu,” Mulut Mirah membulat. Kepalanya menggeleng. “Sudahlah, Bang. Kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Aku menghormati Abang karena Abang ayah Rania. Sudah itu saja.” kata Mirah lagi.

“Jadi jangan berharap kita dapat rujuk.”

Faisal tertegun sejenak. Ia menelan ludah susah payah. Jadi jelas sudah, Mirah menolaknya.

Benar-benar tak ada kesempatankah?

***

Hari sudah berganti malam ketika akhirnya mereka tiba di rumah. Mengingat karakter Ibunya, Mirah pun segera menyuruh Faisal pulang.

“Maaf ya, bang.”

Faisal mengangguk. “Iya aku tahu. Emak benar-benar membenciku ya?”

Bahu Mirah terangkat. “Maaf, Bang.” Jawabnya dengan wajah meringis. “Sudah malam ini,”

Faisal tersadar. Mirah tengah mengingatkannya. Maka tak lama ia pun segera berpamitan.

Sepeninggal Faisal, Mirah pun menarik napas panjang. Sungguh, ia tak menduga jika Faisal menginginkan untuk kembali hidup bersama.

Ya Tuhan, tidakkah ia ingat pernah menyakiti dirinya?

Begitu mudahkah Faisal melupakan masa lalu?

“Mirah,”

Kesadaran Mirah tertarik karena panggilan Ibunya dari dalam rumah. Bergegas ia pun masuk. Darmini sudah duduk di kursi ruang tamu dengan tangan bersidekap di dada.

“Gimana?”

Mirah mengerut. “Apanya, Mak?”

“Jalan-jalannya?”

“Ya biasa aja. Rania senang karena banyak dibelikan baju, mainan dan tablet baru.”

“Oh,” Darmini mengangguk. Tak lama ia menyuruh Mirah untuk duduk di sampingnya. “Emak mau ngomong,” katanya kemudian.

“Soal?”

“Duduklah!”

Ada perasaan aneh yang merambati hati Mirah. Entah mengapa perasaannya mengatakan apa yang akan dikatakan Emak bukanlah sesuatu yang baik untuknya.

Tapi apa?

“Duduk, Mir!” perintah Darmini lagi.

Karena diliputi rasa penasaran yang cukup tinggi, Mirah pun segera menurut. Ia pun mengambil tempat di kursi yang berseberangan dengan Ibunya. Keduanya hanya terpisahkan oleh sebuah meja.

“Faisal ngajak kamu rujuk?”

Perlahan kepala Mirah mengangguk. Ia sedikit bingung bagaimana Emak bisa tahu,

“Dan kamu tolak?”

“Iya, Mak.” Jawab Mirah. “Tak mungkin pula kami kembali bersama.”

“Baguslah.” Sahut Emak. “Lalu kapan kamu kembali ke Jakarta?”

“Lusa.”

Sesaat hening.

Mirah menatap Ibunya yang terlihat diam namun berpikir keras. Apa yang dipikirkan Emak memangnya?

“Mir,”

“Iya, Mak.”

“Kalau ada yang mau menikahimu, apa kamu masih akan tetap kembali?”

“Maksud Emak?” kedua alis Mirah bertaut bingung.

“Ada yang melamarmu, Mir. Dia ingin segera menikah. Dia ingin ”

Mirah terbelalak seketika. “Kamu tenang aja, dia menerimamu apa adanya. Termasuk Rania,” Ucap Darmini lagi.

“Si—siapa, Mak?” Tanya Mirah tergagap.

“Malik.”

“Ma—lik,” ulang Mirah. “Maksud Emak, Bang Malik anak Uwak Amrizal?”

Anggukan kepala Emak seketika membuat mata Mirah kembali membulat.

Ya Tuhan, Bang Malik…

Malik Rahmat. Nama itu jelas mendapat tempat tersendiri bagi seorang Mirah. Dulu ia begitu mengidolakan sosok laki-laki yang merupakan anak dari kerabat jauh ibunya. Waktu kecil, Malik tinggal di desa yang sama dengannya, tetapi ketika beranjak remaja Malik dibawa serta orangtuanya yang pindah karena dinas ke luar kota.

Bagi seorang Mirah, Malik tak hanya idola tapi juga pelindung. Laki-laki itu yang selalu melindunginya ketika banyak anak laki-laki lain sering menggoda dan menganggunya. Maka ketika kemudian Malik pergi, ada rasa sesak dan kehilangan yang amat besar Mirah rasakan saat itu.

Ada satu rahasia terpendam Mirah mengenai sosok Malik. Laki-laki itulah cinta pertamanya. Meski terdengar klise karena saat itu dirinya masih terlampau belia, tapi Malik memang laki-laki yang mengenalkan cinta pada dirinya. Mirah bahkan pernah membulatkan tekad untuk menjadi istri Malik di masa depan. Tetapi sayang, pada akhirnya waktu jua lah yang mengandaskan impian tersebut.

Di awal kepindahan, keduanya memang masih terhubung dengan surat. Tetapi sayang, hal tersebut hanya bertahan beberapa bulan hingga kemudian surat Mirah tak lagi berbalas. Sejak itu lah Mirah tak lagi berharap pada sosok Malik. Apalagi selang beberapa tahun kemudia terdengar kalau Malik akan menikah.

“Bu—bukannya dia sudah meni—kah, Mak?”

Darmini menggeleng. “Belum. Ternyata calon istrinya meninggal karena kecelakaan, dan karena kejadian itu Malik memilih bekerja di luar negeri. Baru setengah tahun ini dia kembali.” Ungkap Emak kemudian.

“Kemarin waktu di acara Uwak Ros, Bang Amrizal datang. Dia sempat lihat kamu saat kamu buru-buru pulang,”

Mirah paham kini. Ternyata semua berawal dari acara pernikahan sepupunya kemarin. Kerabat jauh Ibunya itu menyempatkan hadir. Padahal memang sudah lama sekali Uwak Amrizal tak pernah pulang ke tanah kelahirannya.

“Dia tanya-tanya tentang kamu,” Emak kembali berbicara. “Dia juga cerita soal Malik.”

Emak menghela napas dalam-dalam. “Emak benar tidak tahu ini, Mir. Waktu ngobrol ya biasa, tapi tadi siang Uwakmu menelepon dan Emak juga sempat berbicara dengan Malik. Ia bilang ingin menikahimu.”

“Jadi bukan kamu saja yang kaget, Emak juga.”

Mirah diam. Pikirannya blank. Hari yang aneh. Dua sudah laki-laki meminangnya hari ini. yang satu mantan suami hendak meminta rujuk, yang lain cinta pertama yang sudah lama menghilang.

Ck, kalau saja mereka tahu yang dilamar adalah istri laki-laki lain.

Ah, betapa kacau hidupmu, Mir.

“Malik bilang besok dia akan kemari. Dia akan menj…,”

“Tungggu-tunggu, Mak!” tangan kanan Mirah terangkat. “Besok? Makksud Emak besok Bang Malik kemari.”

Emak mengangguk. “Iya. Malik bilang ingin bertemu denganmu,”

Mirah terbeliak. Besok??

Benar-benar kacau hidupmu, Mirah…



***














1 komentar: